(Listen : Rizky Febian - Menari)
7 tahun kemudian, 10 Maret 2009
Donna Agnesia secara resmi diangkat menjadi CEO di perusahaan cabang Green Days Building Corporation. Acara pelantikannya berlangsung mewah dan meriah. Turut mengundang pemegang saham, para CEO perusahaan-perusahaan cabang lain dan masih banyak lagi.
Donna melangkah penuh percaya diri ke panggung untuk menerima penghargaan dan buket bunga, juga untuk menyampaikan pidatonya. Donna tersenyum, memamerkan deretan gigi rapinya. Menundukkan kepala sedikit untuk memberi salam. Donna menerima sebuket karangan bunga yang cantik, piala, dan piagam pelantikan dirinya. Kini saatnya Donna untuk memberikan pidato.
Ia mengetuk kepala mik, memastikan mik tersebut hidup.
“Terima kasih semuanya yang telah hadir ke acara ini. Acara pelantikan ini sungguh luar biasa bagi saya, karena dengan dipercayanya saya menjadi CEO cabang perusahaan ini, itu sangat memotivasi saya untuk terus berjuang dan bekerja keras memajukan perusahaan ini menjadi semakin baik. Maka, saya akan berusaha yang terbaik untuk memajukan perusahaan ini menjadi lebih baik dan menjadi perusahaan terbaik di Indonesia di bidang konstruksi bangunan. Saya ucapkan terima kasih.”
Donna mengakhiri pidatonya dan mendapatkan tepuk tangan yang meriah. Donna turun dari panggung dan pergi dari sana menuju teman-temannya, kecuali Andre dan Sandi yang siap memberikan perayaan untuknya di ruangannya.
Begitu Donna tiba di ruangannya, ia benar-benar disambut secara mewah.
“Donna!! Selamat atas jabatan yang kamu raih!!!” teriak mereka, Nana dan Joe.
“Ah, kalian ini! Aku menjadi malu!” Donna merasa bahagia, namun juga malu.
Joe menghampirinya dan memberikan sebuah plakat keramik bertuliskan nama dan jabatannya, ‘CEO DONNA AGNESIA’. Donna begitu bahagia menerima hadiah itu.
“Nah, CEO kami yang sangat bahagia, semoga dengan hadiah ini kamu semakin semangat bekerja!” ujar Joe.
“Joe memesan plakat itu dari temannya di Singapura dan khusus untuk kamu, Don!” ujar Nana seraya merangkul tangan Joe, suaminya.
“Sayang sekali Andre enggak datang karena perjalanan bisnis dan Sandi sedang ada jadwal operasi di rumah sakit. Tapi, kami akan membuat kamu hari ini sangat bahagia!!” ujar Joe.
“Semuanya, terima kasih. Tapi....” Donna terlihat berubah. Ekspresinya yang semula bahagia, kini tampak sedih dan murung. Nana dan Joe tahu apa yang tengah dipikirkan dan dirasakan olehnya saat ini.
“Ah! Iya, aku hampir saja lupa! Karena hari ini masih sangat panjang, bagaimana kalau kita pergi makan malam bersama di restoran sea food yang terkenal itu?” usul Nana, bermaksud menghalau perasaan sedih Donna.
“Iya! Aku yang akan bayar semuanya! Jadi, pesanlah sepuasnya! Aku akan mengundang Sandi dan Andre, semoga mereka ada waktu buat makan malam bareng kita! Setuju?” Joe juga menimpali.
“Makanan? Ah, ngomongin soal makanan, aku jadi lapar. Hehe.” Donna berubah lagi seperti sedia kala. Akhirnya Nana dan Joe bisa bernafas lega melihat Donna kembali ceria.
000
Mereka bertiga sudah sampai di restoran sea food. Sembari menunggu hidangan tersaji, mereka bertiga terlebih dahulu menuangkan bir ke dalam gelas mereka. Mereka bertiga bersulang dengan suara yang keras.
“Ciiiiiisss!!”
“Karena hari ini hari yang paling bahagia untuk Donna Agnesia, temanku dan Nana, lagi-lagi aku tidak akan berhenti untuk membuat Donna bahagia. Semoga kamu selalu bahagia dan sukses selalu,” ujar Joe tulus.
“Semoga perjuangan kamu selama 3 tahun dalam membangun karir yang bagus ini kamu pertahankan sampai akhir hayat!” Nana turut mendoakan.
