(Listen : Fatin - Jingga)
“Erik, bisa tidak kamu ikut ke ruangan saya sekarang?” Pak Dodi, dosen yang mengajar di salah satu mata kuliah mendatangi Erik ketika Erik bersama Joe dan Andre sedang makan siang di kantin.
“Bi..bisa, Pak. Memangnya ada apa, Pak?” tanya Erik kebingungan. Apa dia pernah melakukan kesalahan kepada dosennya ini? Apa nilainya ada yang kosong?
“Sudah, ikut saja saya!” ujar dosen itu seraya tersenyum. Kemudian ia pergi dari kantin, membuat Erik, Joe dan Andre bertanya-tanya.
Erik duduk kembali dan menghabiskan minuman jusnya yang tinggal seperempat bagian. Joe dan Andre memandangnya penuh tanda tanya.
“Jangan memandang gue kayak gitu! Gue juga gak tahu apa yang terjadi. Perasaan gue gak pernah ngelakuin hal yang salah, deh!” ujar Erik.
“Jangan-jangan, lo pernah ketahuan ngehamilin anaknya dia! Wah, bahaya lo, Rik! Mendingan lo cepet minggat!” heboh Joe dengan suara keras sehingga seluruh pandangan mata dikantin itu tertuju kepada mereka, terutama Erik.
“Sialan lo! Jangan asal ngomong gitu dong! Anak dia juga cowok semua!” Erik menoyor kepala Joe yang sembarangan bicara tanpa dipikir terlebih dahulu.
“Udah, lo datengin saja dia dulu. Siapa tahu ada kabar yang baik buat lo,” ujar Andre.
Erik mengangguk, “Oke, kalau begitu.”
000
Erik menemui dosennya di ruangan dosen. Erik nampaknya serius mendengarkan ucapan dari dosennya karena benar kata Andre, ini memang kabar yang baik untuk dirinya, juga kabar yang buruk yang membuatnya bingung. Erik terlihat berpikir sebentar, ia masih ragu harus memutuskan seperti apa.
“Jangan sia-siakan bakat kamu, Erik. Desain bangunan tiga dimensi buatan kamu sudah diakui oleh arsitektur dari Jerman dan mereka membutuhkan kamu untuk belajar dan bekerja dengan mereka disana,” ujar dosennya.
“Tapi, Pak.... Kalau begitu akan saya pertimbangkan terlebih dahulu matang-matang, Pak,” ujar Erik.
“Jangan lama-lama, ini kesempatan bagus untuk kamu, juga membawa nama baik kampus kita ini. Kamu akan menjadi arsitektur yang berkelas dunia tidak lama lagi. Kamu akan membanggakan nama Indonesia,” ujar Pak Dodi.
Erik mengangguk mengerti dan berpamitan untuk pergi dari hadapannya. Di luar ruangan, Erik nampak berpikir keras. Ia bingung harus memilih yang mana. 3 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Setelah lulus dari sana juga ia harus bekerjaa sama dengan orang-orang asing itu. Erik masih mempertimbangkan keputusan beasiswa itu sebelum mengajukan desainnya.
Erik bingung. Masalahnya, ia tidak ingin berpisah dari orang yang ia cintai. Donna. Ia juga harus mendapatkan hati Donna sebelum ia pergi, sebelum dirinya terlambat.
000
“Ngapain lo mau ikut sama gue? Gue enggak ngajak lo, tapi Mieke!” Andre menolak mentah-mentah permintaan Donna untuk ikut bersamanya makan malam di luar. Sekarang sudah pukul 18.30, sudah saatnya Andre untuk pergi.
“Sebentar saja kali! Gue juga mau makan malam bareng Sandi. Sekalian nunggu dia jemput gue. Boleh, doooong!!” Donna terus meminta kepada Andre, bahkan berkali-kali sudah memohon.
Andre mendesah kuat-kuat, “Ya udah! Dasar keras kepala!” Andre akhirnya luluh.
“Tapi awas, kalau lo sampai ngerusak suasana gue, gue enggak bakalan maafin lo seumur hidup gue!” ancam Andre.
“Iya, cerewet!” Donna mencibir kesal dan masuk ke dalam kamarnya untuk segera berdandan. Donna mendecak sebal setelah masuk ke dalam kamarnya.
“Apa? Dia ngancam gue jangan ngerusak suasananya dia? Cih!”
Donna segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sandi. Sekarang adalah saatnya yang paling tepat.
“San, lo udah standbye disana, ‘kan?” tanya Donna pelan, hampir berbisik.
“Iya, gue udah nunggu dia datang,” ujar Sandi.
“Bagus kalau begitu. Lo harus inget rencana lo buat ngegagalin rencana Mieke untuk datang menemui Andre, oke?” Donna memperingati Sandi sekali lagi.
“Don, lebih baik lo hentikan saja kalau rencana lo gagal,” ujar Sandi.
“Apa-apaan sih yang lo omongin itu? Lo gak yakin gue bakalan berhasil? Gue gak akan gagal, San!” ujar Donna yakin.
“Pokoknya cepat lo hentikan semuanya. Agar lo enggak terlanjur kecewa, dan itu hanya akan memperburuk keadaan saja,” ujar Sandi memperingati Donna sekali lagi.
Kesal, Donna buru-buru mengakhiri panggilan itu. Menyesal sekali Donna sudah menghubungi Sandi kalau begitu, jika hanya kata-kata tu yang diucapkan olehnya. Donna membanting ponselnya dan segera mengganti pakaian.
000
“Gue udah memperingati lo, Don. Gue enggak bakalan ngikuti rencana lo. Biar hati gue aja yang tanggung semuanya. Gue enggak mau ngehancurin persahabatan kita,” gumam Sandi.
