Sepasang mata itu bangun dini hari dan memeriksa kondisi ketiga pasien di sebelahnya. Masih tertidur, dan yang satu lagi masih tidak sadarkan diri entah sampai kapan. Kemudian ia turun dari ranjangnya dan meraih kebawah kasurnya. Sebuah peredam dan sepucuk pistol berisi peluru yang siap di tembakkan. Ia memasang peredam pada pistol yang di genggamnya dan dengan perlahan menguncinya.
Maafkan aku kawan, kalian sudah cacat dan tidak berguna lagi untuk misi ini. Beristirahatlah dengan tenang. Selamat tinggal. Diangkatnya bantalnya dan dihujamkan ke pasien di sebelahnya dengan cepat. Sunyi, peluru itu melesat dari selongsongnya dan menembus tengkorak pasien. Darah segar merembes keluar dari bantal diatasnya. Diulanginya lagi perbuatannya kepada dua pasien lainnya. Kemudian seringai jahat terbentuk di bibirnya.
Penantian yang sangat lama. Semenjak kapal itu meledak ia ditempatkan di rumah sakit ini seperti penjara dengan makanan tidak enak. Ia harusnya berterima kasih pada Boni karena Boni berada di depannya ketika ledakan itu terjadi sehingga luka bakarnya tidak separah Erik dan Budi. Ia harus berpura-pura tidak sehat untuk mengelabui suster dan dokter cantik itu.
Sepasang mata itu menggeram marah. Seharusnya ia sudah keluar dari sini jika bukan polisi menemukan detonator di lokasi peledakan. Ia mengira ketika kapal itu meledak tidak ada lagi yang tersisa untuk diperiksa.
Diliriknya jam di dinding sambil menunggu. Tiga kali, kemudian acara penutup yang grande.
dr. Cassandra dan Jean menyusuri lorong menuju ruang isolasi. Ketika Cas membuka pintu ruang isolasi, ia menemukan pintunya hanya bisa dibuka sedikit, seperti macet. Ketika Cas sedang berkutik dengan handle pintu, Jean menangkap kelebatan orang di dalam kamar dari sisi engsel pintu yang berjarak dua senti.
Instingnya membunyikan alarm di otaknya. "Cas!" Dengan cepat Jean mendorong Cas jatuh dan terkejut ketika sebelah tangan yang kuat menyeret Jean masuk ke ruangan itu. Dan ia berteriak sekencang-kencangnya. Pintu ditutup.
"Jean!!!" Cas masih terduduk di lantai, terguncang atas apa yang terjadi. Apakah Jean baru saja menyelamatkannya?
Ketika sepersekian detik kesadarannya kembali, tangannya mulai gemetar dan air mata bercucuran karena rasa takut yang akut. Cas menyambar telepon genggamnya yang terpental satu lengan di sampingnya ketika ia di dorong dan segera menekan nomor Devlin meminta pertolongan.
Rustam? Jean mengerutkan keningnya tak percaya. Lelaki itu terlihat sangat sehat, cengkraman tangannya seakan meremukkan pergelangan tangan Jean. "Lepaskan aku!" Jean meronta. Sebuah benda keras mendarat di pipi dekat kupingnya. Jean menjerit kesakitan. Pipinya panas dan kupingnya berdenging. "Dasar lelaki pengecut!"
"Jangan bertindak bodoh, suster. Sudah banyak yang mati hari ini dan kau akan jadi salah satunya." Pistol itu bergerak ke bawah dagu Jean. Dan Jean mematung. "Sabar ya ... "
Bibirnya mulai gemetar, air matanya mengucur tetapi ia terlalu takut untuk menangis. Jean mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan rasa takunya menjadi-jadi melihat tiga pasien lainnya sudah meninggal, dibunuh. Wajah mereka tertutup bantal yang sudah basah dengan darah. Bau amis sudah menyerap ke interior ruangan itu. Jean bertanya-tanya kapan mereka dibantai?
"Kenapa kau melakukan ini?" Jean memberanikan diri bertanya dengan suara gemetar.
