Minggu sore tiba-tiba Karel meneleponku. Aku baru saja bangun dari tidur siangku dan masih berguling-guling di tempat tidurku malas untuk bangun
“Jingga main yuk.” ajaknya.
“Main?” tanyaku heran.
“Iya kita main ke rumah Weny, aku sudah bilang ke dia tadi.” ucap Karel.
“O... oke... Aku mandi dulu ya.” ucapku.
“Oke, aku sudah di perjalanan. Kira-kira 30 menit lagi aku sampai di rumahmu.” ucap Karel.
“Oke.” ucapku lalu sambungan telepon ditutup. Aku lalu bangkit dari tidurku aku meraih handukku lalu berlari masuk ke kamar mandi. Selesai mandi aku berdandan ala kadarnya, suara pintu kamar diketuk.
“Ya.” ucapku.
“Jingga, ada teman kamu di depan.” itu suara bik Onah.
“Iya Bik.” ucapku sambil bangkit dari dudukku dan keluar kamar. Bik onah menatapku.
“Mau kemana Jingga?” tanyanya.
“Main ke rumah teman Bik, dekat kok satu komplek kita tapi beda blok.” ucapku.
“Mama sama papa mana?” tanyaku pad Bik Onah.
“Baru saja pergi Jingga, karena kamu tidurnya nyenyak jadi tidak dibangunin.” ucap Bik Onah, aku mengangguk dan tidak menanyakan kemana mama dan papa pergi. Lalu berlari ke depan rumah.
“Hai Karel.” sapaku pada Karel yang duduk di teras.” Karel senyum.
“Yuk.” ajakku.
“Ayo.” ucap Karel. Bik Onah sudah menyusul ke depan.
“Pergi ya Bik.” ucapku pada Bik Onah, Bik Onah mengangguk. Lalu aku dan Karel pergi menuju rumah Weny.
Di rumah Weny, Weny sudah menunggu dan menyuguhi kami makanan dan minuman. Kami ngobrol di kamar Wenny.
“Teman-teman, aku sudah mulai lo buat Blog, Instagtram dan YuoTube. Tapi masih satu aku upload videonya. Waktu aku dan abangku makan malam di luar, seru lo... Sudah ada yang menonton tapi masih sedikit.” ucap Wenny bersemangat.
“Wah... bagus Wen, tidak apa-apa masih sedikit. Kan sedikit dulu baru banyak.” ucap Karel sambil tertawa.
“Iya Rel.” ucap Weny.
“Apa nama Blog dan YouTube-mu biar aku lihat. Kalau Instagram kan aku sudah follow kamu.” ucap Karel. Wenny memberitahukannya, Karel mencatat di handpone-nya. Aku juga ikut mencatatnya.
“Nanti di rumah aku tonton, sekarang waktunya kita ngobrol.” ucap Karel.
“Jingga belum tahu tuh.” ucap Weny.
“Apa?” tanyaku.
“Karel punya gebeten sekarang, anak kuliahan.” ucap Weny.
“Benar Rel?” tanyaku pada Karel, Karel hanya senyum.
“Teman kakakku, mereka sering kumpul di rumah, waktu aku dan Weny ke Mall kemarin sebenarnya mau beli kado untuk dia. Dia ultah kemarin.” ucap Karel bersemangat.
“Namanya siapa?” tanyaku penasaran.
“Namanya Farrant, namanya saja sudah keren kan.” ucap Karel dengan mata yang berbinar-binar. Aku senyum.
“Dia ramah dan baik Jingga.” ucap Karel.
“Kata kakakku, Bang Farrant itu orangnya pintar. Aku pokoknya nge-fans sama dia. Makanya aku sekarang lagi rajin-rajinnya belajar.” ucap Karel.
“Semangat ya dapat gebetan baru.” ucapku.
“Bukan begitu, aku mau masuk kampus yang sama dengan dia.” ucap Karel.
“Memang dia kuliah dimana?” tanyaku.
“Dia perguruan tinggi di kota kita ini, jurusan Arsitek.” ucap Karel.
“Arsitek, memang kamu suka gambar?” tanyaku.
“Bisalah tapi tidak sehebat Banyu.” ucap Karel.