Tak lama kemudian, datanglah Mieke dengan penampilan yang cantik. Mengenakan short dress polos berwarna merah muda yang cerah, lipstik yang merah tebal dan make-up yang tipis. Rambut di ikat kuda dengan hiasan bandu putih polos yang melingkar di puncak kepalanya. Benar-benar cantik dan anggun, berbeda sekali ketika berpenampilan di kampus. Cukup mengenakan make-up dan pakaian yang sederhana saja.
“Lama menunggu, ya?” Mieke menyadarkan lamunan Sandi yang terus menatap kepadanya.
“Ah, tidak sama sekali,” Sandi mengerjapkan matanya dan menjawab salah tingkah.
“Silahkan duduk,” Sandi mempersilahkannya untuk duduk.
“Kenapa tidak pesan makanan?” tanya Mieke.
Sandi menggeleng pelan, “Karena yang aku ingin katakan tidak banyak, jadi tidak memakan waktu yang lama.”
“Ya sudah, apa yang pengen kamu katakan sama aku? Pentingkah?” tanya Mieke penasaran.
Aku tidak akan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya. Cukup melihatnya senang bersama orang yang ia cintai, itu sudah cukup buatku.
“Andre, dia sangat suka sama kakak. Dia berkali-kali menceritakannya sama aku. Setiap kali dia bertemu dengan kakak, ataupun apapun yang terjadi, Andre selalu mengatakannya kepadaku. Cinta Andre itu begitu tulus. Kak, jangan sia-siakan dia. Sebelum terlambat dan akan ada sesuatu yang menghalangi kalian berdua, kalian segeralah bersama,” ujar Sandi tulus.
Mieke menatap manik mata Sandi yang berkaca-kaca sekilas, kemudian tersenyum.
“Terima kasih sudah mendukungku. Aku juga menyesal sudah menolak perasaannya dulu. Iya, kamu benar. Sebelum semuanya terlambat. Masalahnya, sekarang ada seseorang yang berniat menghalangi kami berdua,” ujar Mieke.
“Apa orang itu Donna?”
“Kamu sudah tahu?”
“Karena aku sudah tahu perasaan Donna kepada Andre sejak dulu. Sekarang, karena Andre terbukti bukan kakak kandungnya, niat Donna untuk memiliki Andre sangat tinggi dan yakin. Padahal Andre sama sekali tidak menganggap Donna lebih dari saudaranya sendiri. Kakak, sebelum Donna semakin keterlaluan, cepat lakukan sesuatu. Hentikan Donna,” ujar Samdi tulus.
000
Andre dan Donna memakan fancake vanilla yang sama dengan sus strawaberry diatasnya. Krim vanilla yang lembut itu meleleh sempurna dimulut Donna. Ditambah dengan suasana cafe yang sangat romantis dan nyaman. Donna sangat iri kepada Andre yang selalu datang ke tempat ini bersama Mieke. Andai Andre tahu perasaannya, atau, andai Andre sejak dulu bukan kakaknya, Donna sejak dulu pasti sudah merasakan betapa senangnya berdua dengan Andre ditempat seromantis ini.
Donna menatap Andre penuh kesedihan dan kekecewaan. Tangannya yang memegang garpu hanya mengetuk-ngetukkannya ke piring alas fancake. Andre berhenti sebentar dan menatap Donna yang bersikap seperti itu.
“Kenapa lo? Enggak suka makanannya? Mau pesan yang lain?” tanya Andre.
“Enggak. Gue enggak mau makan apa-apa selain ini. Gue iri banget sama Mieke yang setiap saat selalu bersama lo ke tempat ini. Tempat ini nyaman dan romantis. Gue iri banget,” gumam Donna.
“Kan lo juga bisa ngajak Sandi, Erik atau Joe ke tempat ini kalau lo mau. Lo punya uang? Tempat ini mahal banget loh. Bahkan sepotong kue yang lo makan itu harganya bikin duit gue bokek!” protes Andre.
“Lo ini bodoh atau pura-pura enggak tahu, sih!? Ya ampun, gue kecewa banget!” Donna mendesah frustasi karena ucapannya sama sekali tidak peka bagi Andre.
“Emang maksud lo apa, sih? Jangan ngomong bertele-tele gitu dong! Langsung saja pada intinya!”
Donna menggebrak meja karena tidak tahan. Ia menyiram Andre dengan kasar menggunakan jus mangga yang sejak tadi Donna tidak sentuh. Donna benar-benar kesal karena Andre begitu mengecewakan.
“Apa-apan sih lo!!” Andre membentak Donna, berdiri menatap Donna tajam.
“Gue kesal sama lo! Lo memang cowok yang bodoh dan sangat tidak mengerti perasaan orang lain!” teriak Donna.
Semua orang di cafe itu memandang ke arah mereka. Andre mendengus kesal dan menarik Donna keluar dari sana menuju keluar. Andre membanting Donna ke tembok dan menguncinya dengan kedua tangannya.
“Sebenarnya apa yang lo rasain saat ini? Lo marah? Lo kesel? Jangan lampiasin sama orang lain kayak gitu!” ujar Andre.
Donna mendorong Andre dan menangis terisak, “Lo bukan kakak gue sekarang! Lo bukan kakak gue yang sejak kecil gue hormatin. Sekarang lo bukan kakak gue, makanya gue berhak ngelakuin apapun sama lo. Gue udah berani sama lo, karena lo bukan kakak gue!!”
Andre menampar Donna untuk menenangkannya, Donna balik menampar wajah Andre keras karena tidak terima. Andre terdiam dan memegang pipinya yang sakit.
