Aku menatap bangku sebelahku yang kosong. Sejak dua hari lalu Banyu pergi tanpa membawa tas, Banyu tidak muncul di sekolah. Aku menanyakan Banyu pada Karel dan Wenny dan mereka bilang tidak tahu kenapa Banyu tidak masuk sekolah. Apakah hari ini Banyu akan masuk sekolah? Apakah ini ada hubungannya dengan temannya yang sakit itu? Apakah temannya itu sakit parah? Apakah semua baik-baik saja? Aku mendesah pelan, rasanya ada yang kurang tanpa Banyu yang biasanya duduk di sebelahku. Ahh... aneh padahal kalau ada Banyu kami pun tidak banyak bicara. Apalagi beberapa hari terakhir ini. Aku mengambil buku pelajaran pertama hari ini dari dalam tasku. Bel tanda masuk belum berbunyi tapi tidak ada salahnya aku belajar lebih dahulu dari pada kepikiran hal-hal yang aneh. Aku merasakan pergerakan di sisi kananku. Aku menaikkan wajahku dan menoleh. Banyu... Banyu sudah duduk di bangkunya, aku menatapnya tak berkedip, ini bukan halusinasiku kan. Banyu menoleh, dia menatapku tanpa ekspresi.
“Kenapa kamu melihatku begitu.” ucapnya, ini beneran Banyu. Aku masih menatapnya.
“Hei...” ucapnya lagi.
“Jingga...” karel menepuk tanganku lembut. Aku kaget dan menoleh.
“Kenapa kamu melihati Banyu begitu?” tanyanya heran, oh... Karel juga melihatnya. Ini benaran Banyu. Aku senyum dan menggeleng. Bel masuk sudah berbunyi dan Pak Didit sudah berdiri di depan kelas hendak memulai pelajaran hari ini. Aku memperbaiki dudukku dan mendesah lega. Banyu sekolah hari ini. Berarti semua baik-baik aja. Pelajaran hari ini di mulai. Saat jam istirahat aku, Karel dan Wenny pergi ke kantin. Hari ini ngak ada gangguan dari Deri cukup melegakan. Bel masuk berbunyi kami keluar dari kantin, saat melewati lapangan sekolah aku melihat Banyu lagi ngobrol dengan Mario, Banyu ngobrol dengan Mario? Apakah mereka berteman? Kalau dilihat beberapa kali saat ketemu Mario saat bersama Banyu kelihatan mereka tidak punya hubungan yang dekat. Aku menatap mereka sambil berjalan dengan Wenny dan Karel. Ah... sudahlah ngapain juga aku pikirin. Lalu aku memalingkan wajahku dan berjalan menuju ruang kelas.
Aku berjalan sendiri di koridor sekolah, menuju perpustakaan. Jam olahraga hari ini tidak belajar karena Pak Bimo ijin karena sakit. Jadi kami bebas pelajaran tapi tidak boleh ribut di kelas. Beberapa teman bermain Basket di lapangan, ada yang langsung berlari ke kantin dan ada yang hanya di kelas belajar. Aku memutuskan untuk ke perpustakaan, sejak aku sekolah di sini ini adalah kali kedua aku ke perpustakaan sekolah. Sejak ketemu Deri di perpustakaan aku malas ke perpustakaan lagi, tidak ingin bertemu dia. Tapi setelah ku pikirkan kembali, kenapa aku harus terintimidasi dengan Deri dan membatasi pergerakanku? Huh... Jadi untuk ke depannya mungkin aku akan lebih sering kemari. Wenny dan Karel lebih memilih menonton basket sedang Banyu aku tidak melihat dimana keberadaannya. Aku memasuki ruang perpustakaan yang sejuk. Di jam begini perpustakaan sepi dan itu menyenangkan. aku melihat ada seorang pegawai perpustakaan duduk di depan meja administrasi perpustakaan sedang memperbaiki beberapa buku yang sampulnya sudah rusak. Dia menaikkan wajahnya mendengar pintu kaca terbuka. Dia melihatku dan meletakkan buku di tangannya.
“Ada apa?” tanyanya, karena aku masuk perpustakaan di jam pelajaran mungkin ibu ini heran.
“Siang Bu, hari ini Pak Bimo ngak masuk jadi jam pak Bimo kami boleh belajar atau berolahraga Bu. Jadi saya memutuskan untuk ke perpustakaan Bu.” Jawabku, sambil mendekat.