“Terima kasih teman-teman. Kalian memang selalu ada disetiap langkah dan nafasku. Kalian tidak pernah lelah memberiku motivasi dan harapan. Keberhasilanku ini juga berkat kalian, Ibu dan semuanya. Aku berterima kasih sama kalian,” Donna terharu sehingga meneteskan air matanya. Kemudian ia menyeka air matanya segera dan tersenyum kepada Nana dan Joe.
“Don, kita bangga jadi sahabat lo. Karena itulah gunanya seorang sahabat. Selalu memberikan dukungan dan motivasi untuk terus melangkah maju. Jangan berterima kasih kepada kami. Karena ini sudah seharusnya tugas kami. Kamu juga selalu membantuku, memberiku semangat dan dorongan yang kuat,” ujar Nana.
Mereka semua saling berpelukan. Nanalah yang paling terharu dan penuh emosional. Joe menenangkan Nana. Malam ini mereka lalui dengan air mata haru yang tak bisa dibendung lagi.
000
Seorang pria mengenakan jas rapih berwarna coklat tua, mengenakan kacamata hitam yang menutupi matanya, memandang ke atas dinding bangunan yang sekarang ia hadapi. Memandang sebuah tulisan nama perusahaan tersebut, Green Days Building Corporation. Ia nampak percaya diri menatap bangunan yang gagah bak menara pencakar langit itu.
"Disini aku sekarang. Aku tantang kamu, apakah kamu akan jadi milikku?"
Pria itu melangkah masuk ke dalam. Ia masuk ke dalam lift, memencet angka 5 untuk menuju lantai yang ia inginkan. Untungnya lift sedang sepi, hanya ada dirinya, jadi ia bebas bercermin di dinding lift yang mengkilat.
"Kau sungguh tampan. Good boy!" ia memuji dirinya sendiri.
Pria ini hendak menemui atasannya untuk menandatangani kontrak kerja sama yang sejak sebulan yang lalu sudah terealisasikan. Dan ia sendiri menerima kontrak kerja sama itu.
Lift terbuka di lantai 3, menandakan ada seseorang yang hendak masuk. Ia masih merias di dinding lift tanpa peduli siapa yang masuk. Seorang wanita berambut panjang masuk dan memunggunginya. Saat pria tersebut sudah selesai dengan kegiatannya, ia melihat seorang wanita berdiri di depannya tanpa terlihat wajahnya. Ia memperhatikan dari bawah hingga atas tubuh wanita ini dengan mata yang tak berkedip.
Wanita ini....dari belakang nampak cantik juga.Tapi rasanya aku merasa tak asing dengan sosok punggung wanita ini, pikirnya.
Liftpun berhenti di lantai 5, mereka berdua keluar dari sana bersama-sama. Pria itu terkejut karena ada seorang karyawan yang tiba-tiba menjatuhkan berkas-berkas yang menumpuk di tangannya dan ia segera menolongnya, sementara wanita tadi -Donna- melihat pria yang selama beberapa menit berada dalam lift bersamanya tersebut membantu seseorang. Donna tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruangannya.
Aku merasa tidak asing dengan sosok pria ini. Tapi, siapa ya? Ah, mungkin hanya perasaanku saja! pikir Donna.
Setelah berada di ruangannya, sekretarisnya sudah siap disana dengan membawa berkas di tangannya. Sekretaris perempuan itu menyerahkan sebuah berkas kepada Donna untuk segera dilihat.
"Apa jadwalku padat hari ini?" tanya Donna seraya melihat isi berkas tersebut.
"Hari ini nampaknya Anda tidak terlalu sibuk. Agenda hari ini adalah bertemu dengan arsitektur handal yang sudah mengkonfirmasi akan bekerja sama dengan perusahaan kita," jawab sekretaris.
"Kerja sama? Aku tidak tahu sama sekali. Kapan? Apakah kerja sama itu terbentuk sebelum aku menggantikan posisi CEO sebelumnya?" tanya Donna.
"Iya, benar. Wajar Anda tidak tahu, tapi sebentar lagi orang tersebut akan segera menemui Anda. Dia seorang arsitek dari Jerman namun masih orang Indonesia," ujar sekretarisnya.
"Arsitek dari Jerman?"