“Lo enggak akan mengerti perasaan gue! Lo enggak pernah bisa mengerti perasaan gue yang sesungguhnya! Gue kecewa sama lo! Kenapa di hati lo cuma ada Mieke, Mieke, dan Mieke, hah?! Apa dihati lo sama sekali enggak ada gue? Gue suka sama lo! Gue sangat suka sama lo! Gue suka sejak dulu, sejak lo masih kakak gue! Gue gila saat ngerasain kenapa gue cinta sama kakak gue sendiri! Gue dulu gila, gue rasa mau mati saat itu! Saat gue tahu lo bukan kakak gue, gue pengen lo jadi milik gue! Kenapa di hati lo sama sekali enggak ada gue? Kenapa?!” Donna benar-benar melampiaskan perasaannya saat itu juga.
Andre segera memeluk Donna dan membiarkan ia menangis dipelukannya. Kata-kata Donna barusan benar-benar menampar keras perasaannya. Ia benar-benar tidak peka kepada perasaan Donna, tingkah menjengkelkannya, tingkah konyolnya, dan semuanya. Semua itu ditunjukkan kepadanya. Ia harus melakukan apa? Hatinya selalu tertuju kepada Mieke, dan selalu Mieke. Sedangkan Donna hanyaah adik perempuannya saja. Baginya itu sudah cukup. Seorang Ibu, dan seorang adik perempuan.
“Bagi gue, punya lo sama Ibu sudah cukup buat gue. Gue enggak mau kehilangan lo ataupun Ibu. Karena kalian semua adalah keluarga utama gue. Lihat, gue sama sekali enggak punya siapa-siapa. Gue cuma punya lo sama Ibu. Lo adalah adik perempuan gue yang bawel dan menjengkelkan. Hubungan kita enggak akan pernah berubah menjadi lebih dari itu. Kita tumbuh dan hidup bersama di satu atap. Lo udah akrab sebagai adik gue saja, itu sudah cukup,” ujar Andre pelan.
“Lo kejam! Lo benar-benar kejam!” Donna memukul punggung Andre keras dan menangis sekencang mungkin.
“Iya, gue kejam. Makanya gue enggak pernah mengerti perasaan lo. Iya, gue sangat kejam,” ujar Andre.
“Apa daya tarik gue sekecil itu dimata lo? Kenapa lo sama sekali enggak ngelirik gue sebagai cewek lo, dan hanya sebatas adik lo?”
“Karena kita satu atap, kita mempunyai satu Ibu. Kita tidak akan pernah berhubungan lebih dari itu. Karena kita keluarga,” ujar Andre.
Amarah Donna mencuat. Keluarga? Satu atap? Satu Ibu? Kenapa alasan itu sangat klise dan tidak masuk akal? Bukankah kenyataan juga berkata, Andre bukanlah bagian dari keluarganya? Donna kesal dan geram. Mieke, ini semua gara-gara dia. Karena wanita itu, mata hati tertutup kepadanya.
“Semua ini gara-gara wanita itu! Apa kalau dia mati, aku akan dapatkan Andre? Iya, kecuali kalau dia mati! Mati!!”
000
Sandi menemui Erik untuk mengatakan semuanya tentang yang dialami Donna. Karena Erik berhak tahu, sebagai orang yang menyukai Donna. Erik sudah tiba disebuah cafe kopi beberapa menit yang lalu.
“Rik, gue sebenarnya mau ngomongin soal Donna. Lo sudah tahu kalau Donna selama ini hanya suka sama Andre, ‘kan? Karena dia bukan kakak kandungnya, Donna semakin gencar untuk mendapatkannya,” ujar Sandi.
“Iya, gue juga sudah tahu,” jawab Erik pelan.
“Maka dari itu, sebelum Donna menyesal dan menjadi korban, cepet hentikan dia bagaimanapun caranya. Sekeras apapun dia mencoba mendapatkan Andre, Andre hanya menganggap Donna sebagai adiknya, keluarganya saja,” ujar Sandi.
Erik menggeleng lemah dan mendesah, “Gue gak yakin bisa dapetin hati Donna.”
“Kenapa enggak yakin? Bukankah lo suka sama Donna?” tanya Sandi.
“Iya, gue suka sama dia. Tapi....masalahnya....apakah gue bisa secepat itu mendapatkan hati Donna dalam waktu yang cepat? Apa gue bisa menjaganya? Gue enggak tahu,” Erik menggeleng kuat dan menyeruput sedikit demi sedikit kopi panasnya.
“Apa yang lo pikirin saat ini? Lo berkata seolah lo bakalan pergi jauh. Apa gue benar?” tanya Sandi.
Erik mendesah dan tersenyum tipis, “Kampus sudah mengajukan gue buat ikut beasiswa ke Jerman. Desain gue diterima sama arsitektur dari Jerman dan dia minta gue kuliah dan kerja disana.”
“Apa lo bilang? Lo bakalan pergi jauh? Terus, yang lainnya sudah tahu kabar ini?”
“Enggak kecuali lo. Gue belum beritahu mereka. Makanya, gue bingung harus bagaimana. Baik Donna dan beasiswa itu, semuanya sangat berarti buat gue. Beasiswa itu keinginan gue sejak dulu. Cita-cita gue. Kenapa kedua masalah itu datang disaat yang tidak tepat?” Erik tertawa getir dan menyeruput kopinya lagi.
“Kapan lo harus memutuskan keputusan lo?”
“Tujuh hari lagi. Gue diberi waktu tujuh hari buat memutuskan. Dan setelah memutuskan, gue akan pergi. Haruskah gue tolak beasiswa itu?” tanya Erik.
