Suara bel rumah berbunyi aku berjalan ke depan dan membuka pintu rumah. Aku terpaku...
“Jingga...” suara yang sudah lama tidak aku dengar.
“Laura... Kimy...” ucapku serak.
“Boleh kami masuk.” ucap Kimy, aku mengangguk. Lalu mundur dari depan pintu dan mempersilahkan mereka masuk. Kami duduk berhadapan, suasana kaku tercipta antara kami.
“Jingga, aku minta maaf...” suara Laura memecah keheningan.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Jangan seperti itu Jingga, kita sama-sama tahu bagaimana hubungan kita selama ini.” ucap Laura. Aku hanya diam.
“Maaf jingga, aku salah...” ucap Laura, sebenarnya apa maksud mereka datang kemari.
“Kamu mau apa sebenarnya.” ucapku datar.
“Jingga, kamu sahabatku. Kita sudah berteman sejak SMP, aku tidak mau kehilangan kamu.” ucap Laura.
“Sahabat?” tanyaku.
“Aku tahu aku salah, aku percaya pada Monik dan menghianati persahabatan kita.” ucap Laura, tanpa peduli dengan pertanyaanku.
“Kamu katakan sahabat? Kita sahabat?” ucapku sambil senyum.
“Sahabatkah kita? Jika kamu tidak percaya padaku? Jika kamu memilih menyakitiku dibanding menghiburku.” ucapku dingin.
“Aku salah Jingga... Aku salah...” ucap Laura air mata mengalir di pipinya. Laura menangis... benarkah dia menyesal?
“Jingga... Laura benar-benar menyesal.” ucap Kimy pelan, Kimy... kamu yang paling dekat denganku dulu lalu kamu kemana saja.
“Sudahlah Laura tidak usah menangis, aku memaafkanmu kok.” ucapku akhirnya ingin mengakhiri percakapan ini.
“Benar Jingga.” ucap Laura sambil menghapus air matanya, aku mengangguk.
“Jadi kita bisa berteman seperti dulu lagi kan.” ucapnya sambil menatapku.
“Mmm... untuk saat ini aku tidak bisa mengatakan ya atau tidak, bukan aku tidak memaafkanmu tapi aku hanya ingin sendiri saja... Sekarang aku sudah kembali menemukan kehidupan tenangku.” ucapku, Laura dan Kimy menatapku. Lalu...
“Jingga aku juga minta maaf karena selama ini sangat egois.” ucap Kimy pelan.
“Tidak usah minta maaf Kim kamu tidak salah. Sudah sewajarnya kita punya kegiatan masing-masing dan tidak mungkin selalu bisa bersama-sama.” ucapku walau itu tidak sesuai dengan kata hatiku, seharusnya kamu sedikit saja perduli. Kimy diam, lalu suasana kembali hening. Dua orang di depanku adalah sahabatku dari SMP, kami selalu bersama namun beberapa kejadian dua tahun terakhir ini membuat kami renggang. Aku tidak akan lupa kebersamaan kita tapi aku tidak bisa bareng kalian seperti dulu lagi saat ini. Aku masih belum siap... Tidak lama kemudian Laura dan Kimy permisi pulang. Laura dan Kimy adalah sahabatku dari SMP bahkan saat SMU kami kembali sekolah bersama. Kimy aktif di Osis saat SMU sehingga kami jadi jarang bareng. Karena itu aku dan Laura yang sering sama. Dan Laura menghianatiku karena seorang senior yang disukainya, Bang Gilang. Bang Gilang dekat denganku karena dia teman abangku. Laura pernah mengira aku dan Bang Gilang punya hubungan spesial, lalu aku membantahnya. Laura akhirnya mengatakan kalau dia menyukai Bang Gilang dan aku mendukungnya begitu juga Kimy. Tapi karena kejadian yang menimpa Bang Dega dan Bang Digo membuat Bang Gilang lebih dekat denganku. Dan Monik yang sudah lama tidak menyukaiku menghasut Laura mengatakan