LOVE GAME
'Aku tak tahu permainan apa yang kau mainkan dibelakangku.Apapun resiko yang kau buat aku menyukainya.'
Bus pemberangkatan terakhir melaju membelah padatnya jalanan di malam hari. Hari ini berlalu dengan cepat. Secercah kegembiraan terpancar dari wajah Joo. Senyum Joo berhasil menarik senyum tipis Fredy. Lelaki itu dengan santai berdiri di dekat Joo duduk. Ya, Fredy sengaja mengalah pada Joo agar mendapatkan tempat duduk yang tersisa.
"Joo, kenapa kau tak membiarkan lukisanmu itu terjual?"
Merasa namanya terpanggil, Joo menengadahkan kepalanya dan tersenyum manis.
Fredy mengalihkan pandangannya dari wajah penuh senyuman itu. "Kau bisa dianggap idiot jika terus tersenyum seperti itu!"
Hembusan angin seolah membawa pergi racauan Fredy. Tak lantas menyurutkan senyumnya, Joo malah semakin tersenyum lebar, jangan lupakan tatapan lembutnya yang tak pernah lepas dari sosok imut Fredy.
"Ini untukmu!" riang Joo menyerahkan sebuah kanvas yang dipertanyakan Fredy.
Fredy menatap kanvas itu bingung. Joo menganggukkan kepalanya dan semakin menyodorkan kanvas berukuran sedang itu ke arah Fredy. "Terimalah sebagai rasa terima kasihku hari ini."
Ragu-ragu Fredy menerima kanvas itu. Perlahan dibaliknya kanvas putih itu. Dalam hitungan detik Fredy tersenyum geli. Di dalam kanvas itu tertoreh sebuah goresan pensil membentuk sketsa dirinya yang sedang bermain gitar dengan latar belakang bunga-bunga.
"Kuharap kau menyukainya." ucap Joo malu-malu lalu bangkit dari duduknya bersiap turun dari bus.
Akan tetapi dengan mudah Fredy menggapai pergelangan tangan Joo. "Aku akan mengantarmu pulang."
"Tapi--"
"Alvin akan menjemputku setelah mengantar Kak Greeze pulang." sela Fredy seakan tahu apa yang akan Joo ucapkan.
Tangan Fredy beralih posisi memasuki sela-sela jemari mungil Joo. Keduanya berjalan beriringan. Kecanggungan menyelimuti keduanya. Namun tautan tangan mereka masih saling mengait satu sama lain. Tanpa disadari sesekali dari mereka mencuri pandang dalam diam.
"Fredy ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu." Joo memecah keheningan.
"Hmm.." deham Fredy tetap menatap lurus ke depan.
Kepala Joo tertunduk. Ia bingung darimana harus memulai pertanyaannya, terlalu banyak hal yang memenuhi pikirannya tentang Fredy. Akhir-akhir ini sikap Fredy seakan berubah menjadi lebih hangat.
"Apa yang membuatmu mendekati gadis gila sepertiku?" satu pertanyaan yang cukup mewakili semua tanda tanya dalam pikiran Joo.
Fredy terkekeh pelan. "Aku juga tidak tahu."
"Tidak mungkin!" pekik Joo.
Sebelah alis Fredy terangkat. "Kau itu orangnya cuek, jutek, dan kaku. Terlalu ajaib jika tiba-tiba menjadi baik seperti ini!" jelas Joo melihat ekspresi bingung Fredy.
"Begitu ya," tanggap Fredy singkat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tuh kan, sebenarnya kau ini juga nyebelin! Keluargaku tidak menghasutmu demi membantu membuatku menjadi dokter, kan?" heboh Joo menatap tajam Fredy.
Tawa Fredy meledak. Joo ternyata adalah orang yang sering mengambil kesimpulan dari prasangka buruknya. Jika dilihat-lihat Joo ini sebenarnya gadis yang manis dan lucu.
"Fredy jawablah, apa yang kau bicarakan dengan keluargaku di rumah tadi?" rengek Joo kesal.
Fredy menyeringai pelan lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajah Joo. Pelan-pelan Fredy mampu merasakan deru napas Joo yang tak teratur. Kedua mata gadis itu telah terpejam, wajahnya memerah, dan tubuhnya menegang.
"Sudah kubilang aku berencana meminangmu, Joo sayang." bisik Fredy lembut.
Joo melotot. Ucapan Fredy mengejutkannya, terlebih panggilan sayang di akhir namanya terlalu aneh untuk Fredy ucapkan. Joo membuang mukanya yang semakin merah dan memanas. Apa yang ia harapkan dari Fredy tak sesuai dengan ekspetasinya.
"Kenapa? Kok diam? Nggak mau ya?" Fredy semakin gencar menggoda Joo. "Kalau nggak mau ya syukur."
Pukulan keras mendarat pada lengan Fredy. Joo sudah tidak mampu lagi menahan rasa jengkelnya pada Fredy. Sementara Fredy hanya tertawa geli, pukulan Joo tidak terasa sakit sedikitpun.
"Sudah malam jangan ribut-ribut di luar!"
