“LAMA, ya?”
Alvaro mengangkat wajahnya dari ponsel, menatap Casi yang berdiri di depannya sambil tersenyum. Alvaro lekas memasukkan ponselnya ke saku jaket dan berdiri.
“Bentar kok, Beb.”
Alvaro menatap Casi lekat. Beb. Panggilan itu menggelincirkan Alvaro ke kubangan kebahagiaan yang hanya diisi dengan gema panggilannya terhadap Casi kini. Status mereka sudah resmi sejak Alvaro ke rumah Casi.
“Yuk.” Alvaro meraih tangan Casi dan menggenggamnya. Ah, jemari mereka pas sekali bertautan bersama seperti ini. “Tangan kamu dingin banget.”
“Kan abis cebok,” kelakar Casi seraya mengambil tas dan menyampirkan ke bahu.
Alvaro meringis ngeri. Roman yang dibuat-buat, karena sekejap kemudian ia menggenggam tangan Casi dengan kedua tangan dan mengusapinya hingga menimbulkan kehangatan.
“Mulai hangat, nih.” Alvaro mendesah senang.
“Satu lagi belum.” Casi mengulurkan tangan kanannya.
Alvaro menerima uluran itu dengan gembira. Ia kembali mengusapi tangan pucat Casi tanpa menanggalkan tatapannya dari wajah cewek itu. Casi pun melakukan hal serupa. Binar di mata Casi mengikat Alvaro, membuatnya sulit bernapas. Ia mencondongkan wajah dan mengecup pipi Casi lama.
“Ketahuan mesra-mesraan di sini, dikira mesum, lho.”
Alvaro tak bisa menahan diri untuk tertawa. Ia mencuri satu ciuman lagi di kening Casi, sebelum mengajak cewek itu meninggalkan tempat les. Alvaro membawa Casi menikmati makan malam mereka yang terlambat. Setelah cukup puas dan diusik telepon dari pacar Casi, mereka akhirnya pulang.
“Besok dia katanya mau jemput aku sekolah,” kata Casi begitu mereka tiba di rumahnya.
Dia yang Casi maksud adalah kekasihnya. Alvaro berdecak tak suka. Kekasih Casi adalah seorang mahasiswa, usianya tiga tahun di atas mereka.
“Pulangnya?”
“Dia ada kuliah, jadi nggak bisa jemput.”
Mood Alvaro kembali lagi. “Oke. Aku jemput, ya.”
Alvaro pun pamit pergi. Sepanjang jalan, wajah Casi tak henti-hentinya terbayang. Alvaro tersungging dengan hati ringan.
Alvaro menempuh sepuluh menit untuk tiba di rumah. Jalanan yang lengang memudahkannya mengebut. Begitu memasukkan motor ke garasi, ia melirik mobil ayahnya. Alvaro mengernyit. Seingatnya, ayahnya punya jadwal kunjungan ke kota lain. Seharusnya baru lusa pekerjaan itu selesai. Kenapa beliau sudah datang?
“Dari mana kamu, Al?”
Sambutan ayahnya muncul sesaat setelah Alvaro melepas sepatu. Ia melirik jam dinding di ruang tamu. Pukul setengah sebelas malam. Gue lupa waktu kalau bareng Casi.
“Les, Pa.” Alvaro mengulurkan tangan untuk salim, tapi ayahnya tak mengindahkan.
“Lesmu beres jam 8. Dari mana?”
Alvaro belum diizinkan masuk lebih dari lima langkah di rumah karena konfrontasi ini, dan ia tahu prosesnya tidak akan cepat usai. Ia bisa melihat kemarahan di wajah ayahnya, keheningan yang mencekik, juga tatapan tajam ibunya yang muncul detik ini.
“Kamu dari rumah Emi?” tanya ibunya.
“Emi?” Ayah Alvaro mengernyit. “Pacarmu itu?”
Gue dari rumah selingkuhan. Alvaro ingin menertawakan pengakuannya sendiri. Ia tidak mungkin berkata demikian.
“Kalau kamu punya waktu buat pacaran, pakai belajar! Masih belum puas jeblokin nilai kayak ulangan fisika-mu waktu itu?!” bentak ayah Alvaro seraya menunjuk putranya.
