Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu, Histeria, & Logika
MENU
About Us  

Ketika Abriel hampir saja sampai di gerbang kompleksnya, secara kebetulan ia melirik ponselnya yang sedang di-charge di dalam mobilnya. Entah sejak kapan ponselnya itu bergetar. Layarnya memberitahunya bahwa Muamar-lah yang menelepon. Kening Abriel berkerut, sejak kapan Muamar menghubunginya? Rasa-rasanya sudah lama sekali Muamar dan ia tidak mengobrol. Dan hanya saling menyapa sekadarnya ketika mereka berpapasan.Terutama sejak Abriel jadian dengan Febby, ia sedikit merasa Muamar menjaga jarak dengannya.

Abriel memelankan laju mobilnya, mencabut ponselnya dari kabel charger-nya. Kemudian menjawab panggilan yang masuk.

Singkat dan padat, itulah yang bisa Abriel simpulkan dari percakapannya yang sebentar barusan dengan Muamar. Cowok itu hanya minta agar Abriel memberinya waktu untuk bicara empat mata. Tanpa berpikir panjang, Abriel langsung menyetujuinya. Mereka akhirnya janjian di depan minimarket yang berdiri di salah ruko depan kompleks perumahannya, tempat yang sering Abriel datangi untuk membeli sesuatu. Kebetulan, minimarket tersebut menyediakan beberapa pasang kursi dan meja untuk nongkrong.

Setengah jam kemudian, motor Muamar yang berwarna hitam diparkirkannya di depan minimarket tersebut. Abriel mengangkat sedikit tangannya yang bebas dari sekaleng kopi yang baru dibelinya  untuk menyapa cowok itu.

Setelah melepaskan helm full face-nya dan menggantungnya dengan asal di spion, tanpa tedeng aling-aling Muamar menghampiri Abriel. Kalimat bernada marah yang terlontar dari mulut Muamar, sontak mengejutkan Abriel.

"Belum cukup lo bikin Febby ancur? Masih aja lo nyakitin dia."

Muamar berdiri dengan gestur profokatif, menekan meja yang sedang Abriel duduki. Membuat bagian atas perutnya tergencet.

"Apa maksud lo sih, Mar?" tuntut Abriel, kaget, tak menduga reaksi itu.

Muamar sekali lagi mendorong meja Abriel dengan satu sentakan kasar. "Ngapain lo bawa cewek lo ke sekolah tadi? Febby lihat. Sakit hati dia!"

"Mar, nggak usah rusuh kayak gini, dong." Abriel balas mendorong mejanya, bangkit dengan segera. Kaleng kopinya jatuh dan tumpah ke lantai semen di bawahnya. Muamar tampak bergeming dan semakin keras.

Minimarket itu sedang lumayan sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang sibuk berbelanja dan membayar di kasir. Tak ada seorang pun yang sadar apa yang sedang terjadi di luar.

"Gue sabar-sabarin sejak lo pacaran sama Febby, mendam perasaan gue karena lo teman gue. Nyatanya lo ancurin hati dia," Muamar berkata dengan menggeram. "Kalau lo nggak cinta sama dia, ngapain lo pacarin dia?"

Abriel mendengus. "Salah gue, Mar, kalau lo pengecut dan nggak berani ngasih tahu ke Febby kalau lo cinta sama dia sejak lama?"

"Febby mana suka sama orang kayak gue," bantah Muamar sambil memalingkan wajahnya sekilas. "Selama lo pacaran sama Febby, udah lo apain aja Febby sampai dia segitunya sama lo?"

Abriel terkekeh kering. "Maksudnya apa lo nanya soal itu?"

"Lo apain aja dia?" hardik Muamar lebih keras.

"Wajar orang pacaran gimanalah," dengus Abriel. "Lagian, kalau emang lo sayang sama Febby, ya lo nyatainlah, bukannya nemuin gue."

