Sweet Desert Corner, mereka tidak lagi di sana. Keduanya kompak berlari kecil ke arah toilet. Mual-mual, ku rasa begitu. Vanessa yang masih percaya diri bergaun ketat meski bagian perutnya mengembang tertatih menerobos kerumunan.
Matinya, dia menubruk Sisca. Secercah senyum Sisca otomatis pudar. Bagaimana tidak, Ronal sigap menuntun tanpa peduli sekitar, jangankan menyapa, senyum pada Sisca pun tidak.
"Aih selamat ya Pak Bos." meriah bu Rose menaiki pelaminan. "Samawa, cepet dapet momongan."
"Makasih Bu." seru Saka menyalami bu Rose. "Doakan kami biar bisa langgeng kayak bu Rose sama Pak Aji."
"Pastinya." tulus Bu Rose bercipika cipiki bersamaku. "Gimana Ra, udah dibaca bukunya?"
Benar saja, kotak bersampul hijau tosca yang diberikannya kemarin mengundang tawa Saka. Buku tentang malam pertama.
"Udah dong Bu. Terima kasih loh Bu, berkat buku itu Kara mainnya agresif." cekikian Saka.
"Wihh kuat berapa ronde Pak?" bisik Bu Rose.
Saka mengacungkan kelima jarinya, perlahan menekuk jemarinya satu persatu menandakan ia sedang berhitung. "Ah, banyak deh pokoknya. Tapi anehnya saya gak pernah puas, mau dan mau lagi."
"Ih!" refleksu bergedik ngeri. Obrolan tak bermutu!
"Hahaa!" tawa Bu Rose. "Gak papa gempur terus Pak sampe ngisi!"
Duduk menselonjorkan kaki, hal terakhir yang aku inginkan. Betapa pegalnya meladeni tamu undangan Saka, minta salaman lah, minta cipika-cipiki lah, sampe minta foto berpuluh pose.
My guest can be counted finger. Mengingat SMA pun aku hanya setahun, selebihnya dilanjut di Amerika. Insiden hamil diluar nikah mengharuskanku fakum dua tahun. Mirisnya aku harus mengulang dari awal, kelas sepuluh lagi.
"Percaya deh gak ada yang lebih cantik dan menarik selain kamu, Ra." bisik Saka.
Bu Rose sudah berlalu, aku bisa duduk sejenak menyimpan beban ball-gown yang ukurannya besar dengan buntut panjang dan tambahan detail embroidery, pearl, swarovski, dan sentuhan laser-cut flowers.
Iya, gaun yang cantik tapi lama kelamaan terasa risih. Berat, menambah kadar lelah saja.
"Apasih!" kataku menoyor kepala Saka yang mulai nyosor mengendus leher.
"Tadi kenapa liatin mulu Vaness, dih!" tegur Saka. "Ini pesta kita loh."
"Dia cantik." bohongku.
"Kan sudah ku bilang tidak ada yang cantik selain kamu." dia menggenggam tanganku dan mengecupnya.
Ku biarkan Saka melakukan apapun. Dia mendekatiku, curi-curi pandang arah bibir yang ku gigit resah. Kasihan rasanya, hasrat Saka untuk memagut tidak terealisi.
Badanku menegak, cepat sekali Vanessa dan Ronal keluar dari toilet. Detik ini keduanya mengarah pelaminan. Izin pamit pulang setelahnya mengucap selamat.
Aku menyambut pipi Ronal, bercipika cipiki, satu hal yang menurutku lumrah dilakukan dengan teman. Lain ceritanya Vanessa, dia nemplok-nemplok peluk Saka membisikan selamat. Tipe teman tapi mesra.
Terpotong cepat kemesraan tersebut, Vanessa mual-mual seperti tadi. Ya Tuhan jika begini siapapun manusianya pasti ada saja yang berpikiran negatif. Berfikir hamil misalnya.
"Kayak morning sicks gitu." ceplosku.
"Siapa? Vanessa?" tanya balik Saka.
"Iya. Dia lagi hamil?" tanyaku.
"Gak mungkinlah! Pasangan aja belum ada masa hamil." lucu Saka.
"Ronal sih?" tanyaku mengorek informasi.
"Kamu kan temennya Ronal. Tanya langsung orangnya aja." jawab Saka menutup rapat.
"Temen biasa sih, gak deket nemplok-nemplok kayak pertemenan kalian." ujarku sedikit menyindir.
"Cemburu?" tanya dia terkekeh geli. "Tapi Nenes tuh lucu tahu, masa dia dateng ke sini mau bawa Ronal izin dulu ke aku."
Aku melirik Saka sekilas. Selera humor dia receh sekali, murahan. Dengan hal begitu saja bisa tertawa geli. Ku harap kegeliannya cepat menular arah Sisca. Sedari tadi ku perhatikan Gibran belum juga berhasil menghapus raut menekuk Sisca.
.
.
.
