Read More >>"> Kare To Kanojo (AI) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kare To Kanojo
MENU
About Us  

Aku melepas kepergian Jonathan keesokan paginya. Kami berjumpa saat sarapan, yang kebetulan aku masuk jadwal pagi. Kami berpisah dengan senyuman. Setelah pertemuan dan percakapan kami kemarin, perasaanku jauh lebih tenang. Semalaman, aku sudah memikirkan semuanya. Aku sudah memutuskannya.

                Aku masih belum bicara dengan Tisha dan yang lain. Mereka tidak menyinggung apapun tentang Jonathan. Di saat seperti ini, aku berterima kasih karena mereka memberikan cukup waktu untukku berpikir. Aku akan menyelesaikan semuanya, dan berbicara dengan mereka. Mereka pasti menungguku.

                Sekarang, di sinilah aku. Memantapkan hati. Membulatkan tekad. Berdiri di depan pintu kamar Nobusuke-san. Aku sudah terlalu lama membuatnya menunggu. Malam ini, aku akan memberikan jawaban untuknya.

                Pintu terbuka tidak lama kemudian. Nobusuke-san menatapku terkejut, kemudian ekspresinya kembali datar.

                “Nanka you?,” (Ada perlu ap?) tanyanya dingin. Aku tidak siap dengan sikap yang dia berikan kepadaku sekarang. Begitu dingin, ketus, dan menjaga jarak. Hatiku terasa sakit.

                “Aku ingin bicara,” ucapku, mencoba untuk tetap kuat. Aku tidak ingin menangis sekarang.

                “Baiklah, bicaralah,” Nobusuke-san menyandarkan tubuhnya di pintu yang terbuka. Melipat kedua tangannya dan menatapku tajam. Aku hanya bisa menunduk ditatap dengan permusuhan seperti itu. Tapi, aku harus mengatakannya.

                Aku mendongak menatapnya. Langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi. Aku tidak ingin bicara dengannya di lorong, dengan sikap bermusuhan seperti itu. Nobusuke-san berteriak di belakangku, tapi aku tidak peduli. Aku sudah melepaskan sandalku dan naik ke ruangannya. Ruangan ini tidak jauh berbeda dengan ruanganku, tapi aku bisa mencium aroma Nobusuke-san di ruangan ini. Meskipun, Nobusuke-san suka merokok dan minum, tapi tidak ada tanda-tanda dia melakukan kedua hal tersebut di ruangan ini. Ruangan ini terasa lebih hangat, seolah-olah sedang memelukku.

                “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?,” tanyanya dingin di belakangku. Aku bisa mendengar nada tidak suka pada suaranya. Aku berbalik setelah menarik nafas panjang. Aku harus menghadapi ombak di hadapanku ini. Dia masih berdiri di belakang pintu sambil melipat lengannya. Tatapannya lebih tajam dari sebelumnya. Begitu menusuk.

                “Soal jawabanku,” ucapku tenang, mencoba untuk tetap tenang lebih tepatnya. Tulang belakangku sudah terasa dingin karena tatapannya yang mengancam. Aku tidak yakin kakiku akan bertahan lebih lama lagi. Aku sudah gemetaran di tempatku hanya dengan berhadapan langsung dengannya seperti ini.

                Nobusuke-san tidak bergerak dari tempatnya. Dia tetap diam di sana. Tatapannya memang tidak lagi tajam menatapku, tapi ada tatapan lain di sana. Tatapan yang tidak bisa ku artikan, tapi cukup untuk membuat bulu kudukku meremang. Tubuhku terasa panas sekarang. Aku tidak sanggup untuk berdiri lebih lama dari ini.

                Aku terhenyak saat tiba-tiba dia bergerak dari tempatnya. Langkah kakiku, tanpa sadar bergerak mundur. Saat itulah, aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Kejadian itu begitu cepat. Aku tidak sempat untuk mencernanya. Aku bahkan tidak merasakan apapun saat Nobusuke-san bergerak cepat menyerangku. Mendorongku ke lantai yang dingin. Aku berjengit saat punggungku mencium lantai kayu yang keras dan dingin. Sedangkan, di atasku, Nobusuke-san menunduk dengan tatapan seekor predator yang ingin mencabik-cabik mangsanya.

