MISSION CLEAR
'Satu titik dimana aku menyadari bahwa semua yang kulakukan telah benar.’
Satu pekan berlalu sejak Fredy pergi menghilang. Kebahagiaan Joo tak lagi berarti mengingat sumber dari semua kebahagiaannya telah melebur tanpa jejak. Jas putih fakultas kedokteran melekat di tubuh Joo. Ya, gadis itu lebih memilih meneruskan pendidikannya di fakultas kedokteran. Joo merasa tanggung untuk memulai dari awal. Anggap saja fakultas kedokteran yang Joo jalani sebagai tambahan ilmu.
Joo menyesap kopinya perlahan. Netranya menatap lurus gedung-gedung pencakar langit dari lantai atas kampusnya. Semburat merah muda keunguan mewarnai langit tanda bahwa hari akan gelap. Joo memejamkan matanya. Ia merindukan Fredy.
Selama seminggu penuh ini Joo rela bolak-balik dari kampus ke studio pribadi Fredy dan sering kali ia mengunjungi kampung halaman lelaki itu. Namun semua usahanya nihil meskipun Greeze dan Alvin sudah turun tangan ikut mencari keberadaan Fredy.
"Mungkin kau harus benar-benar melupakannya Joo."
Suara berat itu Joo mengenalnya dengan jelas. Joo tak bergeming sedikitpun.
"Dia serius dengan ucapannya waktu itu yang akan pergi meninggalkanmu."
"Marcel, berhentilah memperkeruh hubunganku dengannya. Ingat, semuanya telah berakhir." Joo membalikkan tubuhnya bersiap pergi.
Dengusan kasar terbang bersama udara. Marcel mengepalkan tangannya kuat, rahangnya mengeras. Kenyataan yang ada memupuskan harapannya. Joo tak akan pernah menjadi miliknya. Biarpun Fredy mengingkari ucapannya akan menjaga hati Joo darinya tetapi nama lelaki itu sudah terlalu rekat dihati tulus gadis itu.
***
Puluhan panggilan tak terjawab menghiasi layar ponsel. Fredy menepis ponsel dari jangkauannya. Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada dinding. Pikirannya masih kacau balau untuk kembali berkomunikasi dengan teman-temannya apalagi Joo.
"Kau masih merasa bimbang?"
Fredy terdiam, membiarkan Reyna berjalan menghampirinya. Tantenya itu kemudian berjongkok di depannya dan tersenyum hangat. Tangannya mengusap wajah Fredy lembut.
"Lukamu akibat mempertahankan mimpi Joo saja sudah sembuh. Berarti kau juga harus sembuh dari rasa traumamu waktu itu."
Kedua alis Fredy menyatu tak mengerti dengan ucapan Reyna.
"Hidup itu berawal dari rasa sakit. Karena rasa sakit itulah awal dari kesempurnaan, bukan hal yang harus disesali jika kau telah menyakiti hati seseorang, Fredy. Namun yang patut disesalkan adalah ketika kau tak mampu mengobati rasa sakit yang kau torehkan."
"Dari sudut pandangku kau sama sekali tak menyakiti hatinya, kau berhasil menyembuhkannya. Tapi kenapa sekarang malah kau yang menyakiti dirimu sendiri?"
Fredy mengacak rambutnya gusar. Ucapan Reyna semakin menohok hatinya dari hari ke hari. Ya, sejak Fredy menaruh pilihannya tinggal di rumah kakak iparnya, wanita itu tak pernah lelah memberi Fredy dorongan untuk memulai hubungan yang lebih serius dengan Joo.
"Nara pasti akan sangat senang melihat anak kecil yang dulu selalu membuat masalah dengan anak perempuan berubah menjadi pria yang sangat menjaga hati perempuan sampai takut untuk memulai hubungan." Reyna menyindir tipis.
"Kak Reyna! Jangan buat aku semakin ingin menemuinya!" teriak Fredy frustasi.
Reyna terkekeh pelan. "Memang seharusnya kau datang menemuinya. Hatimu sudah tak bisa lagi berbohong bahwa kau telah mencintai Joo, Fredy."