“O... saya kira kamu ada perlu dengan saya. Ya sudah kamu masuk aja.” ucapnya ramah sambil tersenyum, aku mengangguk dan tersenyum. Lalu aku berjalan menuju rak rak buku, hari ini mau baca buku yang menghibur aja. Aku ke rak buku bahasa, siapa tahu ada buku-buku cerita ringan di sana. Aku melihat-lihat dan menemukan dua buku yang ingin ku baca. Lalu aku duduk di kursi di dekat jendela. Suasana yang sepi dan nyaman membuatku tenggelam dalam bacaanku tanpa terganggu. Aku tidak menyadari jam pelajaran olahraga sudah selesai untung Karel datang dan memanggilku.
“Jingga.” bisik Karel sambil menepuk pelan bahuku, aku mengangkat wajahku.
“Sudah bel pergantian pelajaran lo.” ucapnya pelan.
“Eh... iya, aku keasyikan baca.” ucapku lalu menutup buku yang ku baca dan berdiri dari dudukku.
“Aku pinjam buku ini bentar ya.” ucapku pada Karel, Karel mengangguk. Aku lalu menuju meja administrasi perpustakaan dan meminta ijin meminjam buku. Lalu aku dan Karel berjalan keluar ruang perpustakaan. Kami berjalan bersisian di koridor sekolah.
“Asyik banget kamu baca.” ucap Karel, aku senyum.
“Ibu itu siapa ya namanya?” tanyaku pada Karel.
“Ibu?” tanya Karel.
“Iya ibu itu tadi yang ada di perpustakaan.” ucapku.
“O... Ibu penjaga perpustakaan, namanya Danita. Ibu Danita.” Jawab Karel.
“Aku tidak nyambung ya hehe.” ucap Karel lagi sambil tertawa. Aku senyum. Dulu Bang Dega selalu kritik aku kalau menyebut pegawai perpustakaan sebagai penjaga perpustakaan. Bang Dega katakan mereka adalah seorang pustakawan atau pustakawati. Dan mereka itu punya tugas yang lebih dari sekedar menjaga. Mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Sehingga kita bisa nyaman di perpustakaan, kita jadi lebih mudah untuk mencari buku lewat pengaturan yang rapi dan juga terperinci. Lewat mereka kita juga bisa dapat informasi buku yang kita butuhkan. Hemmm... Bang Dega memang sangat tertarik dengan dunia buku dan perpustakaan. Aku melihat ke depanku, kelas sudah dekat. Angin berhembus lembut mengusap wajahku.
“Jingga... bukunya dijaga ya.” suara Bang Dega, aku berhenti berjalan dan menoleh ke sekelilingku. Tidak ada siapa pun, halaman sekolah lenggang. Angin berhembus lembut mempermainkan dedaunan dan ranting pohon. Dedaunan dan ranting bergoyang lembut.
“Jingga, ada apa?” tanya Karel, aku menoleh pada Karel. Aku menggeleng perlahan
“Tidak, tidak ada apa-apa.” ucapku lalu kembali berjalan, Karel pun kembali berjalan di sisiku. Aku berhalusinasi lagi, mungkin itu hanya suara angin dan dedaunan. Aku dan Karel sampai di depan pintu. Pak Dayat sudah ada di dalam kelas, kami mengetuk pintu. Pak Dayat menatap kami. Aku berharap kami dikasi ijin masuk, aku yang salah. Tidak enak dengan Karel kalau karena aku dia kena hukuman juga.
“Dari mana kalian berdua?” tanyanya menyelidik karena kami terlambat masuk pelajarannya.
“Maaf pak, kami dari perpustakaan. Saya tidak mendengar suara bel pergantian pelajaran tadi Pak.” ucapku cepat sebelum Karel bicara. Pak Dayat mengangguk.
“Oke masuk.” ucapnya, aku bernafas lega. Syukur tidak kena marah atau hukuman. Lalu kami berjalan masuk diiringi tatapan teman-teman sekelas. Aku duduk dan melirik Banyu yang serius memperhatikan Pak Dayat menerangkan. Aku lalu memasukkan buku yang ku pinjam dari perpustakaan tadi dan mengeluarkan buku pelajaranku dari tas.
Bel tanda jam istirahat terdengar, terdengar suara nafas lega di dalam ruangan kelas kami. Pelajaran matematika menguras otak kami, Bu Adenia menyusun buku-bukunya di tangan dan meraih tasnya di meja. Lalu berjalan keluar sambil mengingatkan kami untuk berlatih di rumah. Semua langsung bergerak, meregangkan tubuh yang lelah. Beberapa teman langsung berlari keluar, ada yang tetap di kelas dan langsung ngobrol dengan teman-temannya. Aku langsung menelungkupkan wajahku kemeja dialasi kedua tanganku.