“Iya, si Banyu kan juga mau mengambil jurusan Arsitek. Itukan cita-citanya dengan Ayudia.” ucap Weny.
“Ayudia? Siapa Ayudia?” tanyaku pada Karel. Karel dan Weny saling pandang.
“Eh... iya kamu tidak kenal ya.” ucap Karel.
“Dia itu dulu teman kami.” ucap Weny. Dulu... Sekarang?
“Dulu, sekarang dia dimana?” tanyaku penasaran.
“Eh...kok jadi ngomongin Ayudia sih... Aku lagi curhat nih.” ucap Karel cemberut.
“Nanti ya Jingga, kami ceritain. Kita dengar dulu si Karel.” ucap Weny lalu aku berhenti bertanya, aku dan Weny menatap Karel...
“Mmm... udahan ahh... Karena tersebut nama Banyu, bagaimana kalo kita main ke rumah Banyu.” ucap Karel sambil berdiri.
“Banyu?” tanya Weny.
“Kok tiba-tiba main ke rumah Banyu sih?” tanyaku.
“Aku sudah lama tidak main ke rumah Banyu, ayo.” ucap Karel sambil berjalan ke luar kamar Weny. Aku dan Wenny hanya mengikuti Karel dari belakang sambil mengeditkan bahu. Kenapa jadi Karel yang suka mendadak berubah pikiran bukannya biasanya itu adalah kebiasaan Wenny. Rumah Banyu ternyata di depan rumah Weny, untungnya Banyu ada di rumah. Dia sedang main basket di depan garasi rumahnya di temani seekor anjing putih yang cantik.
“Hoiii... Banyu.” teriak Karel dari depan pagar. Kami berdiri di depan pagar rumah Banyu. Ternyata Banyu suka main basket, tapi di sekolah tidak pernah terlihat dia gabung main basket dengan teman-teman. Banyu berhenti bermain basket lalu menoleh. Kelihatan dia kaget melihat kami. Dia berjalan mendekati pagar.
“Kok kalian bisa di sini?” tanyanya sambil melihat kami bergantian. Anjing putihnya duduk di dekat kakinya. Ekornya bergoyang-goyang melihat Wenny dan Karel. Kelihatan sudah kenal dengan mereka berdua.
“Lagi main ke tempat Weny terus jadi pengen main ke tempat kamu. Sudah lama ngak main.” ucap Karel, Banyu membuka pagar rumahnya dan menyuruh kami masuk. Aku, Karel dan Weny masuk dan kami memilih duduk di teras aja.
“Aku ke dalam dulu ya, mau mandi dulu. Keringatan...” ucapnya sambil berlalu, anjing putih itu tiduran di dekat kaki Weny.
“Snopy...” ucap Karel sambil membelai kepala anjing yang di panggilnya snopy itu. O... ini anjing Banyu yang diceritain Karel dan Weny kemarin. Anjing yang cantik. Tak lama kemudian seorang cewek manis yang kelihatannya masih anak SMP muncul.
“Hai kakak... ini minumannya, sambil menunggu Bang Banyu selesai mandi.” ucap cewek itu ceria.
“Hai Kyra... apa kabar?” ucap Karel.
“Eh...kak Karel, baik kak. Sudah lama tidak muncul.” ucapnya.
“Iya sibuk...” ucap Karel, Kyra tertawa...
“Gayanya tuh sok sibuk...” ucap Karel, menanggapi perkataannya sendiri. Karel dan Kyra tertawa.
“Kak aku ke dalam dulu ya, tadi masih mengerjakan PR waktu disuruh Bang Banyu buat minum. Lagi banyak PR, kalau tidak aku juga pengen ngobrol dengan kakak, soalnya sudah lama ngak ketemu.” ucapnya sambil mendesah pelan.
“Oke, terima kasih ya adik cantik.” ucap Karel. Lalu Kyra tersenyum dan masuk kedalam rumah. Aku melihat sekeliling rumah Banyu, tamannya penuh dengan bunga dan tertata rapi.
“Hei maaf lama menunggu.” ucap Banyu yang sudah mandi dan terlihat segar lalu duduk di depanku.
“Banyu aku ikutan Bimbel di tempat kamu Bimbel (bimbingan belajar) dong.” ucap Karel.