Lelaki itu hanya terkekeh tanpa jawaban. "Bagaimana kondisi di bawah suster? Seru bukan? Tidak setiap hari rumah sakit ramai seperti karnaval dan tidak setiap hari polisi sesibuk ini. Jadi biarkan mereka bekerja agar tidak menjadi monyet buncit yang tidak berguna." Lanjutnya sambil tertawa. Tawa yang mengerikan.
"Kau--suster ... " Rustam memiringkan kepalanya mencoba membaca tulisan nama Jean di seragamnya, " ... suster Jean Garner. Susah sekali menyebut namamu. Kau akan menjadi acara penutupku." Rustam mengacung-acungkan pistolnya di depan wajah Jean.
"Apa yang akan kau lakukan padaku?" Jean mengejap-ngejapkan matanya dengan cepat khawatir lelaki itu akan melakukan sesuatu yang buruk ketika matanya terpejam. Pipinya mulai berdenyut-denyut, tanda proses pembengkakan dimulai. Jean ingat--kata orang, ketika seseorang melihat kilasan balik hidupnya itu bertanda ajalnya sudah dekat, dan saat ini Jean merasa sedang melihat kilasan hidupnya melewatinya seperti kereta malam yang biasa dinaikinya.
Lelaki itu mengintip dari bayang-bayang gorden jendela, "Lihat, media sudah datang. Ayo kita sambut mereka." Rustam mengangkat kaosnya memamerkan rentetan bom yang mengelilingi pinggangnya, kemudian tawa jahatnya membesar. Jean terkesiap, Mike~ lelaki itu mengambil insulok dari salah satu kantong di tas pinggangnya dan mengikat keras tangannya, Jean meringis kesakitan.
Begitu pintu kamar itu terbuka, Jean ingin berteriak minta tolong dan memperingatkan semua orang bahwa ada bom yang menempel di tubuh Rustam. Tetapi kondisi di depan kamar isolasi itu lengang. Rustam mengarahkan pistolnya ke kiri-kanan Jean, dia menggunakan Jean sebagai tameng. Dengan tangan terpelintir di belakang tubuhnya, Jean di dorong maju dan menuruni tangga darurat. Insulok mulai mengiris-iris pergelangan tangannya.
Dengan sebelah tangan mencengkram lengan Jean, Rustam membuka pintu darurat lantai dasar dan diluar dugaan Jean, lokasi lantai dasar itu sudah di sterilkan. Sebelumnya lobby penuh dengan pasien, sekarang tempat itu kosong. Hanya bercak-bercak darah di karpet vinyl yang menandakan Jean tidak bermimpi. Cas pasti sudah memperingatkan mereka. Kemana pasien-pasien itu dipindahkan? Kelegaan meliputinya.
Melihat antisipasi dari pihak rumah sakit dan petugas keamanan, Rustam mulai berkeringat. Ia kebingungan. Rustam sudah merencanakan untuk berada di tengah-tengah korban dan melakukan aksinya. Menurutnya teman-temannya yang lain telah gagal karena aksi mereka hanya memakan sedikit korban, dan itu bukan instruksi dari pemimpinnya.
"Kau terkepung, Rustam. Menyerahlah. Aku akan bicara dengan pihak polisi mengenai kondisi kejiwaanmu yang kurang stabil dan mungkin..." Jean melakukan tidakan persuasif, sesuatu yang diajarkan Mike padanya.
"Diam kau, wanita jalang!" Nafas Rustam memburu, jejak-jejak nafasnya yang bau melewati Jean. Matanya liar menatap kiri-kanan, mencari kemana para korban pergi. Kemudian matanya menangkap kerumunan orang diluar gedung, korban luka terakhir sedang dievakuasi keluar rumah sakit dan dia menyeringai jahat kemudian menggeram marah, "disana rupanya kalian! Bangsat!"
Rustam mendorong tubuh Jean lagi, kali ini lebih kasar karena emosi. Jean merintih ketika insulok itu mulai melukai pergelangannya saat ia bergerak.
Jean menyipitkan matanya karena silau oleh cahaya matahari yang begitu terik serta kilatan-kilatan cahaya dari lampu kamera awak media. Jean bisa mengenali polisi intel yang terselip diantara para awak media dan korban luka-luka serta penonton. Polisi berseragam hanya sedikit, kemungkinan mereka kekurangan personel karena tiga ledakan beruntun yang dilakukan teroris.