                Aku mencoba untuk bergerak, tapi kedua tanganku telah dicekal dengan erat oleh Nobusuke-san di atas kepalaku. Aku meringis dengan rasa nyeri yang menjalar dari pergelangan tanganku. Kakiku bahkan tidak bisa bergerak sesuai keinginanku. Aku membeku, dalam ketakutan.

                “Selama ini kau menghindar masuk ke kamarku. Apa kau pikir aku bisa menahan diri jika kau menerobos masuk?,” desisnya, membuat bulu romaku berdiri.

                Aku merasa ketakutan sekarang. Dia, bukan Nobusuke-san yang ku kenal.

                “Jawab aku, Moza. Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?,”

Aku masih diam di tempatku. Tidak bisa bergerak. Mulutku kelu. Tubuhku mati rasa sekarang. Nyeri di pergelangan tanganku semakin kuat, memberontak untuk cepat-cepat dilepaskan. Merambat dengan cepat ke kepalaku dan juga hatiku. Aku tidak menyangka akan setakut ini.

                “Maafkan aku,” desisku. Hanya itu yang kata terucap dari mulutku. Aku berjengit saat cekalan Nobusuke-san semakin erat di pergelangan tanganku. Tidak ada tanda-tanda dia akan melepasku begitu mudah. Tatapan matanya menggelap sekarang. Wajahnya hanya beberapa centi dari wajahku.

                “Kenapa kau yang meminta maaf?,” bisiknya terluka. Dia menjatuhkan tubuhnya di atasku, wajahnya jatuh di pundakku, perlahan dia melepaskan cekalan tangannya dari pergelangan tanganku. Aku meringis saat merasakan udara dingin menyentuh kulit pergelangan tanganku yang sepertinya memar.

                Aku menatap langit-langit kamar. Bisa ku rasakan tubuh Nobusuke-san yang bergetar pelan di atas tubuhku. Tangannya memeluk tubuhku dengan erat dan penuh hati-hati. Aku memejamkan mataku, merasakan kehangatan yang menjalar di setiap jengkal tubuhku. Tanganku bergerak memeluk tubuh besarnya yang gemetar. Ku benamkan wajahku di antara lehernya. Bernapas dalam irama yang sama.

                Perasaanku kebas sekarang. Rasa takut dan sakit yang ku rasakan beberapa menit yang lalu sudah menguap begitu saja. Yang ku rasakan sekarang hanyalah kehangatan dari suhu tubuh Nobusuke-san yang mengalir ke tubuhku. Aku tidak menyesal, karena ini adalah keputusanku.

                Nobusuke-san bergerak perlahan, melepaskan pelukannya hati-hati. Bergerak pelan menjauh dariku. Ekspresi wajahnya terlihat kalut, marah dan juga putus asa. Dia duduk bersandar pada pintu, menundukkan wajahnya dalam-dalam. Aku bergerak pelan, bangkit untuk duduk. Menatap Nobusuke-san. Menunggu dalam diam yang mencekik. Nobusuke-san masih bertahan di tempatnya.

                Aku bangkit dari tempatku. Melangkah pelan ke dapur. Mengambil segelas air. Kerongkonganku terasa kering. Setelah kejutan yang telah terjadi, aku butuh air dingin untuk meredakan perasaanku. Aku kembali duduk di hadapan Nobusuke-san, meletakkan segelas air di lantai. Perlahan, kepala Nobusuke-san terangkat. Matanya menatapku kosong.

                “Minumlah,” bujukku. Nobusuke-san bergerak pelan dan tidak bernyawa saat meneguk air minum tersebut. Setelah tegukan pertama, raut wajahnya mulai kembali. Dia meletakkan kembali gelas di atas lantai setelah menandaskan semuanya.

                Aku menghembuskan nafas lega, karena Nobusuke-san sudah kembali seperti biasa. Dia duduk tegak sekarang, meskipun masih enggan menatapku. Aku yakin dia merasa sangat bersalah atas perlakuannya tadi.

                “Kau, tidak apa-apa?,” tanyanya parau.

                “Aku baik-baik saja,” jawabku tenang.

                “Maaf. Aku sudah menyakitimu,”

                “Aku benar-benar tidak apa-apa,”

                “Aku hampir saja melakukan_,” Aku langsung meraup wajahnya untuk menatap lurus ke dalam mataku. Aku tersenyum saat dia telah benar-benar menatapku.