“Kenapa harus ke tempat Bimbel-ku?” tanya Banyu heran, tiba-tiba Karel bicara tentang Bimbel.
“Iya biar aku ada teman belajar. Masih ada bangku kosong di ruanganmu?” tanya Karel.
“Ada sih, kemarin ada yang keluar dari ruangan kami.” ucap Banyu.
“Aku mau daftar.” ucap Karel.
“Gebetannya anak Jurusan Arsitek, jadi dia masuk jurusan itu.” ucap Wenny kasi bocoran, Karel menatap Wenny protes.
“Kan memang iya.” ucap Weny ngak mau kalah.
“Iya Karel?” tanya Banyu sambil menatap karel.
“Yah... memang sih, tapi ngak sepenuhnya alasannya itu. Kamu kan tahu dulu kita sering obrolin bangunan-bangunan dan suka menggambarnya. Aku sempat ingin berpaling dari itu tapi... aku pikir aku masih menyukai dunia itu.” ucap Karel.
“Baguslah, aku pikir kamu sudah berubah. Kamu bukanlah orang yang suka ikut-ikutan orang lain atau tidak memikirkan keputusan yang tepat untuk masa depanmu.” ucap Banyu.
“Kita... Kita akan mencapai kembali cita-cita kita bersama kan.” ucap Karel sambil senyum Banyu pun ikutan tersenyum. Aku merasa terasing di antara mereka. Ada banyak hal di mata mereka yang tak ku pahami. Mungkin ini juga berhubungan dengan Ayudia yang tidak mau mereka ceritakan padaku
“Hei... kalian ini, memang cuma kalian aja yang mau mencapai cita-cita kalian.” ucap Weny.
“Kami juga ya kan Jingga.” ucap Weny, aku senyum. Aku melihat ke arah Banyu, dia sedang melihat ke arahku. Aku mengalihkan pandanganku.
“Kamu mau masuk jurusan apa nanti Jingga?” tanya Wenny, aku diam. Aku dulu ingin menjadi seorang fotografer... tapi sekarang ntahlah...
“Dulu aku suka Fotografi...” ucapku pelan.
“Sekarang...” ucap Karel.
“Aku tidak yakin.” ucapku sambil senyum.
“Kenapa?” tanya Weny, Aku hanya diam. Karena penyemangatku telah pergi. Objek fotoku sudah tidak ada lagi...
“Mungkin Jingga masih berpikir ulang tentang apa yang mau dia lakukan.” ucap Banyu menyelamatkanku dari pertanyaan yang enggan ku jawab.
“Iya... aku juga begitu kok.” ucap weny.
“Pokoknya besok aku ikut ke Bimbel-mu.” ucap Karel, kembali bicara Bimbel dengan Banyu.
“Iya.” ucap Banyu. Lalu kami membicarakan hal-hal lain. Menghabiskan senja di rumah Banyu bersama teman-teman baruku yang menerimaku dan selalu tersenyum padaku. Aku berharap suatu ketika, ketika kalian tahu tentang rahasiaku dan masa laluku. Kalian akan tetap menerimaku...