Ryan menyandarkan punggungnya pada gerbang perumahan miliknya. Tangannya yang bersedekap di depan dada terlepas dan masuk ke dalam kantong celananya. Tatapan setajam guntur mengintrogasi kedua pasangan itu serius dengan aura mengerikan.
"Fredy Yah yang mengajak ribut!" seru Joo menunjuk Fredy-seperti anak kecil melaporkan temannya yang nakal.
"Joo masuk!" titah Ryan tak menaggapi tingkah manja Joo.
Senyum Joo luntur. "Ayah.."
"Masuk atau besok ayah tak ijinkan masuk kuliah?" ancam Ryan galak.
"Kuliah?"
Ryan membolakan kedua matanya. Putrinya ini memang sangat aktif dan keras kepala. Melihat wajah tegang Ryan, dengan berat hati Joo langsung memasuki rumahnya sebelum melambaikan tangannya pada Fredy dan mengucapkan terima kasih.
Tak lama setelah Joo telah menghilang dari pandangan masing-masing, Ryan mengambil satu langkah mendekat pada Fredy. Tatapannya kali ini lebih bersahabat ketimbang pagi hari tadi. Mengejutkan, Ryan memegang bahu Fredy.
"Aku akan mencoba mempercayaimu. Esok hari setelah kuliah usai kumohon ajak Joo ke psikiater di rumah sakit tempatku dinas. Aku ingin membuktikan ucapanmu." ucap Ryan tenang, "Jika kau pacarnya pasti mudah bukan mengajaknya ke psikiater?"
Fredy tersenyum lebar dan mengangguk yakin. "Mudah sekali!”
Senyum Fredy merambat mewarnai ketegangan pada wajah Ryan. 'Usai periksa antar Joo ke ruangan dokter Yura. Kami akan memutuskan masa depan Joo saat itu juga."
Lagi-lagi Fredy hanya tersenyum menanggapinya. Fredy ingin semuanya cepat selesai dan sandiwara dalam kuasanya ini segera berakhir. Kembali lagi pada mindset Fredy, diam bukan berarti cuek namun diam adalah bentuk kepeduliannya.
***
25 November 2018. Benar, tidak ada yang istimewa memang di hari ini namun demikian hari ini tetap bermakna lebih bagi seseorang yang memasuki toko bunga dengan santai. Semerbak harumnya bunga menusuk penciuman Marcel. Diantara banyaknya bunga hanya ada satu bunga yang menarik atensinya. Sebuah bunga matahari besar yang menawan.
"Youre still my sunflower, Joo.”
Marcel meminta petugas toko untuk membungkuskan satu buket bunga matahari untuknya. Bunga yang menjadi saksi awal cintanya pada Joo. Bunga yang Marcel jadikan sebagai filosofi seorang Joo. Seorang gadis yang selalu menebar kebahagiaan dan kehagatannya pada orang lain.
Jika kalian bertanya-tanya ada apa dengan hari ini, hari ini adalah hari ulang tahun Joo yang ke dua puluh tiga tahun. Aneh memang jika seseorang memperingati hari ulang tahun mantannya. Tapi hingga detik ini Marcel belum menganggap hubungannya dengan Joo telah berakhir. Ia masih berusaha dan berdoa untuk memperbaiki hubungannya yang rapuh ini, salah satunya dengan mengunjungi rumah Joo dan memberikannya kejutan.
Marcel membuka pintu mobilnya. Ia harus segera pergi ke rumah Joo sekarang.
"Kak Marcel tunggu!"
Namanya disebut lantang. Marcel menoleh ke belakang. Di setapak jalan pertokoan, Elkie berlari menghampiri Marcel. Setiba di depan Marcel, Elkie langsung mencengkram kedua lengan Marcel. Napasnya memburu dan peluh keringat mengalir di sekitar wajahnya.
Marcel menatap lembut adiknya. "Ada apa? Kenapa berlarian?"
"Kak ayo ke rumah sakit!" desak Elkie.
"Hah? Siapa yang sakit?" Marcel ikutan panik.
"Ayo cepat Kak! Rachel sekarang akan menjalani kemoterapi dan ia sangat membutuhkan kakak. Temanku menyukai kakak, setidaknya kakak harus memberinya semangat di akhir perjuangannya ini." jelas Elkie menatap dalam Marcel.
Sebuket bunga ditangan Marcel apakah sudah tak ada artinya lagi?
"Kumohon Kak.." dengan wajah memelasnya Elkie membujuk Marcel.
Hembusan napas berat lolos dari bibir Marcel. "Baiklah, kita ke sana sebentar saja,"
Elkie tersenyum tipis. Kakaknya memang yang terbaik. Beruntungnya Elkie memiliki kakak yang memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Segera Marcel dan Elkie menaiki mobil yang akan melesat ke rumah sakit.
***
"Rumah sakit? Apa maksudmu membawaku kemari?"
Joo mengambil langkah mundur. Bangunan ini sangat dihindarinya. Bahkan hanya berada di luar saja Joo ingin segera lari menghindar namun sebuah lengan menahan bahunya untuk mengambil langkah mundur.
"Kau hanya akan konsultasi di klinik saja Joo." ujar Fredy menenangkan.
