“MI, lihat, deh. Ini Al bukan, sih?”
Emilia yang baru merapikan isi tasnya begitu istirahat tiba, mengernyit tak paham. Ia belum sempat bertanya saat diperlihatkan sebuah postingan di Twitter berjudul, “Anak Walikota Kepergok Dugem.”
Seketika detak jantung Emilia mengencang. Ia meraih ponsel itu dengan tangan kaku dan gemetar. Postingan itu memiliki beberapa gambar. Ada delapan, dan dua di antaranya merupakan video dua puluh detik yang memperlihatkan seorang cowok tengah menari sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya merangkul seorang cewek, dan tangannya yang lain memegang botol alkohol. Latar video itu tak gelap pekat tapi juga tak benderang. Cahaya lampu kelab cukup membantu mencetak fitur wajah Alvaro dengan jelas. Sosok cewek yang berada di dekapan Alvaro tak begitu terlihat wajahnya, tapi Emilia yakin ia adalah Casi.
Emilia menekan caption dan gelagapan membaca isinya. Ia tercekat saat melihat keterangan waktu pengambilan video itu. Kejadiannya baru-baru ini.
“Beneran Al, kan? Gayanya Al banget, deh,” ujar teman Emilia penuh keyakinan.
“Mi...”
Emilia menatap Puspa penuh kengerian.
“A-aku keluar dulu, ya.”
Emilia beranjak dari bangkunya dengan tergesa. Ia berbaur bersama siswa lain di koridor, hendak menuju kelas Alvaro. Namun, sebelum niat itu terlaksana, ujaran seseorang di dekatnya membuatnya menoleh.
“Kayaknya beneran Al, deh. Gawat banget nggak sih dia dugem gini?”
“Nggak nyangka. Alvaro itu anak walikota, lho. Dia anak baik-baik. Kok bisa, ya?”
“Barusan aku lihat dia masuk ke ruang Kepsek. Pasti disidang, deh.”
Emilia mengubah haluan. Ia berjalan cepat menuju Ruang Kepala Sekolah di gedung utama. Emilia tidak bisa langsung masuk begitu tiba karena ia yakin tengah berlangsung rapat di dalam sana. Emilia tidak dapat mendengar apa pun. Alhasil, ia menunggu dengan gelisah.
“Aku nggak bakal kayak gitu lagi, Yang. Aku janji. Aku bakal langsung ngabarin kamu kalau ada apa-apa. Aku bakal ke kamu.”
Emilia membuang napas sesak saat teringat ucapan Alvaro. Al udah janji. Kenapa dia minum-minum lagi? Kenapa dia...sama Casi lagi? Emilia mencengkeram lengannya kuat-kuat, kewalahan menata gundah di hatinya hingga dadanya kian terasa tertekan.
Saat pintu Ruang Kepala Sekolah membuka, Emilia berdiri tegap. Guru yang Emilia kenali sebagai wali kelas Alvaro keluar. Di belakangnya sang anak didik mengekori. Tatapan Alvaro lekas mendarat pada Emilia karena sosoknya mudah terlihat. Saat itulah Emilia tercekat. Sorot mata kekasihnya tampak begitu kosong, redup dan tak bercahaya.
“Langsung temui Kepsek setelah pulang sekolah. Ibumu akan datang.”
Ucapan wali kelas Alvaro sempat membuat perhatian Alvaro beralih padanya, lalu kembali pada Emilia begitu guru wanita bertubuh tambun itu pergi.
Di koridor gedung utama, keheningan terasa begitu mencekam saat Alvaro menghampiri Emilia tanpa kata.
Emilia menelan ludahnya. Entah kenapa Alvaro tiba-tiba terasa begitu asing sekaligus jauh darinya, padahal baru kemarin mereka berbincang sambil makan bersama di kelas, dikawani senyum dan tawa ceria Alvaro yang meyakinkan Emilia bahwa Alvaro-nya telah kembali.
