Waktu sudah menunjukan jam sembilan malam lewat, Abriel selesai menebus vitamin, obat penahan nyeri dan sekotak perlengkapan untuk membersihkan lukanya. Nyatanya perawat di klinik itu tidak menyarankan agar luka di pelipis Abriel dijahit. Ia hanya membersihkan dengan antiseptik kemudian memasangkan kasa steril dan plaster di sana. Vitamin yang nantinya diminum Abriel berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka di bibir bagian dalamnya. Hidungnya sudah tak lagi mengeluarkan darah. Abriel tampak sehat walafiat, kecuali tulang pipinya yang tampak sedikit lebam dan penampakan kasa terekatkan plaster di alisnya yang menunjukan bahwa di balik itu ada segurat luka.
Di lahan parkir, Abriel menodongkan tangannya meminta kunci mobilnya kepada Isabel. "Aku udah nggak apa-apa nyetir. Kamu sekarang bisa istirahat."
Seolah teringat sesuatu, Isabel menggenggam kembali kunci mobil yang hampir ia geletakan di telapak tangan Abriel. "Kamu besok bisa bolos nggak?" tanyanya dengan mimik serius.
"Bolos?" Abriel mengerutkan keningnya, berusaha mengejar maksud Isabel. "Memang ada apa?"
Isabel mengerucutkan bibirnya. Menatap wajah Abriel seraya menimbang-nimbang untuk melibatkan cowok ini atau tidak ke dalam misinya.
"Saya butuh kamu. Tepatnya butuh mobil kamu."
"Emang, kamu mau ke mana?"
"Subang," jawab Isabel mantap. "Ke Desa Cibitung. Kita berangkat besok subuh. Pulangnya besok sore. Gimana?"
"Mau ngapain ke sana?"
"Itu rahasia. Pasti saya ceritain semua. Tapi nanti." Isabel tampak memberengut, wajahnya masih tampak berpikir. "Kamu bisa atau nggak ngantar saya?"
"Subang kan nggak gitu jauh..."
"Ini masuk pedalaman, lho."
"Hmm, okelah. Anggap aja satu setengah jam sampai. Kenapa harus berangkat subuh-subuh?"
"Karena lebih cepat sampai lebih baik. Eh, di dalam yuk ngobrolnya, anginnya lagi nggak enak, nih." Ia pun segera duduk ke kursi kemudi. Sementara Abriel otomatis kembali ke kursi penumpang di sebelahnya. "Gimana kalau kamu sekarang nggak usah balik dulu. Telepon orangtua kamu, alasan nginap di rumah teman kamu. Terus kita cari tempat istirahat . Subuh langsung cabut. Kepala kamu udah nggak kenapa-kenapa, kan?"
Abriel menggeleng, kepalanya memang sudah terasa jauh lebih baik. "Kalaupun aku ikut, aku tetap harus balik dulu." Abriel menarik kerah seragamnya yang berbercak darah. Meskipun hanya kerahnya yang kotor karena noda merah-kehitaman, sebab Abriel melapisi seragamnya dengan sweter, ia tetap tampak tidak nyaman. "Selain masih pakai seragam. Risi juga pakai baju yang banyak darahnya gini. Pengin banget bersihin badan."
"Kalau kamu mau ngantar saya, sebaiknya nggak perlu balik dulu segala, deh. Setelah saya pikirin, kalau kamu balik sekarang, yang ada orangtua kamu bakal shock banget lihat tampang kamu. Memang kamu udah bikin alasan kenapa muka kamu babak-belur gitu? Apa mereka akan terima kalau tahu kamu digebukin sama teman kamu sendiri? Yang ada mereka pasti bakal datangin sekolah kamu dan laporin kejadian ini. Kamu bakal buat satu sekolah heboh. Percaya deh sama saya."