"Konsultasi apa? Aku tak punya masalah!" tatapan Joo tiba-tiba berubah menjadi waspada. "Apa.. kau benar-benar bersekongkol dengan keluargaku? Kau akan membuatku ikut pelatihan KKN-kan?"
Fredy menghembuskan napasnya perlahan. Ia menghadapkan tubuh Joo ke arahnya. Menatapnya lembut dan tenang. Fredy meraih kedua tangan Joo. "Ayo cari semua jalan keluar dari masalahmu. Ceritakan semua tekanan yang kau simpan dalam hati selama ini. Semua masa kelammu ungkapkan nanti. Aku akan tetap menemanimu dan membantumu."
"Tapi tak harus menyelesaikannya dengan pihak rumah sakit kan? Kau bisa membantuku tanpa bantuan rumah sakit, Fredy. Aku telah percaya padamu." ucap Joo dengan suaranya yang bergetar ketakutan.
"Maka dari itu aku percaya kau bisa mengungkapkannya pada seseorang yang jauh lebih mengertimu, Joo." Fredy mencium kedua tangan Joo dalam genggamannya, mencoba memberikan Joo ketenangan.
Kilat amarah dari kedua mata Joo meredam. Fredy tersenyum tipis, lalu menarik tangan Joo untuk memasuki rumah sakit. "Jangan takut, aku akan selalu menemanimu."
Bunga matahari dalam buket terjatuh. Dengan kedua mata kepalanya sendiri Marcel menyaksikan seorang junior mencium kedua tangan Joo dan gadis itu sama sekali tak menolaknya. Apa gadis itu telah melupakannya dan menganggap semuanya telah berakhir? Sudah tak ada lagikah kesempatan bagi Marcel untuk memperbaiki hubungannya dengan Joo?
"Kak ada apa?"
Marcel memejamkan matanya sejenak lalu menghembuskan napas berat. "Aku tak bisa berlama-lama menjenguk Rachel, maafkan aku Elkie jika nanti juga tak bisa pulang bersamamu."
Elkie tersenyum lirih. "Tidak apa-apa. Aku sudah senang kakak bersedia menjenguk Rachel." Elkie kemudian memungut bunga yang Marcel jatuhkan. "Kakak mau memberikan bunga ini untuk Kak Joo kan? Dia berulang tahun kan?"
Marcel menganggukkan kepalanya lalu menerima bunga dari tangan Elkie. "Cepat tunjukkan kamar Rachel padaku."
Lift dalam hitungan menit mengantarkan Elkie dan Marcel pada kamar VIP yang terletak di lantai atas. Sebelumnya sempat terjadi perdebatan diantara kakak beradik ini. Marcel tiba-tiba saja mengajak Elkie untuk menaiki tangga dalam perjalanan menuju kamar Rachel-dengan begitu Marcel dapat mencari jejak Joo-namun di sisi lain Elkie malah meminta naik lift demi menghemat waktu mengingat kakaknya sedang terburu-buru hingga akhirnya Marcel pasrah membiarkan adiknya menang.
Pintu ruang 11 VIP terbuka. Seorang perawat berjalan keluar sembari mendorong meja dorong. Perawat itu berhenti begitu Elkie menanyakan keberadaan Rachel sekarang.
"Kemoterapinya akan dilaksanakan nanti malam. Sekarang dia harus puasa demi menetralisir keadaannya."
Elkie menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan perawat itu. Perawat itu kemudian pergi membiarkan Elkie dan Marcel menjenguk Rachel.
Di dalam ruangan Rachel terbaring lemah. Tubuhnya kian hari semakin kurus, wajah jelitanya semakin pucat dan tak lagi berseri. Elkie tersenyum lirih, menarik tangan Marcel untuk mendekati ranjang Rachel.
"Rachel, aku menepati janjiku. Aku datang bersama kakak." riang Elkie.
Dengan gerakan lemah Rachel menatap sosok jangkung yang berdiri dihadapannya itu. Lelaki yang sangat ia cintai itu tersenyum tipis ke arahnya. Tangannya membawa sebuah buket bunga matahari segar. Rachel tersenyum, menanti laki-laki itu memberikan bunga itu padanya.
"Hai.., kudengar kau akan menjalani kemoterapi ya," sapa Marcel terasa canggung.
Rachel tersenyum manis mengiyakan.
"Semangat ya, kau pasti bisa bertahan dan memusnahkan penyakitmu. "
Pergerakan Marcel tetaplah sama. Tubuhnya berdiri tegak, bunga matahari dengan tenang berada dalam genggamannya. Setiap ucapannya terdengar begitu datar. Senyum tipisya telah pudar. Marcel sudah tak bisa menyembunyikan kekalutannya. Dipikirannya saat ini hanya terisi oleh sosok Joo.
"Maaf, aku harus segera pergi. Rachel, Elkie akan menemanimu. Kau harus sembuh ya,"
Marcel berjalan cepat keluar dari ruangan Rachel. Joo. Marcel harus bisa mengejarnya dimanapun keberadaannya. Langkah Marcel terhambat. Sebuah kanvas dalam rak tiba-tiba terjatuh tepat didepannya. Dengan cepat Marcel memungut kanvas itu berniat mengembalikan ke tempat semula namun sebuah tulisan tangan miliknya menghentikannya.
