Doa
“Kak…bangun! Udah jam 6 lho… Nanti subuhnya lewat!”, teriak Mamak entah untuk ke berapa kalinya. Dan kali ini sepertinya berhasil mengejutkan Khanza. Dengan cepat Khanza melompat dari tempat tidur dan lantas menuju kamar mandi.
“Mak, kerudung adik yang satu lagi dimana Mak?”, Mauri bertanya sambil membongkar beberapa lapisan isi lemari.
“Nadia, botol minum adik juga diisikan sebentar nak.Nanti dia lupa lagi bawa botolnya”, pinta Mamak pada Nadia.
Ya, begitulah setiap pagi keributan yang terjadi di rumah Khanza.Setelah shalat subuh, mandi dan berkemas, Khanza sudah siap dengan seragam putih-hitam juga ransel biru kesayangannya itu.Mamak dan adik-adiknya baru saja berangkat.Karena memang keluarga Khanza hanya punya satu motor, setiap pagi Mamak harus bolak balik di jalan untuk mengantar adik-adik Khanza sekolah. Terlebih arah sekolah mereka yang berlawanan juga kantor Mamak yang jauh, sudah cukup bagi Khanza untuk tidak mengeluh atau malah memaksa Mamak membelikannya sepeda motor. Dari masih bersekolah di SMA, Khanza memang sudah terbiasa berjalan kaki sampai gapura depan kompleks rumahnya dan melanjutkan perjalanan dengan kendaraan umum. Kuliah dan hingga kini ia masuk ke tahap praktek profesi tetap saja berlanjut. Seperti biasanya, sejak kepaniteraan klinik keperawatan komunitas di mulai, Khanza berangkat dengan menumpang bus kota menuju kampus. Kemudian Khanza akan menghubungi teman-temannya untuk menanyakan kesediaan mereka memberikan Khanza tumpangan. Siapa saja teman yang berjalan melewati halte bus depan kampusnya pasti terbiasa melihat Khanza dan memberinya tumpangan menuju desa tempat praktek kepaniteraan mereka.
Sepuluh menit sudah Khanza berdiri di bus.Entah kenapa hari ini sangat ramai.Khanza pun tidak mendapatkan tempat duduk. Khanza sangat rishi terlebih ia harus berdiri di depan laki-laki. Beberapa kali saat supir bus menekan rem Khanza berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kakinya agar tetap tegak sambil terus berpegangan erat pada kait gantungan bus dengan posisi yang sopan.Dalam hati Khanza menggerutu, “Ini cowok gak peka ya.Bukannya ngasih kesempatan cewek buat duduk. Eh malah asik sama hp dengan santainya!”.Khanza terus saja mengomel dalam hati sambil menatap tajam ke arah laki-laki itu.Bukannya Khanza tidak berlaku adil, karena memang hanya si laki-laki yang bisa di hakiminya seperti itu.Selain dia, disebelahnya hanya ada ibu-ibu dengan dua orang anak, kakek yang sudah tua, juga beberapa mahasiswi.Wajar saja jika Khanza hanya ingin bertukar tempat dengan laki-laki itu.
Sesaat setelah pikiran Khanza terus saja mengomel, tiba-tiba si laki-laki yang di maksud mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah Khanza.Khanza sontak terkejut, apakah kekuatan pikirannya terlalu kuat hingga sinyalnya dapat di tangkap oleh laki-laki itu.“Atau jangan-jangan malah dari tadi aku mengomel dengan suara besar”, pikir Khanza panik dengan wajah ketakutan. Setelah melihat kiri-kanan si laki-laki pun tersenyum ke arah Khanza dan mengisyaratkan agar ia dapat menggantikan posisi Khanza untuk berdiri. Khanza yang masih bingung malah menggelengkan kepala tanda menolak. Meski memang itu yang ia mau tapi awalnya ia harus tetap menolak agar tak di kira lemah oleh laki-laki itu. Beberapa kali dialog isyarat itu berulang hingga akhirnya laki-laki tersebut bangkit dan mempersilahkan Khanza duduk di tempatnya. Khanza tak mungkin mengelak lagi.Ia juga tak ingin adegan mereka tampak seperti adegan lebay di sinetron-sinetron.
Saat sudah duduk Khanza malah merasa bersalah.Ia juga masih khawatir tentang gerutuannya tadi. Ia terus berpikir tentang itu, “Apa memang sejak awal ia mengomel dengan suara yang keras? Atau laki-laki ini memang punya kemampuan membaca pikiran?”.Khanza jadi serba salah.Ia tak bisa duduk tenang. Sesekali ia melirik laki-laki yang masih terus menekan-nekan layar hp-nya. Rasanya ingin mengucapkan maaf, tapi kalau nanti malah ditanya -kenapa?- Khanza akan tampak seperti orang bodoh. Tiba-tiba ringtone hp laki-laki itu berbunyi, “Assalamualaikum, gak apa lagi ni, aku udah di bus sih. Motornya juga udah di tinggal aja depan toko orang. Haha. Gak apa, insyaAllah aman lah. Sip…sip. Paling ntar sore aku minta tolong ya…Makasih banyak bro. Waalaikumsalam”.Ia menutup telpon dan memasukkan hp ke dalam sakunya.