Sejujurnya Abriel belum memikirkan sejauh ini. "Kalaupun aku pergi bareng kamu sekarang, luka ini nggak akan sembuh dalam satu hari. Orangtua aku bakal tetap tahu." Sekarang, kenyataan itu sedikit mengganggunya. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa reaksi orangtuanya, terutama mamanya. Semua ramalan Isabel akan menjadi kenyataan.
"Saya punya cara," ujar Isabel, kedua alisnya terangkat tinggi. "Kemungkinan berhasilnya delapan puluh persen. Saya hanya bisa kasih tahu setelah kamu setuju antar saya ke Subang."
"Aku sih mau banget antar kamu, betulan. Tapi..."
"Soal baju? Soal mandi? Pakaian dalam ganti? Itu sih gampang. Cetek banget. Beli di minimarket. Kaus polos ada. Celana dalam sekotak isi tiga kan juga ada. Tempat mandi? Pasti ada di tempat istirahat kita nanti."
"Emang kamu sendiri udah bawa perlengkapan kamu?"
"Saya bawa tas segede gajah gitu bukan tanpa alasan." Isabel menunjuk tas besar kulitnya yang tergeletak di jok belakang bersama dengan kantong kertasnya. "Kalau aja tadi saya nggak mampir dulu ke minimarket, nemu kamu lagi dikerumunin orang. Saya pasti udah nyampai penginapan. Rencananya saya mau rental mobil tadi itu."
"Malam-malam gini? Kamu nggak takut diculik?"
Isabel berdecak geli. "Nah, sekarang apalagi masalah kamu? Kamu pusing? Saya yang nyetir, kamu tinggal duduk doang. Kamu udah lihat kan, saya nyetirnya serapi Michael Schumacher." Itu adalah nama pemalap Formula 1 yang terkenal.
Mau tak mau Abriel mendenguskan tawa ironis. "Nah, soal itu... Aku sebenarnya nggak nyangka kalau kamu nyetirnya jago. Kenapa kamu nggak bawa mobil sendiri aja?"
"Nggak niat punya mobil pribadi, cuma bikin macet kota aja," jawab Isabel sederhana. "Jadi, gimana? Mau bergabung?"
Mendadak Abriel pun tidak lagi ingin berpikir rumit. "Oke, deh. Kita berangkat ke Subang. Sisanya gimana, aku ngikut aturan kamu aja."
"Beneran? Asyik kalau gitu!" pekik Isabel seraya merengkuh dagu Abriel.
Sebenarnya tekanan di rahangnya itu cukup nyeri. Tapi Abriel berhasil menahan dirinya untuk tidak mengerang. Senyum Isabel adalah obatnya yang paling mujarab. Melebihi obat pereda rasa sakit yang diberikan perawat di klinik. Mendadak, ia merasa bahunya terasa begitu ringan. Ia sangat yakin sudah mengambil keputusan yang tepat.
* * *
Usai membeli perlengkapannya di minimarket Jalan Setiabudhi, mengganti pakaiannya dengan kaus oblong hitam yang ia beli. Abriel segera menelepon ponsel mamanya. Awalnya, mamanya sempat mengeluhkan karena sudah hampir pukul sepuluh tapi ia belum juga pulang atau mengabari. Namun, setelah ia mengatakan alasan yang sudah ia dan Isabel rencanakan sebelumnya, yakni akan menginap di rumah Tomi untuk menemani Tomi yang baru putus dari pacarnya (Nama Adit tampaknya mendadak menjadi topik sensitif untuk keduanya sehingga Tomi-lah yang menjadi alternatif), mamanya pun melunak.
Setelah mamanya memutus sambungan teleponnya, perasaannya menjadi sedikit tak enak. Ia jarang membohongi orangtuanya selama ini. Kalaupun ia harus beralasan, ia akan menyelipkan separo kejujuran ke dalamnya. Tapi kali ini, ia tak punya pilihan. Ia sudah berjanji dalam hati untuk tidak lagi melakukannya, paling tidak sering-sering atau untuk kasus yang gawat.