                “Lihatlah, aku baik-baik saja,” Dia mengangguk. Aku melepaskan tanganku dari wajahnya. “Kau, mengendalikan dirimu dengan baik,” ujarku.

                Dia masih belum berekspresi. Sepertinya, kejadian tadi memberikan dampak yang sangat besar untuknya. Wajar saja dia menyalahkan diri karena berpikir telah menyakitiku. Aku sangat yakin, dia begitu putus asa sampai menyerangku seperti itu. Aku sendiri tidak sanggup menahan semuanya sendirian, jadi aku bisa mengerti atas sikapnya yang lepas kendali.

                “Aku akan pergi. Kita bisa bicara setelah kau lebih tenang,” ucapku sambil bangkit. Sebelum aku melangkah melewati pintu depan, Nobusuke-san menarik tanganku.

                “Tinggallah di sini malam ini,” pintanya. Aku langsung menarik tanganku cepat. Karenanya, Nobusuke-san langsung mendongak padaku, terkejut dengan sikapku barusan.

                “Kita bahkan belum bicara tentang jawabanku. Menyuruhku untuk tinggal semalam, itu sedikit....berlebihan,” ucapku sambil meringis.

                “Ng, maaf, aku tidak bermaksud begitu,” ujarnya gugup sambil memalingkan muka. Aku bisa melihat telinganya yang sudah memerah. Dia pasti malu.

                Aku tertawa geli. “Aku hanya bercanda,” ujarku. Dia menatapku kesal. Detik kemudian, ekspresi wajahnya sudah jauh lebih tenang.

                Dia bangkit dari tempatnya. “Kau mau makan sesuatu?,” tawarnya, sambil bergerak menuju dapur.

                “Aku sedang tidak ingin makan ramen,”

                “Kau ini, banyak maunya,” dengusnya geli. Aku hanya terkekeh di tempatku. “Baiklah, kita lihat apa yang ku punya,” Dia memeriksa lemari dan kulkas, berpikir sebentar. “Kau mau kare?,”

                “Boleh. Biar aku yang memasak nasi,”

                “Baiklah,”

                Kamipun membagi tugas. Aku memasak nasi dan dia memasak kare. Setelah meletakkan nasi di magic com, aku membantunya memotong sayuran. Kami fokus sejenak dengan kentang, wortel, dan daging ayam. Setengah jam kemudian, kare sudah matang, bersamaan dengan suara magic com yang menandakan nasi yang telah matang.

                Aku membantu menyiapkan peralatan makan di meja. Memeriksa kulkas yang penuh dengan bir. Aku mengernyit melihat setumpuk kaleng bir. Akupun harus berpuas diri hanya dengan air keran. Kami menikmati kare tersebut dalam diam sampai kare tersebut tandas.

                Setelah mencuci peralatan, kami kembali duduk di meja. Tidak ada yang berbicara. Nobusuke-san masih tenggelam dalam pikiran-pikirannya yang tidak bisa ku jangkau. Aku tidak tahan dengan keheningan yang mencekik tenggorokanku.

                “Aku akan bicara sekarang,” ucapku mengawali. Tindakan yang tepat karena dia langsung menoleh padaku.

                “Mungkin, tidak sekarang,” ucapnya menghindar. Dia terlihat was-was dengan apa yang akan terjadi.

                “Aku akan memaksamu untuk mendengarnya. Sekarang,” tegasku. Aku tidak ingin mengulur waktu lebih lama dari ini. Aku harus mengatakannya sekarang.

                “Baiklah,” Akhirnya, dia menyerah. Aku mengambil nafas panjang sebelum memulai.

                “Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan tentang aku dan Jonathan..... Dia adalah mantan pacarku saat SMP. Sejak berpisah, ini pertama kalinya kami bertemu. Aku sennag bertemu dengannya setelah sekian lama,”

                “Apa kalian_,” Aku langsung mencegahnya berbicara dengan tanganku. Aku masih belum selesai berbicara.

                “Aku menyayangi Jonathan. Dia adalah pusat duniaku. Saat kami berpisah, aku tidak bisa melakukan apapun selain menjalani hidupku, tanpa kehadirannya di sampingku. Aku selalu berpikir bahwa sampai sekarang, perasaanku masih untuknya. Aku sangat senang saat dia menghubungiku dan mengunjungiku. Kami menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol, mengingat masa lalu,” Aku memberikan jeda sebentar, memperhatikan ekspresi Nobusuke-san yang mendengarkanku dengan saksama. Aku mencoba untuk menebak apa yang dipikirkannya setelah mendengar ceritaku, tapi aku tidak bisa melihat apapun di wajahnya yang datar.

                Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Melanjutkan. “Kami sudah membicarakan tentang hubungan kami ke depan_,”

                “Apa kau memilihnya?,” sela Nobusuke-san. Tatapannya terlihat tak berdaya. Aku tidak sanggup melihat ini lebih lama.

                Aku menggeleng pelan. “Aku dan Jonathan tidak akan lagi menjadi seperti dulu. Karena perasaanku sudah tidak lagi untuknya,” jawabku tenang, menatap lurus ke dalam bola mata Nobusuke-san yang membulat.

                “Tunggu!,” serunya, yang tidak ku pedulikan. Hanya sedikit lagi. Aku ingin mengatakannya.

                “Aku menyukaimu,”

Nobusuke-san menatapku tidak percaya. Aku meyakinkannya dengan senyuman dan tatapan hangat yang tulus. Aku telah menyadari, bahwa perasaanku sudah tertambat kepada Nobusuke-san. Kehadiran Jonathan membuatku yakin, bahwa aku telah menyukai Nobusuke-san.

                “Aku tidak tahu sejak kapan. Mungkin, ini terlambat, tapi_,”

Aku tidak sempat menyelesaikan ucapanku saat Nobusuke-san sudah membungkam bibirku dengan bibirnya. Mataku membelalak karena terkejut, tapi kelembutan dan kehangatan bibirnya membuatku meleleh. Nobusuke-san menciumku dengan penuh hati-hati. Tangannya yang besar meraup tengkukku, menarikku lembut supaya bisa menciumku lebih dalam. Tangannya yang lain, menarik tubuhku untuk lebih merapat ke tubuhnya. Panas tubuhnya menjalar ke tubuhku. Tanganku mencengkeram bagian depan kaosnya saat aku mulai kehabisan nafas.

                Nobusuke-san melepaskanku perlahan. Aku membuka mataku perlahan, dia sedang menatapku lembut dan tersenyum.

                “Arigatou. Aishiteru yo, Moza,” (Terima kasih. Aku mencintaimu) bisiknya. Tanpa aba-aba, air mataku mengalir saking bahagianya. Lalu, dia kembali menciumku. Jauh lebih lembut dan hangat dari sebelumnya. Aku merasa melayang dengan setiap sentuhan bibirnya. Aku merasa sangat bahagia sekarang.

***

                Musim gugur perlahan berubah menjadi musim dingin. Tumpukan salju mulai memenuhi setiap tempat di daerah ini. Malam pun menjadi semakin panjang.

                Hubunganku dengan Dai – sejak malam itu, dia memintaku untuk memanggilnya dengan nama belakangnya – berjalan sangat baik. Dai adalah pria yang hangat dan sangat perhatian. Juga, sangat pemalu. Di balik sikapnya yang dingin dan cuek, dia begitu polos saat kami sedang berdua saja. Wajahnya mudah sekali memerah setiap kali aku mendekatinya. Hal yang sangat lucu dan membuatku selalu ingin menggodanya.

                Setelah ciuman kami yang kedua malam itu, Dai sama sekali tidak bisa melihatku. Wajahnya berubah menjadi merah padam. Membuatku tidak bisa menahan tawa. Akhirnya, aku selalu menggodanya dengan selalu mendekatinya.

                Di tempat kerja, dia terang-terangan menghindar untuk berduaan saja denganku. Aku yang merasa terhibur dengannya, malah berakhir menggodanya. Jadilah, seluruh karyawan hotel mengetahui hubunga kami. Awalnya, tidak ada yang percaya bahwa Dai bisa menyukai seorang gadis. Aku hanya tertawa saat mereka menggoda Dai.

                Okuoka-san memberikan selamat padaku. Hal yang sama sekali tidak ku pertimbangkan. Tapi, dia terlihat sangat tulus saat memberiku selamat. Aku pun tersenyum dan berterima kasih. Meskipun begitu, hubungan kami tetap terjalin dengan baik. Hal yang membuat Dai uring-uringan yang sama sekali tidak membuatku kesal. Aku malah semakin gencar menggodanya, bahkan Okuoka-san juga mendukungku. Rasanya benar-benar menyenangkan.

