ALVARO menghentikan motornya tepat di depan gerbang yang telah dibuka. Matanya menatap jengah kendaraan roda empat di carport. Ia mencengkeram stang motor dan memejam. Sial. Harusnya bokap balik besok. Kenapa udah di rumah? Alvaro sudah tahu jadwal ayahnya yang mesti memenuhi kunjungan kerja ke pemerintahan kota/kabupaten lain. Itulah yang membuatnya bersedia pulang. Meski Alvaro tidak pernah berlama-lama di sana. Selepas berganti pakaian, Alvaro akan melahap masakan ART-nya, menuntaskan tugas dan pergi setelah bertemu Kevan dan Mariana, tepat setengah jam sebelum ibunya tiba. Ia hanya perlu menyetor wajah, sebagai laporan kehadiran ART pada majikannya. Di hari-hari lesnya, Alvaro akan dengan sengaja pulang lebih larut.
“Den Al?”
Alvaro membuka mata saat petugas keamanan rumahnya memanggil. Ia bimbang sejenak sebelum akhirnya memajukan motornya melewati gerbang, berhenti tepat di belakang mobil ayahnya.
Alvaro melepas earplug di sebelah telinganya dan mulai menapaki pijakan menuju teras rumah. Baru saja membuka pintu, sosok yang dihindarinya berada tepat di hadapannya.
“Ikut Papa.”
Perintah itu absolut dan mematikan. Tak ayal keresahan Alvaro menerjang. Ia melihat ibunya berdiri dengan tangan terlipat di dada, menatapnya seolah ia maling yang tertangkap basah. Alvaro tidak tahu apa lagi yang hendak ayahnya ‘sampaikan’. Perihal nilainya? Pelariannya? Atau—
“APA INI?!”
Ayah Alvaro melempar kasar belasan foto di meja kerjanya yang menampilkan potongan-potongan adegan di kelab malam. Alvaro praktis mengepal, mengenali betul wajah cowok yang terpampang di potret-potret itu. Dirinya, tengah menari sambil memegang sebotol bir dan rangkulan ketat pada bahu Casi.
“Jadi ini yang kamu lakukan selama kabur dari rumah, Al? Mabuk-mabukan?”
Suara ibu Alvaro membuatnya menoleh ke samping. Wanita yang beberapa hari lalu menuangkan roman prihatin, pedih dan tak berdaya setelah Alvaro dipukuli dan dicambuk suaminya, kini memamerkan keteguhan sikap yang biasa Alvaro lihat. Sungguh kentara cara ibunya memandang Alvaro penuh amarah dan kecewa.
“Dan ini.” Ibu Alvaro mengangkat sebuah objek yang Alvaro sembunyikan rapat di kamarnya. Sebungkus rokok. “Mama nemu ini di kamar kamu. Keterlaluan kamu, Al! Rokok, bir! Apa lagi? Ngehamilin perempuan?! Tingkah kamu kenapa jadi liar begini?! Apa begini Mama mendidikmu?!”
Alvaro bergeming. Ia menatap rokok di tangan ibunya dengan nanar, lalu berpaling dengan napas berat. Ia masih ingat membeli rokok itu kemarin malam setelah mengantar Casi pulang. Sudah beberapa batang yang ia konsumsi begitu tiba di rumah, sambil duduk memandangi langit di balkon kamarnya yang sengaja dibiarkan tanpa cahaya. Sejak tak lagi kerepotan merokok, benda itu pada akhirnya menjadi kawan setia Alvaro. Apakah ia sudah kecanduan? Alvaro tidak yakin. Yang ia yakini adalah bahwa setiap kali mengisap gulungan itu, zatnya bagai membentuk kabut di kepala, membantunya menyamarkan seluruh pikiran yang membuatnya ingin berteriak.
“Nilai buruk, dan sekarang ini! Memalukan!” Ayah Alvaro menggebrak meja hingga menyentak istri dan putranya. “Masih kurang cambukan Papa selama ini, hah?! Papa menyasar punggungmu, bukan otakmu! Tapi kamu jadi makhluk paling dungu! Tolol!” Pria itu melayangkan satu gamparan keras di sisi kepala Alvaro. “Nggak cukup mempermalukan Papa cuma masuk Bina Pekerti yang soalnya kamu beli, sekarang kamu ingin merendahkan martabat Papa dengan kelakuan goblokmu itu?!”