A gift for you at third anniversary. I hope our name always plant on heart. Joo, i will still love you. Sincerely Love, Marcel
Tulisan tangan yang dibubuhi tanda tangannya itu mengingatkannya pada kanvas hadiahnya untuk Joo. Kanvas ini.. Marcel yakin berisi lukisan pertamanya di kanvas yang ia buat sepenuh hati. Dengan gerakan cepat Marcel membalik bagian belakang kanvas.
Kedua mata Marcel melebar. Benar. Kanvas ini berisi lukisannya. Niat Marcel untuk keluar tertahan. Dengan tatapan penuh amarah Marcel membalikkan tubuh ke belakang, menatap kedua gadis yang juga menatapnya kalut.
"Bagaimana lukisan ini ada disini?"
Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir kedua gadis itu. Hal itu tentu saja membuat emosi Marcel semakin tersulut. "Jawab aku! Lukisan ini tak seharusnya ada disini!"
"Kakak--" Rachel menyulut ucapan Elkie. "Aku yang mencurinya dari wanita jalang itu. Aku tak rela kau bersamanya. Aku ingin kau bersamaku untuk waktu yang lama sampai ajal menjemput!" seru Rachel dengan suaranya yang sumbang.
"Apa katamu?!" emosi Marcel benar-benar berada dipuncak.
"Iya, Kak Joo jalang! Gadis yang selalu berpose murahan dan menggoda di tempat umum. Gadis yang tak menolak setiap sentuhan lelaki. Aku yakin dia sudah tak lagi--"
"Hentikan!" Marcel menyela ucapan Rachel. "Berhenti menyukaiku karena aku akan membencimu mulai detik ini. Asal kau tahu, Joo bukan seorang gadis seperti yang kau katakan! Dia itu lebih baik darimu!"
Marcel berlalu meninggalkan kamar Rachel. Ia tak menyangka teman baik dari adiknya ini adalah perusak hubungannya dengan Joo. Jika saja dia bukan seorang gadis dan sedang tidak sakit, Marcel pasti sudah menghajarnya sampai habis.
Sekarang Marcel tahu inti dari permasalahan hubungannya dengan Joo. Hadiah anniversary-nya tidak tersampai di tangan Joo. Pasti ada hadiah lain yang menyakiti hati Joo hingga ia memutuskannya secara sepihak. Apapun yang telah Joo terima hari itu, Marcel ingin menjelaskannya dan memberikan hadiah sesungguhnya pada Joo. Sebuah lukisan namanya dan Joo.
Tanpa tujuan pasti Marcel berjalan cepat mengitari rumah sakit. Tatapannya mengedar tajam ke seluruh penjuru arah berharap Joo masih berada di area rumah sakit. Berkali-kali Marcel menuruni anak tangga dan berlari kecil menyusuri koridor tiap lantai tapi sosok Joo sama sekali tak terlintas di depannya hingga kedua mata hitam pekatnya menangkap lelaki yang membakar amarahnya. Ya, junior itu berdiri di depan salah satu pintu membiarkan seorang gadis yang Marcel yakini Joo masuk ke ruangan sendiran.
"Aku harus memberinya peringatan." geram Marcel berlari kencang.
Mengambil jalan pintas, Marcel dengan mudah menghadang junior bertubuh mungil itu. Dengan langkah mantapnya Marcel berjalan menghampiri laki-laki yang masih terdiam di tempatnya. Amarah yang belum meluap dengan baik itu terlampiaskan pada satu objek. Lelaki yang telah merebut hati Joo darinya.
"Tinggalkan Joo."
Fredy-junior yang dimaksud Marcel-mengerutkan kening tak mengerti. "Kau siapa?"
Sebelah sudut bibir Marcel terangkat. "Aku pacarnya."
Fredy tertawa sinis. "Memang aku akan menjauhi Joo, tapi tak akan kubiarkan orang sepertimu kembali menghancurkan hatinya."
Jawaban Fredy membingungkan Marcel. Apa arti ciuman pada tangan Joo yang Marcel saksikan jika lelaki itu akan dengan mudahnya meninggalkan Joo? Apa lelaki di depannya akan mempermainkan hati Joo dengan sikap sialannya, manis di depan pahit di belakang?
Marcel mencengkram lengan Fredy, membawanya pergi ke suatu tempat yang jauh lebih sunyi. Tepatnya di sebuah atap rumah sakit. Sesampai disana Marcel menghempaskan tangan Fredy dengan kasar membuat si pemilik tangan mendengus kesal akan sikap Marcel.
"Yak, apa yang akan kau lakukan pada Joo?! Kau pasti memiliki rencana buruk untuknya kan?" seru Marcel menatap Fredy tajam.
"Tidak ada." jawab Fredy santai.
Marcel menarik kerah kemeja Fredy kuat-kuat. "Jangan pernah mencoba bermain-main dengan Joo!" geramnya.