bahwa aku dan Bang Gilang pacaran. Laura percaya pada Monik karena Monik sepupu Bang Gilang. Kemudian Laura membeberkan rahasiaku membuatku menjadi bahan ejekan di sekolah. Laura menceritakan kepada Monik kalau aku rutin pergi ke psikiater karena sakit. Hanya Laura, Kimy dan Om-ku Om Handi sekaligus psikiaterku yang tahu tentang hal itu. Mama dan papa serta Bang Digo juga tidak tahu. Dan mulai saat itu aku merasakan sekolah adalah neraka padahal aku baru saja di tahun pertama SMU-ku. Mereka membuatku jadi bahan olokan, mengatakanku sakit jiwa... gila. Padahal aku sering datang ke praktek Om Handi untuk mengatasi mimpi-mimpi buruk yang selalu ku mimpikan dan kecemasan berlebihan yang kurasakan semenjak kejadian yang dialami Bang Dega dan Bang Digo. Damian cowok yang sedang dekat denganku saat itu pun menjauh.. Dan akhirnya akrab dengan Monik dan Laura. Aku akhirnya tahu Damian cowok seperti apa, cowok yang selama ini ku anggap baik dan pengertian. Ternyata tidak benar-benar baik dan pengertian terhadapku. Aku sendiri, Kimy yang sibuk tidak membantu mendamaikan aku dan Laura. Monik selalu memandang mengejek padaku. Sejak itu aku tak mau bertemu Bang Gilang lagi. Di tahun ketiga SMU-ku aku memutuskan untuk pindah supaya lebih kosentrasi belajar. Berharap aku akan lulus di perguruan tinggi tapi bukan di kota ini. Aku ingin pergi dari kota ini seperti Bang Digo. Aku mulai tenang di sekolah baruku karena mereka tidak mengetahui kondisiku. Ku harap sampai akhir sekolah SMU-ku mereka tidak akan mengetahuinya, aku ingin sekali tenang. Kenapa mereka muncul lagi...
Hari ini aku datang ke praktek Om Handi. Sudah beberapa lama aku tak menemui Om Handi. Aku sudah tidak terlalu sering bermimpi buruk lagi dan juga merasa tekanan yang ku alami berkurang karena sudah pindah sekolah baru. Semua rasanya lebih tenang. Walau aku masih terus mengalami halusinasi. Dan aku belum pernah menceritakan pada Om Handi kalau terkadang aku berhalusinasi berbicara dengan Bang Dega dan Bang Digo terutama ketika aku memandang langit. Aku tidak ingin ada yang tahu, aku hanya ingin menyimpannya... Aku berjalan masuk ke ruangan Om Handi. Om Handi menyambutku ramah.
“Hai ponakanku yang cantik.” ucapnya sambil berdiri, Om Handi adalah adik mama.
“Hai Om.” balasku sambil senyum, Om Handi medekatiku dan merangkul bahuku.
“Aku senang bertemu denganmu sayang, tapi tidak di ruangan ini.” ucapnya jenaka, aku tertawa kecil.
“Ada apa ini?” ucapnya sambil menyuruhku duduk di sofa di ruangannya.
“Masih suka mimpi buruk lagi?” tanya Om Handi, aku menggeleng. Om Handi duduk di depanku.
“Teman-teman dari SMU lamaku datang membuatku kembali mengingat semua.” ucapku pelan, Om Handi tersenyum lembut. Om Handi tahu apa yang ku alami di sekolah lamaku. Om Handi yang membantu kepindahanku dari sekolah lama ke sekolah baruku yang sekarang.
“Jadi...” ucap Om Handi.
“Yah... Aku takut kalau teman-teman di sekolah baruku akan tahu kondisiku.” ucapku pelan.
“Tidak perlu cemas untuk hal-hal yang belum terjadi. Nikmati saja hari-hari barumu sayang.” ucap Om Handi.
“Aku pun ingin begitu Om tapi... Sulit...” ucapku pelan, Om Handi berdiri dan duduk di sisiku. Lalu merangkul bahuku.