Aku berdiri di depan ruang yang sudah lama tidak ku masukin. Dulu ini adalah tempat pavoritku dan abang-abangku. Dengan ragu aku membuka pintu ruangan dan aroma yang nyaman menyeruak masuk ke hidungku... Aku berjalan masuk lalu menghidupkan lampu ruangan. Ruangan terang benderang, beberapa rak buku yang tinggi berjejer di sisi kiri kanan ruangan ini. Buku memenuhi semua rak yang tinggi sampai ke langit-langit ruangan. Ada tangga geser yang biasanya alat yang kami pakai untuk mengambil buku yang paling tinggi. Di depanku bagian kiri ada kaca transparan besar yang langsung menunjukkan pemandangan halaman belakang rumah. Ada karpet dan beberapa bantal besat terletak di atas karpet di dekat jendela kaca besar. Di depan sebelah kanan ada perapian kecil dengan api buatan. Di depan perapian ada Sofa menghadap ke arah perapian dengan beberapa bantal kecil dan sebuah meja bulat di depannya. Ruangan ini tetap bersih, Bik Onah pasti masih sering membersihkannya. Pembicaraan kami kemarin di rumah Banyu membuatku ingin memasuki ruangan ini. Aku mendekat ke perapian. Diatasnya ada banyak foto. Foto Mama, Papa, Bang Dega, Bang Digo dan Aku. Kami tertawa ceria. Foto-foto Bang Dega dan Bang Digo bergantungan dengan sebuah penjepit di tali yang terbentang di seluruh sisi perapian. Aku menyentuhnya perlahan, satu persatu mengingat momen-momen foto itu diambil. Aku tersenyum melihat senyum Bang Dega dan Bang Digo di foto-foto itu. Aku sangat merindukan kalian, kejahilan dan kehangatan kasih sayang kalian. Seandainya kejadian itu tidak terjadi... Dua tahun lalu abang kembarku melakukan wisata dengan beberapa temannya setelah selesai ujian semester di tahun pertama perkuliahan mereka. Mereka ada di kampus yang sama tapi berbeda jurusan namun mereka memiliki banyak teman-teman yang sama. Saat itu aku masih kelas III SMP, sebelum mereka pergi aku memeluk mereka erat. Berpisah beberapa hari dengan mereka sebenarnya sudah biasa aku rasakan namun tetap aja berat melepas mereka pergi. Mereka selalu tahu dan berjanji untuk membawa oleh-oleh untuk menenangkanku. Aku menatap berat pada mereka. Papa merangkul bahuku dan mama berdiri di sisi sebelahku yang lain saat kami melepas mereka di teras rumah pada kamis sore. Papa dan mama mengingatkan mereka untuk berhati-hati. Sepeninggal mereka aku kesepian dan selalu mengirim pesan-pesan singkat pada mereka dan di balas dengan jenaka oleh mereka. Mereka sudah biasa melakukan perjalanan bersama teman-temannya termasuk dengan salah satu teman terbaik mereka Bang Gilang. Waktu berjalan lambat bagiku, tidak sabar untuk melihat kembali kedua abang tersayangku. Hari itu adalah hari kepulangan mereka di selasa sore saat aku pulang dari belajar kelompok di rumah temanku. Aku berjalan pulang dengan riang aku berpikir kedua abangku mungkin sudah ada dirumah. Tapi saat aku tiba di rumah, rumah masih sepi hanya ada Bik Onah. Mungkin sebentar lagi mereka pulang pikirku. Aku menunggu di ruang keluarga, kulihat jam menunjukkan pukul 7 malam, kenapa mereka belum pulang? Janjinya sampai rumah siang, ini sudah malam. Mama dan papa juga belum pulang, aku mendesah pelan. Aku menunggu dengan gelisah. Jam 8 malam Om Handi muncul di rumah.
“Hai Om.” ucapku menyambut Om Handi riang sambil merangkul lengannya. Om Handi senyum lalu mengajakku duduk.
“Papa dan mama belum pulang Om.” ucapku setelah kami duduk.
“Iya, Om tahu. Om di suruh papa kemari.” ucap Om Handi.
“O..kenapa papa suruh Om kemari padahal papa tidak ada di rumah.” ucapku.
“Iya, Om disuruh papamu membawa kamu ke rumah sakit.” ucap Om Handi pelan.
“Ke rumah sakit?” tanyaku heran mulai merasa ngak enak. Siapa yang sakit?
“Iya, dengarkan Om sebentar.” ucap Om Handi dengan lembut wajahnya menyiratkan sesuatu.
“Tadi siang saat perjalanan pulang, Digo dan Dega mengalami kecelakaan bersama teman-temannya.” Jantungku berdegup kuat.
“Apa.. Om...” ucapku kaget.
“Mereka lagi di rumah sakit sekarang, kamu harus tenang ya jingga.” ucap Om Handi.
“Om... Bang Digo dan Bang Dega baik-baik aja kan?” ucapku menahan isakku. Om Handi hanya diam, apakah terjadi hal buruk pada mereka.
