Read More >>"> Toget(her) (2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Toget(her)
MENU
About Us  

Rindu

            Jam dinding kayu dengan desain unik di lantai dua café telah menunjukkan pukul 22.32 WIB. Trisa sudah menguap dari tadi. Sekarang note book sudah berada ditangan Khanza, tugas mendikte data pun sudah dialihkan pada Trisa. Karena kantuknya beberapa kali Trisa salah mendikte dan harus mengulangi sehingga memperlambat proses pengerjaan entri data. Mereka sudah mulai lelah, hal ini tampak pada semakin lambatnya pekerjaan itu selesai. Hanya Ical yang masih membuka matanya lebar. Entah ia sedikit tertolong karena matanya dilindungi oleh kacamata sehingga tidak mudah lelah saat mempelototi monitor. Telingannya juga di sumpal earphone dengan volume yang cukup tinggi. Gelas-gelas minuman yang hanya tinggal embun di bagian luarnya memang menunujukkan sudah waktuya mereka pulang.

“Yeee… dua lembar lagi Za!. Hilang kantukku ni… Kebut Za!!!”, teriak Trisa bersemangat.

Khanza pun tersenyum sumringah mendengarnya. Karena meski belum merasa ngantuk tapi matanya sudah perih sedari tadi terus menatap ke arah cahaya via monitor.

“Tik…tik… 2, 1, 1, 1, 2…tik…tik…”, suara yang terdengar bersahut-sahutan antara tuts keyboard yang di pencet Khanza juga diktean Trisa untuk pengkodean data-data tersebut.

“Akhirnyaaa”, Trisa mematah-matahkan jari, menghentakkan lengan dan kaki juga memiring-miringkan badannya menghilangkan pegal. Khanza mengangkat kepala dan memperhatikan sekeliling. Ia baru menyadari kalau ternyata lantai dua sudah kosong, hanya tinggal meja mereka yang masih terisi.

“Selesai ni Cal, gimana? Kita duluan atau kamu mau balik sekalian bareng kita?”, tanya Khanza sambil memindahkan file yang telah diketiknya ke flash disk milik Ical.

“Hmm…Bareng aja deh, ntar ane selesaiin di kosan aja”, sahut Ical sambil membereskan semua alat-alatnya.

            Setelah semuanya beres, mereka menggendong ransel, turun, membayar dan menuju parkiran motor masing-masing. Khanza menstarter motor matic biru miliknya, lebih tepatnya itu milik Mamak yang ia pinjam untuk pertemuan malam ini. Kata-kata perpisahan telah diucapkan, Ical dan Trisa melambaikan tangan pada Khanza karena ia berjalan ke arah yang berbeda. Khanza pun langsung ngebut melewati jalanan kota. Sesekali ia melirik jam tangan stainles nya untuk memperkirakan kecepatan agar sampai drumah tidak terlalu larut. Pergantian lampu merah menjadi hijau terasa sangat lambat. Saat mendapat giliran untuk maju Khanza dengan tak sabar mengencangkan gas untuk mempercepat laju motornya.

            Perjalanan yang harusnya ditempuh selama 30 menit, dalam waktu kurang lebih 15 menit Khanza sudah memasuki gapura jalan menuju rumahnya. Sesampainya di depan lorong rumah, Khanza dengan lega memperlambat motornya. Tiba di depan pagar rumah yang sudah digembok, Khanza pun mengeluarkan handphone nya untuk menghubungi orang rumah dan minta tolong dibukakan pintu pagar. Ketika melihat handphone tampak disana ada enam panggilan tak terjawab dari Mamak. Hmm… bisa dipastikan beberapa waktu ke depan Khanza akan mendengar suara kekesalan Mamak atas kelalaiannya.

“Tiiit…Tiiit… Assalamualaikum Mak…Kakak di depan rumah, tolong bukakan pintu ya mak”. Tup… belum selesai Khanza bicara ia sudah mendengar bunyi telpon yang ditutup disertai dengan bunyi langkah kaki Mamak yang mendekatinya. Sepertinya Mamak memang masih terjaga untuk menunggunya. Wajah lelah itu membuat Khanza merasa menyesal.