Fredy menyeringai. "Jangan pernah muncul di depan Joo! Ingatlah, kaulah yang menghancurkan hubungan manis kalian dan hati Joo sekaligus!" tak puas Fredy menendang tulang kering Marcel. Muak dengan sikap pecundang mantan pacar Joo itu.
Sebuah bogem mentah mendarat pada rahang Fredy. "Jaga ucapanmu! Kau tak tahu yang sebenarnya."
Genggaman kuat yang akan kembali menghantam wajah, Fredy tangkis dengan cepat. Penuh tenaga Fredy mendorong kepalan tangan itu hingga Marcel jatuh tersungkur. "Kurang jelas apalagi, kau melukiskan tulisan yang merendahkan diri Joo di hari jadi kalian. Jangan naif dengan pura-pura tak mengetahuinya. Kau melukiskan bahwa Joo adalah gadis.." Fredy meringis, tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Lutut Marcel menendang perut Fredy, membuat mereka bertukar posisi. Kini Fredy lah yang berada dalam kuasa amarah Marcel. "Gadis apa? Kau sedang mengarang cerita kan?"
Fredy tersenyum sinis. "Aku tak akan mengatakannya karena pada kenyataannya Joo bukanlah seperti yang kau deskripsikan. Aku tahu kau mengetahuinya, mungkin kau terlalu malu untuk mengakuinya." Fredy mendorong kedua bahu Marcel yang menghalaunya dengan keras. Dengan cepat ia berdiri merapikan kemeja hitamnya. Namun tanpa was-was Marcel kembali meninju wajah Fredy hingga menggores kulitnya.
"Kau tak pernah tahu cerita hubunganku dengan Joo!" teriak Marcel menatap wajah berlumuran darah akibat ulahnya itu. "Jika kau berniat menyakiti Joo, aku akan menghancurkan hidupmu. Sebelum aku semakin melukaimu, jauhi Joo. Jangan pernah muncul didekatnya!"
Fredy terdiam. Ia mengusap darah yang mengalir semakin deras dipelipisnya. Kilatan api terpancar jelas dalam mata sipitnya. Tak akan membiarkan Marcel menang, Fredy memberikan pukulan kerasnya pada wajah Marcel.
"Melihatmu seperti ini membuatku berubah pikiran. Terima kasih kau telah menggagalkan niatku untuk meninggalkan Joo."
Sebelum Marcel kembali jatuh tersungkur, Fredy menarik kerah kemeja mantan pacar Joo itu. "Akan kubuat Joo menjadi milikku seutuhnya tanpa memberimu celah untuk memperbaiki hubungan dengannya.'
Genggaman tangan Fredy pada kerah kemeja Marcel mengendur. Lelaki itu merapikan kemejanya yang berantakan sembari berjalan meninggalkan atap. Dalam diam Fredy menghembuskan napasnya gusar. Masuk ke dalam hidup Joo membuat segenap pikiran dan perasaannya kacau. Berawal dari rasa penyesalan berubah menjadi rasa tanggung jawab.
***
Tubuh Joo menegang. Wajahnya merah padam, keringat dingin mengalir lancar di setiap sisi wajahnya, napasnya memburu, dan kedua telapak tangannya bekeringat. Berulang kali Joo menyumpah serapahi seorang Fredy yang telah melepasnya seorang diri ke ruangan neraka. Ya, tempat kedua orang tuanya bersembunyi.
"Akhirnya Dokter Jun memberikan hasil diagnosanya."
Yura membuka pintu ruangan. Selembar kertas berada di tangannya. Dengan santai wanita paruh baya itu mengambil duduk disamping Ryan yang telah menutup kliniknya hari ini demi membuktikan semua ucapan Fredy tempo hari lalu. Ryan mengambil kertas dari tangan Yura lalu membenarkan letak kacamatanya.
Ditempatnya, Joo tidak mengerti kertas apa yang telah ditunggu-tunggu kedua orang tuanya sejak kedatangannya. Joo semakin kalut saja. Bagaimana jika kertas itu berisi bahwa pelatihan KKN yang Joo jalani selama ini membuahkan hasil. Iya, ada kemungkinan Joo melakukan KKN susulan.
"Joo, maafkan ayah," Ryan meletakkan kertas itu.
Joo menggelengkan kepalanya. Ia tak siap jika harus menghadapi setiap tuntutan penuh beban yang ayahnya berikan padanya. Lebih-lebih tentang kemauan keras mereka menjadikannya seorang dokter kondang seperti profesi yang mereka tekuni.
Sebuah kehangatan menjalari punggung tangan dingin Joo. Joo mendongakkan kepalanya, Ibunya melempar senyum tulus untuknya. Senyum yang sudah tak pernah Joo lihat lagi sejak ia masuk kuliah.
"Kau pasti mengalami banyak kesulitan selama ini, maafkan kami yang tak pernah memperhatikanmu dengan baik."
Joo semakin terheran-heran. Ia tak mengerti dengan setiap ucapan kedua orang tuanya. Apa mereka sedang merencanakan sesuatu yang lebih buruk untuknya? Jujur saja, pikiran negatif terus membayangi Joo.
"Ayah menyesal baru mengetahuinya. Menyesal tak bisa membantu putri kesayanganku ini menahan semua rasa sakit, menyesal karena terus menyakitimu dengan kemauanku, dan menyesal telah merampas mimpimu."