***
"Kau masih belum dapat bertemu dengannya?"
Pandangan kosong Joo pecah. Ia menundukkan kepalanya. Dimanapun ia berada Joo selalu memikirkan Fredy. Kebahagiaan Joo terasa tak berarti tanpanya. Joo mendongakkan kepalanya ketika merasakan genggaman hangat menjalari tangannya.
"Perlu kulaporkan dia ke polisi sebelum aku pergi?"
Joo melepaskan tangannya dari genggaman. "Dia bukan buronan, Kak. Jangan berlebihan deh,"
Rafa melipat kedua lengannya di atas meja lalu menatap adiknya prihatin. "Habis kau tidak makan teratur dan sering tidak fokus sejak dia menghilang. Lihat, kau bahkan tidak memakan makanan yang kupesan,"
"Benarkah?" jawab Joo terdengar linglung.
"Joo, bagaimana aku bisa kembali ke Singapura dengan tenang jika keadaanmu menyedihkan seperti ini," Rafa kembali meraih kedua tangan Joo.
"Rasanya aku ingin menghabisi pacarmu sampai tak bisa kabur lagi jika bertemu dengannya." geram Rafa kesal.
Joo tak menghiraukan Rafa. Pandangannya kembali kosong. Menatap pantulan dirinya dalan kaca jendela cafe. Joo tak pernah lelah menatap keluar karena ia menyimpan harapan bahwa ia pasti dapat menemukan Fredy di antara keramaian itu.
Diam-diam Rafa menghembuskan napasnya perlahan. Kepergiaannya kali ini terasa berat. Joo masih butuh perlindungan ekstra darinya. Rafa takut jika ia berangkat nanti Joo akan melakukan hal-hal nekat di luar batas, terlebih kedua orang tuanya sedang dinas keluar kota.
***
Gelombang-gelombang alat pengukur detak jantung terus berjalan. Gelombang itu sangat rendah. Beberapa selang melilit di sekitar tubuh Rachel. Sejak kemoterapi dilakukan untuk kesekian kalinya tubuh Rachel semakin kritis. Ia belum tersadar dari operasi kemoterapinya.
Seorang dokter memasuki ruangan. Sepasang suami istri yang sedang duduk di dekat putrinya itu langsung bangkit menyambut dokter. Mereka tak pernah lelah menanyakan hasil pemeriksaan Rachel.
Kevin memeriksa Rachel. Keadaannya masih sama.
"Dokter, tolong buat putri kami sembuh! Dia masih memiliki cita-cita! Dia juga belum menikah!" wanita paruh baya itu memohon-mohon pada dokter.
"Saya dan tim medis lainnya sudah berusaha yang terbaik. Semua keputusan tentang kesadaran saudari Rachel hanya berada di tangan Tuhan."
Semuanya hanya bergantung pada doa. Nyawa Rachel kian hari kian kritis. Kanker hati menggerogoti tubuh sehatnya. Berbagai terapi telah ia lakukan, termasuk beberapa kali pindah rumah sakit demi mendapatkan pelayanan terbaik. Bagi kedua orang tua Rachel, kehadiran Rachel sangatlah penting. Dialah putri tunggal yang dimiliki. Masa depan cerah kedua orang tuanya.
***
Keputusan sidang pleno kenaikan semester tertempel rapi di papan pengumuman. Derap langkah cepat menyerbu keramaian. Rasa antusias semakin mendorongnya untuk mengambil posisi tepat dekat kaca mading. Tatapan tajamnya memilah sekian ratus nama yang ada di dalam kertas. Senyum tipis gadis itu mengembang, namanya ada disana.
Elkie Felycia, naik semester tiga fakultas desain grafis. Gadis itu menjerit keras dan melompat kecil mengungkapkan kebahagiaannya. Usahanya dalam ujian seminggu penuh kemarin membuahkan hasil. Teringat sahabatnya, Elkie mendadak lemas.