Alvaro belum berucap apa pun saat ia mengukir langkah melewati Emilia. Jejaknya pelan dan teratur. Emilia mengiringi di belakangnya. Menelusuri separuh koridor, Emilia memberanikan diri buka suara.
“Ya-yang—“
“Udah lihat videonya?” sela Alvaro tanpa berhenti berjalan.
Selama beberapa detik Emilia tertegun dengan mulut membuka dan mata yang lekat menatap Alvaro, begitu mendengar nada dingin dan datar di suara cowok itu. Emilia mengerjap. Ia mengangguk kaku, sudah tak lagi mengurai langkah. Sadar akan hal itu, Alvaro berbalik menghadapnya.
“I-itu...kejadiannya baru-baru ini...” Emilia agak menurunkan pandangan. Sorot kosong di mata Alvaro membuat tubuhnya menggigil. “Kamu...ke kelab lagi?” Tidak ada suara. Emilia membasahi bibirnya resah. “Ke-kenapa, Yang? Kamu kan...udah janji...”
Emilia yang sudah tidak melihat wajah Alvaro, tidak bisa membaca ekspresi cowok itu. Namun, ia mendengar Alvaro membuang napas keras-keras, yang praktis membuat Emilia kian kaku.
“Kepalaku sumpek banget.”
Pengakuan itu membuat Emilia kembali mendongak. Tatapan Alvaro tidak tertuju padanya, tetapi pada koridor yang lengang. Tidak ada kehidupan di iris hitam itu.
“Ada apa, Yang? Papa kamu...” Emilia berhenti bicara. Apa yang harus dikatakannya agar Alvaro bersedia bercerita? “Ka-kamu bilang bakal ngabarin kalau ada apa-apa,” ujarnya pelan. “Kamu bisa cerita sama aku, Yang.”
“Kalau aku udah cerita, terus apa?”
Emilia tertegun. “Y-ya?”
Alvaro menenggelamkan kedua tangannya di saku celana, lalu menarik napas panjang. Ia menatap Emilia lurus.
“Kamu mau nyuruh aku pulang lagi?”
Emilia mengernyit. Kenapa sosok di hadapannya menguarkan aura yang berbeda?
“Yang?” Emilia mengambil satu langkah mendekat, tapi ucapan Alvaro menghentikannya.
“Kamu ngerti apa sih, Yang? Kamu nyuruh aku pulang. Kamu nggak kenal orangtuaku kayak gimana. Kamu sadar nggak, kalau papaku bisa diajak ngobrol baik-baik, aku nggak bakal dipukulin.”
Saat Emilia meminta Alvaro pulang, cowok itu mengangguk setuju. Emilia percaya itulah hal terbaik yang bisa Alvaro lakukan. Ia harus mengobrol dari hati ke hati dengan ayahnya—orangtuanya. Tidak pernah ia duga Alvaro justru merasa sebaliknya.
“Menurutmu, kenapa aku lari ke Toni atau Casi?” Alvaro kembali bicara yang sepenuhnya membungkam mulut Emilia. “Mereka ngertiin aku, Yang. Mereka ada buat aku. Mereka nggak seenaknya nyuruh aku pulang, karena mereka tahu itu percuma. Kamu yang punya keluarga harmonis nggak akan ngerti itu.”
Dunia mengelam sempurna. Sosok jangkung dengan tubuh atletis itu mengabur. Namun, ucapannya terngiang jelas, terus berulang memenuhi kepala Emilia. Selama berhubungan dengan Alvaro, tak pernah Emilia duga akan tiba saatnya cowok itu menganggap kehadirannya percuma, dan bahwa cewek itu tidak memahaminya.
“Lo mau bilang kalau Emi nggak ada buat lo?”
Teguran itu membuat perhatian Emilia dan Alvaro berpindah. Raka berdiri di belakang Alvaro, entah sejak kapan. Raut wajah cowok itu masam, dan tatapannya berkobar.
“Emi bela-belain nyari kabar soal lo sampai nanyain Kevan dan nyari lo ke rumah Toni. Lo pikir dia ke sana cuma mau ngitung kilometer?”