“Cita-cita lo harus kandas hanya karena cinta? Jangan berpikir konyol! Cinta seseorang bisa dikejar meski waktu memisahkan kalian. Sebaiknya, menurut gue, lo terima beasiswa itu dan belajar disana. Cinta lo....lebih baik kejar aja semampu lo. Kalau pun lo ditolak, itu sudah biasa. Donna? Biar dia nyari orang lain lagi dan lo juga harus nyari wanita lain. Karena jarak yang jauh tidak akan membuat hubungan seseorang benar,” ujar Sandi.
Erik nampak berpikir keras. Mencerna ucapan Sandi yang benar. Bagaimanapun, ia harus merelakan salah satu dari kedua itu.
000
1 Februari 2002
Kampus akan mengadakan kemah bersama di gunung antar jurusan. Kegiatan diikuti dengan antusias oleh peserta dari tiap jurusan. Kemah ini dalam rangka meningkatkan hubungan silaturahmi sesama mahasiswa. Salah satu yang mengikuti perkemahan ini adalah Mieke. Terlihat juga Erik, Joe dan Sandi mengikuti kegiatan ini.
Erik, Joe dan Sandi sedang membangun tenda untuk mereka. Mereka melakukannya dengan penuh kegembiraan dan canda. Tak jarang dari mereka yang bersenda gurau sehingga saling kejar-mengejar. Sayang sekali, perkemahan ini hanya dilakukan hari ini, karena besok juga mereka akan pulang kembali.
“Sayang sekali Andre enggak ikut. Pasti kalau kompak begini akan seru!” ujar Joe.
“Benar. Apaagi Mieke juga ikut ke perkemahan. Sayang sekali dia enggak ikut,” Erik menimpali.
Sandi tidak berkata apa-apa. Sandi melihat ke arah Mieke dan teman-temannya yang sibuk membangun tenda. Perlahan senyuman Sandi mengembang. Ia senang Mieke ada disini.
Hari sudah semakin sore. Setelah kegiatan membangun tenda, kini ada kegiatan mencari kayu bakar untuk membuat api unggun tepat di malam puncak acara. Peserta kemah sangat antusias dan ceria. Tidak terlihat ada gurat kelelahan diwajah mereka. Mereka saling bersenda gurau, bermain dan mengobrol dengan teman-teman yang bukan satu jurusan dengan mereka.
Erik, Joe dan Sandi masuk ke dalam hutan untuk memulai mencari kayu bakar. Sebenarnya tidak sulit mencari kayu bakar, karena suasana masih terang dan belum terlalu gelap.
“Rik, bukankah tiga hari lagi lo harus memutuskan keputusan lo?” tanya Sandi memecah keheningan.
Erik tidak menjawab dan hanya mengangguk lema. Beberapa hari yang lalu, Erik sudah memberitahu kepada semuanya tentang beasiswa yang ia dapatkan dan semuanya mendukung itu. Justru Erik malah semakin bingung, terutama dengan perasaannya. Erik belum mendapatkan jawaban atas masalahnya. Keputusan sudah harus dicetuskan beberapa hari lagi.
“Enggak perlu banyak pertimbangan, Rik! Lo terima saja! Donna, urusan dia gampang. Lo tinggal temui dia untuk yang terakhir kali, lalu ungkapin perasaan lo sekali lagi sama dia,” ujar Joe.
“Gue setuju sama Joe,” Sandi menimpali.
“Gue enggak tahu harus gimana....” gumam Erik.
“Erik, beasiswa itu udah ada ditangan lo! Lo udah enggak perlu nyari kesana-kemari lagi buat dapetin beasiswa itu. Kalau lo nolak itu, lo benar-benar keterlaluan. Sia-sia aja dong ilmu yang lo dapetin selama kuliah!” ujar Joe.
“Iya, gue tahu itu! Cerewet!” Erik kesal, karena ia juga tengah bingung harus bagaimana.
“Nah, sekarang lo telepon dosen lo itu. Bilang sekarang kalau lo nerima beasiswa itu!” ujar Joe terus meyakinkan Erik. Erik ragu, bahkan sekedar memegang ponselnya saja ia tak mampu. Tidak tahan, Joe merebut ponselnya dan menghubungi dosen Erik pada saat di kantin.
Erik mencoba protes, namun di cegah oleh Joe dan Sandi. Erik mendaratkan ponselnya di telinganya. Nada sambung masih terdengar.
“Halo?” suara sang dosen. Erik terkejut sejenak namun kembali bersikap biasa.
“Oh, halo Pak. Saya Erik. Maaf mengganggu Bapak,” ujar Erik.
“Tidak masalah, tidak masalah. Ada apa? Apa kamu sudah memutuskannya? Hari ini terakhirnya keputusan itu dibuat. Apa jawabanmu?”
“Jadi....” Erik melihat kedua temannya bersamaan. Terlihat tatapan mereka yang begitu meyakinkan dan amat mendukungnya untuk menerima beasiswa itu.
“Saya akan menerima beasiswa itu, Pak.”
Sandi dan Joe saling berpelukan, bahagia dengan keputusan Erik.
“Baikah, kamu sudah memilih keputusan yang benar. Sayang sekali bakat kamu kalau beasiswa itu dilepas begitu saja. Kamu sudah mempersiapkan semacamnya, ‘kan? Izin orang tua, pakaian yang sudah di kemas, dan lain-lain? Empat hari agi kamu akan berangkat,” ujar dosen.
“Empat hari lagi? Sedekat itukah waktunya?” Erik menatap Joe dan Sandi. Mereka berdua juga terkejut mendengarnya. Empat hari lagi mereka akan berpisah.