Rachel Xeliana. Elkie kembali mempertajam namanya mencari nama sahabatnya disana. Mustahil memang jika namanya ikut tertulis. Ya, selama ujian berlangsung Elkie sama sekali tak melihat kehadiran sahabatnya. Awalnya Elkie sempat berpikir sahabatnya itu mengikuti ulangan susulan atau tidak langsung tapi nyatanya sampai saat ini pun keadaan Rachel semakin memburuk.
"Rachel, kau pasti naik satu tingkat bersamaku kan?" gumam Elkie.
Dalam sekejap Elkie sadar kebahagiaanya kali ini terasa semu. Tak ada orang yang dapat Elkie ajak untuk berbagi kebahagiaan. Kedua orang tuanya sibuk bekerja, kakaknya yang akhir-akhir ini sering uring-uringan tak jelas akibat kenyataan pahit berakhirnya hubungan percintaannya dengan Joo, dan sahabatnya yang sedang jatuh sakit dan berjuang melawan penyakit berbahaya.
"Aku harus berbagi kebahagiaanku pada orang lain. Mereka semua pasti membutuhkan energi positif." kedua tungkai Elkie melaju kencang keluar kampus. Selintas ide cemerlang melintas dalam benaknya.
***
Studio itu tetaplah sunyi. Pemilik dari studio itu sudah tak pernah berkunjung lagi. Alvin melempar tasnya ke sembarang arah. Lama-lama ia bosan juga saat kembali. Tak ada orang yang ia ganggu lagi, tak ada musik yang mengiringi tariannya, tak ada pantulan orang yang asyik berkutat dimejanya.
Alvin merindukan Fredy. Sebagai sahabat terbaiknya yang rela membagi studio pribadi miliknya dengannya. Bahkan Fredy memberikan kunci cadangan studio untuk Alvin. Sekarang Alvin sudah tidak bisa terus menunggu Fredy. Ia harus pergi mencarinya. Kemanapun. Sampai ketemu.
Alvin memulai dengan menghubungi nomor Fredy. Kedua matanya melebar. Teleponnya tersambung. Untuk pertama kalinya dalam sepekan nomor telepon Fredy aktif. Alvin terenyum senang. Ia harus menemukan sahabatnya itu. Penuh semangat ia berlari keluar studio dan bergerak cepat mengunjungi tempat-tempat kemungkinan Fredy berada.
***
Gelombang dengan bukit dan lembah yang rendah terus bergerak dalam moniitor. Suhu dalam ruang ICU mendadak dingin. Tanpa disadari gelombang tersebut berjalan membentuk garis lurus sepenuhnya hingga berbunyi.
Keterkejutan luar biasa mengetuk jantung kedua pasangan suami istri disana. Napas Rachel terhenti. Teriakan histeris menderu seluruh ruangan. Sang lelaki paruh baya berlari kencang mencari dokter. Sedangkan wanita paruh baya itu telah menangis tersedu menggoncang-goncangkan tubuh Rachel.
"Rachel bangun! Jangan tinggalkan kami!"
Kehebohan dalam ruangan yang terbuka itu mengundang beberapa perawat yang berjaga untuk masuk. Mereka memeriksa tubuh Rachel. Tak lama Kevin datang. Ya, dokter yang selama ini menangani Rachel. Dengan panik ia kembali memeriksa tubuh Rachel. Tak bisa dibohongi lagi alat penghitung denyut nadi itu. Hari ini, telah dicatat bahwa Rachel telah meninggal dunia.
"Maafkan saya, Tuhan berkehendak lain dari usaha saya." sesal Kevin pada ibu Rachel yang menghambur ke dalam pelukan putrinya usai ia memeriksanya.
Wanita paruh baya itu tak menyahuti rasa sesal Kevin. Ia terus menangis begitupula pria paruh baya yang berdiri tegar menatap kepergian Rachel. Kevin memutuskan untuk memberi waktu sebentar bagi keluarga yang ditinggalkan. Saat akan keluar Kevin berpaspasan dengan seorang gadis muda yang akan masuk ke dalam ruangan.
D"ok apa yang terjadi? Kenapa--"
"Dia meninggal, baru saja." ucap Kevin lirih.