Abriel menghampiri Isabel yang sedang membeli beberapa potong surabi di pinggir jalan, ia segera memberitahunya mengenai kesuksesan alasan yang mereka rencanakan tadi.
"Artinya habis ini kita tinggal cari tempat istirahat. Kalau bisa sih di daerah Lembang, biar lebih dekat," ujar Isabel.
"Kita nginap di penginapan? Berdua?" Abriel sedikit tak yakin itulah rencana Isabel.
"Beda kamar. Tapi kalaupun satu kamar, kamu tidurnya di sofa, saya di kasur."
"Tenaaaang. Aku bukan cowok yang suka aneh-aneh gitu. Kalau bukan sama pacar sendiri," goda Abriel seraya terkekeh jahil.
"Idih," dengus Isabel seraya mengalihkan tatapannya ke sepatunya. "Kita pesan dua kamar. Fix."
Tak lama kemudian antrean surabi sudah lumayan padat. Setelah menerima surabi mereka, mereka segera memindahkan jojodok mereka ke pinggir trotoar dekat selokan.
Sambil asyik menyantap surabi rasa oncomnya, Isabel melirik Abriel. "El, apa kamu marah juga sama Adit?" tanyanya tiba-tiba.
Abriel otomatis mengunyah lebih lambat. Tadi, meskipun rahangnya sakit, dengan suasana malam yang hangat bersama Isabel, rasa sakitnya sama sekali tidak terasa. Sekarang, mendadak saja rahangnya terasa ngilu.
"Nggak marah. Cuma... aneh aja," ujarnya. Sedari tadi barulah sekarang mereka membahas kembali topik sore tadi.
"Adit itu cuma kebetulan dari Tuhan. Kebetulan juga dia teman kamu. Segalanya udah diatur. Meski itu kadang nggak selalu menguntungkan kita."
"Terus perasaan kamu juga, apa Tuhan yang menggerakkan?"
Isabel terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Iya."
"Kalau gitu gimana perasaan kamu sekarang sama Adit, yang sebenar-benarnya? Kamu ada rasa sama dia?" tanya Abriel, masih memandangi surabi di dalam wadah dari koran bekas berlapis kertas minyak di tangannya.
"Nggak tahu. Belum bisa mastiin. Mungkin sekarang saya bisa bilang suka, tapi besok pagi saya bisa bilang enggak," Isabel menjawab langsung. "Kalau belum mantap, hati manusia memang suka oleng. Barangkali bisikan setannya lebih kuat."
Abriel tidak tahu harus bereaksi apa. Dan di tengah jeda lama kebisuan Abriel, tukang surabi tadi mengantarkan kantong plastik berisi pesanan tambahan mereka yang dibungkus. Setelah menerima bungkusan itu dan membayarnya, mereka kembali ke dalam mobil. Abriel sudah menempati kursi dikemudi, dan Isabel tahu sudah saatnya ia duduk manis.
"Menuju kota Lembang!" seru Isabel. Setelah menyeruput habis sisa seperempat kaleng cappuccino-nya, ia mendadak menyerongkan tubuhnya dan mengenyakkan kepalanya di bahu Abriel. Seperti refleks, Abriel pun mendekatkan bahunya ke kiri agar Isabel lebih nyaman.
Panas di hati Abriel melebur seketika. Sejenak, ia melupakan perasaannya yang tadi sempat drop, mengingat selama ini Isabel-lah orang yang sangat disukai sahabatnya. Sesaat, hatinya mendadak diliputi kesejukan. Sekali lagi, ia bisa mencium aroma mint lembut yang menguar dari rambut Isabel. Sekilas, ia mengecup sisi kanan puncak rambut Isabel dengan tidak kentara. Kali ini, ia tidak lagi bisa mengabaikan perasaannya pada gadis ini.
Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini
Comment on chapter 1. Makhluk MalangKalau suda beres saya akan kasih review.