21++
Satu piringan kecil memuat empat kue renyah nan tipis, di setiap sisi kanannya ada coklat kacang menghias.
Kurang berselera. Lebih enak menyantap stawberry chees cake, asam-asamnya memberi sari menyegarkan.
Sementara Sisca dan Gibran anteng menjajal kue tersebut, aku justru sibuk berceloteh. Stawberry chees cake-nya tertahan dulu.
"Boro-boro ngabarin kalian, gue aja kelabakan sendiri." terangku saat Sisca terus menyalahkan karena tidak diundang di acara akad. "Lo sendiri tahu kan hari itu gue bareng sama lo pulang jam 9 malam dari kantor?"
"Lo yang dodol tahu Sis. Bukannya lo itu sempet foto undangan terus nyebarin di medsos? Masa gak liat keterangan waktu acaranya?" sembur Gibran.
Sisca mengabaikan. Matanya berbinar, bahasa tubuhnya kelewat antusias mendapati satu kertas dari selipan kue kering yang ia makan.
Fortune cookies memang sejarahnya bisa meramal. Berasal dari California, Amerika sana. Orang-orang menyebutnya kue keberuntungan Tiongkok.
"Shit, bener nih!" semangatnya membaca berapa deret kalimat di kertas. "Do anything on something is bothering you!"
Tak berselang lama, clutch bag pearl-nya ia hantam berulang kali ke tubuh Gibran. "Nyebelin lo!!!! Untung Kara sama Camill gak jadi sama lo."
"Untung juga Kara udah punya suami. Coba kalo belum, siap-siap lo saingan sama sahabat sendiri." timpal Gibran beringsut menghindar.
"Apa maksud lo?" heran Sisca.
Ku rasa Gibran menunjuk arah kemana mataku sedari tadi berpusat. Bukan apa-apa tapi tingkah mereka wajib aku simak.
Iya, Ronal diundang juga ke acara anniv pernikahan Bu Rose dan suami. Katanya Ronal dokter keluarga besarnya Bu Rose.
Perihal yang ku terka-terka selama ini sepertinya benar. Ronal datang bersama Vanessa. Dan baru saja mataku live menonton bagaimana Ronal mengelus perut Vanessa begitu intim dan lembut.
Mereka suami istri? Atau sama sepertiku? Hamil diluar nikah?
"Ra, lo jangan ikutin jejak gue napa. Bersyukur sama apa yang udah lo dapetin. Saka itu jauh lebih baik dari pria mana pun." cerocos Gibran. "Jangan selingkuh Ra!"
Sama sepertiku, Sisca turut mengheningkan cipta. Dia kembali pada aktivitas semula, menjajal kue keberuntungan.
Walau yang ia lakukan hanya membelah kue jadi dua bagian lantas menariki kertas di dalamnya. Itu terlihat lebih baik daripada mengamati kemesraan Ronal dan Nessa.
"Ah, Move On Brosist! You can do it!" lantang Gibran membaca kertas yang ditarik Sisca dari selipan kuenya.
"Udah deh Sis lo tenang aja, Ronal gak akan mau sama cewek model seleranya Saka. Terlalu gimana gitu!" ungkap Gibran. "Dia sukanya cewek kayak lo, percaya deh!"
"Apa maksud lo? Kok bawa-bawa Saka?" tanyaku.
Gibran gelagapan. "Ah itu kan lo tipenya Saka, cewek itu juga tipe Saka. Kalian sama-sama cantik, Saka banget gituh predatornya cewek cantik."
"Si Ronal mana doyan cewek cantik secara mantannya juga,," dia cengengesan melirik Sisca.
"Apa? Gue gak cantik? Gue jelek?" sambar Sisca. "Gitu maksud lo?"
Terhitung sejak kapannya Gibran gemar menggoda Sisca aku tidak peduli. Tatapanku melaju begitu saja pada Vanessa.
Cantik, melebihi aku. Dia bersicepat menghampiri kedudukan Saka kala pria yang menjadi suamiku melambaikan tangan pada arahnya.
Saka tetap Saka, beribu orang bilang Saka setia pun aku akan anggap angin lalu. Dia mengawali salaman sampai bercengkrama menimbul kelakar tawa.
"Bro, bro. Monitor, monitor! Lo tengok arah jam sembilan. Ibu negara lo lagi cembokur kayaknya." suara Gibran membuatku beralih perhatian.
Dia mengirimi Voice Note pada Saka yang kini sedang tersenyum mengarahku. Ponselnya masih menggantung dekat kupingnya.
.
.
.
***
Persetan dengan Platform Stiletto yang menurut Camill cocok dikenakan olehku si tubuh alakadarnya saat pergi ke pesta.
Sisca juga menyarankan untuk memakainya di acara resepsi nanti. Tidak akan, sangat menyiksa! Bila boleh ingin pakai sneakers saja.
