Ruang pantry itu kecil, hanya seukuran 4x4m diisi sebuah meja bundar untuk empat orang dan dapur berbentuk L serta jendela yang menghadap ke belakang gedung. Ruangan ini ada di setiap sudut lantai rumah sakit. Biasanya ruangan ini digunakan bergantian oleh para suster untuk istirahat pagi, siang dan malam.
Tanpa repot menyalakan lampu, Jean terduduk di ruang pantry yang letaknya diujung koridor lantai dua. Ia perlu waktu sendiri untuk memikirkan apa yang terjadi hari ini maka Ia minta ijin istirahat lebih cepat sebelum shift-nya berakhir jam tujuh malam--dua jam lagi.
Pada saat perapihan dokumen Jean penasaran, ia membaca teliti dokumen atas nama Devlin Roland dan menemukan alamat dan status lelaki itu ternyata masih single. Ada sedikit kelegaan yang aneh di dadanya mengetahui hal ini. Setelah itu buru-buru ia merapihkan dokumen pemeriksaan bagiannya, disusun dan diserahkan ke bagian administrasi untuk dibuatkan laporan resmi ke kepolisian.
Hari ini emosinya benar-benar menyita tenaganya. Dari pagi ia sudah panik dan ketakutan dengan banyaknya polisi yang datang. Seakan terhempas kembali ke masa dimana ia pertama kali mengenal Devlin. Mungkin pria itu tidak ingat, tetapi Jean juga yang dulu melakukan pemeriksaan fisik terhadapnya. Kala itu Jean baru lulus SMK perawat dan Devlin adalah lelaki yang ramah.
Wajah Devlin muncul di pikirannya. Lelaki itu telah berubah, muram Jean. Entah apakah kematian Mike atau kata-kata terakhirnya yang menyakitkan telah merubah Devlin menjadi seseorang yang keras dan kasar, baik perkataan maupun perlakuannya. Walau begitu, Devlin tidak membuatnya takut, alih-alih itu hanya membuatnya marah namun ia tidak bisa menunjukkannya karena alasan profesionalitas. Selama pengambilan darah, ia merasa tatapan Devlin mengamatinya dengan rasa tidak percaya yang sama seperti dirinya.
Saat pemeriksaan fisik berlangsung, Jean mau tak mau memperhatikan tubuh atas Devlin yang telanjang. Dia lebih ramping dan berotot sekarang, kulitnya lebih gelap dibanding dulu, namun tidak ada tambahan luka di tubuhnya cukup melegakan Jean. Jean ingat tempat-tempat luka ditubuh Devlin yang telah dirawatnya. Jean menghembuskan nafas panjang. Ketika mengangkat wajahnya dari tangan, Jean terkejut mendapati James sudah duduk di depannya. "James, sejak kapan kau disini?"
"Wajahmu pucat, jadi aku menyusulmu. Kau baik-baik saja?" James pindah ke kursi sebelah Jean.
"Yeah, aku baik-baik saja. Maaf, meninggalkanmu dan lainnya di ruangan, tapi aku sudah menyelesaikan bagianku."
"Aku tau Jean. Kalaupun belum dan kau memerlukan istirahat, kurasa aku bisa membantumu." James menenangkan Jean. "Lelaki itu err ... Roland? Kau ada sesuatu dengannya?"
Jean mengalihkan pandangannya dari James, "dulu dia pasienku, temanku, sahabat alm. suamiku ... dan sekarang dia bukan siapa-siapa." Jean mengalihkan pandangannya ke jendela pantry menatap senja yang mulai meredup.
James merengkuh pundak Jean dan menyandarkan Jean ke bahunya. "Masih ada yang belum kau ceritakan. Mengapa dia begitu galak padaku? Apa dia tau kita bersama?"
Jean diam. Ia sedang malas membantah kalau mereka tidak bersama dan hanya ingin merasakan kenyamanan yang ditawarkan bahu James saat ini. James pun tidak keberatan akan hal itu.
Tiba-tiba pintu pantry terbuka dan empat orang suster termasuk Dora yang tadinya berbincang santai sekarang ternganga ketika mendapati Jean dan dr. James sedang berpelukan di ruang pantry. Sama seperti mereka, Jean juga terkejut setengah mati. Sialan! Ini akan menjadi gosip paling hot besok pagi, pikir Jean.
"Ah~ penonton. Kalian mengganggu saja. Ayo Jean, kita keluar makan malam. Enam orang terlalu penuh disini. Kita biarkan mereka menguasai ruangan ini." James pandai sekali mengalihkan perhatian dan membuat semua pihak mengerti dengan tidak terlihat canggung. James menarik tangan Jean dan menuntunnya keluar ruangan. "Sampai besok ya." James melempatkan senyumnya ke deretan suster-suster muda dan Dora terutama yang sudah dikenalnya lama.
Setelah pemeriksaan fisik siang itu selesai, Devlin menuju kantin umum rumah dan memesan kopi seduh. Tanpa pikir panjang, ia mengirimkan pesan singkat pada Spike, mengatakan kalau ia baru saja bertemu Jean dan tunangannya. Jean bekerja di RS Srikana Medika. Spike belum membalas dan Devlin merasa sedikit lega karena artinya paling tidak saat ini ia tidak perlu menjelaskan panjang lebar kronologis pertemuannya dengan Jean, karena ia sendiri perlu waktu untuk mencerna kejadian barusan yang seperti fatamorgana.
