Ia melirik ke kartu antriannya dan mendengus keras, nomor 487--Kenapa pemeriksaan fisik itu begitu menyiksa. Setiap tahun kepolisian meminta aparatnya dari kesatuan apapun untuk melakukan cek fisik, kebetulan tahun ini karena RS Srikana Medika mau mensponsori maka sekarang disinilah Devlin berada, ditengah-tengah kerumunan anggota kepolisian provinsi dan kabupaten.
Devlin mengartikan sebenarnya dibalik sponsorship mungkin mendapatkan darah gratis dari hasil donor darah aparat adalah tujuan utama rumah sakit ini. Devlin tertawa sinis.
"Devlin!" dr. Cassandra melambai dan dengan cepat menghampirinya menembus kerumunan tubuh-tubuh kekar aparat yang menjulang. "Hai, mau cek fisik dan donor darah ya? Kupikir kau membencinya." Devlin menghampiri wanita muda berkacamata yang periang itu.
"Kau praktek juga disini?" Tanya Devlin. dr. Cassandra adalah dokter yang juga menangani pemeriksaan fisik anggotanya di rumah sakit lain. Mereka sering bertemu manakala ada anggotanya yang terluka.
"Ya, baru mulai bulan ini. Kau nomor berapa?" Devlin baru akan membuka mulut ketika Cassandra dengan cepat menarik nomor antrian di tangannya dan tertawa keras. "Sekarang jam 9 pagi baru sampai nomor 231. Kurasa kau akan dapat giliran sekitar uhm--setelah makan siang?"
"Kalau begitu, bisakah kau bantu aku bypass antrian ini?" Diberikannya senyum miringnya, Devlin mencoba merayu Cassandra. "Kalau berhasil, aku berhutang padamu. Apapun yang kau inginkan, akan kupenuhi."
Wajah Cassandra bersemu mendengar kata-kata Devlin. Devlin sangat yakin dokter di depannya ini sudah lama suka padanya, namun ia tidak mungkin menjadikannya kekasih mengingat hubungan profesional dan karirnya akan terancam, kecuali ia benar-benar ingin menikahinya. Walau berkaca mata, Cassandra tetap cantik dengan rambut hitam panjangnya dan semuanya tentang wanita ini tidak tercela, namun pikiran untuk terikat dengannya sama sekali tidak pernah terbersit.
"Aku mau sich... tapi, maaf Devlin disini semuanya by system jadi aku tidak bisa apa-apa."
Devlin tertawa, "tak apalah. Kutunggu saja disini sampai membatu. Aku menyesal, seharusnya aku cuti saja dari awal."
"Kau mau makan siang denganku nanti?"
"Hmm... ok, telepon saja. Lagipula aku tidak tau makanan apa yang enak disini." Devlin mengangkat bahunya. Cassandra menjauh dan Devlin teronggok kembali di tempat duduknya.
"Pak, pacarmu ya?" Setyo Wibowo, anggota junior yang duduk di sampingnya bertanya.
"Bukan. Kenapa?" Devlin menaggapi sinis pertanyaan juniornya.
"Cuantik e pak. Kalau bapak ndak mau, buat aku saja gimana?" Matanya memohon persetujuan Devlin. Tiba-tiba Devlin teringat Mike dan ia menggeram keras sampai juniornya meloncat dari tempat duduknya.
"Ambil saja sana!"
"Bukan main ramainya ruang tunggu Jean!" Pekik Dora sambil masuk ke ruang persediaan. Jean yang sedang mengambil stok kantong darah, kapas dan jarum suntik terkejut. "Para polisi itu ... menggemaskan." Dora cekikikan.
"Oh~ Dora, kau mengejutkanku." Jean memutar bola matanya. "Ayo Dora, bantu aku membawa stok ini ke ruang periksa. Mereka membutuhkan kita."
"Tidak secepat itu miss, bagaimana dengan James." Disandarkan tubuhnya ke pintu, Dora mencegat Jean.
"Dora, please! Tidak mungkin hari ini aku bicara dengannya mengenai hal yang tidak penting itu. Banyak pekerjaan dan melihat banyak polisi disana, kepalaku menjadi pening." Menurut Jean, acara ini kurang berguna dan membuang waktu. Ia lebih senang disuruh menangani hal-hal emegency yang membutuhkan keahliannya.
Dora mendekat dan suaranya melembut, "Kau akan baik-baik saja, Jean?" Dora langsung paham apa yang dimaksud Jean. Traumanya jelas masih kentara di wajah dan suaranya.
"Yeah, aku akan baik-baik saja. Aku harus. Sekarang bantu aku membawa kedua kontainer ini ke ruang periksa di paviliun sebelah ya. Kita akan melewati ruang tunggu yang penuh polisi, itu membuatku grogi tapi aku senang ada kau yang menemaniku." Dora memberikan Jean tersenyum pengertiannya.
Mereka menuruni tangga dengan hati-hati dan membelok ke selasar menuju ruang tunggu untuk sampai ke deretan ruang periksa yang sudah disiapkan untuk acara ini. Jean menghirup udara luar banyak-banyak untuk meredakan paniknya sebelum mereka masuk ke ruang tunggu dibalik pintu kaca.
Berjalan menyeruak diantara para polisi, jantung Jean berdetak cepat sambil memperhatikan kiri kanannya. Sesosok pria menangkap perhatian Jean, wajahnya dari samping membuat jantungnya berhenti. Devlin? Tidak mungkin! Jean terbentur-bentur dengan kerumunan tubuh kekar dan pemandangan akan Devlin menghilang.