Angin di luar menyergap punggung Alvaro, karena ia belum menutup pintu rumah. Seandainya angin mampu menembus tubuh Alvaro dan meniup sesak yang memenuhi dadanya sekarang.
“Aku belajar, Pa. Aku kan les.” Alvaro menimpali dingin.
“Kamu berani ngomong begitu sama papamu, Al?” tegur ibu Alvaro seraya duduk di sofa, melipat kedua tangan. “Kamu ini jangan malu-maluin Mama. Mama dosen, Al! Papa walikota! Kamu cuma bisa masuk Bina Pekerti, tapi nilai-nilaimu mengecewakan. Mama kira kamu pacaran sama Emi yang prestasinya lebih bagus darimu, bisa bikin kamu kedongkrak, makanya Mama izinin kamu pacaran. Tapi kalau seperti ini, untuk apa kamu mempertahankan hubungan? Lebih baik kamu gunakan waktu luangmu untuk fokus belajar! Susul nilai Emi. Bisa?”
Kedua tangan Alvaro mengepal kuat. Napasnya kian berat. Ia membuang muka. Kenapa sih harus selalu soal nilai?! Gue pacaran sama Emi karena gue suka dia, bukan demi nyusul nilainya!
“Alvaro! Dengerin Mama nggak?”
Alvaro kembali menatap ibunya. “Iya, Ma,” ujarnya, lantas mengambil langkah untuk melarikan diri ke kamar, tapi lengannnya ditahan sang ayah.
“Mau ke mana kamu? Papa belum beres ngomong!”
“Apa lagi, Pa? Aku mau ke kamar. Capek!” Alvaro melepas diri dari pegangan ayahnya.
Ayah Alvaro tersentak, begitu pula ibunya. Nada bicara Alvaro meninggi. Alvaro menelan ludah. Sial! Sial!
“Capek? Kamu pikir Papa nggak capek?! Papa ngecekin nilai kamu terus, tapi nggak satu pun yang bikin Papa bangga! Sudah masuk semester dua, tapi nilai-nilaimu masih jauh dari harapan! Lihat, Mamamu! Mamamu membelikanmu banyak buku untuk kamu belajar, tapi hasilnya masih nol besar! Kamu sebenarnya usaha nggak?! Kalau nggak ada hasil, apa itu yang kamu sebut capek?!”
Amarah Alvaro terpantik. Ia menatap ayahnya dengan tatapan tak percaya, seolah beliau baru saja mengungkapkan fenomena alam yang teramat mustahil. Napas Alvaro satu-satu.
“Usaha? Aku udah usaha, Pa! Aku belajar seperti yang Papa dan Mama mau! Aku bahkan usaha ngelepasin cita-citaku! Usaha ninggalin ekskul! Aku udah usaha! Usaha kayak apa lagi yang Papa sama Mama mau?!”
“Alvaro!” bentak ibu Alvaro seraya berdiri.
Alvaro membuang napas keras-keras, mengambil langkah mundur. Ia mengusap wajahnya frustrasi, mencoba untuk menenangkan diri. Dalam kekalutannya, Alvaro memelankan suara, tapi nada bicaranya tak mengurangi keputusasaannya.
“Otakku nggak kayak Emi yang encer sampai dia gampang banget dapatin nilai 100. Kemampuanku juga nggak kayak Kevan atau Ana sampai mereka juara terus. Otakku mungkin emang udah segini, Pa.”
“Kamu anak dosen dan walikota! Adik-adikmu pintar! Kamu harus seperti mereka!”
“Aku nggak bisa!” Alvaro menyugar rambutnya kasar. Dadanya menggelegak. Ia mengerang. “Kemampuanku emang pas-pasan! Kalau aku nggak pakai bocoran soal waktu seleksi masuk SMA, mungkin aku nggak bakalan masuk Bina Pekerti!”
Hening. Pengakuan itu menggoyahkan orangtua Alvaro. Dada Alvaro naik-turun dengan cepat. Ia menurunkan pandangan, sadar dengan apa yang barusan dikatakannya. Rahang Alvaro mengejang sempurna sementara telapaknya dicucuki sakit dari kepalan yang mengerat.
“Bocoran soal?” Ibu Alvaro menelan ludah. “Kamu dapat bocoran soal?”