Untuk sejenak Elkie merasa tercengang. Ia tidak salah dengar kan? Rachel tidak mungkin meninggalkanya disaat dirinya ingin berbagi kebahagiaan dengannya kan? Dokter di depannya tidak berbohong kan?
Suara tangis pilu menyanggah semua pertanyaan-pertanyaan penuh harapan Elkie. Tubuh Elkie lemas. Lututnya bergetar hebat tak mampu berjalan mendekati jenazah sahabatnya.
"Rachel.." lirih Elkie berjalan pelan mendekati ranjang.
Perlahan tapi pasti Elkie dapat menatap tubuh pucat pasi Rachel. Satu buliran air mata lolos dari mata Elkie. Elkie menjerit tertahan memanggil nama Rachel. Apa yang Rachel ucapkan benar. Bahwa ia tak bisa lagi bertahan lama dan kini ia telah pergi untuk selamanya.
"Maafkan aku Rachel.." isak Elkie mengingat ia justru tak banyak berbuat baik di akhir hidup sahabatnya itu.
***
Tekad bulat telah tertanam pada hati Alvin. Biarpun hari telah gelap ia tetap bergerak mencari Fredy. Sekalipun kembali ke kampus untuk kedua kalinya dalam sehari. Alvin sudah memeriksa semua tempat kemungkinan Fredy berada namun tak kunjung menemukannya.
Untuk mempercepat pencarian, Alvin memilih menaiki lift. Tombol angka 5 tertekan. Ya, disanalah dugaan terkuat Fredy berada. Di lantai khusus klub kegiatan di kampus. Dan disana juga terdapat perpustakaan mini yang cukup sunyi dibandingkan perpustakaan utama di lantai dasar.
Pilihan pertama Alvin jatuh di klub musik. Klub yang menyediakan berbagai alat musik memadai layaknya studio pribadi Fredy. Alvin yakin Fredy tak akan bisa lepas dari musik mengingat mimpinya sebagai musisi sangatlah besar.
"Apa sudah pulang?" bingung Alvin ketika pintu tidak terbuka ketika ia menarik ke bawah kenop pintu.
Memastikan dugaannya, Alvin mendekatkan telinganya pada daun pintu. Sunyi, tak ada suara apapun di dalam. Alvin segera beranjak mendekati satu pintu yang ada disepanjang sisi kanan koridor. Pintu yang akan menghubungkannya dengan lapangan futsal.
Tanpa ragu Alvin membukanya. Berbeda dengan klub musik, klub futsal justru masih berlatih di malam hari. Mereka-anggota klub futsal-tidak menyadari kehadiran Alvin. Alvin menajamkan penglihatannya mencari sosok paling mungil dan gesit disana. Tidak ada. Fredy tidak bermain futsal bersama teman-temannya.
"Alvin apa yang kau lakukan disana? Ingin latihan juga?" tegur seorang senior berwajah rupawan yang tengah duduk mengawasi latihan.
Alvin tersenyum lalu menggeleng pelan. "Nggak ah, jadi gerogi kalau yang latihan hanya para senior saja." tolak Alvin halus.
Belum sempat menunggu respon seniornya, Alvin beralih menghampiri ruang latihan klub dance. Klub yang paling sering ia kunjungi setelah klub futsal. Saat akan membuka pintu yang tertutup, Alvin langsung dikejutkan oleh seseorang berperawakan gempal yang juga ikut terkejut.
"Bobby!"
"Alvin!"
"Al, bukankah kau sudah pulang siang tadi?" heran Bobby.
Alvin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai. "Di dalam sudah sepi ya?" tanyanya ragu.
Bobby menganggukkan kepalanya. "Hmm, ini aku mau kunci pintunya dan pulang. Jangan bilang kau ingin latihan sekarang?" heboh Bobby kemudian.
Telapak tangan Alvin mengibas cepat. Ia tak ada rencana untuk latihan sekarang. Sadar akan waktu yang terus berjalan, Alvin memutuskan untuk menanyakan tentang Fredy pada Bobby.
"Fredy? Yang sering bersamamu itu?" tanya Bobby memiringkan sedikit kepalanya, mengingat-ingat.
Alvin tersenyum lebar. Jari telunjuknya mengacung ke atas. "Benar! Kau mellihatnya tidak?"