“Ayo kita ke rumah sakit, mama dan papa kamu sudah di rumah sakit sekarang.” ucap Om Handi, mereka kecelakaan tadi siang dan aku baru tahu malam ini. Aku menangis, Om Handi merangkul bahuku. Om Handi menenangkanku lalu mengajakku pergi ke rumah sakit. Sepanjang jalan aku hanya menangis. Om Handi membiarkan aku menangis. Sesampai di rumah sakit aku langsung turun dari mobil Om Handi, Om Handi menyusul turun. Sepanjang koridor rumah sakit Om Handi merangkul bahuku sambil berjalan. Air mataku terus mengalir dan sesampai di ruangan tempat Bang Dega dan Digo di rawat aku langsung masuk ruangan. Ruangan itu ada dua tempat tidur tapi cuma satu yang terisi. Disamping tempat tidur yang terisi itu mama duduk sambil memegang tangan orang yang terbaring di sana. Tubuhnya terbalut perban, aku mendekat.
“Ma...” ucapku pelan, mama menoleh. Mata mama merah dan bengkak, mungkin dari tadi mama nangis terus. Mama berdiri.
“Jingga...” ucap mama, aku langsung memeluk mama. Lalu melepaskan pelukanku dari mama lalu melihat ke tempat tidur. Ini Bang Dega atau Bang Digo. Air mataku menutupi pandanganku, aku mengusap air mataku lalu mendekati tempat tidur. Kepalanya di perban tangan kirinya juga. Kaki kirinya juga kena perban. Wajahnya terlihat membengkak.
“Bang...” ucapku sambil mengelus lengannya yang tidak terbalut perban. Dia hanya diam.
“Digo masih belum sadar sayang.” ucap mama pelan, jadi ini bang Digo. Bang Dega mana?
“Bang Dega mana?” tanyaku sambil menangis.
“Dega di ruangan ICU, Jingga.” ucap mama terisak. Kakiku lemas, Om Handi yang ada di belakang kami langsung memegang bahuku mencegahku terjatuh. Aku menangis, berarti Bang Dega lebih parah. Bang Degaku yang jahil... Om Handi memelukku, mama juga menangis. Om Handi mengajakku duduk di kursi, masih dalam pelukan Om Handi aku menangis. Om Handi mengusap punggungku lembut. Apa yang akan terjadi dengan kedua abangku ini? Mereka akan sembuh kan... Papa muncul di ruangan.
“Jingga...” panggil papa, aku melepaskan pelukan Om Handi. Aku melihat ke arah papa, wajah papa terlihat suram matanya juga merah. Aku lalu berdiri dan berjalan ke arah papa dan memeluk papa. Aku menangis lagi di pelukan papa, papa membelai rambutku. Aku melihat wajah papa.
“Pa... Bang Dega dan Digo baik-baik aja kan?” ucapku, papa hanya mengangguk. Malam itu aku, papa dan mama tetap di rumah sakit. Om Handi pulang dan berjanji pagi hari datang lagi. Mama menyuruhku untuk tidur di tempat tidur yang kosong sedang mama duduk di kursi di sisi tempat tidur Bang Digo. Papa tiduran di sofa, walau ku tahu papa pasti tidak tidur. Papa sering bolak balik keluar. Meski ruangan ICU tidak boleh di kunjungi di jam segini tapi papa bolak balik kesana meskipun hanya berdiri di depan ruangan. Aku tak bisa tidur, aku memandang Bang Digo yang berbaring di tempat tidur sebelahku. Air mataku mengalir perlahan tanpa ku sadari membayangkan Bang Digo yang seharusnya tersenyum sekarang padaku dengan lembut dan menyerahkan oleh-oleh seperti janjinya. Dan aku akan memeluknya erat melepas kerinduanku. Tapi sekarang Bang Digo terbaring tak sadarkan diri, begitu juga Bang Dega. Akhirnya aku tertidur juga dan terbangun saat papa membangunkan aku. Aku lihat jam di tanganku, jam 6 pagi. Aku duduk, kulihat tempat tidur Bang Digo. Mama ngak ada di dekat tempat Bang Digo.
“Mama mana pa?” tanyaku sambil mengusap mataku yang terasa berat.
“Di ruang ICU, kita sebaiknya kesana juga. Papa sudah meminta tolong perawat untuk jaga Digo.” ucap papa. Lalu masuk seorang perawat ke ruangan.