Apakah itu Erik?, pikir Donna.
Tiba-tiba perasaannya menjadi aneh ketika dipikirannya terbesit nama seseorang, dan orang itu adalah Erik. Tapi, Donna mengabaikan tentang perasaannya dan memulai pekerjaannya kembali.
20 menit berlalu. Orang itu belum juga muncul, padahal ia sudah menunggu. Karena bosan menunggu dan ia juga merasa haus, Donna keluar dari ruangannya untuk pergi memesan kopi. Akan tetapi, tepat di depan pintu ruangannya, seorang pria berdiri dengan tangannya yang sudah berancang untuk membuka pintu.
Donna menatap pria itu dan pria itu menatap balik kepadanya. Pandangan mereka saling bertemu. Pria ini sukses membuat hati Donna bergemuruh tidak karuan. Orang yang selama ini menjadi pikirannya. Erik. Dia Erik. Pria itu telah kembali lagi. saat ini secara tidak sengaja Donna kembali bertemu dengannya. Donna tidak salah lihat, dia benar-benar Erik!
Perasaannya....perasaannya.... Campur aduk. Senang, sedih, menyesal. Banyak sekali. Begitu pula yang dirasakan oleh Erik. Ia tidak menyangka pertemuan pertamanya setelah sekian lama akan berada ditempat ini. Apakah semua ini kebetulan atau memang sudah takdir?
"Do...Donna?" Erik sama terkejut dan tak bisa menyembunyikan kesenangannya.
Ketika tak sengaja pintu terbuka, aku langsung melihat dia. Orang yang selama ini aku nantikan. Wanita yang semenjak awal hingga sekarang masih mengisi relung hati yang kosong. Akhirnya...aku menemukannya tanpa banyak usaha.
[ 7 tahun yang lalu, di rumah sakit.
Setelah Nana, Andre dan Ibu mengantar kepergian Erik, mereka dikejutkan dengan mata Donna yang terbuka. Donna telah siuman.
"Donna?"
Mereka semua menghampiri Donna dan dengan cemas mencoba memastikan Donna apakah ia masih mengingat mereka.
"Sudahlah, aku masih ingat kalian semua," lirih Donna pelan.
"Oh, syukurlah...." Ibu nampak lega. Begitupun Andre dan Nana. Akan tetapi, Nana tidak menyangka, Donna sadar setelah Erik pergi dari sini.
Nana mencolek Andre untul ikut dengannya keluar dari ruangan.
"Kak, bukankah ini aneh? Donna sadar setelah Erik pergi. Haruskah aku susul Erik dan mengatakan bahwa Donna sudah siuman?" tanya Nana.
"Tidak. Sebaiknya jangan. Itu hanya akan menghambat jalan Erik. Bagaimana jika dia rela tidak pergi ke Jerman dan memilih menemani Donna?" Andre tidak menyetujui usul Nana.
"Benar juga. Tapi apa yang harus kita katakan sama Donna? Mengatakan semuanya saja?"
"Ya, dia harus tahu tentang Erik. Bahkan ketulusan hatinyapun harus Donna ketahui."
Nana dan Andre kembali masuk ke kamar inap Donna. Donna bingung kepada mereka berdua karena ingin bicara saja harus pergi keluar dari ruangan. Membuat curiga saja.
Andre, tiba-tiba Donna teringat sesuatu tentang kejadian beberapa hari yang lalu. Semua karena Andre yang telah membuatnya melakukan sesuatu yang diluar lendali. Mencoba membunuh Mieke. Donna menyesali perbuatannya, ia sangat menyesal.
Donna menangis terisak yang tertahan dan menatap Andre.
"Lo kenapa, Don?" tanya Andre.
"Dre...maafin gue. Gue salah selama ini. Gue nyesel sama lo dan Kak Mieke. Gue nyesel. Mata hati gue tertutup oleh noda kecemburuan dan keserakahan. Dre, gue bener-bener minta maaf..." ujar Donna.
Andre mengusap kepala Donna dan memeluknya, "Kecemburuan memang akan menghancurkan segalanya. Tapi syukurlah, lo akhirnya menyesali perbuatan lo. Kini, saatnya lo nemuin orang yang tulus cinta sama lo. Orang yang rela seharian menangis karena lo, orang yang rela menghabiskan waktunya demi menjaga lo. Dan orang itu adalah Erik," ujar Andre.
