Detik berdetik, jarum jam bermalam terus berputar mengendalikan poros bumi serta alur perputaran alam semesta, yaaa , , , itulah waktu yang tak dapat menunggu.
Sama hal nya dengan perjalanan yang dilalui oleh manusia manusia yang berjalan di atas bumi biru, termasuk diriku. Manusia terus berjalan mengikuti satu arah nyata tanpa pernah bisa kembali berputar arah, bahkan menghentikan atau hanya sekedar mengambil jeda waktu. Jika terlambat, sudah pasti terlambat, jika tamat sudah pasti akan tamat.
Kali ini seluruh anggota fisik tubuh, organ luar dalam, rohani hingga jiwa terdalam milikku merasakan hentakan hentakan gelombang. Berbeda dari sensasi yang pernah kurasa sebelumnya, begitu amat sangat samar. Samarnya seperti meresap melalui celah pori pori kulit, perlahan demi perlahan merasuk menuju sendi sendi tulang, sekejap menghilang, sekejap datang. Tiada tentu apa yang terjadi, terkadang merobek belakang, panas merangsang bagai musim yang gersang. Sungguh sebuah perasaan aneh bagi diriku yang lajang.
Telinga, otak, dan hatiku dijejali oleh barisan barisan asumsi yang kian menyesak berdesak desak membuatku semakin muak. Lalu pun telinga dan mataku dipaksa untuk menyaksikan sebuah drama berselimut isak tangis yang tak seharusnya kusaksikan siang itu. Yaa . . Siang itu tepat di area belakang hutan sekolah. Mereka adalah Pelangi dan Robi
"Aku hamil Robi"
"Apaa ? ?"
"Aku hamil, apa yg harus aku lakukan ? ?"
(Suara Pelangi mulai serak berisak)
"Lakukan aborsi, sepulang sekolah akan kuantar dirimu"
"Tidak . . Aku tidak mau membunuh anak tidak berdosa ini. Kamu harus bertanggung jawab, ini saatnya kamu membuktikan semua janji janjimu"
(Pelangi meneteskan air mata dan mulai menjadi tangisnya kala itu, sedang Robi terus memaksa melakukan hal yang biadab menurutku)
"Apa yg kamu pikirkan hah? ? Kita masih duduk di bangku SMA, kamu mau membuat dirimu malu ya ?? Belum lagi nanti kita akan lanjutkan sekolah di perguruan tinggi. ."
(Robi pun semakin brutal membalas perkataan penuh tangis Pelangi dengan sentakan)
"Kau . ."
"CUKUUUUPPPP" , Aku berteriak dalam batin dan menutup telingaku . .
Sungguh aku tak ingin melihat penampakan mengerikan ini lagi, aku seperti kertas kosong melayang di udara. Tak sanggup aku menahan rasa kecewa yang amat sangat besar dalam dada. Tubuhku berjalan sempoyongan tertiup angin, lalu aku jatuh . .
#BRUUUKKKKK (Suara tubuhku terjatuh)
"Tidaaakkkkkkkkk . . . ."
Aku berteriak lalu membuka mata, dan sungguh diriku sangat bersyukur karena apa yang kusaksikan hanya sebuah mimpi.
Aku lekas bangkit dari lantai tempat dimana aku terjatuh dari mimpi mimpi aneh bagaikan nampak nyata dalam penglihatan bola mataku. Kemudian segera aku membawa perlengkapan untuk pergi ke sekolah, tiba tiba Ibu menyapaku pagi itu . .
"Raja . . . Kamu mau pergi ke sekolah pagi sekali nak ?"
"Ibu. . Iya bu, aku mau pergi ke sekolah"
"Ini masih pukul setengah enam, apakah ada pelajaran tambahan ? ?"
"Tidak bu. . Beberapa hari lagi aku akan ikut perlombaan baca tulis puisi tingkat propinsi, aku harus mempersiapkan naskah puisi dan melatih gerakan membacanya bu. Aku pamit ya . ."
"Ohh . . Kamu mewakili sekolahmu nak ?? Baguslah, terus semangat ya. Jangan sampai kalah. . Oh iya . . Kurangi pekerjaanmu di luar. Ibu tak mau impianmu tidak terkejar hanya karena kamu berkorban membanting tulang untuk membantu keperluan keluarga, berjanjilah pada ibumu ya nak !!"
Senyum sayu di wajah ibuku sedikit terharu, segera kuambil tangan kanannya, kucium tanpa berkata apa pun kepadanya. Aku hanya tersenyum setelahnya, lalu pergi meninggalkan rumah. .
