Sejak kedatangan Devlin yang memberitahukan mengenai kelompok teroris yang akan segera beraksi beberapa hari lalu, setiap hari Jean merasa cemas. Sering kali dia melihat keluar jendela, menyalakan televisi, membaca surat kabar, berdoa setiap pagi dan malam hari.
Tuhan, jika Kau mendengar ... kumohon gagalkan segala rencana jahat yang ingin berkuasa di bumi ini dan biarkan kami hidup dalam damai, selamanya.
Kemudian ia mengenang Mike dan matanya berkaca-kaca. Seperti de ja vu, pikirnya sedih. Mike, jika teror ini terjadi lagi kuatkan aku menghadapinya.
Jean berhenti di koridor lantai 2 dan baru teringat jam di tangannya baru saja diganti baterai. Ia berhenti di koridor dan mulai menyetelnya. Sabtu, 12 Mei 2018. Pukul 19.13, Shift malamnya baru dimulai.
Mengingat bahwa pasien korban ledakan kapal berstatus tersangka, Jean langsung mengambil alih pengawasan kondisi mereka dibawahnya. dr. Cassandra dengan berkala juga memeriksa keempat korban tersebut dan melaporkannya pada Devlin.
Ia baru saja keluar dari kamar itu dan mencatat bahwa luka yang diderita Erik dan Budi sedikit membaik, walaupun masih menderita kekurangan cairan. Mereka sudah sadar namun masih sulit berkomunikasi. Kulit muka mereka dan kulit dari beberapa bagian tubuh yang terbakar yang sudah di rontokkan dari jelaga, sekarang berwarna pink daging yang mulai menutup namun masih basah. Selang infus masih menempel pada nadi dan oksigen masih tertancap di hidung mereka.
Boni masih dalam kondisi koma. Kabel-kabel serta selang-selang menempel di kepala dan dadanya. Jean tidak tau apakah dia akan sadar kembali atau akan seperti ini selamanya. Hasil CT Scan mengatakan bahwa ledakan kuat itu menghempaskan Boni yang posisinya diperkirakan paling dekat dengan sumber ledakan. Pada tengkoraknya terdapat retak yang mempengaruhi syaraf otaknya. Dokter belum bisa memberikan tindakan jika pasien belum sadar.
Rustam sudah sehat, kondisinya cepat sekali pulih. Luka bakar ringan sudah menutup namun pihak rumah sakit belum memperbolehkannya pulang. Jadi untuk sementara ia masih dirawat untuk pemantauan kondisi medis lebih lanjut.
Jean sedikit heran, wanita-wanita yang merawat keempat orang ini, yang mengaku sebagai istri dan kerabat mereka sudah dua hari ini tidak datang.
"Kau lelah Jean?" James menyapa Jean manis. Tangannya menempel ke punggung Jean dengan akrab.
"Tidak, James. Aku tidak apa-apa." Jean tersenyum mendapat perhatian yang begitu manis. James baik sekali. Jika dulu ia tidak mengenal Mike, mungkin ia akan mengiakan ajakan menikah James saat ini. Mereka orang yang sama, sama-sama luar biasa baik. James bahkan mengabaikan kesalahan Jean ketika menyebut nama Mike hari itu dan tidak pernah mengungkitnya.
"Ke ruang makan dokter ya. Ada yang ingin aku perlihatkan padamu." James menarik tangan Jean dan seperti biasa meletakkannya di sikunya dan menangkupkan tangannya diatas tangan Jean.
"Kenapa begitu misterius?" Jean penasaran. James menyeringai mendengar pertanyaan Jean. "Ada yang kau dapatkan selama di Australia? Apakah gelar spesialis yang lain? Beasiswa?" James menggeleng sambil tersenyum.
"Kau bertemu seseorang?" Jean memberanikan dirinya menebak-nebak. James menghentikan langkahnya dan menatap Jean serius.
"Jean, di hati ini hanya ada kau. Aku sangat mencintaimu dan sangat-sangat merindukanmu ketika aku di Australia. Aku cuma berharap aku berada dihatimu juga." James tersenyum tipis dan mengecup tangan Jean. Jean merasakan getaran lembut di nadinya yang dihantarkan bibir James ke tangannya. Jean menggigit bibirnya.
Beberapa suster dan dokter jaga yang lewat membuat mereka kembali tersadar bahwa dunia bukan milik mereka berdua. James lanjut menggiring Jean ke ruang makan dokter dan mendudukkan Jean di meja sudut ruangan. Pada jam-jam seperti ini ruangan itu tidak banyak orang yang mengambil snack karena baru lepas makan malam.