                Tisha dan yang lain juga turut bahagia untukku. Mereka lega karena akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Aku bersyukur banyak orang yang mendukung hubungan kami. Awalnya, aku sempat khawatir akan ada penolakan dari karyawan yang lain. Apalagi, aku adalah orang asing dan hanya magang di sini. Aku bersyukur mendapatkan orang-orang baik seperti mereka.

                “Apa yang kau lakukan di hari Natal?,” tanya Dai saat dia sedang berkunjung di kamarku.

                Aku memakan jerukku dengan lahap. “Tidak ada. Lagipula, aku tidak merayakan natal,” jawabku enteng.

                “Mau jalan-jalan denganku?,”

                “Ke mana?,”

                “Hanya di sekitar sini. Lagipula, hari itu kita tidak libur, kan?,”

                “Jalan-jalan malam. Kedengarannya romantis,” Mataku menyipit padanya yang langsung mengalihkan pandangan dariku. Aku beringsut memeluknya. Di udara dingin seperti ini, pelukan adalah yang terbaik untuk menghangatkan badan.

 

Sepulang kerja, Dai mengajakku jalan-jalan melewati jembatan yang bergemerlapan. Ini pertama kalinya, aku melihat pemandangan jembatan di malam hari. Dari atas sini, aku bisa melihat sungai yang berkerlap-kerlip memantulkan cahaya lampu warna-warni dari jembatan. Dai menggenggam tanganku, memasukkannya ke dalam kantong mantelnya. Aku beringsut mendekat padanya, tersenyum dengan sikapnya yang romantis. Aku tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan, tapi menikmati hal romantis seperti ini tidak ada salahnya.

                “Tahun depan, kau sudah pulang, ya?,” ucapnya tiba-tiba.

Aku mendongak padanya. Dia menatapku sambil tersenyum hangat, meskipun tatapannya terlihat sedih.

                Benar. Sebentar lagi pergantian tahun. Waktuku di sini tinggal beberapa bulan lagi. Musim semi tahun depan, aku sudah harus pulang ke Indonesia. Aku memang merindukan negaraku, keluargaku, teman-temanku. Tapi, meninggalkan Dai sendirian di sini juga membuatku sedih. Aku jadi teringat dengan hubunganku dan Jonathan.

                Aku sudah memikirkan tentang ini berkali-kali, tapi menghadapinya langsung sangat berat untukku. Aku tidak tahu apakah hubungan kami bisa bertahan lama, meskipun kami berbeda negara. Apa hubungan kami akan baik-baik saja?

                “Kita akan baik-baik saja,” ucap Dai yakin, tersenyum padaku. Aku ikut tersneyum dengan keteguhannya.

                “Kau masih ingat dengan permintaanku waktu itu?,” tanyaku, menatap Dai lekat-lekat. Dai mengangguk setelah mengingat apa yang ku maksud.

                “Aku sudah berjanji, kan? Tapi, hal itu tidak akan pernah terjadi. Percayalah padaku,”

                “Yah. Aku percaya padamu,”

Dai merangkulku lebih erat. Kami-pun berjalan kembali menuju asrama, karena udara yang semakin dingin. Saat kami sudah berada di lantai kami, Dai masih belum ingin melepaskanku.

                “Kau mau mampir sebentar?,” tanyanya. Sorot matanya terlihat sangat berharap.

                “Baiklah,” Aku bisa melihat ekspresi kelegaan di wajahnya. Membuatku tersenyum geli.

Dai membukakan pintu untukku. Di saat yang bersamaan, aku dikejutkan dengan seruan dari dalam kamar Dai. Aku menutup mulutku saking terharunya. Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata apa yang ku rasakan. Dai memelukku dari belakang dan berbisik.

                “Selamat ulang tahun, Moza,”

Aku menangis mendengarnya. Ini adalah ulang tahun terbaik yang pernah ku alami. Tisha menyeret kami untuk masuk. Mereka sudah menyiapkan pesta kejutan untukku di kamar Dai. Tidak hanya Tisha, Kak Diana dan Yash yang ikut merencanakan semua ini, Okuoka-san juga hadir meramaikan suasana. Aku menyipit pada Dai yang mengalihkan pandangan. Jadi, ini yang sedang direncanakan sampai dia mengajakku jalan-jalan romantis di malam hari.