“Coba jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum terjadi, segala prasangka dan pikiran buruk. Kalau pun sesuatu terjadi, Om ada di sini kapan pun kamu butuh bantuan atau teman cerita kamu datang atau telpon Om jangan dipendam ya.” ucap Om Handi, aku mengangguk mataku berkaca-kaca. Rangkulan hangat Om Handi membuatku tenang. Aku sebenarnya ingin menceritakan kondisiku akhir-akhir ini tapi aku sulit bicara. Benarkah kata teman-temanku, aku sakit jiwa?
Pagi ini aku agak lama datang ke sekolah. Saat memasuki gerbang sekolah, aku melihat sudah banyak siswa yang datang. Aku berjalan menunduk, aku berjalan di lorong sekolah menuju kelasku. Beberapa siswa bergerombol di depan ruang bercerita sambil tertawa bersama sebelum bel tanda masuk berbunyi. Dulu aku juga begitu dengan teman-temanku, sekarang... Aku percepat langkahku menuju kelasku tiba-tiba ada yang merangkul bahuku dari belakang. Aku kaget...
“Hai Jingga...” Karel dan Weny yang sudah ada di sisiku.
“Kaget ya.” ucap Wenny, aku senyum.
“Ayo cepat ke kelas.” ucap Karel lalu menarikku dan Weny berlari menuju kelas sambil tertawa, aku pun ikut tertawa kecil. Kehangatan pagi hari di sekolah seperti ini sudah lama tidak ku rasakan. Kami tiba di ruangan dengan nafas terengah-engah sambil tertawa. Di ruangan sudah ramai dan seperti biasa Banyu sudah duduk di bangkunya. Aku duduk di bangkuku tepat saat bel tanda masuk berbunyi. Aku mengatur nafasku menenangkan diriku untuk memulai pelajaran hari ini. Hari ini terasa ringan dan bersemangat, aku melihat Karel dan Weny di depanku. Terima kasih untuk waktu ini. Suatu saat jika kalian tahu aku mungkin akan kehilangan momen seperti ini. Aku menoleh ke sampingku, Banyu tetap asyik dengan bukunya. Kamu juga Banyu... Punya waktu walau singkat seperti ini bersama kalian aku bersyukur. Aku harap masa akhir SMU-ku akan punya kenangan yang indah bersama kalian. Kalian membuatku memiliki hari baru yang menyenangkan. Padahal dulu ku berpikir untuk tidak akan memiliki teman di sekolah baruku. Menghindari orang-orang yang ingin berteman denganku...aku tidak ingin terluka lagi. Bersama kalian pikiran itu menghilang. Walau aku lebih banyak diam kalian selalu melibatkanku dan menolongku. Kita baru kenal tapi kalian membuatku seperti teman lama kalian. Aku tersenyum menatap mereka. Pak Dayat memasuki ruangan, pelajaran hari ini dimulai.
Jam Istirahat baru saja selesai tapi aku masih baru berjalan dari ruangan guru. Aku berjalan menuju kelas, ku melihat ke lapangan. Itu bukannya Banyu, ngapain dia duduk di bawah pohon di pinggiran lapangan. Masih dengan buku dan pensilnya pasti buat sketsa. Tapi ini kan sudah jam pelajaran. Kenapa dia masih di luar? Aku memutar langkah kakiku dan mendekati Banyu, Banyu tidak menyadari kedatanganku. Aku berjalan pelan di belakangnya dan mencoba melihat apa yang digambarnya. Seraut wajah yang tersenyum dengan rambut yang tergerai panjang, cantik. Inikah isi dari buku sketsa Banyu.
“Cantik sekali.” ucapku tanpa sadar. Banyu kaget dan melihat ke belakang.
“Maaf, mengganggumu.” ucapku merasa bersalah. Banyu hanya diam lalu menutup bukunya. Lalu berdiri dan berjalan pergi, aku mengikuti langkahnya.
“Maaf, aku tidak bermaksud lancang melihat sketsamu.” ucapku merasa bersalah, Banyu hanya diam. Aku lalu memperlambat langkahku. Banyu berjalan di depanku, aku menatap punggungnya. Banyu jangan marah... Banyu lebih dulu masuk ruangan aku menyusul dibelakangnya. Karel dan Weny menatap kami.