Beberapa menit sebelum aku meninggalkan rumah, sejenak aku melihat keadaan ayahku di kamarnya. Tubuh Ayahku tegeletak lunglai bagai tak punya tulang lagi untuk bangkit, Ayahku jatuh sakit karena raganya sudah mulai menua. Aku hanya bisa menatap tanpa bisa membawanya ke rumah sakit, kami sungguh tak mampu membayar ongkos rumah sakit. Aku pun hanya bisa berjuang semampuku, dalam batinku aku bermonolog.
"Tuhan . . Aku mohon jangan Engkau ambil Bapakku dariku sebelum beliau melihat kesuksesanku di dunia yang kejam ini. Kuatkan kami, aamiin"
Dalam monolog batinku kuselipkan deretan kalimat doa, agar kami sekeluarga terlindung dari malapetaka apapun yang mungkin sedang menunggu diluar sana.
Dengan hati yang masih terjanggal, aku pergi menuju sekolah untuk mempersiapkan peralatan serta aksi panggungku esok.
Beberapa hari berlalu dengan amat sangat baik sesuai harapan, tibalah saat saat dimana saat yang kutunggu. Dimana aku harus pergi membuktikan satu kali lagi, bahwa aku memang layak menjadi Raja, Raja puisi, atau apa pun itu sebutannya bagiku. Yang paling penting bagiku adalah nama "Raja" pemberian kedua orangtuaku merupakan seikat doa untuk kebaikan hidupku. Aku harus bertanggung jawab atas namaku, "Raja" akan segera menjadi Raja . .
Sehari sebelum acara dimulai, aku berpamitan kepada Reyhan dan teman teman juga di kantin sekolah.
"Reyhan , besok gue kan pergi berlomba lagi. Sayang loe nggak bisa ikut"
"Tenang aja kawan, gue dan teman teman lain selalu dukung loe dari jauh. Benar kan teman teman ? ?"
"Iya benar kawan, kita semua mendukungmu"
Si kembar Dino dan Doni bersautan menjawab serta memberi dukungan. Dino Doni adalah si Kembar teman kepercayaan Reyhan sama sepertiku, bedanya mereka juga mengikuti Reyhan dalam geng motor di luar sekolah, mereka juga beda kelas denganku dan Reyhan. Duo kembar yang sangat unik, Dino laki tulen yang maco, sedangkan Doni agak sedikit berwujud gemulai. Mereka juga baru kembali di sekolah Bunga Bangsa, mereka berdua dari perguruan tinggi untuk melakukan observasi tugas sekolah.
"Terimakasih ya, , andai gue dulu bisa masuk di grup motor kalian. Mungkin kita juga bisa terus sama sama."
Aku menyampaikan sedikit anganku yang tak bisa kugapai kepada Reyhan, Dino dan Doni. Reyhan pun menepuk bahuku. .
"Sudahlah sobat, janganlah kau menyesal begitu. Lagipula saat ini loe punya tugas negara bukan. Pergi dan ambil gelar Raja loe untuk kami semua" , Reyhan menyampaikan nasehatnya penuh senyum.
"Iya kawan, buat apa situ ikut geng motor, nggak ada prestasinya. Mending kayak gue cerdas dan berprestasi di kelas" , tambah Doni menyemangatiku.
Dino pun tak ingin kalah untuk memberiku arahan tentang motor dengan gaya uniknya.
"Iya betul tu. . Jangan pernah ikutan geng motor, tapi jangan tiru kelakuan Donita di kelas. Sukanya bikin bising aja"
"Idiiihhh. . Situ usill ya, panggil panggil Donita . . Ane gampar pakek biji ane baru tahu rasa lu. . Dasar Dinosaurus . ."
"Memang loe punya biji ?? Biji semangka kalee . . Hahahaha"
"Gue buka beneran nihh..."
"Gila kau . ."
"Hahahaha"
"Hahahaha"
Suara canda tawa kami bertiga yang tidak jelas kala itu saling berpadu di kantin sekolah siang itu, lalu pun kami berpisah untuk melanjutkan aktifitas sekolahan. Berbeda denganku, aku harus pulang lebih awal dari teman teman sekolah lainnya. Aku diwajibkan untuk beristirahat mempersiapkan diri dalam perlombaan esok hari.
Jam pengingat alarm di kamarku berdering melengking membuat alam bawah sadarku bangkit, membawaku mengambang dalam nyata hingga akhirnya aku pergi di tempat perkumpulan para siswa siswa perwakilan setiap sekolah untuk ikut lomba sesuai kategori FLS2N, banyak yang ikut disana. Mulai dari kategori puisi yang aku ikuti, tari, drama, vokal solo, grup band, melukis. Enam kategori itulah yang mampu aku lihat disana. Aku hanya terdiam di tempat perkumpulan itu, aku menunggu sosok Pelangi yang belum hadir. Aku tak tahu apakah dia ikut atau tidak, hingga mataku menyaksikan pemandangan tak nyaman.
