Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Waktu sudah menunjukan jam sembilan malam lewat, Abriel selesai menebus vitamin, obat penahan nyeri dan sekotak perlengkapan untuk membersihkan lukanya. Nyatanya perawat di klinik itu tidak menyarankan agar luka di pelipis Abriel dijahit. Ia hanya membersihkan dengan antiseptik kemudian memasangkan kasa steril dan plaster di sana. Vitamin yang nantinya diminum Abriel berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka di bibir bagian dalamnya. Hidungnya sudah tak lagi mengeluarkan darah. Abriel tampak sehat walafiat, kecuali tulang pipinya yang tampak sedikit lebam dan penampakan kasa terekatkan plaster di alisnya yang menunjukan bahwa di balik itu ada segurat luka.

Di lahan parkir, Abriel menodongkan tangannya meminta kunci mobilnya kepada Isabel. "Aku udah nggak apa-apa nyetir. Kamu sekarang bisa istirahat."

Seolah teringat sesuatu, Isabel menggenggam kembali kunci mobil yang hampir ia geletakan di telapak tangan Abriel. "Kamu besok bisa bolos nggak?" tanyanya dengan mimik serius.

"Bolos?" Abriel mengerutkan keningnya, berusaha mengejar maksud Isabel. "Memang ada apa?"

Isabel mengerucutkan bibirnya. Menatap wajah Abriel seraya menimbang-nimbang untuk melibatkan cowok ini atau tidak ke dalam misinya.

"Saya butuh kamu. Tepatnya butuh mobil kamu."

"Emang, kamu mau ke mana?"

"Subang," jawab Isabel mantap. "Ke Desa Cibitung. Kita berangkat besok subuh. Pulangnya besok sore. Gimana?"

"Mau ngapain ke sana?"

"Itu rahasia. Pasti saya ceritain semua. Tapi nanti." Isabel tampak memberengut, wajahnya masih tampak berpikir. "Kamu bisa atau nggak ngantar saya?"

"Subang kan nggak gitu jauh..."

"Ini masuk pedalaman, lho."

"Hmm, okelah. Anggap aja satu setengah jam sampai. Kenapa harus berangkat subuh-subuh?"

"Karena lebih cepat sampai lebih baik. Eh, di dalam yuk ngobrolnya, anginnya lagi nggak enak, nih." Ia pun segera duduk ke kursi kemudi. Sementara Abriel otomatis kembali ke kursi penumpang di sebelahnya. "Gimana kalau kamu sekarang nggak usah balik dulu. Telepon orangtua kamu, alasan nginap di rumah teman kamu. Terus kita cari tempat istirahat . Subuh langsung cabut. Kepala kamu udah nggak kenapa-kenapa, kan?"

Abriel menggeleng, kepalanya memang sudah terasa jauh lebih baik. "Kalaupun aku ikut, aku tetap harus balik dulu." Abriel menarik kerah seragamnya yang berbercak darah. Meskipun hanya kerahnya yang kotor karena noda merah-kehitaman, sebab Abriel melapisi seragamnya dengan sweter, ia tetap tampak tidak nyaman. "Selain masih pakai seragam. Risi juga pakai baju yang banyak darahnya gini. Pengin banget bersihin badan."

"Kalau kamu mau ngantar saya, sebaiknya nggak perlu balik dulu segala, deh. Setelah saya pikirin, kalau kamu balik sekarang, yang ada orangtua kamu bakal shock banget lihat tampang kamu. Memang kamu udah bikin alasan kenapa muka kamu babak-belur gitu? Apa mereka akan terima kalau tahu kamu digebukin sama teman kamu sendiri? Yang ada mereka pasti bakal datangin sekolah kamu dan laporin kejadian ini. Kamu bakal buat satu sekolah heboh. Percaya deh sama saya."

Sejujurnya Abriel belum memikirkan sejauh ini. "Kalaupun aku pergi bareng kamu sekarang, luka ini nggak akan sembuh dalam satu hari. Orangtua aku bakal tetap tahu." Sekarang, kenyataan itu sedikit mengganggunya. Ia sudah bisa membayangkan seperti apa reaksi orangtuanya, terutama mamanya. Semua ramalan Isabel akan menjadi kenyataan.

"Saya punya cara," ujar Isabel, kedua alisnya terangkat tinggi. "Kemungkinan berhasilnya delapan puluh persen. Saya hanya bisa kasih tahu setelah kamu setuju antar saya ke Subang."

"Aku sih mau banget antar kamu, betulan. Tapi..."

"Soal baju? Soal mandi? Pakaian dalam ganti? Itu sih gampang. Cetek banget. Beli di minimarket. Kaus polos ada. Celana dalam sekotak isi tiga kan juga ada. Tempat mandi? Pasti ada di tempat istirahat kita nanti."

"Emang kamu sendiri udah bawa perlengkapan kamu?"

