8 bulan kemudian......
Aku keluar dari kelas dengan perasaan lega. Setelah menjalani satu semester yang melelahkan, akhirnya hari ini semua telah selesai. UAS yang melelahkan telah selesai. Akhirnya, aku bisa liburan. Oh, rasanya sangat menyenangkan.
Sudah 8 bulan sejak kepulanganku dari Jepang. Saat kepulanganku, aku tidak bisa membendung air mataku karena harus berpisah dengan semua orang hotel. Tidak hanya aku, Kak Diana, Tisha dan Yash juga ikut menangis saat kepulangan kami. Tangisanku semakin menjadi saat aku berpisah dengan Yash dan Tisha di Bandara Ngurah Rai. Aku dan Kak Diana harus terbang ke Surabaya.
Sesampainya di Surabaya, aku kembali menangis saat bertemu dengan keluargaku. Sudah setahun aku tidak bertemu dengan mereka, hanya berkomunikasi via WhatsApp. Rasanya sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan mereka. Adik laki-lakiku yang biasanya tidak mau dekat-dekat denganku, malah menghambur memelukku saat aku keluar dari gerbang kedatangan. Aku terkejut saat melihat penampilannya yang sangat berbeda. Dia tambah tinggi, dia tambah besar sekarang. Pantas saja sih, dia sudah SMA sekarang. Saat berangkat ke Jepang, dia sedang menghadapi UNAS.
Aku dan Kak Diana berpisah. Kami langsung pulang ke rumah masing-masing. Di rumah, adik laki-lakiku sangat antusias dengan oleh-oleh yang ku bawa. Karena, aku masih sangat lelah, jadi aku meminta Bunda untuk membongkar koperku dan memilih sendiri oleh-oleh yang telah ku beli.
Seminggu kemudian, aku dan Kak Diana datang ke kampus untuk mengurus jadwal kuliah kami, sekaligus menyapa para dosen dan teman-temanku. Akhirnya, aku bertemu lagi dengan mereka.
Minggu berikutnya, aku telah kembali menjadi mahasiswa.
Aku dan Kak Diana sedang makan di kantin saat ponselku berbunyi. Ada vicall dari Tisha. Dengan antusias, aku langsung mengangkatnya dan bersorak tidak tahu aturan di kantin. Aku tidak peduli saat orang-orang memperhatikan meja kami. Aku terlalu senang untuk mempedulikan mereka.
Kami saling bertanya kabar. Membicarakan kegiatan kuliah yang melelahkan dan membosankan. Ingin kembali ke Jepang. Aku dan Kak Diana hanya terkikik dengan keluhan Tisha. Lalu, tiba-tiba Yash muncul. Ah, benar. Mereka satu kampus sih ya?
“Eh, sebentar. Dai menelponku,” ujarku.
“Eh, ciee,” balas mereka riuh dari seberang sana sebelum menutup telpon.
Aku segera mengangkat telpon dari Dai. Aku dan Kak Diana langsung pergi dari kantin, karena suara yang berisik, jadi aku tidak bisa mendengar suara Dai dengan jelas. Berbeda dengan Yash dan Tisha yang menggunakan Bahasa Indonesia, aku masih bisa mendengar dengan jelas ucapan mereka di anatara keriuhan ini. Tapi, berbeda jika aku harus mendengarkan Bahasa Jepang.
“Moshi moshi,” (Halo) sapaku.
Kami berjalan kembali menuju Fakultas. Aku dan Dai masih sibuk berbicara di telepon. Sesekali, Kak Diana juga ikutan nimbrung. Saat kami berada di Fakultas, Kak Diana menyenggolku dengan keras.
“Apa sih, kak?,” tanyaku.
Kak Diana menunjuk ke depan. Aku mengikuti arah dia menunjuk.
“Oh, Tuhan!,” seruku tidak percaya.
Pria di depan sana tersenyum padaku dengan senyumnya yang menawan. Dia masih sama dengan terakhir kali kami berpisah. Aku tidak bisa membendung air mataku saat dia berjalan mendekat ke tempat kami.
“Kau, bagaimana bisa....?,” tanyaku. Saking terkejutnya, aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
“Kejutan,” ujarnya.
Oh, aku sama sekali tidak menyangka. Dai sedang berdiri di hadapanku. Dai di sini. Di Indonesia.
Tidak ada lagi yang membahagiakan dari ini.