Pelangi diantar oleh Robi anak motor itu, beberapa detik tubuhku kaku menyaksikan mereka berdua layaknya pasangan penuh romantisme yang tak akan terpisahkan. Lalu pun Pelangi datang menghampiriku menyapa diriku yang sedang mematung bisu.
"Raja . . Raja . ."
Pelangi melambaikan telapak tangannya di sekitar pandanganku, aku pun sontak terkaget akan sosok Pelangi yang sudah berdiri tepat dihadapku.
"Oh . . Iya , ya . . Kamu sudah datang Pelangi, kamu udah siap untuk beraksi ? ?"
Beberapa getaran menyertai dialogku dengan Pelangi disana. Pelangi pun selalu seperti sedia kala, selalu membalas getaranku dengan senyuman khas miliknya.
"Hehehe . . Tentu aku sudah siap. Bagaimana denganmu, apa kamu sudah siap menjadi Raja ??"
"Namaku kan Raja, tentu aku siap"
Kami berdua bertukar senyum, lalu segera masuk menuju bus yang akan mengantarkan perjalanan kami semua dari kota Tangerang menuju Jakarta pusat Ibu kota Negara tempat dimana kami semua akan bertempur.
Didalam bus sewaktu perjalanan, aku terkejut saat Pelangi menyandarkan kepalanya dibahuku. Aku hanya diam waktu itu, kemudian aku lihat dan mencoba menyadarkan Pelangi yang mungkin menurutku sedang berkhayal bersama Robi kekasihnya. Akan tetapi nampak wajah polos Pelangi yang kala itu sedang terlelap amat sangat lelah, akupun tak tega untuk menyadarkan mimpi indahnya.
Perjalanan panjang menuju medan perang telah sampai pada puncak tempatnya, segera diriku menyadarkan Pelangi. Kemudian kami beranjak menuju lokasi dimana pertempuran dimulai. Saat itu kami semua tidak langsung bertempur, siang itu semua peserta dijadwalkan untuk memasuki masing masing kamar menginap. Lokasi pertempuran berlangsung di sebuah tempat asrama pusat yang sangat besar, yang dapat menampung ribuan peserta dari sudut penjuru provinsi Jawa barat.
Aku, Pelangi, serta seluruh rekan rekan seperjuangan mendapat jatah kamar di lantai ketiga asrama. Kami menaiki tangga, dan kulihat Pelangi nampak letih dan lelah. Aku pun segera menolongnya membawakan barang bawaannya yang berat, kuangkat koper milik Pelangi menaiki tangga demi tangga.
"Pelangi, aku bantu untuk mengangkat kopermu ya . . ."
"Raja . . Baiklah Raja, terimaksih ya"
Pelangi tersenyum padaku, lalu kami pun berjalan bersama melewati tangga setapak demi setapak hingga sampai pada tempat kami. Aku mengantar Pelangi hingga sampai pada kamarnya.
"Segera kamu beristirahat ya Pelangi"
"Iya Raja, sekali lagi terimakasih ya. Nanti malam jemput aku disini. Kita berlatih puisi bersama"
Lagi lagi Pelangi melemparkan senyum khas miliknya, aku pun membalas senyumnya pula. Segera aku mencari kamar milikku sendiri dan melanjutkan istirahat disana.
Terik panas Sang Surya mulai meredah, dan sinarnya pun mulai meredup hilang tenggelam ditelan Sang Rembulan malam. Pak Faisal mentorku menjemput diriku untuk bergegas menyaksikan pengumuman yang disampaikan para juri di sebuah aula yang berada di ruang tengah bawah asrama. Aku, Pak Faisal, dan Pelangi berangkat menuju lokasi tersebut untuk mendengar pengumuman waktu pertempuran puisi dimulai. Kami bertiga sampai di ruang aula itu menunggu hasil rapat para juri untuk penentuan waktunya, hingga suara dari pengeras suara mikrofon berkumandang jelas di telinga kami semua yang berada di ruang aula saat itu.
"Selamat datang para peserta lomba Baca Dan Tulis Puisi dari seluruh penjuru provinsi Jawa barat, kami mengucapkan terimakasih sebesar besarnya atas partisipasi kalian semua yang saat ini sedang berada di ruangan ini. Dengan ini kami informasikan, bahwa jadwal perlombaan Baca Dan Tulis Puisi akan dilaksanakan secara bersamaan besok pada tanggal 23 Maret 2006. Poin poin yang akan kami nilai dari kedua lomba tersebut adalah sebagai berikut....."