"Tadi dia sempat datang tapi saat lihat ada orang di ruang dance dia tiba-tiba pergi. Dari arah perginya dia pergi kesana." jelas Bobby menunjuk belokan kiri di persimpangan lorong.
Senyum Alvin merekah. Ia tahu dimana keberadaan Fredy sekarang. "Lelaki itu menepuk bahu Bobby pelan. Thanks bro,”
Saat berbelok kiri di persimpangan lorong adalah jalan buntu. Di sana hanya terdapat ruangan klub mading dan perpustakaan mini. Satu tempat yang Alvin yakini Fredy berada disana. Alvin memasuki pintu kaca yang terbuka sebagian itu. Pandangannya mengedar ke seluruh sudut ruangan.
"Itu dia! Fredy kembali!"
Kedua netra tajam Alvin menangkap sosok lelaki yang tertidur di meja sudut ruangan. Sekalipun wajahnya tak terlihat, dari cara ia tidur dan postur tubuhnya Alvin yakin bahwa sosok itu adalah Fredy.
"Tak akan kubiarkan kau tenang set--"
Alvin meringis pelan. Suara heboh dering ponselnya memecah keheningan dalam perpustakaan. Terbirit-birit Alvin berlari keluar sebelum mendapatkan teguran dari petugas perpustakaan atau lebih parahnya membangunkan seseorang di sudut sana.
"Siapa sih, ganggu aja!" kesal Alvin menggeser ikon hijau di layar.
"Ketinggalan bus? Kok bisa sih?" kejut Alvin setelah mendengar cerita seseorang di seberang telepon.
"Ok, tunggu aku disana!"
Alvin mematikan sambungan teleponnya namun sebelumnya ia menghubungi nomor lain di kontaknya. Lovely Joo. Ya, saat yang tepat untuk mempertemukan dua insan yang saling mencintai ini. Dan saat yang tepat pula untuk memulai kencan pertama dengan Greeze yang tengah menantinya.
***
"Kau harus berjanji." Rafa menatap Joo dalam-dalam. "Langsung pulang setelah aku berangkat, belajar yang rajin, selalu telepon aku saat ada masalah dengan kuliahmu, dan jangan pernah melakukan hal-hal nekat diam-diam."
Hal yang sangat ingin ditunda oleh Rafa akhirnya datang. Keberangkatannya kembali ke Singapura hanya menghitung mundur beberapa menit. Tatapan Rafa melemah, keadaan Joo semakin lemas saja. Bagaiamana saat ia sudah bicara panjang lebar hanya terbalaskan dengan anggukan kecil?
Rafa membuang napasnya kasar. "Kau tidak seharusnya memikirkan lelaki seperti itu. Jika ia mencintaimu dengan tulus, tidak seharusnya ia meninggalkanmu. Lebih baik fokus kuliah saja dulu."
"Semangat adik tercintaku!" Rafa mengusak rambut Joo lalu melangkah perlahan meninggalkan gadis itu sendirian.
Joo menatap hampa kepergian Rafa. Tangannya melambai lemas. Namun di detik berikutnya jantung Joo hampir terlonjak keluar. Dering ponsel di tas mengejutkannya.
Kedua netra kecoklatan Joo melebar. Ia tidak percaya mendengar informasi yang ia dapat dari si penelepon. Pasokan energi berlebih tiba-tiba menyuplai tubuh lemas Joo. Tanpa keraguan ia berlari keluar dari bandara.
"Fredy, aku merindukanmu."
***
Helai demi helan rambut berjatuhan di lantai. Gunting potong rambut dengan tangkas memangkas rambut lebat. Marcel tersenyum puas menatap dirinya dalam pantulan cermin. Rambut baru, pemikiran baru. Tentunya ada alasan dibalik Marcel memangkas rambutnya.
Joo. Gadis yang menjadi alasan utama Marcel memotong rambutnya. Marcel ingin melupakannya. Memulai awal yang baru dan merelakan masa lalunya hancur karena emosi orang lain. Semuanya berakhir. Tak ada orang yang berambisi kuat merebut hatinya dan tak ada lagi orang lain di hati Marcel.