Khanza yang masih menatap laki-laki itu malah makin larut dalam pikirannya dan terus menebak-nebak tentang apa yang terjadi pada si laki-laki. “Mungkin motornya bermasalah, jadi dia memutuskan untuk naik bus dan meninggalkan motornya disuatu tempat. Hmm…pantas saja tadi dia terus sibuk dengan hpnya, mungkin ia mencoba menghubungi beberapa teman untuk minta tolong daaan… Ah…sudahlah!”. Khanza geleng-geleng kepala untuk menepis semua yang sedang ia pikirkan. Kenapa ia merasa malah harus mencari pembenaran untuk rasa bersalahnya pada laki-laki itu. Bukannya memang sudah seharusnya si laki-laki yang berdiri dan Khanza sebagai perempuan yang berhak duduk.Ia kembali menggeleng dan mungkin kali ini lebih jelas hingga gerakan itu disadari oleh orang yang berdiri di depannya dan sekarang orang tersebut malah menatap padanya. Lagi-lagi dia hanya tersenyum, dengan malu-malu Khanza pun membalas senyum itu kali ini.
***
Pagi tadi Rizal mendapat telpon dan salah satu seniornya yang saat ini juga bekerja sebagai dosen di kampusnya.Dengan semangat Rizal mandi dan bersiap untuk berangkat ke kampus.Berita tentang lowongan kerja dikampusnya ini menjadi berita besar bagi Rizal. Dalam hati ia berdoa untuk keberkahan rezekinya hari ini. Tanpa rajin ia pun berangkat, sedikit mengencangkan laju motornya lebih cepat dari biasanya. Setelah jauh berjalan tiba-tiba motor Rizal macet seperti sedang flu batuk, beberapa kali berjalan tersedat dan akhirnya berhenti bergerak.Panik, Rizal terus menstarter motornya. Beberapa kali ia juga coba melihat-lihat bagian mesin motor. Rizal mencoba menghubungi teman-temannya meminta tolong untuk di jemput. Melihat jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul 08.18 juga jawaban yang belum diterima dari teman-temannya Rizal pun memutuskan untuk meninggalkan motornya dan naik bus kota.
Tergesa ia duduk di tempat duduk dengan terus menekan-nekan layar hp-nya. Gusar dan gundah karena sebelumnya ia memang belum pernah naik bus kota. Ia tidak bisa memperkirakan waktu yang di tempuh bus ini akan mencapai kampusnya.Teriakan Rizal di massanger juga belum di respon oleh teman-temannya. Karena kepanikan itu sesaat Rizal tak memperhatikan apapun selain layar hp. Sampai ketika tersadar ia mendapati seorang perempuan berseragam putih-hitam tengah berdiri bersusah payah untuk mempertahankan pegangannya agar tidak terjatuh saat supir bus mengerem. Sebagai laki-laki Rizal jadi malu membiarkan hal itu terjadi .Terlebih sepertinya adik ini masih harus mendengarkan materi dari dosennya di kampus nanti, pikir Rizal melihat seragam itu.Rizal pun mengisyaratkan kesediaannya berganti tempat dengan si perempuan tersebut.Beberapa kali di tolak yang akhirnya Rizal memutuskan untuk langsung bangkit agar perempuan itu tidak ada alasan untuk menolak lagi.
Setelah bergantian tempat dan meski tak dianggap gentle Rizal merasa sudah melakukan sesuatu yang memang seharusnya di lakukan. Rizal pun terus berpikir tentang informasi yang akan disampaikan seniornya. Sesekali ia melirik jam ditangannya. Ia tak bisa terlambat, terlebih untuk hal sepenting ini. Rizal memang sudah terbiasa melakukan sesuatu sesuai porsinya juga pada waktu yang selalu ontime. Dengan mendapat informasi ini Rizal merasa ia sudah terpilih sebagai salah satu orang yang memiliki kapasitas cukup itu. Bus pun berhenti tepat di halte depan kampusnya. “Bismillahirrahmanirrahim…”, bisik Rizal tak bersuara. Rizal menyemangati dirinya sendiri sambil tersenyum pada perempuan yang tadi bertukar tempat dengannya. Ya, senyum itu dianggap Rizal sebagai salam saja.