"Saya bawa tas segede gajah gitu bukan tanpa alasan." Isabel menunjuk tas besar kulitnya yang tergeletak di jok belakang bersama dengan kantong kertasnya. "Kalau aja tadi saya nggak mampir dulu ke minimarket, nemu kamu lagi dikerumunin orang. Saya pasti udah nyampai penginapan. Rencananya saya mau rental mobil tadi itu."

"Malam-malam gini? Kamu nggak takut diculik?"

Isabel berdecak geli. "Nah, sekarang apalagi masalah kamu? Kamu pusing? Saya yang nyetir, kamu tinggal duduk doang. Kamu udah lihat kan, saya nyetirnya serapi Michael Schumacher." Itu adalah nama pemalap Formula 1 yang terkenal.

Mau tak mau Abriel mendenguskan tawa ironis. "Nah, soal itu... Aku sebenarnya nggak nyangka kalau kamu nyetirnya jago. Kenapa kamu nggak bawa mobil sendiri aja?"

"Nggak niat punya mobil pribadi, cuma bikin macet kota aja," jawab Isabel sederhana. "Jadi, gimana? Mau bergabung?"

Mendadak Abriel pun tidak lagi ingin berpikir rumit. "Oke, deh. Kita berangkat ke Subang. Sisanya gimana, aku ngikut aturan kamu aja."

"Beneran? Asyik kalau gitu!" pekik Isabel seraya merengkuh dagu Abriel.

Sebenarnya tekanan di rahangnya itu cukup nyeri. Tapi Abriel berhasil menahan dirinya untuk tidak mengerang. Senyum Isabel adalah obatnya yang paling mujarab. Melebihi obat pereda rasa sakit yang diberikan perawat di klinik. Mendadak, ia merasa bahunya terasa begitu ringan. Ia sangat yakin sudah mengambil keputusan yang tepat.

 

* * *

 

Usai membeli perlengkapannya di minimarket Jalan Setiabudhi, mengganti pakaiannya dengan kaus oblong hitam yang ia beli. Abriel segera menelepon ponsel mamanya. Awalnya, mamanya sempat mengeluhkan karena sudah hampir pukul sepuluh tapi ia belum juga pulang atau mengabari. Namun, setelah ia mengatakan alasan yang sudah ia dan Isabel rencanakan sebelumnya, yakni akan menginap di rumah Tomi untuk menemani Tomi yang baru putus dari pacarnya (Nama Adit tampaknya mendadak menjadi topik sensitif untuk keduanya sehingga Tomi-lah yang menjadi alternatif), mamanya pun melunak.

Setelah mamanya memutus sambungan teleponnya, perasaannya menjadi sedikit tak enak. Ia jarang membohongi orangtuanya selama ini. Kalaupun ia harus beralasan, ia akan menyelipkan separo kejujuran ke dalamnya. Tapi kali ini, ia tak punya pilihan. Ia sudah berjanji dalam hati untuk tidak lagi melakukannya, paling tidak sering-sering atau untuk kasus yang gawat.

Abriel menghampiri Isabel yang sedang membeli beberapa potong surabi di pinggir jalan, ia segera memberitahunya mengenai kesuksesan alasan yang mereka rencanakan tadi.

"Artinya habis ini kita tinggal cari tempat istirahat. Kalau bisa sih di daerah Lembang, biar lebih dekat," ujar Isabel.

"Kita nginap di penginapan? Berdua?" Abriel sedikit tak yakin itulah rencana Isabel.

"Beda kamar. Tapi kalaupun satu kamar, kamu tidurnya di sofa, saya di kasur."

"Tenaaaang. Aku bukan cowok yang suka aneh-aneh gitu. Kalau bukan sama pacar sendiri," goda Abriel seraya terkekeh jahil.

"Idih," dengus Isabel seraya mengalihkan tatapannya ke sepatunya. "Kita pesan dua kamar. Fix."

Tak lama kemudian antrean surabi sudah lumayan padat. Setelah menerima surabi mereka, mereka segera memindahkan jojodok mereka ke pinggir trotoar dekat selokan.

Sambil asyik menyantap surabi rasa oncomnya, Isabel melirik Abriel. "El, apa kamu marah juga sama Adit?" tanyanya tiba-tiba.

Abriel otomatis mengunyah lebih lambat. Tadi, meskipun rahangnya sakit, dengan suasana malam yang hangat bersama Isabel, rasa sakitnya sama sekali tidak terasa. Sekarang, mendadak saja rahangnya terasa ngilu.

"Nggak marah. Cuma... aneh aja," ujarnya. Sedari tadi barulah sekarang mereka membahas kembali topik sore tadi.

"Adit itu cuma kebetulan dari Tuhan. Kebetulan juga dia teman kamu. Segalanya udah diatur. Meski itu kadang nggak selalu menguntungkan kita."

"Terus perasaan kamu juga, apa Tuhan yang menggerakkan?"

Isabel terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Iya."