“Lo udah mirip hantu, datangnya nggak ketahuan.” Alih-alih menanggapi ucapan Raka, Alvaro malah berkata demikian dan tergelak ringan.
Emilia tergugu melihat pemandangan itu. Raka menggeram. Namun, sebelum siapa pun sempat kembali bicara, perhatian Alvaro pecah oleh sesuatu di saku celananya. Cowok itu mengeluarkan ponsel yang bergetar. Sesaat Alvaro menaikkan pandangan pada Emilia. Tatapan itu tidak dapat Emilia artikan. Lalu—
“Kenapa, Beb?”
Tubuh Emilia mengejang. Napasnya seolah tak lagi tergapai. Di hadapannya, Alvaro berbicara dengan seseorang melalui ponselnya, dengan sebuah panggilan kasih.
“Iya, videonya emang rame banget. Barusan aku udah di panggil kepsek. Pulang sekolah rapat lagi. Sori nggak bisa jemput kamu. Nanti malam kujemput.”
Panggilan itu berakhir. Alvaro menurunkan ponsel dari telinganya dengan gerakan santai dan memasukkannya kembali ke saku celana. Ditatapnya Emilia yang mematung serupa candi.
“Itu tadi Casi.” Alvaro menatapnya dalam diam beberapa saat, lalu tersenyum samar. “Aku emang nggak bisa nepatin janjiku ke kamu.” Alvaro berkata lirih. “Kalau kamu mau putus, nggak masalah,” imbuhnya yang praktis membuat Emilia membeliak, sementara Raka naik pitam.
“Sial, Al, otak lo gangguan?!” Raka mencengkeram kerah kemeja Alvaro dan menghunuskan tatapan sengit yang dibalas Alvaro dengan sorot kosong, seolah Raka tidak ada di hadapannya, atau jiwa Alvaro yang memang tidak ada di sana.
“Raka, udah.” Emilia menahan tangan Raka dengan genggaman lemah.
Saat Raka melepaskan tangannya setelah beberapa detik berlangsung sengit, Alvaro menoleh pada Emilia dan meninggalkan tatap tak terbaca, sebelum ia berbalik dan beranjak pergi.
Di tempatnya, Emilia menatap punggung Alvaro getir. Sekujur tubuhnya gemetar dan panas dingin. Ia mengerjap berkali-kali begitu air mata sudah membayang dan mengancam akan meluncur keluar.
“Mi...”
Suara Raka lirih dan penuh simpati.
Kian jauh sosok Alvaro darinya, kian terluka hati Emilia.
“Al bilang...mereka nggak ada hubungan apa-apa...” Secara domestik benaknya memainkan kembali perbincangannya dengan Alvaro beberapa hari lalu, saat cowok itu meminta maaf padanya dan memeluknya. Kini, sosok itu teramat berbeda. “Al...janji dia nggak bakal kayak gitu lagi...”
“Aku nggak bakal kayak gitu lagi, Yang. Aku janji. Aku bakal langsung ngabarin kamu kalau ada apa-apa. Aku bakal ke kamu.”
“Aku emang nggak bisa nepatin janjiku ke kamu.”
“Mi...”
Cairan bening itu pun melepuh, mencetak alur di pipi hingga dagu.
“Mereka ngertiin aku, Yang. Mereka ada buat aku. Mereka nggak seenaknya nyuruh aku pulang, karena mereka tahu itu percuma. Kamu yang punya keluarga harmonis nggak akan ngerti itu.”
“Kalau kamu mau putus, nggak masalah.”
“Kamu ngerti apa sih, Yang? Kamu nyuruh aku pulang. Kamu nggak kenal orangtuaku kayak gimana. Kamu sadar nggak, kalau papaku bisa diajak ngobrol baik-baik, aku nggak bakal dipukulin.”
Aku nggak ngerti apa pun... Bahu Emilia mulai berguncang. Ia menunduk dalam. Aku nggak ngerti apa pun... Tangisnya pecah, tapi orang yang ada di sisinya bukanlah Alvaro, melainkan Raka.