Alvaro masih merunduk. Ia memejam sesaat, lantas memberanikan diri menatap ibunya. “Aku beli soal tes masuk, Ma. Biar apa? Biar aku lolos seleksi tertulis. Dan asal Mama tahu, aku cuma bisa ngerjain 40% soal. Selebihnya, aku beli jasa orang buat ngerjain. Emang separah itu kemampuan otakku, Ma. Aku nggak bisa kayak Kevan, Ana atau Emi. Mereka lahir dengan otak encer. Tapi aku nggak. Dan aku nggak peduli. Aku nggak berniat jadi dosen kayak Mama, atau jadi orang pemerintahan kayak Papa. Aku pengin jadi diriku sendiri! Jadi sutradara. Demi kalian, aku lepasin itu. Sekarang Mama sama Papa mau minta apa lagi dariku? Aku udah nggak punya apa-apa lagi.”
Setelah mengucapkannya, Alvaro berderap menaiki tangga menuju lantai dua dengan langkah tegas dan lebar. Di lorong, dilihatnya Kevan berdiri dengan raut wajah kusut. Ia mendengar pertengkaran itu.
“Bang...”
Alvaro menelan ludah, menghampiri Kevan. Ia mengusap kepala adiknya. “Masuk kamar, Van. Abang capek.”
Alvaro meninggalkan Kevan. Ia menutup pintu dengan bantingan keras. Alvaro membanting tas di lantai, melepas jaket dengan kasar dan melemparnya asal-asalan hingga ponselnya terjatuh. Alvaro menggeram penuh amarah. Ia meraih ponselnya dan meletakkannya dengan satu hantaman di meja.
Emi. Emi.
Alvaro meraih ponselnya lagi, menyalakannya. Tumpukan kolom chat di WA bersama Emilia segera terpampang. Saat itulah ia baru ingat. Sebelum Casi muncul tadi, Alvaro tengah mengetik balasan untuk Emilia. Ia melupakannya begitu saja.
Alvaro Wistara
Yang.
Alvaro mengirim WA itu, lalu menatap ponselnya dengan mata panas, menanti. Pesannya belum dibaca. Saat itulah pintu kamarnya menjeblak terbuka. Alvaro tersentak saat ayahnya berderap masuk dan menjulang di hadapannya.
“Apa maksud kamu soal bocoran soal itu?” geram ayah Alvaro. “Kamu berbuat curang?!”
Alvaro mencengkeram ponsel di tangannya. Sosok ibunya terlihat di belakang ayahnya, ikut merangsek masuk.
“Jawab, Alvaro!” bentak ayah Alvaro saat sang putra tak kunjung bicara.
“Aku udah bilang kalau aku beli, kan?” Alvaro menimpali penuh emosi. Saat melihat wajah kedua orangtuanya lebih masai di banding sebelumnya, Alvaro mendengus. “Kenapa? Kaget? Nggak nyangka anak yang Papa bangga-banggain ini ternyata bisa curang?”
“Alvaro!”
PLAK!
Bersamaan dengan teguran lantang ibu Alvaro memanggil anaknya, gamparan keras mendarat di wajah Alvaro, membuatnya terhuyung hingga jatuh ke ranjang. Ponselnya terpelanting di lantai. Sekujur tubuh Alvaro menegang. Telinganya berdengung. Pipi dan sudut bibirnya berdenyut kuat. Ia merasakan amis dari rembesan darah yang masuk ke mulutnya. Ia bisa mendengar tarikan napas keras ibunya.
“Berani-beraninya bicara selancang itu pada orangtua sendiri!” Ayah Alvaro kian geram.
Dengan gemetar Alvaro menarik tubuhnya bangun. Ia melihat telunjuk ayahnya terarah tepat di wajahnya, dan seraut amarah yang menguasai roman pria itu. Kedua tangan Alvaro terkepal erat. Dadanya luar biasa sesak. Namun, di tengah gemuruh dalam dirinya, Alvaro masih sanggup menyunggingkan seringai mencemooh.
“Kenapa? Papa kecewa? Malu? Apa perlu aku beberin ke media kalau aku curang? Apa kira-kira Papa masih bisa jadi walikota yang dibanggakan? Papa mungkin udah nggak bakal punya muka—”
“Kurang ajar!”