Genggaman tangan Yura semakin erat. "Joo, kami dan Rafa akan mendukungmu. Jika mau kau boleh pindah fakultas yang lebih cocok untukmu. Semuanya masih belum terlambat untuk kembali memulai dari awal. Kau ingin menjadi pelukis kan?"
Tangan dalam genggaman Yura bergetar, semua prasangka buruk dan pikiran buruk Joo terhempaskan oleh angin. Setitik buliran air bening turun membasahi pipi Joo. Joo baru mengerti semua maksud perkataan kedua orang tuanya.
"Ayah baru sadar betapa pentingnya kebahagiaanmu, Joo. Ayah ingin kau tidak lagi meredam semua masalahmu dari kita. Ayah tidak ingin kau stress dan depresi lagi. Jadilah pelukis yang hebat dan tunjukkan pada kami bahwa jalan pilihanmu itu benar."
"Ayah.. Ibu.." isak Joo tak menyangka hari yang ia nantikan tiba. Saat keluarganya membiarkannya memilih jalan hidupnya sendiri sebagai seorang pelukis.
Ryan bangkit dari duduknya. Ia memeluk Joo hangat. "Bodohnya aku tak menyadari tubuhmu yang semakin kurus ini, senyum yang telah lama pudar, dan semangat darimu, putriku."
Joo membalas pelukan ayahnya erat. "Ayah seriuskan memperbolehkanku menjadi pelukis?"
Tepukan pelan pada punggung Joo seolah menjadi jawaban positif Ryan. Lama dalam posisi berpelukan, Ryan melepaskan pelukannya lalu menatap Joo teduh. "Joo, jadikan Fredy orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan ini. Dialah yang menyadarkan kami tentang keadaanmu."
Penuturan Ryan mengejutkan Joo. Orang yang berkali-kali ia kutuk dalam hatinya ini adalah dalang dari semua kebebasannya. Joo sama sekali tak berpikir Fredy akan bertindak sejauh ini. Fredy lelaki dingin itu benar-benar menepati semua kata-kata manisnya.
"Kalau bisa ajak pacarmu itu kembali ke rumah. Ibu dengan senang hati akan memberi kalian restu menikah. Tentunya setelah kau menjadi pelukis hebat dan ia juga telah meraih mimpinya." timpal Yura ikut memeluk Joo.
Mendadak Joo teringat bahwa Fredy akan menunggunya keluar dari ruangan ini. Waktu yang tepat untuk mengabarkan berita menggembirakan ini dan mengucapkan rasa terima kasih padanya. Joo kemudian melepaskan pelukan ibunya dan meminta ijin untuk menemui Fredy yang kemudian disetujui oleh kedua orang tuanya.
Lembaran kertas di atas meja jatuh terseret angin. Lembaran yang berisi hasil dari pemeriksaan dan konsultasi seorang pasien.
25 November 2018. Saudari Jooliet. 23 Tahun. Di diagnosa Bipolar Disorder tipe II.
Penuh semangat Joo membuka pintu ruangan yang membuatnya panas dingin barusan. Kedua matanya memicing mencari sosok Fredy. Lelaki itu tak akan pernah mengingkari ucapannya. Joo percaya Fredy.
"Hai Joo, selamat ulang tahun yang ke-dua puluh tiga!"
Seseorang yang tanpa diharapkan muncul di depan Joo. Lelaki itu tersenyum lebar, tangannya mengulurkan sebuah bunga matahari lusuh untuknya. Joo tidak menanggapi ucapan lelaki itu dan memilih pergi meninggalkannya namun pria itu menahan lengannya.
"Joo, jauhi junior itu."
Joo memutar tubuhnya. Pikirannya yang membaik mengerti maksud perkataan lelaki itu dengan cepat. Entah mengapa firasat Joo menjadi tidak enak.
"Jauhi dia. Dia itu lelaki jahat yang siap menghancurkanmu kapan saja. Jangan sampai kau terbuai oleh sikap palsunya. lelaki itu berucap seolah mengintimidasi Joo."
"Aku tidak peduli. Dimana Fredy sekarang? Kau mengetahuinya kan?" desak Joo menghempaskan genggaman Marcel pada tangannya.
"Oh jadi namanya Fredy," gumam Marcel tersenyum sinis.
"Marcel, cepat katakan dia ada dimana!" Joo semakin tak tahan.
Marcel menggenggam kedua lengan Joo lalu menatap Joo dalam-dalam. "Aku telah menunggumu Joo, untuk apa kau mencarinya? Bukankah lebih baik kau memilih memperbaiki hubungan kita." Marcel mengambil kanvas di kursi. "Aku mengerti kesalahapaman yang kau simpulkan. Hadiah anniversary waktu itu, aku bisa menjela--"
"Terlambat! Aku sudah tak ada rasa denganmu lagi. Apapun yang kau jelaskan sudah tak mampu menggerakkan hatiku untuk kembali padamu, Marcel. Orang lain telah mengisi kekosonganmu." ungkap Joo penuh keyakinan.