000
Disaat yang sama, Mieke juga tengah mencari kayu bakar ke dalam hutan seorang diri. Menaiki bukit yang terjal dan hanya beralaskan batu yang besar. Mieke sengaja terpisah dari teman-temannya, karena ia membutuhkan waktu sendiri untuk menjernihkan pikirannya.
Mieke berhenti sebentar dan duduk di batang pohon tua yang termakan usia. Ia menghadap ke arah Barat, ke arah matahari terbenam. Menghembuskan nafas dan menarik nafas dalam-dalam. Sunyi, itu suasana yang ia butuhkan.
Sreekkk...sreek...
Mieke mendengar suara semak-semak bergesekan dengan sesuatu. Seperti ada seseorang yang menuju ke arahnya. Tepat dari arah belakangnya. Perasaan Mieke jadi tidak enak.
“Tidak, tidak mungkin. Itu cuma perasaanku saja. Mungkin angin yang menggesek semak-semak,” gumam Mieke.
Tetapi setelah diingat-ingat, mana mungkin angin bergesekan dengan semak-semak, sedangkan anginpun tak berhembus. Bunyi itu terdengar lagi dan sekarang semakin kencang dan dekat. Mieke mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Tidak ada siapa-apa selain dirinya. Tiba-tiba ia merasa dirinya sedang diawasi tak jauh darinya. Ada sepasang mata yang mengawasinya dari dekat.
“Aku harus segera pergi,” ujar Mieke.
Mieke hendak menuruni bukit berbatu. Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongnya dari belakang.
“Aaaaaaaaaaaaaahhh!!!!!”
Refleks, Mieke memegang tangan seseorang itu. Alhasil, baik dirinya atau orang yang mendorongnyapun ikut terjun ke bawah dan menggelinding. Membentur batu yang keras dan tajam, merekapun tidak sadar dan penuh luka.
Orang yang mendorong Miekelah yang paling terluka. Kepalanya berdarah dan terluka hebat. Dia adalah....Donna.
000
Malam hari, ketika saatnya makan malam, ada salah seorang mahasiswa yang heboh menemui ketua acara dan melaporkan bahwa ada dua orang yang belum kembali sejak sore. Semua orang menjadi heboh dan tegang, termasuk Erik, Joe dan Sandi.
“Ada dua orang yang belum kembali hingga saat ini? Siapa kira-kira?” tanya Joe.
“Gak tahu, tapi ayo kita cari tahu siapa yang hilang,” usul Sandi.
Terdengar nama Mieke dan Donna, dua orang yang hilang tersebut. Semua orang sudah memastikan kedua orang itu adalah Mieke dan Donna. Itu membuat Erik, Joe dan Sandi terkejut.
“Apa? Mieke sama Donna?! Jangan-jangan....” Sandi mendapatkan firasat yang buruk.
“Jangan-jangan apa?” tanya Erik.
“Jangan-jangan inilah saatnya yang tepat untuk membalaskan dendamnya kepada Mieke!” ujar Sandi.
“Apa?!!”
000
Erik, Sandi dan Joe mencari Mieke dan Donna ke dalam hutan dengan alat penerangan yang seadanya. Semua orang juga turut mencari. Erik sangat mencemaskan Donna. Begitupula Sandi yang mencemaskan Mieke.
“Mieke!!!”
“Donna!!”
“Donna!! Dimana lo!?”
“Donna, Mieke!!”
Sekencang apapun mereka berteriak, tak terdengar jawaban apapun dari mereka. Mereka bertiga sudah semakin frustasi. Jangan sampai mereka berdua menghilang.
Malam semakin tinggi. Sudah satu jam lebih mereka mencari Mieke dan Donna. Sandi, Joe dan Erik naik ke sebuah bukit berbatu yang terjal dan tajam. Jalanan licin karena gerimis hujan sudah mulai membasahi jalan.
“Donna!! Mieke!! Dimana kalian!!”
“Donna!!”
“Mieke!!”
“Jawab suara kami!! Kalian dimana?!”
Erik frustasi dan memukul tangannya ke batang pohon.
“Sial! Mereka dimana? Gimana kalau terjadi sesuatu dengan Donna dan Mieke?”
“Yakinlah bahwa mereka baik-baik saja!” ujar Sandi.
“Donna!!”
“Mieke!! Jawablah!!”
“Di...disini...!”
Terdengar suara lirihan seseorang tak jauh dari mereka saat ini. Suara itu sangat lemah, namun bisa terdengar oleh mereka. Mereka tidak salah dengar.
“Mieke? Dimana kamu?! Jawab kami!!” teriak Joe.
“Itu suara Mieke? Mieke, jawab kami!! Dimana kamu!?” teriak Sandi juga.
“Disini, dibawah sini! Dibawah bukit!” jawabnya.
Erik dan Sandi menyoroti ke arah bawah, sehingga mereka menemukan seseorang sedang memegang kepalanya yang berdarah. Mieke. Dia ditemukan! Tetapi, Mieke tidak sendirian, ia bersama Donna! Donna tergeletak tak sadarkan diri dengan luka yang parah.
“I...itu Mieke sama Donna!” ujar Joe.
“Tunggu kami, kami akan turun kesana!”
Erik, Sandi dan Joe menuruni bukit berbatu dan segera menghampiri mereka berdua. Erik langsung memeluk Donna dan memeriksa keadaannya.
“Dia masih hidup!” ujar Erik.
“Mieke, kamu enggak apa-apa?” tanya Sandi.
“Kepalaku...sakit...” lirih Mieke.
“Kepalanya berdarah dan terluka. Cepat, kita bawa Mieke dan Donna untuk segera mendapatkan perawatan!” ujar Joe.