Berhenti telingaku mendengarkan pengumuman dari moderator saat itu. Aku memikirkan kata demi kata dari penyampaiannya, aku cetak huruf kapital kata kata yang menyesakkan dada dan telingaku. LOMBA BACA DAN TULIS PUISI dan KEDUA LOMBA.
Sungguh aku tak mengerti apa maksudnya, lalu aku pun menyimpulkan sendiri bahwa lomba baca tulis puisi ternyata dipecah menjadi dua bagian, baca puisi dan menulis puisi. Kesimpulanku semakin nampak kian menguat jelas seusai penjelasan poin poin yang disampaikan moderator, Pak Faisal juga mempertebal kesimpulanku kala itu.
"Raja dan Pelangi kalian sudah dengar apa yang disampaikan tadi bukan. Ternyata kita semua salah sangka, bahwa lomba baca dan tulis puisi adalah dua perlombaan yang berbeda. Jadi kalian berdua harus ambil bagian masing masing yang berbeda pula. Untuk membaca puisi, Pak Fai akan meminta bantuan pada Pelangi. Untuk menulis naskah puisi, Pak Fai mempercayakannya kepada Raja. Kalian berdua harus fokus disana ya"
Mendengar hal penyampaian dari Pak Faisal tersebut, sungguh semakin sesak rasanya dadaku. Aku pun mencoba menyampaikan sesuatu yang menyesakkan itu.
"Pak Fai, kenapa aku mendapat bagian menulis puisi ?"
"Iya Raja, tulisanmu lebih rapi dan indah daripada tulisan Pelangi. Setiap diksi, konotasi, dan pilihan rima yang tercipta dari jemarimu seperti dapat berbicara. Kamu harus menulis, sampaikan segala jerit hatimu ya besok"
Pak Faisal mencoba menghiburku dengan kata kata motivasi yang tidak sama sekali bekerja bagiku. Aku semakin terpukul kerena apa yang kuharapkan dari awal adalah menulis naskah lalu membacanya di depan orang banyak, sedang realita yang kuhadapi bertolak belakang.
Kami bertiga kembali menuju kamar masing masing, sebelum kembali menuju kamar, Pak Faisal mengajak kami berdua untuk menyantap makan malam terlebih dahulu bersama sama di ruang khusus asrama disana. Aku yang saat itu benar-benar sedang seperti sekarat tak ingin menyantap apapun.
Pak Fai : "Ayo Raja dan Pelangi kita makan malam dahulu"
Pelangi : "Ayo Pak Fai . . Raja, ayo kita makan bersama ya"
Aku : "Aku masih kenyang, kamu temani Pak Fai ya Pelangi.
Pak Fai, maaf aku tak bisa ikut. . Aku harus segera kembali ke kamar untuk melatih tulisanku menjadi sebuah naskah hebat. Kita berpisah disini ya, sampai jumpa besok Pak Fai. . Pelangi . ."
Pelangi : "Raja . ."
Pelangi sempat memanggil namaku, dan kulihat pandangan mata penuh kecewa tersirat di dalam kelopak matanya yang sedikit berkaca. Akan tetapi aku tidak peduli, aku pergi meninggalkan Pak Fai dan Pelangi.
Tiba aku di ruang kamarku, akupun menaruh tubuh kecilku di tempat tidur, lalu kumatikan lampunya pula. Sejenak kunikmati setiap rasa lara yang kian menyesak di dada, kunikmati setiap hentakan hentakan kecilnya. Tiba tiba telingaku dikagetkan dengan ketukan pintu dari luar kamarku, serta ada suara yang memanggil namaku, seperti gelombang suara yang kukenal.
#tok #tok #tok . . . (Suara ketukan pintu)
"Raja . . Raja . . Bukalah pintunya"
Suara khas yang dimiliki seorang wanita yang kukenal, aku pun terbangun dari tempat tidur lalu membuka pintunya..
"Ayo kita makan malam bersama"
Ternyata suara itu adalah suara Pelangi yang sedang menghampiriku.
"Aku sudah kenyang Pelangi, kamu makanlah dengan Pak Fai dan teman teman lainnya. Saat ini aku sedang mempersiapkan hal yang tak biasa untuk esok hari pertempuranku."
"Pak Fai sudah pergi makan bersama teman teman lainnya, hanya aku yang belum pergi makan. Aku kesini juga menagih janjiku padamu. Tadi siang kamu kan udah janji untuk menemaniku, ayolah Raja . ."
Pelangi memelas dan memohon padaku, lagi pula aku juga baru teringat bahwa aku sudah berjanji akan menemaninya untuk membuat dan berlatih tentang puisi di malam hari bersamanya. Tanpa membalas ucapan Pelangi, aku bergegas membawa tas berisi buku, serta beberapa lembar uang untuk segera pergi keluar bersama Pelangi.