Kakak tidak datang di acara pemakaman Rachel?
Marcel memejamkan matanya lalu membukanya perlahan. Jemari-jemarinya bergerak mengetikkan pesan balasan untuk adiknya.
"Aku akan datang, memberikan ucapan selamat tinggal dan berterima kasih karena telah menjadi sahabat terbaikmu."
Pesan terkirim. Di usia yang kian matang ini Marcel tak boleh kekanak-kanakkan. Ia harus bisa menghapus rasa benci yang menggumpal dalam hatinya. Melupakan semua kenyataan bahwa Rachel yang menghancurkan hubungan percintaannya dengan Joo. Membiarkan gadis itu tenang di kehidupan selanjutnya.
"Aku tak pernah menyangka akan berakhir seperti ini." batin Marcel dalam hati.
***
Dia duduk di sudut ruangan dekat rak buku fiksi. Mungkin satu-satunya pengunjung yang tertidur disana. Baju cokelat bergaris. Joo mencari seseorang dengan deskripsi yang Alvin jelaskan. Saat ini ia telah tiba di perpustakaan. Kaki jenjangnya dengan luwes menjajaki setiap sudut ruangan.
Disana dia. Masih tertidur seperti kata Alvin. Joo tersenyum. Ia senang dapat menemukan Fredy. Sekidit berlari kecil, Joo mengambil duduk tepat di kursi depan Fredy. Joo menopang dagunya melihat Fredy yang terlelap. Napasnya begitu teratur dan wajahnya tenang.
Sebuah buku komik ada di dekat tangannya. Mungkin ia tertidur saat membaca. Joo menundukkan tubuhnya. Kepalanya bertumpu di kedua lengannya, menatap Fredy lekat-lekat. Ingin Joo menyentuh wajahnya namun ia takut. Takut lelaki iitu akan pergi lagi meninggalkanya. Namun tangan Joo gatal untuk sekedar mengelus kepalanya saja.
Dering telepon menggema di ruangan. Tangan Joo berhenti di udara. Hancur sudah niatnya untuk menyentuh Fredy. Joo mencari sumber dari suara dering menenangkan itu. Ternyata itu adalah bunyi dari ponsel Fredy yang ada di atas meja. Joo mengintip nama yang tertera di layar ponsel itu.
Tante Reyna
Joo tahu siapa penelepon itu. Greeze telah menceritakan sosok psikiater itu padanya. Alis Joo tiba-tiba saling berataut, wajahnya panik tatkala berbagai pikiran buruk melintas di pikirannya. Apa Fredy memiliki masalah psikis yang serius hingga meninggalkannya?
Dering ponsel terhenti. Tapi beberapa saat kemudian kembali berbunyi. Dari nomor yang sama. Kali ini Joo langsung meraih ponsel itu dan mematikannya. Oke, biarkan Fredy beristirahat dulu dengan tenang tanpa harus terusik. Namun rupanya tidur Fredy telah terusik, sebuah tangan hangat nan besar menyentuh punggung tangan Joo.
"Joo.. "lirih suara berat yang sangat Joo rindukan. "Kau kah itu?"
"Fredy.." lirih Joo bergetar tak menyangka Fredy akan memanggil namanya untuk pertama kalinya setelah bangun dari tidurnya.
Jemari lentik itu memasuki setiap cela jemari dibawahnya. Perlahan Fredy menegakkan kepalanya hingga kedua matanya mampu menatap wajah Joo yang telah berlinang air mata.
"Kau kenapa? Kedua orang tuamu berubah pikiran?" cemas Fredy.
"Bodoh! Kau yang membuatku seperti ini! Kenapa kau meninggalkanku, apa maksudmu mengaku menjadi pacarku di depan keluargaku kalau kau akan pergi dariku. Kenapa kau hanya ada di saat aku terpuruk! Aku--"
Bibir Joo terbungkam. Kehangatan menjalari bibirnya. Fredy mencium bibir merah muda yang mengoceh tentangnya itu. Melumat pelan bibir Joo, mencoba melepas rasa rindunya pada Joo. Ia menekan tengkuk Joo mencoba memperdalam ciumannya. Hingga dengan berat hati Fredy melepaskan tautan bibir mereka karena kehabisan napas.