“Kantin yuk, me-refresh-kan otak dulu.” ucap Weny.
“Me-refresh-kan otak atau perut.” ucap Karel.
“Sekalian, siapa tahu di sana ntar ketemu yang cakep-cakep gitu...” ucap Weny sambil tertawa.
“Ayo... Jingga.” ajak weny, aku menaikkan wajahku. Mmm..kayaknya boleh juga. Aku juga sudah sumpek. Aku lalu mengangguk dan menegakkan bahuku.
“Banyu... kamu ikutan tidak?” tanya Karel, aku menoleh pada Banyu. Banyu menggeleng. Tidak sadar Banyu masih ada di sisiku.
“Kalian lagi berantem ya.” ucap Wenny padaku dan Banyu, aku melirik Banyu.
“Hei nona, pertanyaanmu aneh. Bagaimana bisa dua makhluk pendiam ini berantem, ngomong saja jarang.” ucap Karel sambil menjentik kening Weny pelan. Wenny tertawa. Mmm... Weny, Karel sepertinya kalian lupa. Aku kan sudah cerita kemarin, Banyu sedang marah padaku. Sejak aku melihat sketsanya itu Banyu ngak pernah lagi mengajakku bicara. ucapku dalam hati.
“Ayo.” ucap Karel sambil berdiri Wenny ikutan berdiri. Aku pun bangkit dari dudukku lalu kami berjalan keluar meninggalkan Banyu di kelas. Kami berjalan bersisian di koridor sekolah menuju kantin. Karel merangkul bahuku sambil berjalan. Kantin ramai sekali, tempat untuk duduk sudah penuh. Aku, Weny dan Karel akhirnya membeli beberapa makanan dan minuman lalu keluar dari kantin dan kembali ke kelas. Kami memutuskan untuk makan di kelas aja. Saat kami masuk kelas, Banyu sudah tidak ada di bangkunya.
“Kemana ya Banyu, kirain dia lagi di kelas. Aku sudah beliin minum untuk dia lagi nih.” ucap Weny, lalu kami duduk di bangku kami masing-masing. Makan sambil ngobrol di ruangan kelas yang seramai kantin, ini efek kantin penuh.
“Rel, kamu kenal kan dengan Kirana.” ucap Weny sambil mengunyah makanan di mulutnya.
“Kirana anak kelas 12 IPS1?” tanya Karel, weny mengangguk.
“Memang kenapa?” tanya Karel.
“Dia kemarin juara loh, lomba menulis tingkat SMU.” ucap Weny.
“Kalau dia tidak diragukan lagi sudah langganan juara.” ucap Karel.
“Hadiahnya besar loh.” ucap Weny, Karel tidak menanggapi.
“Aku mau coba menulis juga ah...” ucap Weny, Karel menatap Weny.
“Kamu yakin?” ucap Karel menahan tawa.
“Iss.. Karel belum apa-apa aku sudah diremehi.” ucap Weny cemberut.
“Bukan ngeremehi Weny, soalnya kemarin kamu juga bilang begitu sewaktu Nia juara dua lomba lari. Kamu bilang lari aja bisa dapat hadiah jadi kamu mau latihan lari juga. Terus kemarin sewaktu Rico juara fotografi kamu juga mau belajar foto...” weny memotong perkataan Karel yang belum selesai.
“Stop... stop...” ucap Weny cemberut. Aku tersenyum, Weny ternyata benar-benar plin plan.
“Jangan cemberut, kamu harus lihat dulu dimana kemampuan kamu dan fokus disitu. Jangan semua mau kamu coba, yang ada semua akan berantakan. Kecuali kamu multi talent ya.” ucap karel sambil minum lalu merangkul bahu Weny.
“Paham tidak sob...” ucap Karel lagi.
“Okelah... tapi aku belum tahu aku mau melakukan apa.” ucap Wenny sambil menunduk wajahnya terlihat sedih.
“Jangan sedih, kamu perhatikan dirimu apa yang paling kamu suka. Kalau kamu melakukannya kamu bisa lupa waktu karena keasyikan. Atau hal apa yang kamu jago.” ucap Karel.
“Makan.” jawab Weny, aku dan Karel tertawa.
“Aku akui kalau itu. Tapi itu juga boleh, kalau kamu suka makan kamu akan suka cari menu menu makanan baru. Atau makanan-makanan yang enak. Kamu bisa buat Blog, Instagram atau YouTube lo... Banyak orang yang lakuin itu.” ucap Karel bijak.