“Donna. Donna. Sadarlah!” Erik terlihat cemas dan berkali-kali menyadarkan Donna.
“Erik, apa yang terjadi denga Donna?” tanya Sandi kepada Mieke. Mieke tak menjawab pertanyaan Sandi.
“Donna, Donna!!” Erik berusaha menyadarkan Donna. Donna tak kunjung membuka matanya. Detak jantungnya semakin lemah dan tipis. Erik menggenggam pergelangan tangan Donna untuk merasakan denyut nadinya. Denyut nadinya semakin tipis.
“Donna, bertahan! Bertahanlah!!” teriak Erik.
Erik menggendong Donna dan segera mencari jalan keluar untuk keluar dari hutan. Kecemasan Erik meningkat tatkala tangan Donna semakin lemah dan seakan mati.
000
Syukurlah, didaerah sana terdapat jalan menuju ke kota. Sehingga ambulance segera membawa Donna dan Mieke didalamnya. Sekarang mereka menuju ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
Donna diberi tabung oksigen karena keadaannya semakin parah. Detak jantungnya semakin lemah ditambah darah yang terus mengalir tanpa henti. Erik tidak berhenti memegang tangannya disampingnya. Erik sudah sekuat tenaga berdoa untuk keselamatan Donna. Ia tidak ingin Donna pergi meninggalkannya.
Sementara itu, Mieke mendapatkan perawatan biasa karena ia hanya mendapatkan luka yang ringan, tidak seberat yang didapatkan oleh Donna. Mieke menatap Donna disampingnya.
“Kenapa kamu melakukan itu? Seharusnya kamu biarkan aku mati saja, bukan membahayakan kamu,” gumam Mieke.
“Apa yang kakak katakan? Donna, apa?” tanya Sandi.
“Seharusnya Donna membiarkaku mati saja. Dia yang ingin membunuhku kenapa justru dia yang terluka? Setelah dia mendorongku, aku langsung memegang tangannya untuk mencari pegangan. Donna tertarik olehku dan ikut terjatuh bersamaku. Tetapi, Donna justru menggenggam tanganku dan menghentikanku untuk tidak terjatuh. Sementara dirinya terus menggelinding ke bawah tak peduli batu itu setajam apa. Donna...Donna menyelamatkanku...” Mieke menangis menyesal kepada Donna.
“Donna tidak mungkin melakukan hal sekejam itu. Aku yakin, Donna sadar saat itu juga dan menyesali perbuatannya,” ujar Sandi.
Mobil ambulance telah sampai di rumah sakit. Donna dibawa menuju ke ruang UGD untuk melakukan pertolongan yang intensif. Erik dan Joe menunggu Donna diluar ruangan dengan penuh kecemasan. Sementra itu Mieke dan Sandi berada di ruang perawatan untuk membalut luka di kepala Mieke.
Dua jam Erik dan Joe menunggu. Joe memeluk Erik karena sejak tadi Erik tak berhenti menangis dan mencemaskannya.
“Erik, tenanglah. Donna akan selamat. Percaya sama gue,” ujar Joe.
“Gimana gue bisa pergi ke negara lain jika keadaannya seperti ini? Gue enggak mau pergi. Gue mau ngejaga Donna, itu saja!”
“Jangan bicara seperti itu! Jangan sia-siakan kesempatan bagus ini! Lo tetap harus pergi! Biar gue, Sandi, Nana dan Andre yang menjaga Donna demi lo. Percaya sama kami!” ujar Joe.
Dokter yang menangani Donna sudah menyelesaikan tugasnya dan sekarang ia sudah keluar dari sana. Erik dan Joe segera menemui dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan Donna, Dok? Dia tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Erik.
“Syukurlah, dia tidak apa-apa. Donna hanya mendapatkan benturan yang tidak terlalu berbahaya pada kepalanya. Tenang saja, Donna akan selamat,” ujar Dokter. Itu membuat Erik lega dan bahagia. Erik merosot ke lantai dan menangis lega.
“Syukurlah....syukurlah dia tidak apa-apa...”
000
Selama sisa hari menuju kepergiannya, Erik selalu menjaga Donna seharian bahkan menolak untuk pulang ke rumah. Donna sudah dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Erik berkali-kali sudah dibujuk oleh Joe atau Sandi untuk segera mempersiapkan keberangkatannya.
“Iya, nanti gue siapin malam hari,” ujar Erik.
“Malam hari apanya! Lo harus segera menyelesaikan administrasi lo dan berkas-berkas lainnya ke kampus! Beberapa hari lagi lo akan segera berangkat! Jangan ditunda-tunda seperti itu!!” ujar Sandi mendorong Erik untuk segera melakukannya.
Erik bangkit dari duduknya, kemudian menatap Donna sekilas dan menepuk bahu Sandi pelan.
“Tolong jagain Donna buat gue sampai hari keberangkatan gue, ya?” pinta Erik.
“Iya, akan gue lakuin. Lo harus pergi dengan tenang ke sana. Belajar dan mengejar cita-cita lo disana,” ujar Sandi.
“Baik,” jawab Erik.
000
5 Februari 2002, hari-H keberangkatan
Donna masih belum juga sadar, sedangkan dirinya sudah harus segera pergi. Erik menatap Donna penuh kecemasan. Erik ragu untuk segera pergi. Ada tekanan yang menahan hatinya untuk beranjak pergi dari sana. Masuklah Andre, Nana dan Ibu Donna menemui Erik.
“Nak Erik, sekarang sudah saatnya kamu untuk pergi. Mobil dari kampus sudah jemput kamu kesini dan menyuruhmu untuk segera turun,” ujar Ibu Donna.