Tapi Ibu melarang. Katanya; Jangan sneakers atau Stiletto! Gak cocok. Pakai kitten heels aja si hak mini bergaya vintage. Masih cocok buat tema classik modern, nyaman lagi.
"Ra, sedikit-sedikit barangmu kemas. Setelah resepsi kita akan pindah. Ibu sudah mengizinkan." kata Saka sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambut basahnya.
Aku yang memang sudah duluan bersih-bersih sekedar menyimak tanpa menimpali. Ku kembalikan sepatu tinggi itu pada tempatnya.
Lantas terduduk di meja rias, menatap pantulan wajahku sendiri. Sisa lipsticknya masih ada. Berasa susah luntur merk kenamaan lipstick pemberiaan Sisca itu.
Saka menghambur, paling senang melingkarkan tangannya di perutku, ikut membungkuk agar dagunya tersimpan di bahuku. Selanjutnya akan ada endusan lembut, kecupan hangat sampai ciuman menuntut lebih.
"Ra, ayoklah!" bisiknya disela mengecup telingaku.
"Ayok apa?" tanyaku.
"Kamu gak kasian sama aku? Tega sama aku?" rajuknya lagi.
"Apa sih?" timpalku lagi.
"Jangan bohong lagi. Udahan ya sandiwaranya. Jangan jadi drama queen dong nanti Same ada saingannya lagi." candanya tanpa mau memisah jarak.
Tiba juga saatnya bangkaiku terendus. Sebenarnya ini ide spontan, berpura-pura datang bulan padahal tiga hari kemarin aku baru selesai.
Saka semangat mengangkatku hingga terbaring di tempat tidur. Tidak terburu-buru, Saka lebih suka bermain-main dahulu.
Dibelai-belai rambutku, pipiku sampai dikecup dalam keningku. Dengan begitu, aku merasa disyukuri olehnya, merasa menjadi anugerah terindah bagi hidupnya.
Tak luput bisikan 'I Love You' mengalun syahdu di telinga. Tulusnya bisa ku rasakan.
"Saka." panggilku menghentikan langkahnya memagut bibir.
Dia tersenyum, ujung jempolnya mengelus sudut bibirku. "Apa sayangnya Saka?"
Aku menatapnya serius dan dalam, tanpa mau direspon becanda. "Wanita tadi?"
Dia terkekeh geli, alis tebalnya mengangkat sebelah. "Wanita tadi?"
"Iya siapa? Gak usah ngulang pertanyaan gitu kenapa!" kesalku membuang tangannya dari pipiku.
Bukan suara yang ia berikan, melainkan satu aksi cium bibir yang membabi buta. Sadar tidak kunjung berbalas, Saka mengakhiri.
"Maunya siapa?" tanyanya manis. "Yang jelas gak lebih penting dari kamu, Ra."
"Tinggal bilang aja siapa, susah banget!" ketusku. Penasaran rasanya, siapa tahu jika Saka mengenal dekat Nessa, aku bisa mengulik info hubungannya dengan Ronal.
"Temen,Ra. Gak usah cemburu, dapetin kamu susah masa udah dapet mau kegoda perempuan lain." jawab Saka tidak sabar. Kembali ia memagut.
Kali ini aku membalasnya, kasihan pada lidahnya yang terus minta direspon.
Terus dan terus, tujuan Saka bukan semata di bibir atas. Ada bibir bawah yang diinginkannya dari kemarin lalu.
Nafsu yang tertahan mengepul keluar seutuhnya pada detik ini. Dia menelusuri leherku, bermain seperti dulu. Diendus, kecup, cium dan tentunya dihisap kuat.
Bedanya, hari ini aku merasakan sensasi dua kali lipatnya. Mulutku lolos mengerang, jemariku saja dibuat gatal untuk tidak menjambak rambutnya.
"A,aa Sa,, Ka!" tak jelas mulutku bertutur.
Begitu ahlinya Saka, mulutnya boleh sibuk di bagian leherku tapi jangan pernah sepelekan tangan kanannya.
Laun tapi berhasil, piyama tidurku sudah terbuka menampilkan bagian inti. Segala sesuatu yang menghadangi gesit ia singkirkan.
Bra, celana dalam dan piyamaku berterbangan karenanya. Disusul kemudian oleh boxer, kaos, juga CD miliknya.
Terperai sudah dilantai, sementara sang mpu tengah bergumul di kasur. Harus tahu betapa gilanya tangan Saka memainkan kedua buah dadaku.
Aku tidak percaya beribu desah bisa tercipta hanya karena puting dadaku diplintir, diemut dan dihisap.
Jika nafsu sudah di ubun-ubun mau apalagi. Aku pasrah saat tubuhnya menaiki tubuhku.
Satu yang membuat Saka jengkel mungkin kala dimana ia bersiap sedia menancap, aku malah bersuara menghentikan.
"Saka." panggilku.
Dia merespon sabar sekaligus greget. "Apa sih Caramellnya Saka?"
Aku menembus pupil coklatnya. "Pelan-pelan!"