Mulut Alvaro membuka bukan untuk bicara, namun mendesiskan rasa sakit yang pecah seketika begitu ayahnya kembali memukul wajahnya.
“Begini kamu ngomong sama orangtua hah?!”
Ayah Alvaro melepas sabuk dengan gerakan kasar. Pemandangan itu memenuhi bola mata Alvaro, mengingatkannya pada setiap momen benda itu mendarat di punggung dan kakinya. Alvaro memejam begitu ayunan ikat pinggang mendarat di punggungnya. Lagi. Lagi.
Suara ayah dan ibu Alvaro tumpang-tindih.
“Aku ini Papamu! Seharusnya kamu tahu diri! Hidupmu Papa yang jamin! Punya apa kamu tanpa Papa, hah?! Bakal jadi gelandangan kamu tanpa uang Papa! Berani kamu mengotori nama Papamu sendiri!”
“Papa, udah! Berhenti! Mau masuk berita kamu, mukulin anak?!”
Saat Alvaro tersuruk ke sisi ranjang, detik itulah ibunya merangsek ke tengah mereka, memisahkan serangan ayah Alvaro padanya.
“Aku sedang mendidiknya!”
“Kalau orang-orang lihat wajah Al memar-memar, kamu yang kena!” Ibu Alvaro berargumen. “Keluar! Al biar Mama yang urus!”
Perlu desakan panjang hingga ayah Alvaro berderap keluar ruangan. Alvaro membuang napas tersengal. Ia menyeka wajahnya, disusul desis menahan sakit begitu berupaya bangkit. Punggungnya bagai diguyur timah panas.
“Al, sini Mama bantu—”
“Lepasin!”
Alvaro mengibaskan rangkulan tangan ibunya di lengan dengan satu entakan kencang, membuat nyeri di tubuhnya kian menjadi. Ia melihat wanita itu membeliak. Alvaro susah payah berdiri. Ia meraih tas, jaket untuk mengenakannya dengan teramat hati-hati, dan mencari ponselnya. Begitu dapat, Alvaro menyeret langkah pergi.
“Al, mau ke mana?”
Alvaro tak mengindahkan panggilan itu. Ia melihat Kevan di koridor, yang kali ini dikawani Mariana. Sinting! Bokap sinting! Alvaro mengabaikan tatapan merana kedua adiknya, dan menuruni tangga penuh ketergesaan.
“Mau ke mana kamu?”
Tanya itu berasal dari ayahnya yang muncul dari ruang tengah. Alvaro hanya melihatnya sekilas. Tanpa membuka mulut, ia mengenakan sepatu dan menyalakan motor, pergi dari sana.
“Alvaro!”
Teriakan ibu Alvaro tak ia hiraukan. Alvaro melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia melewati pos satpam tanpa mengangguk kecil atau membunyikan klakson sebagai sapaan seperti yang biasa ia lakukan. Kendaraan roda duanya menghiasi jalanan besar dengan segera. Ia tidak tahu harus ke mana. Alvaro hanya terus melaju.
Namun, secara tiba-tiba motornya terarah ke sebuah perumahan. Ia tidak perlu berurusan dengan satpam karena jalan masuknya dibuka lebar saat sebuah mobil ikut melenggang. Alvaro melewati rumah demi rumah tanpa ragu, dan berhenti di salah satunya. Ia turun dari motor, menyalakan bel. Alvaro menunggu. Tak berapa lama kemudian, ART datang membukakan pintu.
“Oh? Temannya...Non Casi, ya?”
“Siapa, Bu?”
Alvaro menatap ke arah Casi yang berdiri di teras rumah. Cewek itu mengernyit, berderap menghampiri Alvaro. ART yang semula menghadap Alvaro, kini beringsut mundur ke arah rumah.
“Beb, kok ke sini—mukamu kenapa?” Casi bertanya panik. Sebelah tangannya mengusap wajah Alvaro.
Alvaro membuka mulutnya untuk bicara, tapi rasa pedih menahannya. Ia berjalan mendekat. Sebelah tangannya merangkul tubuh Casi. Ia menyandarkan keningnya di pundak cewek itu.
“Aku ikut tidur di sini, ya,” ujar Alvaro lirih.
“Beb?”
“Please.”