Aku dan pelangi menuruni tangga setapak demi setapak, melewati pintu demi pintu menuju keluar asrama mencari makanan serta tempat untuk berdialog berdua bersamanya. Hingga kami menemukan tempat yang asyik dan nyaman saat itu, kami pun menyantap makanan kami. Dan sepertinya aku tak memiliki cukup keberanian untuk memulai percakapan dengan Pelangi, begitu pula dengan Pelangi, ia hanya terdiam kaku membisu tanpa kata. Tanpa ada tutur kata dan sapa dari masing masing, kami berdua pergi dari tempat makan itu. Kemudian Pelangi mengajakku membeli dua bungkus makanan ringan di jalanan, lalu kami singgah sejenak di sebuah taman di dalam asrama. Kami berdua masih tak tahu apa yang harus kami ucapkan, aku pun mencoba memaksakan untuk mengawali sebuah dialog kecil.
"Pelangi-Raja"
Bersama sama kami bersautan saling menyapa dengan tingkah aneh. .
"Hehehe . . Kamu dulu yang bertanya Pelangi, aku akan menjawabnya"
"Hehe, tidak Raja. . Kamu dahulu saja ya"
"Tidak, wanita harus terlebih dahulu menyampaikan. Ingatlah, ladies first . . Hehehe"
Kita sama sama tersenyum di taman itu, Pelangi pun memulai percakapan dengan sebuah pertanyaan.
"Raja . . Apakah kamu bersedih karena perlombaanya tidak sesuai dengan harapanmu yang ingin menulis dan sekaligus membaca puisi?"
"Hmm.. nggak kok, aku hanya sedikit kecewa. Kenapa pula bisa terjadi sebuah kesalahan di sekolah mengenai informasi perlombaan. Seharusnya sejak awal pihak sekolah tahu bagaimana jenis perlombaannya, sehingga aku bisa mempersiapkan dengan matang. Kini aku harus mengulang semuanya"
"Jangan berbohong Rajaku. . Wajah dan matamu menunjukkan sebuah kekecewaan yang besar. Jika kamu merasa keputusan Pak Fai berat bagimu, aku bersedia bertukar tempat denganmu. Aku ambil alih bagian menulis puisi, kamu yang ambil bagian menulis dan membaca puisi. Aku akan menyampaikan semuanya kepada Pak Faisal."
"Hehehe, tidak Pelangi. Tidak perlu kamu melakukan hal itu. Kamu memiliki bakat membaca yang hebat daripada aku. Semua tahu itu, termasuk Pak Faisal, aku pun juga menyadarinya. Kamu harus mempersiapkan semua untuk esok, jangan sampai kalah ya ?"
Aku tersenyum dan bertutur kata bagaikan motivator untuk menghilangkan rasa resah gelisah Pelangi saat itu, lalu Pelangi membalas ucapku dengan senyuman manis dari wajahnya.
"Baiklah jika begitu Raja, tapi aku butuh bimbinganmu ya Raja"
Kami berdua tersenyum bersama serta berdiskusi untuk melatih keahlian masing masing, sungguh memori indah untuk dikenang kala itu. Dimana aku bisa melihat dengan jelas sorot matanya, guratan wajah berseri ceria, simbol simbol kenyamanan nampak jelas menyelimuti tiap tiap deretan kata obrolan kami berdua. Perasaan aman, nyaman, tentram bagaikan pasangan dua sejoli bak Adam dan Hawa.
Ya . . Sungguh senang kami berdua, hingga perasaan itu seakan lenyap saat telpon genggam milik Pelangi berdering menganggu berkali kali. .
"Pelangi. . Coba angkat telponmu, kamu sudah merejectnya beberapa kali. Siapa tahu telpon itu sangat penting, siapa tahu pula ada informasi mendesak yang harus segera kamu tahu dari telpon itu"
"Hmmm . . Baiklah Raja, , tunggu sejenak ya. Jangan pergi meninggalkanku disini. Awas, jika kamu pergi, aku akan berteriak sendirian disini"
"Hehehe, , iya Pelangi . . Aku tidak akan pergi kemana mana kok, aku menunggumu. Segera angkat telponmu"
Senyum kami berdua masih mekar mengembang di wajah kami masing masing. Mekar sekejap, lalu hilang pergi bersama angin malam. Angin yang sungguh menghabisi dan merenggut tawa tawa kecil kami berdua di taman itu, aku pun mendengar percakapan Pelangi di telpon yang saat itu sedang berisak menangis mengeluarkan air mata.