“Kok telat sekali kamu pulang kak? Handphone nya kemana, Mamak telponin kok gak diangkat? Kalo emang susah banget ngangkatnya sekalian aja di nonaktifkan biar sekalian jantungan Mamak mikirin kamu”, omelan Mamak mulai terdengar. Dan Khanza selalu memilih untuk diam.

“Mamak capek kak…liat tu adik-adik kamu, tadi selesai makan malam piring di biarin gitu aja, Ruang tamu juga ternyata gak di sapu dari tadi pagi, harus Mamak juga yang selesaikan? Untuk apa Mamak punya tiga anak perempuan kalo semua urusan rumah Mamak sendiri yang beresin!”, Mamak terus saja bicara tanpa melihat Khanza.

“Jadi mana mereka Mak?”, tanya Khanza melihat ruang tamu yang berserak penuh kertas, buku dan beberapa alat tulis.

“Tidur…”, jawab Mamak sambil masuk ke kamarnya.

            Jika saja bisa mengeluh Khanza juga ingin memberitahukan Mamak tentang lelahnya. Terlebih sejak memasuki kepaniteraan klinik untuk keperawatan komunitas ini di mulai, tugas pribadi maupun kelompok makin menguras energi Khanza. Ia dituntut untuk lebih banyak berfikir, membaca dan menulis. Tapi Khanza sadar, lelahnya tak sebanding dengan lelah Mamak yang bekerja juga mengurusi rumah tangga sekaligus. Khanza masuk ke kamarnya untuk meletakkan semua barangnya, berganti baju dan melaksanakan shalat isya. Setelahnya Khanza langsung menuju dapur untuk mencuci piring dan membersihkan ini dan itu. Dapur beres, kini Khanza beralih ke ruang tamu siap dengan kemoceng, sapu dan serokan. Di awali dengan mengumpulkan semua buku-buku, lalu Khanza mulai menyapu. Kini ia melupakan semua rasa pegal yang menghinggapi tubuhnya.

            Ketika menyapu tak sengaja ia melihat foto Ayah. Foto yang memperlihatkan gagahnya Ayah saat itu. Ayah yang menggunakan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi biru bermotif garis. Sosok itu…Tanpa sadar Khanza meneteskan airmata. Ia terus menatap foto Ayah lekat-lekat. Senyum itu, pandangan itu semua kenangan tentang Ayah berlomba masuk ke fikirannya. Kaki Khanza lemas, ia terduduk lunglai di sofa tua ruang tamu itu. Ingatan indah tentang masa kecilnya. Saat Khanza masih menjadi satu-satunya kesayangan Ayah dan Mamak. Saat berjalan Ayah memegang di tangan kanannya, Mamak di tangan kirinya. Sesekali ia berayun dengan riang gembira. Ia juga ingat saat Ayah dulu bekerja sampingan sebagai tukang becak. Setiap minggu sore Ayah selalu menyisihkan waktu untuk Khanza. Membawanya berkeliling dan bermain ke taman kota, meseum bahkan masjid besar di kotanya. Semua itu terekam dalam benak Khanza saat kembali menelusuri foto-foto pengabadian kenangan di album usang keluarganya.

            Ayah, juga guru yang mengajarkannya membaca…“Ini Q, qiu, ejalah jangan menebak”.

Mengajarkan berhitung… “1 + 2 + 5 – 3 jadinya berapa? Mau Ayah ajarkan cara mudah mengingat perkalian 9?”