James kembali dari pantry dengan teh manis hangat untuknya dan Jean. "Teh manis untuk menghangatkanmu." Jean tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Ketika Jean menyesap kehangatan teh manis didepannya, James mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah kotak kecil diatas meja, kotak cincin kah? Jean curiga. Kotak kecil itu berwarna biru tua dari beludru dengan garis emas yang cantik sekali. James membukanya dan menghadapkannya ke Jean. Jean terkesiap.
"Kau suka?"
Cicin emas itu berkilauan diatas alas beludru biru tua. Bentuknya sederhana, hanya memiliki ulir dan simpul, seperti bentuk tambang yang diikat. Tidak ada batu dan tidak ada ukiran nama yang melekat diatasnya.
Jean menatap James dan berkata, "James, kalau oleh-olehmu hanya berupa gantungan kunci atau magnet kulkas, aku akan langsung menerimanya. Tapi ini ... aku tidak bisa menerimanya James. Sungguh."
James mengamit tangan Jean, "Jean, ini bukan cincin pertunangan, bukan cincin kawin juga err... walaupun aku akan sangat bahagia jika kau mengatakan 'i do' sekarang." James tertawa. Kerutan tawa di sudut matanya membuat Jean terharu dan sedikit berkaca-kaca.
"Di jarimu sudah tidak ada lagi cincin yang melekat Jean, aku ingin menghiasi tempat itu. Sekaligus mengingatkanmu akan tawaranku untuk menikah. Jika nanti kau memutuskan untuk menjawab tidak, kau boleh mengembalikannya. Saat ini aku hanya ingin kau memakainya."
James menatapnya lembut, Jean tidak bisa menolaknya ketika James kemudian menarik tangan Jean dan menyematkan cincin itu ke jari manisnya. Jean dapat melihat tangan James gemetar ketika memasukkan cincin itu ke jarinya dan mereka tertawa canggung. "Maaf, aku kurang pengalaman."
Sekilat dua-kilat kamera foto menangkap moment itu dan mereka terkejut, namun dokter-dokter muda itu kemudian lari keluar ruangan. 30 menit kemudian foto dan video mereka beredar di kalangan staff rumah sakit dengan judul 'I do'.
Jam 07.00 pagi shift Jean berakhir dan ia sudah berberes untuk pulang. Subuh tadi, ketika semua pasien terlelap ia harus melayani tanya jawab dari banyak mulut yang menanyakan mengenai foto dan video James yang sedang memakaikan cincin ke jarinya. Termasuk dari Dora.
Sesampainya Jean di lobby, ia dikejutkan dengan bunyi ledakan yang teramat keras. Jean dan staff rumah sakit menunduk, sementara pasien dan pengunjung berlarian keluar--bukan untuk menyelamatkan diri, melainkan mereka ingin tau apa yang terjadi.
"Dora!!! Dora!!!" Jean panik dan mencari Dora. Apakah ini waktunya? Apakah sekarang? Oh, Tuhan ... Jean menelan ludahnya dan matanya mulai berkaca-kaca.
"Jean, kau dengar itu?" Dora berlari menghampirinya, wajahnya sama pucat dengan dinding rumah sakit. Jean mengangguk. Bukan saatnya dia pulang sekarang, Jean segera melemparkan tasnya ke kolong meja resepsionis dan memperingatkan petugas informasi akan adanya gelombang pasien. Jean lalu pergi mencari James dan Cassandra. Di ruang lobby, petugas informasi segera mengganti tayangan televisi ke saluran berita.
"Jean. Kau dengar itu?" James dan Cassandra menghampirinya di depan tangga darurat ketika Jean baru akan membuka pintunya. Jean mengok kiri-kanannya lalu memutuskan mendorong James dan Cas masuk kembali ke lorong tangga darurat.
"Aku melihat kepulan asap dari atas Jean. Apakah perkiraan Devlin mengenai teroris itu benar? Dan sekaranglah waktunya?" Cas berbisik ngeri.
James menengok ke Cas, "kalian tau mengenai ini dan baru memberitahuku sekarang? Oh~ ini gawat sekali!" James mengusap wajahnya dengan kasar. "Seharusnya kita sudah pulang sekarang Jean."
"Ya, tetapi aku tidak akan pulang James. Jika ada korban jiwa, mereka akan sangat membutuhkan kita." Jean menatap James dan Cas.