"Lupakan aku, mungkin hubungan kita hanya dapat diperbaiki sebagai teman tidak lebih."
Joo pergi meninggalkan Marcel. Ia harus mencari Fredy. Joo percaya Fredy masih berada di rumah sakit. Fredy pasti sedang berjalan-jalan mengusir kebosanan menunggunya.
"Kau tak akan menemukannya Joo! Dia sedang menyusun rencana untuk menyakitimu!" teriak Marcel menggema di sepanjang koridor.
Joo menepis semua ucapan buruk tentang Fredy yang Marcel ucapkan. Joo tahu Marcel masih belum bisa mengikhlaskan hubungan kandas mereka. Mungkin Joo terdengar terlalu percaya diri, namun itulah kenyataannya.
Lantai demi lantai Joo telusuri. Sosok Fredy sama sekali tak melintas di depannya. Hingga lantai dasar pun Joo tak mendapati keberadaannya. Tubuh Joo lelah. Hatinya kalut. Joo mulai khawatir tentang Fredy. Marcel tidak melakukan sesuatu yang buruk dengan Fredy kan? Sembari mengistirahatkan tubuhnya, Joo memilih menghubungi nomor Fredy. Kekecewaan harus Joo telan, ponsel Fredy dalam keadaan tidak aktif.
"Fredy.., kau dimana? Aku ingin bertemu denganmu.."
***
Kosong. Studio pribadi Fredy masih rapi. Berlembar-lembar kertas berisikan not balok dan lirik lagu itu tertumpuk rapi atas meja kerjanya. Hari sudah beranjak petang. Alvin yakin Fredy bukanlah orang yang suka mengambil kelas tambahan di kampus.
"Al, bagaimana ini? Kemana Fredy pergi?" cemas Joo meremas ujung bajunya. Joo sangat mencemaskan Fredy. Kenapa saat ia ingin berbagi kebahagiaan lelaki itu menghilang?
Dengan canggung Alvin menggaruk tengkuknya. Baru kali ini Fredy menghilang. Teleponnya tidak aktif juga. Sebenarnya apa yang terjadi padanya?
"Guys, Fredy nggak berkunjung ke rumah sakit tempat aku magang!"
Masih dengan riasan tipis dan setelan rapi Greeze datang menuju studio pribadi Fredy. Ya, Joo meminta bantuan pada Alvin dan Greeze untuk mencari Fredy. Ketiga orang itu saling melempar tatapan cemas dan khawatir. Fredy yang lebih sering menghabiskan waktu di studio sangat sulit dilacak keberadaannya sekarang.
"Tidak mungkin kan ia tiba-tiba pulang ke rumah ayahnya?" Alvin mengutarakan pikiran yang melintas.
Selama kuliah Fredy lebih memilih tinggal di studio yang dibangun ayahnya. Fredy mengajak Alvin tinggal bersamanya untuk menyakinkan ayahnya bahwa ia memiliki teman baik yang bisa ayahnya percaya. Ayah Fredy adalah seorang arsitek yang sering dikirim dinas ke luar kota.
***
Langit berubah warna seiring jarum jam berdetak. Dari jingga menjadi biru keabuan. Kesunyian menyelimuti pemakaman umum. Orang-orang yang berziarah satu demi satu beranjak meninggalkan pemakaman mengingat hari telah petang.
Masih nyaman pada posisinya, Fredy menabur bunga mawar pada gundukan tanah. Tangannya mengelus lembut batu nisan yang telah sedikit usang. Fredy menundukkan kepalanya. Dadanya terasa semakin sesak mengingat semua masalah yang ia ciptakan.
"Ibu.." lirih Fredy sedih. "Aku kembali membuat masalah dengan anak perempuan. Aku tidak bisa memenuhi ucapanmu waktu itu. Aku kembali melukai hati perempuan lagi." Fredy mulai mencurahkan perasaannya.
Hari yang kian gelap itu seolah bukan masalah besar bagi Fredy. "Ibu, sepertinya aku tidak akan bisa menikah suatu hari nanti. Aku tidak bisa mencintai mereka. Aku selalu takut melukai hati mereka dengan perbuatanku, bahkan sekarang.." Fredy menggantungkan ucapannya, menyadari bahwa ia menangis di depan batu nisan sang ibu.
"Aku tak sanggup memenuhi segala ucapanku untuk selalu bersamanya."
Sisi dingin Fredy runtuh. Ia akan menjadi orang bodoh saat membicarakan perempuan. Kejadian mengerikan di masa kecilnya terus terbayang. Saat ia membuat teman perempuannya menangis karena merebut mainannya dan sering menggodanya.
“Aku berjanji akan membantumu mulai dari sekarang. Ingatlah pada detik ini, menit ini, dan hari ini, seorang Fredy berjanji akan membantu Joo meraih mimpi sebagai pelukis. Aku tak akan lagi melepaskanmu dan akan selalu berada didekatmu."
"Akan kubuat Joo menjadi milikku seutuhnya tanpa memberimu celah untuk memperbaiki hubungan dengannya."
"Bodoh! Kau bertindak diluar kendali Fredy!" Fredy memukul dadanya keras-keras.