***
Bus berhenti di halte depan kampus Universitas Islam Negeri yang bersebelahan dengan kampus Khanza. Laki-laki baik hati itu pun turun.Khanza menduga si laki-laki adalah mahasiswa dari kampus ini. Setelah pintu bus tertutup otomatis, Khanza baru ingat ia sudah dekat dengan halte tempat ia akan menungg tumpangan. Khanza pun mengambil hp dan mengabarkan posisinya di grup sosial media yang bernama “Kapan Ners?”.Ada yang masih disekitaran kampus?Pertanyaan yang diketiknya di layar smartphone.Teman-teman Khanza sudah sangat hafal dengan pertanyaan ini.Tak lama langsung ada beberapa jawaban yang masuk.1Aku masih di kosan Za, tapi masih agak lama ni. Sekitaran 10 menit lagi baru jalan.2Aku lagi mampir di warung Za beli sarapan, Hehe ada yang mau nitip teman-teman?.
Khanza tersenyum membacanya, bukannya menjawab pertanyaan Khanza mereka malah membuka topik baru untuk di bahas di grup dan tentu saja grup akhirnya ramai dengan percakapan yang tidak lagi berfokus pada pertanyaan Khanza. Sampai akhirnya hp Khanza menderingkan ringtone dan yang tertera disana Ical Kritiks Calling… “Assalamualaikum Cal, iya masih di halte depan masjid jami’. Okeee. Makasih Cal”. Ical yang baru saja ingin berangkat menawarkan diri untuk menjemput Khanza. Sebagai sahabatnya tentu saja Ical tau jika Khanza tidak akan membaca lagi percakapan grup yang entah sedang membahas apa itu. Ical juga kebetulan sedang bersiap-siap berangkat ketika notifikasi grup bermunculan.Setelah menutup telpon Khanza menekan layar hp dan memberikan penutup untuk pembahasan yang di sampaikan olehnya tadi.Haha… makasih banyak semua.Aku di tebengin Ical.Sampai ketemu di desa ^^.Tak lama Ical sampai dan mereka berangkat bersama menuju desa tempat mereka di tugaskan.
Seperti biasa sesampainya di desa Khanza dan teman-teman langsung mempersiapkan materi konsul untuk perkembangan tugas mereka. Khanza, Ical, Trisa dan 2 orang teman lainnya mendapatkan bagian untuk pengolahan data dan penyelesaian diagnose terkait masalah kesehatan pada anak. Setelah melakukan penyimpulan dari data-data yang telah diolah sebelumnya mereka pun siap untuk melakukan konsultasi tugas dengan pembimbing pagi ini.Sekarang saatnya istirahat karena mereka hanya menunggu kedatangan pembimbing dengan jadwal yang tak terduga itu.
Shali, teman tim Khanza langsung mengambil peralatan shalat. Seperti biasa Shali memang rajin melaksanakan dhuha kebetulan pos mereka berada di depan mesjid desa sehingga tidak jauh untuk melaksakannya. Khanza selalu iri melihat Shali yang menurutnya dan memang shalihah seperti namanya Shalihah.Shali selalu tampil rapi dengan jilbab lebar dan segala atribut yang serasi. Seperti yag tampah hari ini ia memakai ciput softpink yang serasi dengan handshocknya. Diam-diam Khanza sering memperhatikan pakaian Shali, entah kenapa Khanza merasa sangat tertarik dengan itu.Shali yang merasa diperhatikan Khanza pun menyapa hingga Khanza kaget karenanya, “Za, kenapa liatny gitu? Ada yang aneh sama Shali ya?” Shali bertanya dengan nada penasaran yang tetap saja sopan. “Eh…enggak kok Shal, Shali mau ke masjid kan ya? Khanza boleh ikut kan?”, Khanza menjawab terbata dengan tangan yang mengelus tengkuknya sendiri karena grogi. “Oh…ya boleh lah, Shali kira apaan? Yuk, dhuha juga kan?”, melihat Khanza bingung menjawab Shali cepat saja menyambung, “Udah, pake mukena Shali juga bisa giliran nanti. Yuk!”, ajak Shali semangat.
Khanza berwudhu bersama Shali, setelahnya Shali shalat lebih dulu.Khanza mengambil mukena yang di selojorkan Shali. Khanza memulai shalatnya, dan ya… ia merasakan langsung kenyamanan itu. Memperlambat setiap bacaan shalat untuk lebih menikmatinya, Khanza bahkan tak lagi mendengar suara Sali yang sedang mengaji disampingnya.Tanpa disadarinya tetes airmata itu jatuh begitu saja.Khanza bahkan tak lagi mencoba mempertahankan aliran itu karena takut diketahui Shali.Ia tidak bisa mengontrolnya. Ia juga tak lagi tau harus berdoa apa. Dalam hatinya ia hanya terus memohonkan ampunan dan diberikan segala keputusan terbaik tentang hidupnya. Segalanya ia serahkan pada Sang Kuasa, tentang Ayah dan keluarganya, Erik dan kisah cintanya,tentang kepaniteraan dan masa depan pekerjaannya. Khanza berdoa agar Allah menjaga ia dari segala ke durhakaan padaNya, menjaga agar cinta terbesar tetap cinta untuk Nya.