“Bang Dega sudah bisa dijenguk pa?” tanyaku, papa mengangguk. Lalu kami pergi dari ruangan Bang Digo. Kami berjalan ke ruangan ICU, aku melihat di depan ruangan ada beberapa orang yang sepertinya keluarga pasien yang ada di ruangan ICU. Aku dan papa masuk, di dalam ruangan itu ada ruangan lagi. Ruangan-ruangan yang dindingnya terbuat dari kaca. Ada beberapa perawat berjaga di dalam ruangan. Kami masuk ke sebuah ruangan, mama sudah ada disana dan juga seorang dokter. Aku mendekat, ku lihat mama menangis. Aku menatap Bang Dega tubuhnya penuh dengan perban, dia dihubungkan dengan berbagai alat medis. Aku menatap wajahnya yang sekarang terlihat berbeda, air mataku mengalir.
“Bang...” ucapku serak.
“Sayang, kamu bicaralah dengan Bang Dega. Mungkin kita tidak punya banyak waktu lagi bersamanya.” ucap papa pelan, aku melihat ke arah papa. Apa maksudnya... Apakah Bang Dega akan... Tidak... jangan... Bang Dega harus bangun. Aku kembali melihat ke Bang Dega dan menyentuhnya.
“Bang Dega, ini Jingga. Bang... Abang janji bakalan bermain dengan jingga lagi kalau sudah pulang. Terus... kenapa Abang di sini tidur... Bangun Bang...” ucapku tak ada reaksi dari Bang Dega, ku dengar mama menangis dan papa menenangkan mama.
“Bang...jangan diam aja... Kemana kejahilan abang... Lakukanlah hal-hal konyol seperti biasanya. Dan ceritakanlah kisah petualangan kalian... Apa saja yang kalian lakukan saat pergi berwisata. ” ucapku sambil menangis. Aku menatap wajah Bang Dega dan berhenti menangis. Ini pasti candaan Bang Dega... Aku menghapus air mataku.
“Bang, ayo bangun jangan bercanda. Candaan Abang tidak lucu...” ucapku sambil mengguncang bahunya pelan tapi Bang Dega tidak bergeming. Matanya masih tertutup, Bang Dega... Aku dengar suara alat yang dihubungkan dengan Bang Dega berbunyi cepat lalu melambat. Aku bingung... Dokter yang ada bersama kami lalu memeriksa Bang Dega, lalu mendesah pelan dan berbicara pada papa. Mama menjerit lalu memeluk tubuh Bang Dega.
“Dega... Dega... “ ucap mama histeris, aku berdiri di sisi tempat tidur Bang Dega menatap mama memeluk Bang Dega. Papa menangis di sisi mama, aku merasakan kehampaan. Air mataku menetes, ku pandang wajah Bang Dega. Bang Dega, Abang pergi seperti ini. Tak maukah Abang melihat wajah adikmu ini sekali lagi. Bang... Aku tertunduk, dua orang perawat masuk dan membereskan segala peralatan medis yang dipakai untuk Bang Dega. Aku kembali menyentuh lengan Bang Dega...
“Bang... aku kangen. Bang... aku ingin mendengar suaramu, melihat senyumanmu. Abangku yang selalu menghiburku dan menjagaku.” ucapku sambil meneteskan air mata.
“Bang Dega tidak menunggu Bang Digo, aku harus jawab apa kalau Bang Digo nanti menanyakan Abang. Abang kan tahu Bang Digo tidak bisa sebentar saja berpisah dengan Abang. Terus kalau aku lagi sedih siapa yang akan buat lelucon konyol menghiburku... BANG DEGA...” teriakku, kakiku lemas dan terduduk di lantai. Bagaimana ini Tuhan... Kenapa secepat ini Bang Dega Engkau panggil... Aku harus bagaimana? Aku... Seorang perawat membantuku berdiri dan memapahku keluar ruangan dan membantuku duduk di ruang tunggu. Mama dan papa masih di dalam. Perawat wanita itu menemaniku duduk di kursi ruang tunggu. Aku diam menatap kosong ke depanku. Rasanya ini hanya mimpi saja. Tidak ini tidak nyata... Tidak mungkin Bang Dega pergi secepat ini... Tidak...