“Rik, kami bisa jagain Donna demi lo sampai lo kembali dari Jerman. Percaya sama kami,” ujar Nana.
“Jangan sia-siakan kesempatan ini, Rik. Jangan karena demi cinta lo sampai menyia-nyiakan kesempatan bagus ini. Lo harus pergi sekarang juga. Kita akan merawat Donna dengan baik,” ujar Andre juga.
Erik tersenyum tipis, ada gurat kesedihan dibalik matanya.
“Iya, gue akan pergi,” ujar Erik.
Kemudian Erik menggenggam tangan Donna dan mengecupnya sekilas. Erik menyeka rambut yang menutupi permukaan wajah Donna yang tertidur pulas. Erik tidak tega melihat keadaan Donna yang masih seperti ini.
“Don, selama gue pergi, gue mohon jangan lupain gue. Cuma lo satu-satunya alasan gue untuk pergi mengejar cita-cita gue. Gue harap, saat gue udah pulang, kita berdua akan bersama dan menjalin hubungan yang lebih dari kata teman. Don, gue cinta banget sama lo. Gue sayang sama lo. Gue tulus suka sama lo,” ujar Erik.
Erik mengecup keningnya lembut. Air mata Erik meleleh dan menetes ke wajah Donna. Erik melepaskan ciumannya yang singkat dan menatap Donna, kemudian beralih kepada Andre, Nana dan Ibu Donna.
“Ibu, Nana, Andre, aku berangkat sekarang. Tolong, jaga Donna sebaik mungkin hingga aku kembali. Aku akan kembali lagi dalam lima tahun dari sekarang,” ujar Erik.
Ibu mengangguk, diikuti oleh Andre dan Nana. Erik tersenyum bahagia. Ia bisa merelakan kepergiannya tanpa ada beban yang berat di hatinya. Juga bisa meninggalkan Donna.
Erik keluar dari kamar rawat Donna dan menatap mereka bertiga untuk berpamitan.
“Aku berangkat, Ibu, Dre, Na. Selamat tinggal. Semoga kita bertemu lagi,” ujar Erik. Erik perlahan berjalan dan menjauh dari pandangan mereka. Terlihat mereka melambaikan tangan ke arahnya. Erik tersenyum tulus dan membalas lambaian mereka.
Aku akan pergi. Pergi dalam waktu yang lama. Semoga perasaanku tidak akan pernah tergantikan dari sosok wanita itu. Donna, tunggu aku. Aku akan kembali dan menjemput kamu.
000
1 Januari 2018
Donna dibawa ke rumah sakit. Meski ia tidak terluka, dan hanya tidak sadarkan diri, tetapi kekhawatiran muncul di wajah mereka berempat.
“Moga kamu gak kenapa-kenapa,” ujar Erik sambil menggenggam tangan Donna. Bahkan sepasang cincin bermotif sama melingkar di jari mereka berdua.
“Gue takut lo berubah lagi kayak dulu,” Joe juga tak kalah erat menggenggam tangan Donna. Bahkan Joe menangis.
Donna sudah masuk ke dalam UGD bersama Sandi dan dokter yang lain. Nana, Andre, Joe dan Erik duduk di tempat duduk yang tersedia di sana. Andre mendesah, diikuti Nana.
Joe memeluk Erik dan menenangkannya.
“Sabar, Rik. Istri lo enggak akan kenapa-kenapa. Dia akan baik-baik saja,” ujar Joe.
Erik mengangguk mengiyakan.
~~
Andre memukul kepalanya pelan. Ia bingung harus melakukan apa, sementara seseorang terluka di dalam sana. Donna. Saat keadaan sedang genting, seseorang memanggilnya dari ujung lorong.
“Andre!!” teriak wanita itu.
Andre tidak mendengar panggilan itu kepadanya. Ia sibuk berkomat-kamit dengan mata terpejam. Yang melihat wanita itu adalah Erik. Erik melambai kepadanya menyuruhnya segera kesini.
Wanita itu, Mieke, berlari menghampiri mereka semua dengan air mata yang berlinang. Ia menghampiri Andre dan memeluknya.
“Bagaimana ini? Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Jangan khawatir, Kak, Donna akan baik-baik saja,” ujar Nana menenangkan Mieke.
“Adik iparku akan baik-baik saja, kan? Dia akan selamat, kan?” Mieke masih cemas dan masih memeluk tubuh Andre yang masih berkomat-kamit memanjatkan doa.
Tidak lama kemudian, Ibu Donna tiba di rumah sakit setelah sebelumnya di hubungi oleh Erik tentang Donna.
“Donna, anakku. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi lagi kepadanya?” tangis Ibu Donna.
Erik memeluk Ibu Donna untuk menenangkan diri Ibu Donna.
“Ibu, jangan cemas, Donna akan baik-baik saja. Saat ini ia sedang diperiksa oleh dokter di dalam,” ujar Erik.
“Kamu suami yang baik dan selalu menyayangi Donna apapun yang terjadi,” ujar Ibu Donna tulus.
“Iya, Erik sangat mencintai istrinya,” Mieke setuju dengan ucapan Ibu Donna, sekaligus Ibu mertuanya.
Mieke dan Andre menikah tiga tahun yang lalu dan sudah memiliki momongan yang masih berusia 1 tahun.
~~~
Dokter yang menangani Donna keluar dari ruangan dan menghampiri Ibu Donna dan yang lainnya.
“Dokter, bagaimana keadaan anakku, Dok?” tanya Ibu.
“Pasien tidak mengalami luka yang fatal. Hanya saja, karena benturan itu, aku rasa ada kemungkinan Donna kembali seperti 7 tahun yang lalu,” ujar Dokter.
“Apa?!!” semua orang terkejut mendengarnya.