"Febby cuma cintanya sama lo dari dulu. Tapi lo malah sia-siain perasaan dia!"

"Lo sebenarnya tahu perasaan lo ke dia nggak ada hubungannya sama gue. Lo cuma cari kambing hitam aja sekarang, agar lo merasa udah berbuat sesuatu, berkorban buat Febby. Tapi apaan? Kalau lo terus bersembunyi, yang ada Febby malah nganggap lo cuma kacungnya."

"Anjing, jaga mulut lo!" Semakin terbakar emosi yang sudah menyulut hatinya sejak awal, Muamar maju dan dengan kilat melayangkan bogem mentahnya ke pelipis Abriel. Tepat sasaran, telak, dan keras, bersama harga diri dan rasa cemburunya pada Abriel sejak lama, yang sudah melapis-lapis dan mengerak di dalam dirinya. Abriel mundur akibat pukulan telak yang digencarkannya. Muamar tidak melewatkan kesempatan itu, ia gunakan untuk melancarkan pukulan-pukulan berikutnya.

Hanya satu kali Abriel mendapatkan kesempatan untuk balas menonjok rahang Muamar, sebelum Muamar menangkis serangan selanjutnya. Pukulan pertamanya tadi, di pelipis Abriel, adalah penentu serangan Muamar selanjutnya.

Andai waktunya diputar dan Abriel tahu Muamar akan menyerangnya, melayangkan serangan di pelipisnya. Hasilnya tentu akan berbeda, tak akan ada serangan-serangan dari Muamar berikutnya yang akan masuk dan mengenai Abriel. Abriel adalah lelaki yang tangguh, bahkan Adit mengakuinya. Ia lincah, gesit, kuat, memiliki koordinasi dan keseimbangan yang bagus. Muamar bukanlah lawannya jika mereka bertarung secara adil.

Serangan Muamar belumlah berakhir meski Abriel sudah terjatuh dan menyeret serta sebuah kursi terbaring di lantai semen bersamanya, tapi dengan membabi buta ia terus menggencarkan pukulan ke wajah Abriel. Hingga salah seorang pegawai minimarket yang akhirnya menyadari kejadian itu datang melerai.

Muamar menepis kasar tangan pegawai minimarket itu. Dengan lekas, ia segera memakai helmnya dan bergegas meninggalkan tempat itu.

Meringis, seraya menahan kucuran darah dari hidungnya, Abriel berusaha bangkit. Ia berhasil dalam percobaan pertama. Pengunjung minimarket berhamburan keluar, mengerubungi Abriel yang bersimbah darah: bibir bagian bawahnya sobek, pelipisnya luka, hidung kanannya basah oleh cairan kental pekat.

Abriel menerima bantuan yang ditawarkan oleh dua pegawai minimarket itu. Sigap, keduanya mendudukkan Abriel di salah satu kursi.

"Saya nggak apa-apa. Nggak usah telepon siapa-siapa," pinta Abriel pada salah satu pegawai yang hendak menelepon polisi dan ambulance. "Dia teman saya. Masalahnya udah clear, kok."

Kepala Abriel terasa penang. Bukan karena terkena pukul saja, tapi pening karena orang-orang yang terus saja melontarkan spekulasi sendiri, berbicara dengan suara keras, beberapa malah ada yang mengeluarkan ponsel dan merekam. Abriel ingin segera meninggalkan tempat itu, ia merasa keadaannya tidak terlalu buruk, hanya saja ia butuh sebutir aspirinparacetamol, apa saja untuk meredakan nyeri di kepalanya. Sungguh, ia rela melakukan apa saja asalkan semua orang yang mengerubunginya ini menghilang. Sekejap, Abriel memejamkan mata. Hingga di tengah kebisingan itu, ia mendengar sebuah suara.