Suara Ayah seakan terngiang di telinga Khanza. Berhitung dan geografi sebenarnya adalah spesialis Ayah. Khanza ingat dulu ia lebih dulu mudah mengingat angka dari pada membaca huruf. Kelas dua Sekolah Dasar ia baru lancar membaca. Tapi jika kembalian yang diberikan penjual salah saat ia membeli permen di kantin Taman Kanak-Kanak saja dia tahu untuk meminta kembali kepada sang penjual. Sejak di ajarkan Ayah atau mungkin di tularkan Ayah, Khanza jadi sangat berminat pada angka. Ia menjadi sangat senang berhitung. Pernah suatu hari sahabat kecil Khanza, Sera namanya, Sera mengajak Khanza bergabung untuk ikut les sempoa bersamanya. Khanza tertarik karena memang dulu ia tidak pernah terpisahkan dengan Sera. Tapi saat meminta pada Ayah, Ayah bilang “Khanza kan sudah Ayah ajarkan berhitung, sudah bisa kan? Khanza hanya perlu banyak latihan biar bisa berhitung lebih cepat, gak perlu lah sampai ikut les sempoa, anak Ayah kan pintar”. Puji Ayah saat itu yang menjadikan Khanza akhirnya dengan lapang dada menolak ajakan Sera. Meski beberapa tahun setelahnya Khanza menyadari hal itu bukan hanya karena Ayah merasa masih sanggup mengajari Khanza berhitung lebih dari itu juga Ayah perlu menghemat pengeluaran karena memang saat itu kehidupan mereka masih beberapa jengkal dibawah garis kesederhanaan.

            Ayah tak pernah membatasi minat dan bakat Khanza, hanya saja karena secara tidak langsung banyak di bimbing Ayah dibagian berhitung Khanza jadi lebih condong ke arah itu. Bahkan ia pernah bercita-cita menjadi guru Matematika. Selain berhitung, Ayah juga senang seni. Ayah suka bersyair saat tengah duduk santai bersama Khanza. Beberapa kebudayaan tradisional juga dapat dikuasai Ayah. Kadang Ayah menunjukkan beberapa gerakan tari radisional yang biasa dimainkan kaum laki-laki. Khanza selalu tertarik dengan itu. Pernah Khanza di ajak Ayah menonton pertunjukan seni. Dan yang paling berkesan bagi Khanza saat itu di lapangan alun-alun kota, kondisinya baru hujan sehingga tanah berlumpur dan genangan air kecoklatan itu ada dimana-mana. Melihat kaki kecil Khanza sulit berpijak Ayah pun menaikan Khanza ke pundaknya. Khanza kegirangan karena dapat melihat para penari di atas panggung dengan sangat jelas. Salah satu kebahagiaan yang mungkin sederhana tapi bagi Khanza kenangan itu luar biasa.

            Ayah itu penyayang, setia, sederhana tapi ia juga pekerja keras, Ayah dan Mamak menikah tepat saat keduanya dalam masa akhir perkuliahan. Ayah yang selesai lebih dulu meminang Mamak dengan mahar secukupnya saat Mamak dalam proses menjalankan semester akhirnya. Khanza dapat melihat perut buncit Mamak meski tertutup toga di foto kenangan wisuda Mamak. Ya…Mamak pernah bercerita tentang itu. Khanza yang menemani Mamak pada detik akhir penyandangan gelar Dra-nya. Setelah menikah Ayah dan Mamak sama-sama berjuang untuk menghidupi rumah tangganya di kota ini. Kota perantauan sejak mereka mencari ilmu. Kota dimana Khanza dan adik-adiknya di lahirkan juga di besarkan. Juga tentang semua kenangan hidup manis-pahitnya sampai saat ini.