                Dari awal pacaran, Dai memang bukan tipe yang romantis. Dia tipe pria yang terbuka, yang langsung mengatakan apa yang diinginkannya. Jadi, aku merasa curiga saat dia mengajakku jalan-jalan saat Natal. Tapi, bukan berarti aku tidak suka. Dai sudah bekerja keras untuk memberikan kejutan ulang tahun ini untukku. Aku merasa terharu dengan perhatiannya.

                Di usiaku yang ke 19, aku mendapatkan pengalaman berharga, teman-teman baru yang sangat perhatian, dan juga pacar yang manis. Aku tidak tahu harus meminta apa lagi kepada Tuhan, aku sudah mendapatkan terlalu banyak anugerah selama di Jepang. Mungkin, aku bisa meminta satu hal.

                Aku berharap, kebahagiaan ini tidak akan pernah pudar. Selamanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Asrama dan Asmara
474      339     0     
Short Story
kau bahkan membuatku tak sanggup berkata disaat kau meninggalkanku.
Enigma
24268      2935     3     
Romance
enigma noun a person or thing that is mysterious, puzzling, or difficult to understand. Athena egois, kasar dan tidak pernah berpikir sebelum berbicara. Baginya Elang itu soulmate-nya saat di kelas karena Athena menganggap semua siswi di kelasnya aneh. Tapi Elang menganggap Athena lebih dari sekedar teman bahkan saat Elang tahu teman baiknya suka pada Athena saat pertama kali melihat Athena ...
PENYESALAN YANG DATANG TERLAMBAT
723      438     7     
Short Story
Penyesalan selalu datang di akhir, kalau diawal namanya pendaftaran.
Kenzo Arashi
1764      632     6     
Inspirational
Sesuai kesepakatannya dengan kedua orang tua, Tania Bowie diizinkan melakukan apa saja untuk menguji keseriusan dan ketulusan lelaki yang hendak dijodohkan dengannya. Mengikuti saran salah satu temannya, Tania memilih bersandiwara dengan berpura-pura lumpuh. Namun alih-alih dapat membatalkan perjodohannya dan menyingkirkan Kenzo Arashi yang dianggapnya sebagai penghalang hubungannya dengan Ma...
Ketika Kita Berdua
32982      4472     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Goddess of War: Inilah kekuatan cinta yang sesungguhnya!
6458      1635     5     
Fantasy
Kazuki Hikaru tak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat ini, tepatnya 1 bulan setelah sekembalinya dari liburan menyendiri, karena beberapa alasan tertentu. Sepucuk surat berwarna pink ditinggalkan di depan apartemennya, tidak terlihat adanya perangko atau nama pengirim surat tersebut. Benar sekali. Ini bukanlah surat biasa, melainkan sebuah surat yang tidak biasa. Awalnya memang H...
Teilzeit
792      403     1     
Mystery
Keola Niscala dan Kalea Nirbita, dua manusia beda dimensi yang tak pernah bersinggungan di depan layar, tapi menjadi tim simbiosis mutualisme di balik layar bersama dengan Cinta. Siapa sangka, tim yang mereka sebut Teilzeit itu mendapatkan sebuah pesan aneh dari Zero yang menginginkan seseorang untuk dihilangkan dari dunia, dan orang yang diincar itu adalah Tyaga Bahagi Avarel--si Pangeran sek...
Putaran Roda
527      347     0     
Short Story
Dion tak bergeming saat kotak pintar itu mengajaknya terjun ke dunia maya. Sempurna tidak ada sedikit pun celah untuk kembali. Hal itu membuat orang-orang di sekitarnya sendu. Mereka semua menjauh, namun Dion tak menghiraukan. Ia tetap asik menikmati dunia game yang ditawarkan kotak pintarnya. Sampai akhirnya pun sang kekasih turut meninggalkannya. Baru ketika roda itu berputar mengantar Dion ke ...
DEUCE
633      346     0     
Short Story
\"Cinta dan rasa sakit itu saling mengikuti,\" itu adalah kutipan kalimat yang selalu kuingat dari sebuah novel best seller yang pernah kubaca. Dan benar adanya jika kebahagiaan dan kesakitan itu berjalan selaras sesuai dengan porsinya..
One Day.
505      331     1     
Short Story
It's all about One Day.