Aku sungguh penasaran, kabar apa yang diterima oleh Pelangi, perlahan kudekatkan telingaku untuk mendengar percakapannya. Saat itu Pelangi menyebut nyebut nama Robi dengan tangisan, serta Pelangi mengatakan beberapa kalimat yang seakan menyeret namaku dalam masalahnya.
"Jika aku suka atau mungkin cinta dengan Raja, apa kamu bisa kembali seperti dulu lagi Robi ?? Aku lelah, aku lelah kita terus bertengkar.."
#Dek . . #Dek . .
Suara jantungku berdetak melambat mendengar ucapan di tengah tangisan Pelangi saat menerima telpon dari Robi di kejauhan, tanda tanya besar menghantui segala pikiran dan jiwaku disana, batinku juga tersiksa berusaha berteriak . .
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Pelangi mulai jatuh hati terhadapku? Apakah ini benar nyata? Ataukah hanya mimpi dalam sebuah ilusi ?"
Ya, , semua tanda tanya memutari pikiranku, hingga nampak dimataku Pelangi menutup telponnya lalu menjadi beku berdiri sendirian. Segera kuberanikan diri untuk menghampirinya disana.
"Pelangi . . Ada apa kamu menangis ?? Apa ada kabar buruk ?"
Aku menghampiri pelangi dengan beberapa pertanyaan seakan diriku tak tahu apa pun, padahal aku sudah tahu apa yang terjadi. Lalu Pelangi memelukku dan mengatakan. .
"Berjanjilah untuk tidak meninggalkan aku apa pun yang terjadi Raja. ."
Terbata bata aku membalas ucapan Pelangi yang saat itu juga sedang memelukku.
"Ten .. tu.. saja Pelangi.. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu. Aku menunggumu dari tadi disana kan, hapus air matamu ya"
Aku berusaha menenangkan batin Pelangi yang mungkin sedang mengalami gejolak dan sebuah pertempuran hati.
"Aku ingin kembali ke kamarku Raja, tolong antarkan aku ya.."
Kami berdua kembali menuju kamar masing masing, sedang aku masih tak tahu jelas apa yang terjadi. Aku tahu dan mendengar ucapan Pelangi kala itu, namun apakah semuanya benar. Atau hanya sebuah penyangkalannya saja terhadap keadaan yang mungkin saat ini sedang menekannya.
Malam itu aku tiada bisa memejamkan mataku, belum bisa terpejam. Belum dan tidak bisa terpejam mataku, seperti saat saat itu dimana aku mencoba ingin mengatakan perasaanku pada Pelangi. Masih teringat jelas senyum dan ucapan Pelangi yang terlintas di bawah alam sadarku, bahwa pada saat itu di bulan Februari lalu ia juga memberikan sebuah lampu harapan yang samar samar. Tak tahu kebenarannya, tapi sungguh perasaan ini menyiksaku, dan hentakan penyiksaannya seperti dua kali lipat rasa sakitnya.
Rasa letupan letupan kecil dalam hatiku masih bergulat tak karuan hingga pagi datang. Aku mempersiapkan segala peralatan untuk pergi ke medan tempurku. Sebelum itu, aku pergi mencari Pelangi berharap kita bisa berjalan bersama menuju medan tempur. Tapi yang kudapat hanya kamar kosong tak berpenghuni. Sekali lagi dadaku disesaki dengan pertanyaan.
"Dimana Pelangi ??"
Batinku terus mempertanyakan keberadaan Pelangi, pikiranku mulai berpikir negatif tentang Pelangi mengingat kejadian semalam yang nampak begitu menampar hidup Pelangi. Aku pun menuju ruang tengah dan bertemu dengan Pak Fai yang sedang memberi arahan kecil kepada peserta lainnya, segera aku mempertanyakan keberadaan Pelangi kepada Pak Faisal.
"Pak Fai, dimana Pelangi. Mengapa ruang kamarnya kosong, apakah ia sudah pergi mengikuti lomba?"
"Oh.. iya Raja. . Tadi Pelangi pamit pergi ke rumah bibinya di sekitar kota ini. Katanya ia tidak bisa melanjutkan perlombaan. Kamu ambil semua jenis perlombaan puisi ya Raja. Waktunya selisih satu jam di ruang berbeda. Pak Fai sarankan kamu ikuti lomba tulis puisi dahulu, karena waktunya lebih sedikit dibanding membaca. Satu lagi saran dari Pak Fai yang harus kamu pegang teguh. Saat menciptakan naskah puisi kamu harus benar benar memperhatikan tema yang diberikan para juri. Fokuslah disana, resapi temanya lalu kembangkan dalam diksi diksimu yang indah. Oke Raja ?? Ayo pergilah dan ambil mimpimu disana. ."