“Dari mana kalian?” tanya karel berbisik sambil memundurkan tubuhnya ke belakang, setelah aku duduk. Wenny juga menoleh padaku.
“Aku dari ruang guru, Banyu dari lapangan.” ucapku pelan.
“O...” ucap karel tanpa suara lalu kembali menarik tubuhnya ke depan dan kembali memperhatikan guru yang mengajar begitu juga wenny. Aku melirik Banyu, dia sedang memperhatikan guru mengajar tanpa ekspresi.
Aku terbangun dari mimpi buruk, bajuku basah karena keringat. Nafasku tak teratur perasaaan takut menghantuiku. Tidak Jingga itu hanya mimpi bukan kenyataan. Tenang Jingga... tenang... Aku berkata pada diriku sendiri. Aku bangkit dari tidurku mengambil air putih yang ada di atas meja kecil disamping tempat tidurku. Aku meminumnya perlahan, lalu berdiri dan berganti pakaian. Lalu aku kembali mencoba tidur, tapi mataku tak bisa terpejam sampai pagi. Pagi ini aku lesu, kurang tidur. Kenapa mimpi burukku sekarang sering muncul kembali lagi. Sudah beberapa bulan ini aku hanya sesekali bermimpi buruk tapi dalam minggu ini sudah beberapa kali aku bermimpi buruk. Aku berangkat sekolah dengan lesu, di kelas aku berusaha menahan kantuk yang menyerang. Saat istirahat aku hanya tiduran di kelas. Karel dan Wenny menatapku heran. Banyu saat bunyi bel istirahat langsung menghilang keluar kelas. Sejak aku melihat sketsanya 3 hari lalu Banyu tidak pernah lagi mengajakku bicara. Dia beneran marah. Kenapa dia marah aku lihat sketsanya, apakah sebegitu rahasianya? Apakah itu sketsa wajah cewek yang dia sukai? Ntahlah... aku tak mampu menebak jawaban yang benar. Saat ini kantukku lebih menguasaiku
“Kamu kenapa kok lesu banget?” tanya Weny, aku menggeleng.
“Tidak apa-apa Wen.” ucapku.
“Tidak apa-apa bagaimana, kamu kelihatan lesu begitu.” ucap Karel.
“Aku hanya kurang tidur.” ucapku, Karel dan Weny menatap iba.
“Kurang tidur kenapa? Apa ada sesuatu terjadi?” tanya Weny.
“Aku hanya mimpi buruk semalam. Terus tidak bisa tidur lagi.” ucapku.
“Duh, kasihan.” ucap Weny sambil membelai rambutku pelan. Aku senyum, karel juga membelai rambutku.
“Sudah kamu tiduran sebentar, kalau sudah masuk nanti kami bangunin.” ucap Karel, aku mengangguk. Lalu menutup mata. Tak terasa aku tertidur lebih dari satu jam. Karel dan Weny tidak membangunkanku karena guru pelajaran biologi kami tidak datang. Jadi selama jam biologi aku tidur dan tidak terganggu dengan suasana kelas yang walau pun diberikan tugas tetap aja ribut. Saat aku bangun, aku kaget melihat jam. Lalu Karel jelasin kalau Ibu Miska tidak masuk karena anaknya sakit. Aku lega tapi...
“Apa yang kalian kerjakan itu?” tanyaku sambil menatap buku yang di pegang Wenny.
“LKS (Lembar Kerja Siswa) biologi.” ucapnya.
“Ada tugas?” tanyaku, weny mengangguk. Lalu kembali mengerjakan LKS-nya. Ku lihat jamku, astaga waktu tinggal 10 menit lagi.
“Aku...” ucapku bingung. Lalu membuka tasku dan mencari LKS-ku, bagaimana caranya mengerjakan LKS dengan waktu cuma 10 menit? Aku membolak-balik buku-buku di tasku. Nah lo... bukunya juga aku tidak bawa? Seingatku aku membawanya, ya ampun bagimana ini. Aku panik lalu sebuah LKS biologi disodorkan dihadapanku. Aku menoleh, Banyu yang menyodorkan padaku. Aku menatapnyaa bingung.