***
Mari tinggalkan The beauty of modern classik, kristal-kristal, serta apapun yang berbau broken white, peach dan pink, karena pesta telah usai. Peran ratu semalam sudah tertanggal.
Aku ialah aku, peran ibu rumah tangga selalu bisa semesta saksikan. Hari ini repotnya bertambah, bukan lagi Samella yang mesti diurusi. Ada bayi gede kelewat manja.
Menyebalkannya Saka! Dia minta dikancingi kemeja, dipasangi dasi, seolah urat-uratnya melumpuh saja. Belum lagi segala urusan rumah aku yang handle. ART-nya sedang diliburkan Saka sampai sebulan mendatang.
"Bib dateng kan ke acara sekolah Same?" tanya Same mengunyah nasi gorengnya.
"Papapmu sendiri aja kan gak papa." jawabku.
Pernah sekali aku menghadiri acara Same, rasanya membosankan. Dipidatoi tanpa selingan musik atau candaan itu bagai dikasih obat tidur, mengantuk parah.
Kebetulan dulu berkenaan dengan rapat orang tua, sekarang momennya memperingati ulang tahun sekolah. Ku yakin ada hiburan, lomba-lomba yang menarik.
Seseru apapun, tetap nilai magang menjadi alasan terpenting. Terlalu banyak absen hanya akan memperburuk nilai akhir.
"Bibunmu nanti nyusul pas istirahat. Jadi pagi sama papap dulu." beber Saka seenaknya.
Tahu dia bisa semenyebalkan ini, aku merasa sesal sempat menaruh hati padanya. Tuhan itu maha membolak-balikan hati, aku lega bisa melepas rasa suka pada Saka. Tidak lagi ada rasa.
Lagi, tugasku melambai minta dijamah. Piring kotor keduanya ku tumpuk, mencuci sebentar. Saka bilang aku harus jadi ibu rumah tangga saja, biar urusan mencari materi jadi tanggung jawabnya.
Untuk ukuran aku yang sempat gagal menata masa depan dan kini sedang berjuang bangkit jelas menolak keras. Capek-capek sekolah harus dianggurkan, bukan prinsip aku banget.
"Ra, kamu jangan lupa dateng!" dia memelukku dari belakang. Kesukaan Saka memang begitu, menjadikan pundakku sebagai topangan dagunya.
"Apa sih?" kesalku.
"Nanti istirahat dateng." lembut Saka.
"Ada tugas di lapangan. Kayak gak tahu aja gue anak buah siapa. Bu Rose kan tugasnya blusukan cari kandidat ke sekolah-sekolah." terangku.
Saka mempererat lingkar tangan di perutku. "Aku yang nanti minta dispensasi hari ini."
"Nepotisme!" cibirku
"Ra, kasihan Same lah. Nanti sedih, sehari ini aja." bujuknya lagi.
Aku kendurkan peluk eratnya, tangan sebelah kananku menoyor jidat mulusnya agar berpindah topangan. Dia pikir tidak berat. "Kalo sempet."
"Gue suka gaya lo." seseorang dari sudut kiri tepatnya di mana rak sepatu bertengger menyahut keras.
Santai sekali dia meraih stiletto hitam dari rak lantas menarik kursi meja makan, memakainya di sana sambil menatapku penuh makna.
Apa maksudnya? Maksud ucapan dan tindakannya? Sepagi ini menghadap dengan gelagat seperti dia salah satu penghuni rumah.
"Gitu dong jadi wanita. Punya pendirian." senyumnya. "Jangan mau diperdaya gadis kecil yang katanya anak lo."
"Bee, kamu gak dateng semalam ke resepsi kenapa?" tanya Saka.
"Lebih enak tidur di kamar lo." jawabnya. "Tempat di mana lo mendesah-desah gila. Tiap malam gue denger dari mulut lo. Gue rasanya kangen."
Chelsea semalam tidak terlihat seliweran di gedung. Dan apa katanya? Tidur di kamar Saka? Jadi benar semalam dia menginap? Membandelnya rasa lelah buatku terlelap payah.
Bagian dari mendesah-desah yang tertuturkan Chelsea, aku rasa apa harus jiwaku terhenyak? Saka memang suka main ranjang kan? Di ruang dosennya juga begitu.
"Ra," lirih Saka mencoba menjelaskan padaku. "Ini gak seperti yang kamu fikir."
"Apa? Lo mau bilang gue bohong?" lantang Chelsea. Untung Same berada di kamarnya tengah mengambil tas. "Lo mau lupain kejadian-kejadian itu? Brengsek lo!"
"Dan lo!" tunjuk dia tepat di wajahku. "Perihal nolak permintaan Same ke sekolah bareng Saka aja lo bisa, tapi kenapa giliran anak lo nyuruh ke pelaminan lo mau? Lo gak nolak?"
"Gak seharusnya lo nikah sama Saka!" teriaknya lebih dahsyat. "Gak seharusnya lo nurutin anak peliharaan lo yang sok kuasa itu!"