"Ibu, jadi apa yang harus aku lakukan? Aku sudah berjanji akan melindunginya dan menantang orang lain akan mencintainya tapi aku belum siap memulai hubungan rumit ini. Aku takut perasaan ini berubah dan aku termakan rasa egoisku karena aku tak benar-benar mencintainya. Sikap lembutku hanya sebuah bentuk kepedulian yang kau ajarkan Ibu.."
"Tak ada yang tahu kapan cinta akan datang, tapi tak ada salahnya menjalani hubungan baru jika cinta telah menjemputmu."
Fredy tersentak. Seseorang menyentuh bahunya. Suara berat menggelitik telinganya. Tunggu dulu, bukan makhluk gaib kan yang tengah berbicara dengan Fredy. Takut-takut Fredy menoleh ke belakang dan mendapati sang ayah tersenyum menatapnya.
"Kau harus mampu mempertanggung jawabkan semua ucapanmu, Fredy. Jadilah lelaki yang bijaksana. Teman-temanmu menunggumu di rumah. Cepat pulang dan selesaikan masalahmu."
Fredy mengalihkan pandangannya ke arah batu nisan dengan hampa. Jujur saja ia ingin mendengar saran dari ibunya namun sangat mustahil untuk terwujud.
"Ibumu pasti sangat senang jika kau berubah Fredy. Mampu menghadapi masalah dengan berani dan tak menyembunyikannya diam-diam sampai orang lain mengoreknya." ayah Fredy menarik tangan putranya itu lalu mengajaknya pulang ke rumah.
***
Joo bangkit dari duduknya. Ia tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya begitu seorang lelaki paruh baya masuk bersama seseorang yang telah ia cemaskan sejak tadi. Berita membahagiakan yang ia tahan, Joo tak sabar mengungkapkannya. Semua usaha lelaki itu, Joo ingin mengucapkan terima kasih.
Tak tahan dengan gejolak kebahagiaan dalam hati, Joo berlari menghambur ke dalam pelukan Fredy. Joo tak peduli lagi jika lelaki itu akan memberi respon dingin. Joo hanya ingin menularkan virus kebahagiaannya pada orang yang telah membantunya selama ini.
"Fredy, terima kasih." lirih Joo menghirup dalam-dalam aroma tubuh Fredy.
"Syukurlah.." ucap Fredy datar.
Fredy berubah. Lelaki itu kembali bersikap dingin. Joo melepaskan pelukannya, kepalanya menengadah menatap wajah Fredy. Alangkah terkejutnya Joo begitu mendapati wajah mulus Fredy penuh luka dan memar di dahinya. Dengan lembut Joo menyentuh luka itu dan menatap Fredy khawatir.
"Apa yang terjadi? Ada apa dengan wajahmu?"
Fredy menjauhkan diri dari Joo. "Misiku telah selesai. Kau telah mendapatkan kebahagiaanmu. Kehadiranku di dekatmu sudah berakhir, Joo."
Dahi Joo berkerut membentuk guratan samar. "Fredy apa maksudmu?"
"Semua sandiwara yang kumainkan telah selesai. Kau telah bahagia dan aku telah berhasil menebus setiap sikap kasarku padamu yang selalu melukai hatimu. Di hari ini aku ingin mengakhiri permainan ini. Ayo kita kembali seperti dulu. Tak saling terikat dan mengenal." perasaan berantakan Fredy bergerak memutus dan mengungkapkan semua latar belakang kebaikannya.
"Tapi apa jadinya jika aku ingin memulai permainan kau mainkan seorang diri itu?" Joo mengambil langkah mendekati Fredy. Ia mendekatkan wajahnya pada milik Fredy. Joo menatap dalam-dalam manik mata Fredy. Disana Joo mampu melihat rasa hampa yang sangat dalam.
Joo sudah tak peduli lagi dengan semua permainan yang dimainkan Fredy. Tak mau ambil pusing lelaki itu mau mengakhirinya. Joo sudah terlanjur terbuai dengan alur yang Fredy mainkan. Tanpa memikirkan apa yang akan terjadi nanti, Joo mencium bibir Fredy. Memberikan kehangatan pada bibir yang terasa dingin itu. Melumat pelan permukaan bibirnya dengan lembut. Joo menikmati ciumannya meski Fredy sama sekali tak meresponnya.
Napas Joo tersendat. Gadis itu melepas tautan bibirnya lalu tersenyum manis menatap Fredy. "Fredy aku mencintaimu, terima kasih untuk segalanya."
Tak lantas menyahut Fredy justru berlari keluar rumah. Pikirannya benar-benar kacau. Ciuman Joo semakin menghancurkan pertahananannya. Tanpa tujuan Fredy berjalan. Kegalauan menyelimuti dirinya. Fredy takut untuk memenuhi segala ucapannya bahwa ia akan melindungi Joo. Fredy takut bahwa ia tak benar-benar menyukai Joo dan menganggap rasa pedulinya sebagai rasa prihatin. Fredy takut membuat ibunya bersedih karena kembali melukai seorang perempuan. Meski tanpa disadarinya, sikapnya yang acuh seperti ini adalah yang mampu menusuk hati seorang perempuan.
***