“Itu buku kamu.” ucapnya, lalu dia berdiri dan menyerahkan LKS-nya pada ketua kelas kemudian dia keluar kelas. Dia sudah selesai, kenapa LKS-ku ada padanya? Ah... ntahlah, yang penting aku kerjain LKS-ku dulu. Aku membuka LKS-ku dan aku terbengong. Semua sudah terisi termasuk bagian esainya. Aku menatap LKS-ku dan mendekatkanya ke wajahku untuk memastikan memang semua sudah diisi. Bukan karena halusinasi. Aku perhatikan tulisan esainya, itu bukan tulisanku tapi mirip tulisanku. Ini tadi dari tangan Banyu, apa Banyu yang isi? Ah... tidak mungkin dia kan lagi marah padaku... Tapi...
“Hei kok bengong, sini LKS-nya biar aku yang kumpul. Waktunya sudah habis.” Suara Karel menyadarkanku. Karel menarik LKS di tanganku, aku hanya diam.
“Tidak usah bengong, itu yang kerjain si Banyu. Dia pintar kok meniru tulisan” ucap Weny memberikan jawaban atas pertanyaan yang berlalu lalang di kepalaku.
“Iya.” kata Karel yang sudah kembali ke bangkunya.
“Tadinya kami mau bangunin kamu di jam kedua Biologi tapi dilarang Banyu. Katanya biarikan saja kamu istirahat. Banyu yang akan kerjain tugas kamu.” ucap Karel sambil duduk.
“Tapi kenapa? Bukannya dia marah padaku?” tanyaku aneh.
“Yailah... namanya juga sayang walau marah ya tetap dibantu. Itu namanya pacar yang baik.” ucap Weny sambil tertawa.
“Banyu marah?” tanya Karel yang lebih mencermati perkataanku. Pacar?
“Pacar? Eh... aku dan Banyu tidak pacaran.” ucapku berusaha meluruskan kesalahpahaman Karel dan Weny. Tanpa menjawab pertanyaan Karel.
“Sudahlah Jingga, kita tahu kok.” ucap Weny sok tahu sambil menatap Karel, Karel mengangguk. Ya sudahlah, mereka tidak akan mau percaya padaku.
“Tunggu dulu, kamu katakan Banyu marah? Kenapa dan kapan?” tanya Karel. Aku menatap Karel dan Weny. Kenapa tadi harus terucap sih kalau Banyu marah.
“Itu..., kemarin tiga hari yang lalu. Aku melihat sketsanya sewaktu di lapangan. Aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya penasaran apa yang dia gambar.” ucapku merasa bersalah.
“O... Banyu memang tidak suka sketsanya dilihat orang. Sudah jangan khawatir, dia mungkin tidak marah lagi. Buktinya dia bantuin kamu.” ucap Karel, semoga... Aku mendesah pelan lalu menyandarkan tubuhku di sandaran bangkuku. Banyu membantuku mengerjakan tugasku, Banyu...Terima kasih. Aku menatap ke pintu kelas, kenapa Banyu belum masuk kelas? Aku mau ucapin terima kasih. Aku terus menatap ke arah pintu menanti Banyu. Tapi sampai usai pelajaran terakhir Banyu tidak muncul. Aku menatap bangku sebelahku, kamu kemana Banyu? Tas kamu masih di sini.
“Jingga, tolong ambilin tas Banyu biar aku bawa pulang. Ntar aku singgahin ke rumahnya.” ucap Weny. Aku mengambil tas Banyu lalu memberika kepada Weny.
“Banyu kemana?” tanyaku.
“Mungkin ke rumah sakit.” ucap Weny.
“Ke rumah sakit? Siapa yang sakit?” tanyaku penasaran. Weny menatapku lalu...
“Temannya...” ucap Karel lalu mengajak kami keluar kelas. Temannya? Siapa temannya itu, kenapa dia pergi di jam pelajaran? Aku berjalan mengikuti Weny dan Karel dengan pertanyaan tanpa jawaban.
*