“Jingga...” Om Handi berdiri di depanku di sisinya ada istrinya, Tante Dea. Aku menatap mereka lalu mulai menangis lagi. Tante memelukku erat dan ikut menangis. Om Handi langsung masuk ke dalam. Tante menemaniku di ruang tunggu membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Aku tidak ingat lagi setelah itu bagaimana, aku hanya ingat diantar pulang sama Om Handi dan Tante Dea. Kami menunggu di rumah, Bik Onah juga menangis ku melihat dia tak hentinya menghapus air matanya.
“Bik...” ucapku, kami duduk di ruangan depan di sisiku ada Tante Dea . Beberapa barang sudah diungsikan ke belakang. Beberapa orang keluarga kami sudah berdatangan.
“Kita tidak bisa melihat Bang Dega lagi.” ucapku sambil terisak, Bik Onah mendekatiku lalu memegang tanganku.
“Iya Jingga, kamu harus kuat ya.” ucap Bik Onah.
“Kalau Bang Digo cari Bang Dega kita harus katakan apa Bik?” ucapku sedih, Bik Onah hanya diam tapi air matanya mengalir di pipinya.
Hari itu terasa sangat berat dan menyakitkan. Banyak orang yang datang mengucapkan rasa belasungkawa mereka. Keluarga kami, teman-teman mama dan papa juga teman-teman Bang Dega dan Bang Digo juga banyak yang berdatangan. Mama tak hentinya menangis, papa berusaha tegar walau aku tahu papa pasti juga hancur seperti mama. Aku hanya bisa menatap tubuh Bang Dega yang sudah terbujur kaku di depanku, ini tidak seperti kamu Bang. Abang tidak mungkin betah berdiam diri kan... Ini bukan Abang kan... Harusnya abang ada di depanku dengan senyum jahilmu dan menceritakan lelucon konyol ciri khasmu Bang. Ini... ini serasa tidak nyata.. Ini seperti mimpi... Mimpi yang sangat buruk. Aku tak mengubris orang-orang yang mengucapkan belasungkawa padaku. Mataku hanya menatap Bang Dega... Bang Digo sudah sadar tapi belum diberitahu tentang kondisi Bang Dega. Om Handi menemani Bang Digo di rumah sakit. Beberapa temanku datang juga, termasuk Laura dan Kimy aku menangis ketika melihat mereka. Hari hari selanjutnya terasa sepi. Bang Digo cukup lama di rumah sakit. Saat Bang Digo sudah semakin baik dan sudah boleh pulang ke rumah akhirnya papa memberitahukan tentang Bang Dega. Bang Digo sangat terpukul dan menangis, papa tidak ingin terus membohongi Bang Digo. Lebih baik Bang Digo segera tahu karena Bang Digo selalu bertanya tentang Bang Dega. Saat kecelakaan itu Bang Dega melindungi Bang Digo sehingga Bang Dega yang akhirnya terluka parah. Sejak Bang Digo tahu Bang Dega meninggal, Bang Digo hanya diam dan tidak bernafsu makan. Mama membujuk Bang Digo dan mengatakan tidak mau kehilangan satu lagi anaknya. Akhirnya Bang Digo makan tapi tetap berdiam diri. Setelah pulih benar Bang Digo meminta pada papa dan mama untuk pindah kuliah di luar kota. Bang Digo katakan kalau sekarang dia tidak bisa lagi konsentrasi kuliah bila ada di kota ini. Akhirnya Bang Digo juga pergi kuliah ke kota lain. Bang Digo tidak peduli lagi denganku, Bang Digoku yang baik dan hangat telah hilang. Perhatiannya yang selalu membuatku nyaman telah hilang. Mama menyibukkan diri dengan butiknya dan papa juga menyibukkan diri dengan pekerjaannya, mereka melampiaskan kesedihannya lewat pekerjaan mereka. Rumah terasa kosong, tinggal aku dan Bik Onah. Aku merindukan masa-masa itu... Saat Abang ada di sini Bang... ucapku dalam hati sambil mengusap pelan foto Bang Dega dan Bang Digo. Mereka tertawa bahagia di foto ini...
“Jingga.” suara Bik Onah, aku menoleh dan tersenyum pada Bik Onah yang melangkah masuk.
“Sudah lama nggak kemari Bik.” ucapku, Bik Onah senyum.
“Terima kasih sudah merawat tempat ini Bik.” ucapku lalu mengajak Bik Onah keluar dari ruangan ini.
*