“Iya, benar aku suka lo nonton video YouTube tentang makanan.” ucap Weny bersemangat.
“Nah... itu salah satu yang kamu bisa lakukan. Tidak perlu harus seperti orang lain jadi diri sendiri aja. Apa kemampuan kamu tunjukin jangan ikut-ikutan. Kalau bisa kamu yang diikuti orang. Jadi trendsetter lo.” ucap Karel, wah Karel luar biasa.Weny kembali bersemangat dan ceria. Kalau aku lihat sekarang ini Karel sedang menunjukan bakatnya... Motivator hehe Weny sekarang sudah ceria lagi dan menghabiskan makanan dan minumannya tepat saat bel tanda masuk berbunyi. Banyu terlihat memasuki ruangan kelas lalu duduk di bangkunya. Weny berbalik menghadap Banyu dan meletakkan sebotol minuman di depan Banyu.
“Kirain kamu tadi di kelas jadi aku beli untuk kamu.” ucap Weny lalu membalikkan lagi badannya ke depan kelas.
“Terima kasih.” ucap Banyu, Weny mengangguk tanpa menoleh.
“Sama-sama.” ucapnya ceria. Banyu meraih minuman itu dan meminumnya. Lalu mengeluarkan buku pelajarannya, aku pun ikutan mengeluarkan buku pelajaran jam selanjutnya. Saat ibu Nanik muncul di depan kelas, suasana langsung hening seketika. Pelajaran pun di mulai.
Sepulang sekolah aku berjalan sendiri ke halte depan sekolah. Weny dan Karel tadi pergi ke Mall katanya Karel mau membeli sesuatu. Kare juga mengajakku tapi aku menolak, tidak tertarik dengan keramaian Mall. Aku duduk di bangku halte menunggu bus. Ada beberapa orang bersamaku di halte ini yang sedang menunggu bus juga. Aku melihat jam di tanganku. Tumben bus yang ku tunggu lama datangnya. Aku mengambil buku di dalam tasku, sebaiknya aku baca buku sambil menunggu supaya jangan bosan. Aku membaca buku komik yang ku bawa tadi dari rumah. Suara klakson di depan halte membuatku menaikkan wajahku. Sebuah sepeda motor yang sepertinya dikendarai siswa cowok sekolah kami karena seragam kami sama ada di hadapanku. Ku perhatikan dia, kira-kira siapa. Dia membuka helmnya... Banyu..
“Ayo bareng.” Ajaknya melihat ke arahku. Beneran nih Banyu mengajakku pulang bersama?
“Jingga, ayo.” ucapnya lagi lalu menyodorkan sebuah helm padaku. Aku berdiri dan mendekati Banyu, Banyu sudah tidak marah lagi padaku? Aku menerima helm dari tangan Banyu lalu memakainya, Banyu memakai helmnya. Aku lalu naik ke boncengan Banyu, sepeda motor Banyu berjalan dengan kecepatan sedang. Kami tak bicara sepanjang jalan. Saat tiba di depan rumahku aku turun dari boncengan Banyu lalu membuka helm dan menyerahkan kembali ke Banyu. Banyu menerimanya dan menggantungnya pada stang sepeda motornya.
“Banyu.” ucapku, Banyu melihat ke arahku.
“Terima kasih sudah diantar dan mengenai kemarin aku minta maaf.” ucapku pelan.
“Kemarin?” tanyanya sepertinya tidak paham dengan apa yang aku katakan. Keningnya berkerut.
“Aku mengintip sketsamu.” ucapku.
“O...” ucapnya paham.
“Tidak apa-apa kok.” ucapnya.
“Kamu tidak marah?” tanyaku sambil memperhatikan raut wajah Banyu. Wajahnya tak memperlihatkan ekspresi apa pun.
“Tidak, kemarin aku kaget aja. Tapi kamu tidak cerita ke orang lain kan apa yang aku gambar?” tanyanya, aku menggeleng.
“Aku tidak marah kok, aku cuma... “ Banyu tidak melanjutin omongannya.
“Yang pasti aku tidak marah.” ucapnya akhirnya.
“Terima kasih.” ucapku dia menganggu.
“Aku pulang ya.” ucapnya, aku mengangguk lalu sepeda motornya melaju meninggalkanku. Aku membuka pagar rumah lalu masuk. Ah... lega, ternyata Banyu tidak marah. Tapi kenapa aku merasa selama ini Banyu bersikap dingin lagi, ku pikir dia marah. Tapi baguslah kalau dia tidak marah.
*