"Erik? Erik selama ini ngejagain gue?" Donna tidak percaya.
"Bukan hanya itu. Dia juga yang sudah nolongin lo, rela masuk ke dalam hutan demi nyari lo. Dia fendong lo dan jagain lo sampai ke rumah sakit," ujar Nana.
Donna tertegun. Ya, ia mengingatnya. Dan anehnya, saat ia terbaring tak sadarkan diri, Donna biaa mendengar suara Erik dengan begitu jelas di dalam mimpinya. Donna sering mendengar suara Erik yang terus memanggil namanya, menyuruhnya untuk segera bangun dan masih banyak lagi.
Donna mengerti, Erik melakukan itu semua hanya untuknya. Karena cinta yang besar kepadanya. Donna kini menyeaali perbuatannya yang audah mengecewakan ketulusan hatinya demi menggapai ambisinya yang sama sekali gagal sia-sia dicapai. Ia tidak mendengar ucapannya dulu, mengamabaikan perasaannya, ketulusan cintanya. Donna merasa dirinya sangat kejam dan tak pantas dimaafkan.
"Erik...sekarang dia dimana? Ada yang ingin aku katakan sama dia," lirih Donna.
Andre dan Nana saling pandaag. Mereka terlihat ragu untuk mengatakan kenyataan ini kepada Donna yang semula yakin akan memberitahu Donna. Donna pasti sudah menyadari perasaannya.
Nana mengangguk paham setelah melihat kode dari Andre untuk memberitahu Donna tentang semua ini. Bagaimanapun dia harus tahu.
"Sebenarnya Erik....dia sudah pergi sebelum lo sadar, Don. Dia...pergi ke Jerman untuk melanjutkan pendidikannya disana. Sangat lama, sekitar lima tahun," ujar Nana.
"Haha! Jangan bercanda. Erik tidak sepintar itu untuk kuliah di Jerman!" Donna tertawa kecil mendengar Erik akan kuliah di Jerman. Lelucon yang sangat lucu. Ia tahu Erik orangnya bagaimana.
"Sayangnya kita enggak bercanda. Erik sudah berangkat sejak tadi menuju Bandara dan akan pergi ke Jerman dalam waktu yang lama," ujar Andre.
Seketika Donna tak mampu berkata apa-apa lagi. Erik, sudah pergi? Disaat ia sudah menyadari perasaannya? Air matanya kini menetes sedikit demi sedikit. Rasnaya ia sangat menyesal kepada Erik. Bahkan terlambat untuk menyusulnya. Ia sudah terlambat.
"Jadi aku harus menunggunya selama 5 tahun?" Donna tersenyum getir. Namun perasaannya bagai ditusuk oleh jutaan belati dan menghunus tepat di pusat jantungnya.
"Erik...." lirihnya disela tangisnya yang semakin pecah. Ia menyebut nama itu berkali-kali. ]
000
“Ka...kamu orangnya?” perkataan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
“Orang yang akan bekerja sama dengan perusahaan kami?” lanjutnya.
Erik mengangguk pelan, namun matanya tidak berpaling dari tatapan wanita dihadapannya.
“Ini....sebuah kebetulan saja, ‘kan? Kita bertemu kembali setelah sekian lama tidak bertemu,” ujar Donna gugup.
“Kebetulan? Kalau menurutmu ini kebetulan, menurutku ini adalah takdir. Kamu sama sekali tidak berubah. Masih tetap Donna yang aku kenal,” ujar Erik.
“Maaf? Bisakah kamu tidak membawa urusan pribadi di dalam lingkungan kerja? Lagi pula, sekarang saya adalah bagian tertinggi dari perusahaan ini,” ujar Donna.
“Ah, maafkan saya. Tapi, bolehkah saya masuk dan duduk untuk membicarakan kontrak kerja sama kita?” Erik mulai mengendalikan suasana.
Donna mempersilahkan Erik untuk masuk dan duduk di kursi tamu yang telah disediakan. Mereka berdua duduk berhadapan. Ada rasa canggung diantara mereka berdua saat kembali bertatapan seperti itu.
“Kamu mau minum apa? Kopi, air putih, atau yang lainnya?” tanya Donna.
“Apa saja,” jawab Erik singkat.
Donna berdiri dan menghubungi sekretarisnya, “Sekretaris, bawakan kami kopi latte dua, pakai gula sedikit,” ujar Donna.