Jean terlihat jauh lebih kurus, apakah dia tidak makan? Pikir Devlin muram. Melihat lagi Jean dalam balutan seragam susternya sebenarnya membuatnya senang karena bisa berarti wanita itu sudah kembali menjadi dirinya yang dulu. Namun melihat tunangannya si err... dr. James membuat Devlin geram. Apalagi ketika dia menyentuh tangan Jean.
Devlin tau tindakannya barusan itu konyol. Jean adalah tunangan dr. James, bahkan mungkin mereka sudah berbuat macam-macam tetapi Devlin buru-buru menghentikan pikirannya saat itu. Ia tidak bisa dan tidak mau membayangkan Jean dengan siapapun, konyol bukan? Aku lelaki egois--dulu dan sekarang, pikirnya. Direguknya kopi seduh itu dan membiarkan kehangatan melancarkan tenggorokan dan aliran darah di otaknya yang seakan-akan kebas. Devlin memutuskan untuk sekali ini saja nasib berbaik hati mempertemukannya dengan Jean. Cukup untuk tau bahwa Jean sudah kembali dan akan menjalani hidup yang baik dengan dokter itu. Lagipula, Jean sudah mengatakan ia tidak mau bertemu dengannya lagi. Tegukan terakhir menandas habis kopinya.
Devlin melihat aroljinya, jam lima sore. Pulang dan berendam air hangat di bath tubnya akan membuatnya lebih baik. Sebuah suara memanggil-manggilnya dari dalam, Devlin tidak menghiraukan panggilan Cassandra. Ia berjalan melewati pintu otomatis dan ke udara sore bulan Maret yang sejuk. Panggilan itu kembali berulang-ulang dan mengganggunya terutama saat ini, Devlin berhenti.
"Devlin, tidakkah kau dengar panggilanku?" Tanya Cas sambil mengejar nafasnya yang memburu.
"Ah~ Cas. Ada apa? Kupikir kau masih lanjut sampai malam."
"Tidak hari ini. Hari ini hari gaji buta Dev, tidak ada pasien walk-in. Jadi kuputuskan selesai lebih cepat. Kau berhutang padaku, hayu traktir aku makan malam. Aku tau tempat yang enak di ujung jalan." Cas jalan duluan. Makan malam berdua terkesan terlalu intim, Devlin mencoba mencari alasan untuk menolak namun wanita di depannya bersikeras hanya makan malam yang cepat. Hampir sampai di ujung jalan, Devlin melihat Setyo--junior yang suka pada Cas, dan memanggilnya.
"Setyo! Kemari." Panggil Devlin dan dia mematikan rokoknya kemudian berjalan mendekat, "perkenalkan, ini dr. Cassandra."
"Halo, dr. Cas. Setyo Wibowo, kacungnya inspektur Devlin." Devlin dan Setyo bertukar tawa. Dari sikapnya yang santai, rupanya Setyo cukup percaya diri. Cas mendelik pada Devlin dan mengucapkan salam singkat ke Setyo.
"Hayu ikut, ku traktir makan malam hari ini. Belum tentu besok-besok aku bisa bermurah hati lagi seperti hari ini." Devlin mencengkram lengan atas Setyo sedikit memaksa.
"Siap! Laksanakan!" Setyo mengerti keinginan Devlin.
Bertiga mereka didudukkan pada sebuah booth yang terpisah dari meja lainnya dengan partisi kayu dan kain seperti interior rumah khas Jepang. Restoran shabu-shabu itu baru saja buka kemarin, terang Cassandra yang memilih duduk sebelah Devlin sementara Setyo duduk di depan mereka. Walaupun seorang dokter, Cassandra cukup baik memilihkan mereka yakiniku set ketimbang shabu-shabu.
Devlin memperhatikan suasana restoran Jepang yang teduh. Lampunya temaram hanya bersumber dari lampion diatas kepala mereka. Sisa furniturenya menggunakan kayu maple dan pinus yang kekuningan menghangatkan suasana.
"Bagaimana tanggapan atasanmu mengenai pelayanan rumah sakit ini Dev?" Tanya Cas sementara seorang pelayan sedang menyiapkan peralatan masak yakiniku. Ia menyalakan api dan memeriksa panas pemanggang diatasnya.
"Hmm ... okay kurasa. Dia kan tidak mengalami yang kita alami Cas, menunggu berjam-jam lamanya hanya untuk merasakan sakitnya jarum suntik." Devlin menjawab sekenanya. Ia merasa lelah hari ini dan ingin cepat pulang. Seandainya ia dapat memutar waktu ke sehari setelahnya atau sehari sebelumnya hanya untuk melompati hari ini.
"Kau itu mengeluh terus Dev, seperti anak kecil." Gemas Cas. Dicubitnya dengan keras dada Devlin dan Devlin menahan tangan Cas di dadanya untuk menghentikan aksi Cas tepat ketika pintu masuk terbuka dan Jean masuk.
Ceritanya keren. ku udah like and komen. tolong mampir ke ceritaku juga ya judulnya 'KATAMU' jangan lupa like. makasih :)
Comment on chapter Bab 1