"Kau benar, Jean. Aku akan berada di IGD jika kau membutuhkanku." James mengenakan kembali jas dokter yang tadi disampirkannya di lengan dan segera keluar dari lorong tangga darurat menuju ke koridor.
Mereka berdua terkejut ketika telepon genggam Cas berbunyi nyaring karena gaung yang ditimbulkan ruangan itu. "Devlin! Ya, kami dengar itu. Apa? Dibelakang rumah sakit kejadiannya? Okay-okay, akan kusampaikan."
Jean menunggu Cas memberikan kabar dari Devlin, ia khawatir. "Dimana dia Cas?"
Cas menengok ke Jean dengan wajah sama pucat dengan dirinya. "Dia tidak bilang, tapi dia mengkonfirmasi bunyi keras tadi berasal dari ledakan bom. TKP-nya berada di belakang rumah sakit ini. Devlin ingin mengabarimu, tetapi handphone-mu tidak terjawab jadi ia memintaku mengabarimu juga untuk berhati-hati."
Jean baru teringat ia melemparkan tas dan isinya ke kolong meja resepsionis. "Oh ... Tuhan, semoga dia baik-baik saja." Jean bermaksud mengatakannya dalam hati namun tanpa sadar kata-katanya tersuarakan dan wajah Cas berubah keras.
"Jean, aku minta maaf. Kejadian kemarin adalah aku yang mengaturnya agar kau dapat melihat aku dan Devlin berciuman. Kau bisa melihat kami saling mencintai, Jean." Cas menatapnya datar. "Kalau semua ini sudah berakhir, kuharap kau bisa meninggalkan Devlin dan tidak menggodanya lagi dengan menggunakan alasan apapun yang berhubungan dengan masa lalu kalian." Cas berbalik, membuka pintu darurat dan pergi.
Jean berdiri mematung disana beberapa saat mencerna kata-kata Cas. Ia menyadari betul, ia bisa meninggalkan Devlin, tetapi sebagian dari dirinya--atau mungkin seluruhnya--seperti melekat pada Devlin. Cas benar, ia harus melepaskan masa lalunya, termasuk Devlin. Jean melihat buram ke cincin yang melingkar di jarinya, pandangannya kabur dengan air mata. Kemudian setelah membulatkan tekad, ia keluar tepat ketika dua suara bom susulan meledak.
Kondisi rumah sakit seperti kapal pecah, seakan-akan balai medis di medan perang, penuh erangan kesakitan dan minta tolong dari korban terluka akibat ledakan bom yang terjadi. Jeritan dan isak tangis terdengar dimana-mana, darah berceceran dari tubuh korban terluka sampai ke lantai vinyl. Suara sirene mobil ambulan seakan tidak berhenti. Pasien berjejer diatas brankar dari kamar IGD sampai koridor. Jean berusaha tetap tenang walaupun kesadarannya sedikit terguncang melihat pemandangan yang mengerikan di depannya.
Para suster menolong dengan membasuh darah yang menempel di kulit agar dokter dapat memberikan pengobatan yang tepat. Tim dokter seluruhnya dikerahkan untuk memeriksa kondisi korban. Teriakan permintaan obat dan alat kesehatan beriring-iringan keluar dari mulut para dokter meminta untuk di respon. Jean dan timnya membantu menjahit luka pada korban yang menderita luka ringan yang sudah dipisahkan dari mereka yang menderita luka sedang dan parah.
Kondisi itu diperparah dengan suara dari televisi saluran berita yang tak henti-hentinya mengulas kejadian pagi ini berikut wawancara dengan para saksi. Setiap kali gambar di televisi menayangkan kondisi lapangan, mata Jean mencari-cari sosok Devlin, apakah dia baik-baik saja? Butiran keringat dingin menetes dari keningnya. Jean kembali berkonsentrasi kepada pasien di depannya dan melanjutkan kembali jahitan pada luka korban.
Beberapa saat kemudian Cas menghampiri Jean dan berkata, "Jean, aku akan mengecek kondisi pasien kapal meledak. Aku baru teringat jika mereka terlibat maka seharusnya mereka--atau salah satu dari mereka--sudah buron. Itu artinya aku perlu melaporkannya kepada Devlin untuk ditindak-lanjuti." Cas berbalik menjauh.
"Cas, tunggu. Aku ikut. Kau mungkin akan memerlukan bantuanku." Jean mengejar Cas, perasaannya tidak enak.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1