"Iya Raja, , satu lagi, hampir Pak Fai lupa. Ini ada titipan dari Pelangi, dia juga berpesan, kamu hanya boleh membaca surat ini saat dirimu sudah menyelesaikan perlombaan, serta katanya. . . Jangan sampai kalah"
Pak Faisal memberikan sepucuk surat dari Pelangi untukku, aku pun mengambilnya dan segera pergi menuju arena pertempuranku. Semua lawan sudah menungguku disana.
Saat aku akan memasuki ruangan perlombaan menulis puisi, aku mengisi formulir peserta terlebih dahulu di luar ruang aula. Lalu mendapat arahan arahan tema yang akan menjadi perlombaan, tema yang diberikan saat itu sungguh ringan bagiku. Tema yang diberikan mengenai penggabungan beberapa tema sekaligus, yaitu, Kemanusiaan, Seni, Budaya, Adat, Kewarganegaraan, serta Pencitraan. Sungguh tema yang amat sangat mudah untukku karena memang setiap hari setiap detik aku sudah berlatih untuk tema tema yang disebut oleh juri. Waktu penulisan naskah puisi yang diberikan untuk semua peserta adalah 1 jam, sedang diriku mampu melunasi tugas tersebut kurang dari satu jam, hanya Dua Puluh Tujuh menit aku pun mampu menyelesaikan dua lembar folio deretan diksi diksi hingga membentuk satu kesatuan utuh sebuah puisi.
Suasana tegang kala itu tak membuatku gemetar atau ragu ragu seperti saat saat perlombaan seperti sebelumnya yang sudah aku ikuti. Tak membuang waktu, tubuhku berpindah menuju ruang sebelah untuk menuntaskan perlombaan membaca puisi. Hal yang serupa pula, sama persis dengan saat aku menulis puisi di ruang sebelumnya. Begitu cepat berlalu, dan sempat kusaksikan mata mata tegang berdercak kagum di seluruh aula itu. Aku pun yang sudah melunasi kedua tanggung jawabku dengan cepat bagai kilat menuju ruang kamar untuk segera membuka pesan dari Pelangi yang entah pergi kemana.
Isi surat itu begitu sederhana.
"Raja . . Jika kamu sudah membaca pesan ini, berarti aku sudah tidak bersamamu di asrama."
"Maafkan aku karena terlalu egois,"
"Sebagai ganti rasa kecewamu padaku, aku ingin kita bertemu denganmu di luar asrama"
"Aku ingin mengajakmu liburan di kota besar Jakarta, kamu kan nggak pernah liburan kesini sebelumnya. Hehehe"
"Aku tunggu kamu di tempat kita makan seperti tadi malam ya"
"Datanglah Rajaku.."
"Ttd . . Pelangimu"
Rasa khawatir dan was wasku berganti dengan senyum senyum kecil diwajah seperti orang gila. .
Ya . . Bahagia bagaikan orang gila saat itu, aku pun segera mengemasi pakaianku lalu check out dari asrama itu. Aku tak sempat menemui Pak Fai yang sedang sibuk, aku hanya menitipkan salamku kepada teman teman peserta lomba lain untuk pak Faisal. Kemudian aku pergi menuju tempat dimana Pelangi sedang menungguku.
Berlari aku dari asrama menuju tempat makan itu, hingga akhirnya aku sampai ditempat yang membuat jantungku berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat. Secara spontan jantungku pun berhenti saat melihat keberadaan Pelangi yang tidak sendirian disana, ia bersama Robi sedang menikmati makanan ringan berdua. Aku hanya bisa mengawasi mereka dari kejauhan, sungguh diriku tiada berani untuk menepati permintaan Pelangi untuk datang. Tapi disisi lain diriku bertanya, kenapa Pelangi, ada apa sebenarnya ? Apa maksud dirinya seperti ini ?
Lalu seperti giliranku mendapat sebuah kesempatan, terlintas dalam penglihatanku yang saat itu Pelangi sedang berjalan menuju toilet yang lokasinya berjauhan dari tempatnya makan. Aku yang masih berdiri dari kejauhan segera mengikuti langkah Pelangi penuh hati-hati, aku menunggunya keluar, hingga akhirnya aku menemuinya dan memanggil namanya beserta kulempar pertanyaan padanya.
"Pelangi, apa yang ada di pikiranmu? Kenapa kamu pergi bersama Robi? Lalu disaat bersamaan pula kamu mengajakku untuk bertemu"
Pelangi menoleh dan menjawabku..
"Raja . . Perlombaanmu sudah selesai? Ini masih pukul sembilan pagi, apakah kamu tidak ikut perlombaan ??"