Terdengar suara Erik berdecak kagum dan tersenyum kearahnya.
“Anda masih ingat seleraku. Kopi latte dengan sedikit gula. Itu mengingatkanku pada kisah kita saat kuliah dulu. Tujuh tahun bukan waktu yang sedikit,” ujar Erik.
“Sudah saya katakan, pisahkan antara urusan pribadi dan urusan pekerjaan di lingkungan kerja!” Donna memperingatinya sekali lagi.
“Aku tidak peduli,” Erik menghampiri Donna dan menguncinya dengan kedua tangannya. Donna terdesak dan kini punggungnya menyentuh sudut meja kerjanya.
“A...apa yang kamu lakukan! Lepaskan! Ini dikantor, tempat umum yang resmi!” Donna memberontak untuk melepaskan dirinya dari Erik. Sayang, daya pengunciannya sangat kuat. Donna benar-benar terdesak sehingga wajah mereka berdua benar-benar saling berdekatan.
“Aku tidak peduli, ini ditempat kerja atau ditempat-tempat yang lain. Izinkan aku untuk mencairkan perasaan rinduku kepadamu. Rindu yang sangat berat sampai rasanya jantungku akan meledak dan mati. Aku merindukanmu, Donna. Aku merindukanmu setelah sekian lama tidak bertemu,” ujar Erik.
Donna masih tidak nyaman dengan situasi ini, terlebih disini adalah kantor, bukannya taman atau tempat-tempat non resmi. Ya ampun, cowok ini sangat tidak bisa menjaga perasaannya! Donna kesal dan berkali-kali memberontak melepaskan diri.
“Diam, dong! Biar gue lanjutin ngomongnya!” Erik protes.
“Iya, gue juga tahu! Tapi disini kantor, bukan kampus, bego!” Donna tak ingin kalah berdebat.
“Emangnya lo sama sekali gak pernah rindu sama gue?”
Pertanyaan yang meluncur dari mulut Erik membuat Donna menghentikan pemberontakannya. Donna menatap manik mata Erik, ragu harus menjawab apa. Iya, ia akui jika dirinya memang merindukan Erik. Sejak dulu. Hingga rasanya tak terbendung lagi.
“Gue tanya, emangnya lo enggak pernah sekalipun rindu atau kepikiran gue?” tanya Erik lagi.
“Itu....”
“Ck!” Erik mendecak kecewa.
Erik melepaskan cengkraman pelukannya, menjauhkan diri dari Donna yang merasa tak enak hati. Erik benar-benar kecewa, hatinya bagai ditikam oleh seribu baja panas.
“Rik....”
“....”
“Rik...”
“....”
“Iya, gue rindu banget sama lo. Gue akui, perasaan gue hampa saat lo pergi jauh dari hadapan gue. Gue gak pernah sekalipun enggak memikirkan lo. Dan lo tahu, dulu gue keliru kepada perasaan diri gue sendiri. Gue enggak menganggap ketulusan hati lo, dan terus ngejar-ngejar Andre. Namun semuanya itu salah. Setelah semuanya terlambat, baru gue sadar, perasaan lo jauh lebih besar dan tulus sama gue. Maafin gue, Rik. Maafin gue baru jujur sekarang. Gue....gue.... cinta sama lo,” ujar Donna.
Donna memeluk Erik dari belakang dan menyandarkan kepalanya di punggung kekarnya. Erik perlahan tersenyum dan menyentuh tangan Donna.
“Jadi, mulai dari sekarang, kita akan bersama? Kita tidak akan pernah berpisah lagi, ‘kan?” tanya Donna.
“Ya, kita akan bersama mulai saat ini. Tidak akan ada yang menghalangi kita lagi untuk bersama. Aku yakin itu,” ujar Erik. Kemudian ia berbalik badan dan menatap Donna.
Erik perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Donna. Meski ragu, Donna segera menutup kedua matanya.
“Ini, kopi.....nya....” masuklah sekretasrisnya mengacaukan suasana mereka. Donna mendorong Erik yang belum sempat menciumnya. Donna benar-benar malu dan salah tingkah. Sementara Erik berpura-pura merapihkan rambutnya di cermin yang menempel di dinding.
Sekretaris itu menatap Donna penuh kecurigaan, namun Donna justru balik memelototinya.