            Selalu…saat memikirkan masa lalu, masa kecil dan perkembangan hidupnya sampai saat ini Khanza tak kuasa menahan rindu. RINDU. Rindu pada sosok lelaki yang paling dicintainya. Yang juga mencintainya. Ayah memenuhi panggilan Allah saat usia Khanza 11 tahun. Adik-adiknya masih sangat kecil. Nadia adik pertamanya berusia 5 tahun dan adik bungsunya Mauri berusia 2 tahun. Ayah meninggal dunia karena hipertensinya yang tak lagi terkontrol saat Ayah tidak mengindahkan pantangan yang seharusnya hari itu. Kata orang bijak, itu hanya alasan yang digariskan Ilahi agar keluarga yang ditinggalkan tak terus menerus bersedih hati. Saat itu Ayah muntah mengeluarkan darah dan tak sadarkan diri. Mamak yang panik meminta bantuan tetangga yang punya mobil untuk mengantarkan Ayah ke Rumah Sakit. Khanza sedang tak di rumah, ia berada di meseum mengantarkan bibi dan sepupunya untuk menjadi tourguide mendampingi mereka berkeliling ke beberapa tempat yang biasa di kunjungi wisatawan jika ke kotanya. Saat mereka pulang Khanza di beritahukan tetangganya tentang Ayah dan beberapa barang yang harus dibawa ke Rumah Sakit. Sebagai sulung, Khanza bertanggungjawab penuh untuk mengurus segala sesuatu di rumah juga adik-adiknya saat Ayah atau Mamak tidak ada. Termasuk saat itu. Khanza membersihkan lantai dari muntahan Ayah dengan tetesan airmata dan doa, melihat adik-adiknya yang masih bermain dengan senyuman. Setelah berkemas dan menghapus airmatanya, Khanza memang terbiasa untuk tidak menangis di depan orang lain, ia menggendong Mauri dengan lengan kanannya sekaligus menjinjing tas perlengkapan yang di siapkan. Tangan kirinya menggenggam erat tangan Nadia. Khanza berjalan tenang menuju mobil tetangga yang telah menunggu untuk membantu Khanza mengantarkannya ke Rumah Sakit.

            Sesampainya di Rumah Sakit, Khanza yang sudah mulai benar-benar tenang dari kepanikan berjalan dengan pasti menuju ruang rawat penyakit dalam masih ditemani tetangga yang juga membantu membawakan barang-barang Khanza. Saat menelusuri koridor lurus menyeramkan itu Khanza bertemu salah satu paman yang dikenalnya sebagai sepupu Ayah. Paman memeluk Khanza dan adik-adiknya lalu menarik Khanza ke arah yang berlawanan. Khanza mengikuti tanpa sadar yang dibacanya saat itu “Instalasi Gawat Darurat”. Disana sangat ramai wajah-wajah yang ia kenal. Mereka tampak sedih bahkan beberapa tak tahan menahan tangis saat menatap kasihan padanya. Khanza benci tatapan itu. Benci sekali. Sayup-sayup Khanza mendengar suara seorang laki-laki, “Ibu, maafkan kami, kami sudah berusaha semampu kami, sesuai dengan ilmu yang kami punya, tapi Allah yang punya Kuasa atas segala sesuatu. Semoga ibu dan keluarga diberikan ketabahan”. Beriringan dengan itu tangis Mamak terdengar lirih.

“Innalillahi wa innailaihi raji’un”, suara Mamak terdengar parau.

            Khanza langsung membalikkan badannya menuju tembok putih yang tampak sendu itu. Menyembunyikan dirinya disana bersama tangisan tanpa suara dan kesedihan mendalam. Tak ingin ada yang menyentuhnya. Ia hanya ingin sendiri. Menghabiskan semua sisa airmata tertahannya. Bahkan jika ada yang mencoba mendekatinya saat itu Khanza tak segan-segan untuk mendorong siapapun sekuat tenaga. Entah siapa dan kapan adik-adiknya di bawa pergi ia tak peduli lagi. Saat itu ia merasa seperti separuh nyawanya hilang, yang tersisa saat ini hanya “zombie” yang berbentuk dirinya. Dia tak tau harus apa sekarang. Yang ia ingat hanya Allah yang tidak adil padanya. Kenapa harus ia, dan kenapa sekarang?

            Larut dalam khayalan masa itu, Khanza tersadar. Lama sudah ternyata ia menangis hingga kepalanya terasa pusing, matanya sembab. Khanza ternyata sampai tertidur mengingat Ayah dengan ratusan ribu kerinduan yang telah ditabungnya selama ini. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul 03.48 pagi. Bergegas Khanza menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda karena ketiduran. Khanza pun kembali ke kamar setelah berwudhu. Ia kembali menangis dalam setiap bait doa yang di panjatkan setelah tahajjud. Selesai berdoa, mengadukan semua kerinduan juga memohonkan ampunan atas Ayah, Khanza pun berpindah untuk tidur dengan baik di tempat tidur. Ia tak mau Mamak makin khawatir mendapatinya tidur dilantai atau di sofa seperti tadi. Setelah berbaring Khanza kembali bangkit dan mengambil buku diary untuk menuliskan beberapa bait puisi pengantar tidur.