Tubuh Alvaro terhuyung ke belakang karena pukulan ayahnya di kepala kian bertenaga. Sosok itu masih terus bicara penuh penghinaan, tapi yang sanggup menyita perhatian Alvaro adalah keberadaan ibunya di hadapan mereka, yang menatap keduanya dengan mulut terkunci. Alvaro tertegun pada sebuah pemahaman, bahwa untuk saat ini, wanita itu sepakat dengan sang suami. Kesalahan Alvaro terlampau fatal hingga bisa menjerumuskan keluarga mereka pada kenistaan.
Aku emang nggak perlu dibela, Ma? Mama nggak mau misahin kami?
Kenyataan itu begitu memilukan hingga saat gamparan lain mendarat di wajahnya, ia sudah tidak bisa lagi merasa nyeri. Batinnya kebas dan mati.
Malam itu Alvaro habiskan dengan menekan kuat-kuat rasa nyeri di tubuh dan hati. Diam-diam ia berharap Tuhan merenggut nyawanya detik itu juga.
Alvaro tidak lupa ia putra seorang walikota yang gerak-geriknya bisa jadi diperhatikan banyak media. Namun, jika ayahnya bisa menggelontorkan sejumlah uang demi membungkam pers untuk tidak membongkar kenakalan Alvaro agar tidak mencoreng nama ayahnya, pria itu tampaknya malah kurang waspada pada video-video amatir warga.
Alvaro baru tiba di sekolah tanpa semangat dan langkah tak bertenaga saat ia menyadari tatapan-tatapan siswa terhunus padanya. Ia tidak bisa menegakkan punggungnya yang nyeri, tapi begitu mendengar kasak-kusuk tentangnya, Alvaro praktis menegakkan kepala dan melihat segerombolan siswa yang tengah menyimak ponsel mereka.
“Hei,” sapa Alvaro kaku dengan senyum tipis. “Boleh lihat?”
Seorang cewek yang tampak gugup, tersenyum canggung dan memberikan ponselnya pada Alvaro. Mata hitam legam Alvaro melihat dengan jelas sebuah video amatir merekam dirinya yang tengah berada di kelab. Gambaran itu adalah versi gerak dari foto yang ayahnya miliki. Meski pencahayaan kelab agak remang, tapi tidak cukup menyamarkan wajah tokoh utama yang tengah disorot selama puluhan detik itu.
Alih-alih geram dan menelusuri siapa pun perekam juga penyebar video itu, Alvaro melukis senyum miring di bibirnya. Ia mengembalikan ponsel itu pada sang empu dan berterima kasih, lalu melanjutkan langkah ringannya menuju kelas.
Tiba di ruangan yang sudah dipenuhi siswa itu, Alvaro praktis menjadi pusat perhatian. Sebagian besar membuang muka, tampak ragu dan bertanya-tanya, tapi tak sedikit yang melihatnya dengan terang-terangan. Salah satunya adalah Raka.
“Woy, Ka. Kenapa muka lo? Abis lihat setan?” Alvaro meletakkan tasnya di bangku dan hendak melepas jaket.
“Al, ini lo?”
Yang bertanya barusan bukan Raka, melainkan salah satu teman sekelas Alvaro. Alvaro menoleh padanya, melihat cowok itu menyodorkan ponsel yang tengah memainkan video serupa.
“Ini lo bukan? Raka bilang bisa aja orang yang mirip. Tapi ini muka lo banget. Lo suka dugem emang?”
Alvaro tidak menduga Raka masih bisa membelanya, meski wajah itu jelas-jelas miliknya.
Dengan gerakan santai seolah tanpa beban, Alvaro mengangkat bahu dan menyeringai.
“Menurut lo?” timpalnya.
Reaksi itu membuat teman-teman Alvaro pucat. Mereka kontan memasang wajah penuh tanya, yang Alvaro terjemahkan dengan, “Gila! Anak walikota dugem?!”
“Al—“
Raka lagi-lagi kalah cepat karena bel masuk sudah berbunyi. Alvaro menepuk pundak Raka dan duduk di bangkunya sambil melepas jaket, susah payah menyembunyikan ekspresi nyeri di wajahnya. Tentu salah besar jika Alvaro kira sekolahnya akan damai hari ini. Ia tahu apa yang akan terjadi.
Kepala sekolah memanggilnya.