“Dokter, maksud Dokter, adik iparku akan kembali seperti dulu? Mempunyai empat karakter yang berbeda?” tanya Mieke.
“Lebih dari itu. Bisa saja lima hingga enam karakter,” jawab Dokter dengan yakin.
“Apa??!! Aku tidak bisa menerima ini! Dia akan bertambah karakter maksudnya? Berarti akan ada dua pria lagi yang akan muncul dan mengacaukan semua ini!” celetuk Joe, sehingga mendapatkan pukulan keras di kepalanya dari Nana. Semua orang memelototinya. Joe hanya menunduk seperti anak anjing yang habis di marahi majikannya.
“Sayang!!” teriak Donna dari dalam. Sepertinya ia sudah sadar.
“Ah, pasien sudah sadar. Sepertinya ia ingin bertemu dengan suaminya. Siapa diantara ke empat pria ini yang merupakan suaminya?” tanya Dokter seraya menatap ke empat pria secara bergantian.
“Akulah suaminya,” ujar Erik seraya mengacungkan tangan. Di punggung tangannya ada sebuah bekas luka yang menggaris panjang.
~~~
“Don, kamu enggak apa-apa, ‘kan? Apa yang sakit? Pantat? Kepala?” ujar Erik sambil meraba-raba tubuh Donna penuh kekhawatiran.
“Jangan sentuh pantat gue!!!” Donna menjambak rambut Erik dan menampar wajahnya dengan keras.
Semua orang memandang miris menyaksikan perdebatan yang selalu terjadi pada pasangan suami istri ini. Pria itu sendiri masih shock setelah mendapatkan perlakuan secara tiba-tiba ini. Istrinya tega menjambak rambut dan menampar dirinya? Kepada suaminya sendiri? Sungguh luar biasa.
“Lo Donna, ‘kan? Atau lo bukan Donna? Kenapa lo jambak dan tampar gue?” tanya Erik dingin dan kesal. Donna masih menunjukkan wajah kesal kepadanya.
“Wah, waah...! Suami istri tak terduga ini memang terlihat lucu kalau lagi bertengkar,” ledek Joe dengan smirk smilenya.
“DIAM LO!!!” amuk mereka berdua memarahi Joe. Joe yang terkena semprotan itu ketakutan dan langsung berpura-pura menyisir rambutnya.
~~~
Sandi menunggu seseorang yang sedang mengambil kopi di lorong depan rumah sakit. Yang sedang ditunggu sudah pergi selama enam menit yang lalu dan sampai ini belum juga kembali.
“Ah, maaf menuggu lama.”
Mieke datang dengan dua gelas kopi hitam ditangannya. Ia tersenyum manis, lebih manis dari gula. Sandi menyukai gurat senyum pada wajah cantik Mieke. Itu mampu membuat jantungnya meledak dalam waktu sekejap.
Mieke menyerahkan satu gelas kopi kepada Sandi. Sandi menerimanya dan segera menyuruh Mieke untuk duduk disampingnya. Mieke menyandarkan kepalanya di bahu Sandi.
“Rasanya hangat,” ujar Mieke.
“Apa yang hangat? Kopi?” tanya Sandi.
“Kamu. Kamu sangat hangat kalau ada dipelukanku,” ujar Mieke.
“Sudah lima tahun kita bersama. Kita sudah menikmati kerasnya hubungan jarak jauh selama beberapa lama. Tapi kamu tetap setia dan begitu sabar menantiku,” ujar Mieke.
Sandi tidak mengomentari apa-apa.
Mereka terdiam cukup lama. Sandi perlahan menyeruput kopi apricot hangat dalam keheningan. Namun senyumnya tak juga pudar dari wajah tampannya.
“Sayang,” panggil Mieke.
“Hm?” sahut Sandi
“Untuk ajakanmu beberapa hari yang lalu, aku menjawab ‘ya’,” ujar Mieke.
“Sayang! Sayang! Iya, iya! Apa-apaan itu!” datanglah Andre menghancurkan suasana mereka.
Sandi menghindar dari Mieke dan segera menghampiri Andre untuk meminta maaf karena sudah mengganggu istrinya.
“Dre, aku hanya becanda kooook....” ujar Sandi.
Andre mencibir, “Gue tahu lo cuma becanda. Tapi....” Andre menatap Mieke dingin dan kesal.
“...wanita yang menggoda lo itu gak ada kata maaf buat dia!” ancam Andre.
“Apa? Apa-apaan ini! Memangnya siapa yang sudah bikin aku harus melakukan sejauh ini? Menggoda pria adalah keahlianku! Aku hanya menerima ajakan Sandi menonton konser, kok!” cibir Mieke.
“Pokoknya jangan! Kamu hanya boleh nonton konser sama aku saja. Tidak, seharusnya kamu harus meminta izin dulu kepada suamimu ini!” Andre protes.
“Hah! Buat apa minta izin sama kamu kalau ujung-ujungnya enggak dikasih izin?” Mieke tidak ingin kalah.
“Maaf, aku juga cuma becanda tentang ajakan itu. Aku hanya akan menonton konser dengan istriku,” ujar Sandi. Sandi kabur dari sana setelah melihat ekspresi Mieke.
“Apa?!” Mieke semakin kesal karena merasa dipermainkan.
“Haha! Skakmat!!” Andre tertawa puas.
000
Next Chapter adalah terakhir :(
Gimana sudah dapat feel membaca tulisan saya ini? Gimana kesan dan pesannya? Senang kah? Atau tidak suka karena alurnya seperti ini? Kalian nge-ship sama karakter siapa saja? Tulis di komentar ya...
Wow 4 kepribadian?
Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAHAku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..