"Dia ada bom!!!" Jean berteriak sekuat-kuatnya ketika mereka sampai diluar bangunan. Sekali lagi benda keras menghantam pelipisnya dan Jean mulai merasa kunang-kunang memenuhi pandangannya. Kerumunan orang mundur mendengar peringatan itu.
Rustam maju lagi bersama Jean sebagai tamengnya, keluar dari bayang-bayang bangunan rumah sakit. Jarak mereka ke kerumunan itu sekitar delapan meter dan Rustam berteriak, "kami mungkin gagal hari ini, tetapi ketahuilah kami tidak mati. Ini adalah awal dari perjuangan kami."
Jean menelan ludah. Ia mencoba mencari Dora untuk mengucapkan selamat tinggal, namun pandangannya terlalu kabur dengan air mata. Ini akhir hidupku, persis seperti Mike. Bibirnya yang terkatup bergetar dan air mata meluncur satu persatu dari sudut matanya, tetapi Jean tidak merasa takut sama sekali. Ia telah menyelamatkan banyak nyawa, dan Cas untuk Devlin. Apakah ini juga yang dirasakan Mike? Tanya Jean dalam hati.
Rustam mulai bersiap dan mencari detonator bomnya yang diselipkan di kantong antara bom yang melingkar di perutnya ketika sosok besar menyeruak dari kerumunan dan berteriak, "berhenti disana! Jangan lakukan itu!"
Devlin! Oh, tidak! Panik menyeruak keluar dari dalam Jean, "Devlin, pergi! Dia ada bom." Nafas Jean memburu, harinya teremas-remas karena cemas. Devlin menatap mata Jean dengan rasa cemas yang sama.
"Lepaskan dia, bawa aku sebagai penggantinya." Devlin mengangkat kedua tangannya keatas mengisyaratkan bahwa ia tidak bersenjata. Ia maju selangkah, dua langkah.
"Diam disana kau, polisi korup!" Devlin tetap melangkah maju. "Berhenti kataku!" Sebutir peluru melesat, merobek pundak Devlin ketika ia tidak merespon perintah Rustam. Devlin terhuyung kebelakang, dari lengan kirinya darah mengucur membasahi kaos polo putihnya.
Jean berteriak sekuat-kuatnya. "Dev, berhenti!" Mike! Tolonglah dia! Air mata membanjiri Jean dan tidak bisa mengusapnya, Jean terisak-isak melihat Devlin menahan sakitnya.
Kerumunan penonton mulai gelisah ingin menolong dan geram akan tindakan terorisme yang sudah terjadi. Polisi berseragam berusaha menenangkan geliat kerumunan. Jean tidak bisa tinggal diam dan melihat Devlin terluka, teroris ini akan membantai Devlin hidup-hidup. Jean kemudian meronta-ronta ditempat berusaha melepaskan diri.
Suara letusan susulan menggema di udara. Kerumunan orang menarik nafas mereka. Jean mencari-cari kemana arah letusan itu. "JEAN!!!" Suara Devlin menggema di udara, wajahnya pucat, rahangnya mengeluarkan geraman. Barulah saat itu Jean merasakan pinggangnya perih. Ketika ia melihat kebawah, darah mengucur dari pinggangnya. Kemudian lukanya berubah menjadi sakit yang luar biasa, darah mengalir deras bagai keran air yang lupa ditutup.
Devlin mulai berlari kearahnya. Jean berusaha berteriak, Berhenti! Berhenti! Jangan kemari Dev! Mike!!! Tetapi ia merasa lemah dan kunang-kunang muncul di penglihatannya.
Satu letusan lagi terdengar. Darah bercipratan di wajah Jean dan bajunya. Jean jatuh terkulai, namun sebelum ia tergeletak di lantai, ia melihat Devlin terpental ke udara dan mendarat di tanah sebelum tubuh Jean.
Devlin, aku mencintaimu ... sebutir air mata lolos dari sudut matanya, kemudian mata Jean terpejam dalam diam.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1