"Jangan membalas tanyaku dengan sebuah pertanyaan pula. Aku sudah melunasi semua kewajibanku, kini jawablah pertanyaanku Pelangi!! Apa maksudmu ??"
"Raja. . Aku harus menjawab apa, aku nggak ngerti apa yang kamu tanyain ke aku."
"Kamu kira aku bodoh ?? Aku tahu semalam kamu menerima telpon dari Robi, kamu bertengkar hebat hingga menangis karenanya semalam, lalu kamu meminjam bahuku untuk menangis dan mengatakan padaku JANGAN PERNAH PERGI. Dan sekarang apa ??? Kamu mengundangku kesini untuk menyaksikan dirimu sudah berbaikan dengannya ??"
"Raja . . Jangan salah paham dahulu, tenanglah. Sungguh dirimu sangat berantakan. Tenangkan dirimu ya, aku mohon. Ayolah bergabung denganku dan Robi disana. Atau kita mencari tempat lain jika kamu tak nyaman dengan kehadiran Robi disini"
Terdiam diriku , tak membalas ucapan Pelangi, lalu tiba tiba mulutku berani mengatakan hal yang sebelumnya tak pernah ingin aku katakan, aku katakan saat Pelangi memegang tangan kananku hendak mengajakku pergi dan menenangkan gundah hatiku.
"Aku sangat mencintaimu Pelangi, aku hanya ingin menjagamu dari siapa pun yang melukaimu"
Pelangi berhenti menyeretku, lalu menatapku..
"Aku juga mencintaimu Raja, ayo kita pergi dari sini"
"Aku berjanji akan selalu menjagamu, dan tidak sedikit pun meyakitimu. Katakan bahwa dirimu juga mencintaiku tulus dari hatimu Pelangi. ."
"Aku sudah tahu kamu pasti akan bisa menjagaku dan tidak menyakitiku, aku ucap sekali lagi bahwa aku mencintaimu Rajaku.."
Tangan Pelangi mengusap pipiku, lalu aku menyingkirkan tangan lembutnya beserta pula aku lemparkan sebuah pertanyaan yang membuatku bingung...
"Bagaimana dengan Robi kekasihmu jika kamu juga mencintai diriku. Siapa yang akan kamu pilih ? Kamu harus menentukan, Robi begitu keras padamu, dan kamu pasti juga nggak mau kalo aku berkelahi dengan Robi kan??"
Pelangi tercengang dengan pertanyaanku, ia tertunduk seperti malu untuk bertutur kata lagi padaku..
Kemudian ia berkata . . .
"Kamu berbeda dari Robi, kamu lebih spesial darinya. Kamu adalah sahabatku Raja"
Pelangi mengatakan ucapan itu dengan senyuman, senyuman palsu yang benar benar membuatku muak dengan wajahnya. Aku pun melepas pegangan tangannya dari lengan kananku, sembari aku menolak senyumnya.
"Aku tahu kamu tidak akan memilih makhluk hina sepertiku"
Kemudian aku menuju ke arah Robi yang saat itu sedang menikmati makanan beserta kopinya disana, Pelangi pun mengikutiku dari belakang. Hingga sampai disana, aku menemui Robi.
"Akhirnya kita bertemu disini Robi.."
Aku memulai dengan sapaan, lalu Robi berdiri dan membalas sapaku seperti sebuah tantangan.
"Gue udah nungguin loe daritadi, akhirnya loe datang juga. Gue dengar loe dekat, bahkan sangat dekat dengan Pelangi. Guee..."
Sebelum Robi sempat menyelesaikan kalimatnya, aku pun dengan cepat menyelahnya dengan sebuah rentetan kalimat.
"Gue hanya teman. . Pelangi nyuruh gue datang kemari buat jelasin ke loe agar nggak ada salah paham diantara kita bertiga. Gue dan Pelangi hanya teman, dan selamanya akan jadi teman. Sungguh tak pantas jika gue yang hina ini melebihi batas untuk dekat dengan Pelangi. Maafin gue Robi jika kehadiran gue ganggu loe, mohon jangan membuatnya menangis. Ia hanya wanita yang rapuh, jagalah dia selalu. Gue pergi... Maaf"
Tanpa menunggu balasan jawaban dari Robi atau pun Pelangi, aku pergi meninggalkan mereka berdua. Tanpa menunggu, tanpa berpamintan, tanpa kata kata apapun lagi diriku berjalan menuju jalan raya bising. Suara bising di jalanan menembus mengkoyak hingga merasuk dalam jiwa. Ramai dan bising kunikmati suara suara . .
PERTEMPURAN HATI dalam jiwaku yang entah siapa pemenang sejatinya.
----------------