Cassandra menarik siku Devlin dari kerumunan polisi yang masih antri, membuatnya terkejut. "Cas, kupikir kau lupa." Tepat ketika suara pengumuman mengumumkan jam istirahat siang dan setelah itu mereka akan mulai dengan nomor 355.
"Apa jadinya kalau dokter itu pelupa. Ayo sini, ikut aku." Cassandra mengarahkan jalan menuju kantin umum.
"Juniorku naksir padamu Cas." Cassandra menoleh dan menemukan Devlin sedang melontarkan senyum miringnya. Pipinya merona. "Mau kukenalkan? Siapa tau kalian jodoh."
"Tidak mau! Jangan jadikan aku bahan percobaanmu ompol--om polisi." Ejek Jen.
"Ompol? Darimana kau dapatkan kata-kata itu? Umur kita paling terpaut 3 tahun." Tawa Devlin meledak dan cubitan Cassandra mendarat di lengannya yang keras.
Dengan segera tawanya hilang. Langkah Devlin terhenti tiba-tiba dan membuat heran Cassandra . Jean? Tidak mungkin! Wanita itu sedang duduk di kursi kantin berbicara serius dengan beberapa suster lainnya. Wajahnya dari samping mirip sekali dengan Jean. "Kau kenal wanita itu Cas?"
"Aku baru disini, Dev. Aku sich tidak tau namanya, tetapi kalau tidak salah kabarnya dia adalah tunangan dr. James. Seseorang yang kau kenal?"
"Oh ... ," kata-kata yang keluar hanya seperti hembusan nafas. Teringat lagi teriakan Jean terakhir kali mereka bertemu, Devlin memejamkan mata. Nafsu makan Devlin hilang. "Kurasa aku berhutang makan siang denganmu Cas. Maafkan aku." Devlin berbalik pergi meninggalkan Cassandra yang terheran-heran.
Seberapa besar kemungkinannya aku bertemu Jean lagi? Diantara lautan manusia di Indonesia NOL, seharusnya nol. Wanita itu mirip sekali dengan Jean. Kalaupun itu Jean, harusnya ia senang karena tunangan Jean adalah dokter. Seharusnya ia memberanikan diri memastikan apakah wanita itu Jean atau bukan, kenapa ia malah melarikan diri? Devlin mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Langkah Devlin membawanya kembali ke ruang tunggu.
"Kau belum menjawabku Dev," tepukan keras Cassandra di bahunya mengejutkannya. "Ia seseorang yang kau kenal?"
"Mungkin. Kau tidak tau namanya, bagaimana aku bisa memastikan ya atau tidak." Jawabnya muram. Devlin tidak menyangka Cassandra menyusulnya.
"Nich aku belikan onigiri," Cassandra menjejalkan dua buah onigiri ke tangan Devlin sementara ia sendiri mulai sibuk membuka onigirinya. "Namanya Jean Garner, suster IGD." Devlin ternganga, onigiri di tangannya terjatuh. Cassandra yang sudah siap menggigit onigirinya terhenti. "Kau baik-baik saja?"
"Aku? Ya, tentu saja." Devlin memungut kembali onigiri yang terjatuh. Kalau tadi ia merasa nafsu makannya hilang, sekarang ia merasa mual. Mungkin asam lambungnya naik, pikir Devlin. Devlin segera menyusul Cassandra membuka onigirinya dan buru-buru melahapnya. Jam istirahat selesai dan petugas rumah sakit mulai berdatangan dan berjaga kembali di pos-posnya. Cassandra juga harus meninggalkan Devlin untuk kembali ke ruangnya.
Satu jam kemudian namanya dipanggil dan Devlin maju ke counter yang ditunjuk. Setelah tensi dan pemeriksaan darah, Devlin diarahkan suster menyusuri lorong menuju ruang periksa.
Ketika pintu ruang periksa terbuka, dokter yang ramah memperkenalkan dirinya, "hallo, saya dr. James. Silahkan duduk di ranjang dan mohon bajunya dibuka pak err ... Devlin Roland." dr. James tersenyum ramah sambil tangannya membalik-balik formulir pemeriksaan atas nama Devlin.
Darah Devlin membeku mendengar nama dokter yang akan memeriksanya. Terngiang kembali informasi dari Cassandra, Jean adalah tunangan dr. James. Sebentar kemudian darah di otaknya lancar kembali, tubuhnya mengikuti instruksi dari dokter di depannya dengan wajah muram.
Tepat ketika kancing kemeja terakhir Devlin terlepas, pintu masuk ruang periksa terbuka dan Jean masuk. Mata Jean menatap langsung kedalam matanya dan Devlin kembali membeku. Jean~
"Ehm ... Jean." James berdeham mencoba mencairkan suasana.
"Oh ... maaf dokter." Jean terbata sementara Devlin melanjutkan lagi melepaskan kemejanya. Jean dalam balutan seragam susternya. Devlin seakan-akan dilempar kembali ke masa lalu.
Tangan Jean bergetar ketika akan memasukkan jarum suntik ke nadi Devlin. Seketika James memegang tangan Jean untuk menghentikannya. Devlin dengan refleks berdiri dan matanya menggelap, "lepaskan dia!" James terperanjat dan mundur selangkah setelah melepaskan tangan Jean.
Devlin menatap Jean yang tidak senang akan tindakannya barusan. "Aku tau kau sanggup. Lanjutkan." Perintahnya.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1