"Kalau gitu gimana perasaan kamu sekarang sama Adit, yang sebenar-benarnya? Kamu ada rasa sama dia?" tanya Abriel, masih memandangi surabi di dalam wadah dari koran bekas berlapis kertas minyak di tangannya.

"Nggak tahu. Belum bisa mastiin. Mungkin sekarang saya bisa bilang suka, tapi besok pagi saya bisa bilang enggak," Isabel menjawab langsung. "Kalau belum mantap, hati manusia memang suka oleng. Barangkali bisikan setannya lebih kuat."

Abriel tidak tahu harus bereaksi apa. Dan di tengah jeda lama kebisuan Abriel, tukang surabi tadi mengantarkan kantong plastik berisi pesanan tambahan mereka yang dibungkus. Setelah menerima bungkusan itu dan membayarnya, mereka kembali ke dalam mobil. Abriel sudah menempati kursi dikemudi, dan Isabel tahu sudah saatnya ia duduk manis.

"Menuju kota Lembang!" seru Isabel. Setelah menyeruput habis sisa seperempat kaleng cappuccino-nya, ia mendadak menyerongkan tubuhnya dan mengenyakkan kepalanya di bahu Abriel. Seperti refleks, Abriel pun mendekatkan bahunya ke kiri agar Isabel lebih nyaman.

Panas di hati Abriel melebur seketika. Sejenak, ia melupakan perasaannya yang tadi sempat drop, mengingat selama ini Isabel-lah orang yang sangat disukai sahabatnya. Sesaat, hatinya mendadak diliputi kesejukan. Sekali lagi, ia bisa mencium aroma mint lembut yang menguar dari rambut Isabel. Sekilas, ia mengecup sisi kanan puncak rambut Isabel dengan tidak kentara. Kali ini, ia tidak lagi bisa mengabaikan perasaannya pada gadis ini.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Cassanouva

    Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini

    Kalau suda beres saya akan kasih review.

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ruriantysavana

    ka cek inbox ya aku ada pertanyaan2 tentang cerita ini
    mau di sini tp tkt spoiler hehe, thx

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ala_fifi

    baca karya ini jd pgn nulis yg bagus jg rasanya, pgn latihan banyak biar bisa gini

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Retha_Halim

    Good job, Author. On chaper41

    Comment on chapter 41. Dua Hati (TAMAT)
  • yurriansan

    diksinya mantep banget, kudu banyak belajar nih

    Comment on chapter 2. Pantomim Waktu
  • Andrafedya

    @firlyfreditha silakan dibaca sampai beres, kalau masih blm ketemu nanti kukasih tau deh :)

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • Andrafedya

    @ayuasha febby baik, cuma temperamental. Tapi dia juga punya sisi baik, kok :) terima kasih sudah membaca

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • firlyfreditha

    bersetting tahun brp kak?

    Comment on chapter 3. Pemantauan
  • ayuasha

    kesel sama Febby sumpah

    Comment on chapter 9. Tergelincir
  • Andrafedya

    @defreeya selamat membaca, jangan berhenti ya. Terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Broken Wings
1326      788     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
Story Of Me
3878      1473     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
DANGEROUS SISTER
9061      2079     1     
Fan Fiction
Alicea Aston adalah nama barat untuk Kim Sinb yang memiliki takdir sebagai seorang hunter vampire tapi sesungguhnya masih banyak hal yang tak terungkap tentang dirinya, tentang jati dirinya dan sesuatu besar nan misterius yang akan menimpanya. Semua berubah dan menjadi mengerikan saat ia kembali ke korea bersama saudari angkatnya Sally Aston yang merupakan Blood Secred atau pemilik darah suci.
Mendadak Pacar
9424      1912     1     
Romance
Rio adalah seorang pelajar yang jatuh cinta pada teman sekelasnya, Rena. Suatu hari, suatu peristiwa mengubah jalannya hari-hari Rio di tahun terakhirnya sebagai siswa SMA
Premium
Akai Ito (Complete)
6776      1353     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Forever Love
3576      1133     6     
Romance
Percayalah cinta selalu pulang pada rumahnya. Meskipun cinta itu terpisah jauh bermil-mil atau cinta itu telah terpisah lama. Percayalah CINTA akan kembali pada RUMAHNYA.
Sibling [Not] Goals
1214      666     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
After School
3414      1372     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Ręver
7318      1989     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Belum Tuntas
5084      1740     5     
Romance
Tidak selamanya seorang Penyair nyaman dengan profesinya. Ada saatnya Ia beranikan diri untuk keluar dari sesuatu yang telah melekat dalam dirinya sendiri demi seorang wanita yang dicintai. Tidak selamanya seorang Penyair pintar bersembunyi di balik kata-kata bijaknya, manisnya bahkan kata-kata yang membuat oranglain terpesona. Ada saatnya kata-kata tersebut menjadi kata kosong yang hilang arti. ...