“Jangan salah paham! Kopinya cepat taruh di meja saya, lalu kembali lagi bekerja!” suruh Donna.
“Ba...baiklah....” sekretaris itu menaruh dua gelas kopi di atas meja dengan tangan bergetar.
“Kenapa dengan tanganmu?” tanya Donna.
“Ti...tidak...nyonya. A...aku kedinginan,” jawab sekretarisnya berbohong.
“Untuk kejadian yang baru saja kamu lihat....”
“Itu sungguhan,” Erik mengabil alih perkataan Donna. Donna yang tidak terima langsung memelototi Erik, namun Erik tidak peduli.
“Kami berdua saling mencintai. Kamu harus tahu agar tidak timbul kesalah pahaman. Aku lihat kamu tipe orang yang besar mulut. Suka membicarakan orang lain, alias bergosip! Benar begitu?” selidik Erik.
“I...iya, saya akui. Maafkan saya....maafkan saya...” sekretaris itu hendak pergi, namun dicegah oleh Erik.
“Tutup mulutmu tentang kejadian ini. Jangan ada yang tahu jika kami, aku dan CEO Donna menjalin hubungan kekasih. Mengerti!?” ujar Erik.
“Mengerti...mengerti sekali,” ujar sekretaris itu. Kemudian ia pergi.
Erik memandang Donna seraya tertawa. Donna ikut tertawa.
Cinta dan mimpi itu sangat jauh berbeda. Mimpi itu berdasarkan ilusi pikiran kita, dan cinta itu berdasarkan takdir. Aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Buktinya, aku dan Erik bisa kembali dipertemukan dan ditakdirkan untuk bersama. Kata lainnya, Erik adalah jodohku, takdirku yang sudah direncanakan oleh Tuhan. Sebelumnya aku mengabaikan perasaan cinta Erik padaku. Aku terlalu buta pada perasaan cintaku terhadap Andre yang pada akhirnya hanyalah sia-sia. Andre tetap akan menjadi kakakku. Tetapi Erik, dia dan aku sudah ditakdirkan untuk bersama. Aku mencintainya, sangat mencintainya.
000
1 Januari 2018
Masuklah suami Donna setelah satu jam yang lalu pergi keluar untuk membeli minuman untuk Donna. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Donna. Donna membalas senyum manis itu.
Dia suamiku. Suamiku yang sangat baik dan tulus mencintaiku. Aku juga tidak pernah menyangka bahwa pria ini adalah suamiku sekarang. Karena dulu kita selalu berbeda dalam segala hal. Berbeda pendapat, kesukaan, dan sebagainya. Tetapi perbedaan yang mencolok itu kami jadikan sebagai pondasi yang kokoh dalam membangun cinta. Cinta itu benar-benar aneh dan membingungkan. Tetapi, cinta juga manis dan..... manis.
“Erik! Suamiku!” teriak Donna.
“Apa? Mau memarahiku lagi?” tanya Erik masih merasa kesal.
“Ya enggak laaah. Aku justru mau minta maaf sama kamu atas kejadian yang tadi. Maaf ya?” Donna menggelitik dagu Erik dan memberikan kedipan genit kepadanya, persis yang selalu Erik tunjukkan kepadanya.
Erik membalas kedipan genit itu dan tertawa bersama-sama.
“Donna, istriku. Aku enggak akan pernah kehilangan kamu lagi,” ujar Erik.
“Iya, aku juga sama. Enggak mau terpisah lagi dari kamu kayak dulu,” ujar Donna.
~~~
17 September 2012
Pernikahan dua mempelan berlangsung sakral. Kedua pasangan bersalaman dengan tamu yang hadir ke acara pernikahan mereka. Mempelai wanita begitu cantik mengenakan pakaian Kebaya khas Sunda berwarna ungu muda, serasi dengan pakaian mempelai pria.
Di luar rumah, tergantung tulisan diantara janur kuning yang melambai inisial mereka berdua.
Donna & Erik
000
Yeeeeyyyhappy ending!! Selesai sudah perjalanan kisah mendebarkan dari 4 sahabat dengan si Donna ^^. Kalian suka gak sama cerita saya? Saya harap kalian bisa meninggalkan kesan dan pesan mengenai tulisan saya ini di kolom komentar^^
Wow 4 kepribadian?
Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAHAku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..