 

 

 

                                                Wahai kau lelaki punggung besi

                                                Cintamu suci

                                                Kasihmu abadi

 

                                                Wahai kau lelaki punggung besi

                                                Senyummu tulus

                                                Sayangmu tak terputus

                                                Apakah kau rasa hampaku disini?

 

                                                Wahai lelaki punggung besi

                                                Terimakasih untuk semua yang kau beri

                                                Entah bagaimana ku serah kembali

                                                Saat ini, hanya rindu tak terperi

                                                Ingin ku temuimu walau hanya dalam mimpi

                                                Semoga salamku sampai padamu

                                                Dari Sang Ilahi

 

 

 

            Khanza menutup buku itu sambil menyeka airmata yang dijanjikannya terakhir untuk malam ini.

“Bismika Allahumma Ahya Wa Ammud”. Sebelum menutup matanya ia mencoba tersenyum agar jika Ayah melihatnya Ayah akan tau ia sudah tak sedih lagi. Ia sedang bahagia, mengenang Ayah…

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I Always Be Your Side Forever
5405      1449     3     
Romance
Lulu Yulia adalah seorang artis yang sedang naik daun,tanpa sengaja bertemu dengan seorang cowok keturunan Korea-Indonesia bernama Park Woojin yang bekerja di kafe,mereka saling jatuh cinta,tanpa memperdulikan status dan pekerjaan yang berbeda,sampai suatu hari Park Woojin mengalami kecelakaan dan koma. Bagaimana kisah cinta mereka berdua selanjutnya.
Bentuk Kasih Sayang
378      252     2     
Short Story
Bentuk kasih sayang yang berbeda.
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
BLACK HEARTED PRINCE AND HIS CYBORGS
12821      2758     7     
Romance
Ingin bersama siapa kau hidup hingga di hari tuamu? Sepasang suami istri yang saling mencintai namun dalam artian yang lain, saat akan reuni SMA pertama kali memutuskan saling mendukung untuk mendapatkan orang yang masing-masing mereka cintai. Cerita cinta menyakitkan di SMA yang belum selesai ingin dilanjutkan walaupun tak ada satupun yang tau akan berakhir seperti apa. Akankah kembali menya...
No, not love but because of love
1772      678     2     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
Tentang Kita
1631      698     1     
Romance
Semula aku tak akan perna menduga bermimpi pun tidak jika aku akan bertunangan dengan Ari dika peratama sang artis terkenal yang kini wara-wiri di layar kaca.
REASON
8456      1939     10     
Romance
Gantari Hassya Kasyara, seorang perempuan yang berprofesi sebagai seorang dokter di New York dan tidak pernah memiliki hubungan serius dengan seorang lelaki selama dua puluh lima tahun dia hidup di dunia karena masa lalu yang pernah dialaminya. Hingga pada akhirnya ada seorang lelaki yang mampu membuka sedikit demi sedikit pintu hati Hassya. Lelaki yang ditemuinya sangat khawatir dengan kondi...
LUKA TANPA ASA
5834      1794     11     
Romance
Hana Asuka mengalami kekerasan dan pembulian yang dilakukan oleh ayah serta teman-temannya di sekolah. Memiliki kehidupan baru di Indonesia membuatnya memiliki mimpi yang baru juga disana. Apalagi kini ia memiliki ayah baru dan kakak tiri yang membuatnya semakin bahagia. Namun kehadirannya tidak dianggap oleh Haru Einstein, saudara tirinya. Untuk mewujudkan mimpinya, Hana berusaha beradaptasi di ...
That Devil, I Love
3014      1253     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
14561      1700     4     
Romance
Mala dan Malto dua anak remaja yang selalu memperdebatkan segala hal, Hingga akhirnya Valdi kekasih Mala mengetahui sesuatu di balik semua cerita Mala tentang Malto. Gadis itu mengerti bahwa yang ia cintai sebenarnya adalah Malto. Namun kahadiran Syifa teman masa kecil malto memperkeruh semuanya. Kapur biru dan langit sore yang indah akan membuat kisah cinta Mala dan Malto semakin berwarna. Namu...