"Fredy.."
"Maafkan aku.." semburat merah mewarnai kedua pipi putih susu Fredy.
Fredy membuang mukanya menyembunyikan rasa malu dan kegugupannya akibat perbuatannya barusan. "Aku tidak bermaksud meninggalkanmu, aku hanya ragu tentang perasaanku padamu." ungkap Fredy malu-malu.
Joo tersenyum tipis. Dengan berani, Joo merengkuh pipi Fredy dengan kedua telapak tangannya. Menghadapkan wajah Fredy untuk menatapnya. "Apakah ciuman tadi pertanda bahwa kau sudah tak ragu lagi?"
Hening. Kedua mata beriris cokelat karamel itu saling beradu. Tatapan penuh harap dan keraguan terpancar. Joo mengelus kedua pipi Fredy. "Kau--"
"Aku mencintaimu. Aku meyakininya dengan sepenuh hati. Kau sangat berarti untukku, Joo." Fredy menelangkup tangan Joo yang menyentuh pipinya.
Tawa geli menggelitik perut Joo. Wajah bersemu Fredy saat mengungkapkan perasaannya sangat lucu. Sosok dinginnya seketika musnah saat rasa malu datang.
"Apa ini pertama kalinya untukmu?" tanya Joo mencoba menahan tawanya.
"Apa?" tanya Fredy polos.
"Mengungkapkan perasaanmu pada seorang gadis."
Fredy terdiam. Kepalanya tertunduk. Jelas sekali lelaki itu bingung harus menjawab apa? Aneh rasanya jika ia mengakui kenyataan yang sebenarnya.
"Jangan bilang aku orang pertama yang kau cium seumur hidupmu?" Joo semakin gencar menggoda Fredy.
Fredy menengadahkan kepalanya, menggelengkan kepalanya keras-keras dan menatap Joo galak. "Jangan terlalu percaya diri!"
"Tapi benar kan? Aku yang pertama?" kekeh Joo.
"Kasihan sekali ciuman pertamaku telah kuberikan pada ibu." decih Fredy.
Joo menimpuk kepala Fredy dengan buku di atas meja. Okelah, terserah Fredy saja. Joo sudah senang lelaki itu kembali menghampirinya dan jujur tentang perasaannya. Hal itu sudah cukup mengembalikan kebahagiaan Joo. Terlebih ciuman Fredy hari ini akan selalu membekas dalam ingatannya.
"Fredy, terima kasih atas segala bantuanmu selama ini. Karenamu keluargaku mendukung mimpiku, karenamu aku menemukan kebahagianku, dan karenamu aku menemukan jalan pilihanku."
Fredy menatap lembut Joo. Mendengarkan tiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Sampai hari itu Fredy masih belum mengetahui kelanjutan hidup Joo setelah kedua orang tuanya memberi kebebasan untuk meraih cita-citanya.
"Aku tetap berada di fakultas kedokteran hingga lulus lalu akan melanjutkan dengan menekuni hobi melukisku dan mulai memasarkannya untuk menjadi seniman terkenal."
"Pilihan yang bagus, aku selalu mendukungmu." Fredy mengusap puncak kepala Joo.
"Tentu saja, kau juga harus jadi musisi nanti! Aku ingin mendengarkan karyamu!"
Fredy terkekeh. "Sekarangpun aku bisa memperdengarkan semua musik karyaku padamu. Mau ke studio?"
Tanpa berpikir lama Joo menganggukkan kepalanya.
Kedua pasangan muda itu beranjak pergi meninggalkan perpustakaan. Jari-jemari mereka saling bertaut. Beberapa kali juga pandangan mereka saling bertemu. Senyum malu-malu terlukis dalam bibir keduanya.
"Fredy cinta Joo. Joo cinta Fredy. Selamanya akan bersama!" teriak Joo sepanjang lorong sambil mengayun-ayunkan tautan tangannya dengan Fredy.
-TAMAT-