"Udah tahu ada yang cedera, masih aja pada berisik! Bubar, bubar, kalau nggak tahu mesti ngapain!" protes gadis itu dengan tegas, sebelum merengkuh kepala Abriel dengan hati-hati. "Kamu nggak apa-apa? Darah kamu keluar terus. Kayaknya ada yang harus dijahit." Tenang, gadis itu mengeluarkan sesuatu dari kantong kertas batiknya. Selembar kaus berkerah yang masih baru. Lalu tanpa menunggu, ia langsung menekan bagian yang paling banyak mengeluarkan darah dengan kaus itu, mulut Abriel akhirnya dibungkam karena mengalirkan darah paling banyak. "Mas, tolong bawain obat merah, plaster, gunting, kasa. Cepetan," perintahnya, kali ini pada pegawai minimarket yang berdiri di dekat Abriel.

Abriel hendak mengatakan sesuatu pada gadis itu. Bukan sesuatu. Seribu pertanyaan seperti: bagaimana ia bisa di sini? Apa ia pulang bersama Adit? Milik siapa baju yang ia gunakan untuk menekan bibirnya, apakah milik Adit? Ketika ia meninggalkannya tadi di restoran itu, apakah ia sedih, menangis? Apakah ada kata-katanya yang melukai hatinya? Dan masih banyak lagi... Tapi tangan gadis itu membekap mulutnya.

Abriel baru sadar, gadis itu masih memandanginya, fokus. Lalu, ketika alat-alat yang dimintanya diantarkan, dengan cekatan gadis itu melakukan tugasnya.

"Sekarang, kita pergi ke klinik. Pelipis dan bagian dalam bibir kamu kayaknya perlu dijahit," katanya, tampak sedikit berpuas diri karena ia melakukan tugasnya dengan cepat dan sempurna. "Biar saya yang nyetir. Kamu istirahat aja."

Setelah Abriel naik ke dalam mobilnya, duduk di kursi penumpang, Isabel kembali untuk memberikan uang kepada pegawai minimarket tersebut. Abriel hanya memerhatikan gerakan gesit gadis itu berpindah-pindah tempat.

"Kamu bisa minum? Barusan saya beliin air mineral," ujar Isabel yang sudah duduk di kursi kemudi.

Abriel mengangguk. Ia memang butuh air.

Sementara Abriel meneguk airnya hingga setengah botol, Isabel sudah melajukan mobil Abriel.

Abriel melirik wajah serius Isabel saat memegang kemudi mobilnya, diam-diam ia bersyukur karena Muamar datang dan menghajarnya. Semua rasa sakitnya sebanding dengan apa yang ia terima. Ia bahkan rela dipukuli lagi demi mendapatkan saat-saat seperti sekarang, batinnya.

"Kamu nggak ngerasa pengin muntah, kan? Jawab, ini angka berapa?" Mendadak Isabel menjulurkan dua jarinya di depan wajah Abriel.

"Satu," Abriel berkata. "Satu kesempatan buat aku. Kamu bisa kasih?"

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (19)
  • Cassanouva

    Teenlit namun lbh matang. Metropop namun tidak ngepop amat. Kadarnya pas, bakal lanjut membaca cerita cantik ini. Trims Author untuk cerita ini

    Kalau suda beres saya akan kasih review.

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ruriantysavana

    ka cek inbox ya aku ada pertanyaan2 tentang cerita ini
    mau di sini tp tkt spoiler hehe, thx

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • ala_fifi

    baca karya ini jd pgn nulis yg bagus jg rasanya, pgn latihan banyak biar bisa gini

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
  • Retha_Halim

    Good job, Author. On chaper41

    Comment on chapter 41. Dua Hati (TAMAT)
  • yurriansan

    diksinya mantep banget, kudu banyak belajar nih

    Comment on chapter 2. Pantomim Waktu
  • Andrafedya

    @firlyfreditha silakan dibaca sampai beres, kalau masih blm ketemu nanti kukasih tau deh :)

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • Andrafedya

    @ayuasha febby baik, cuma temperamental. Tapi dia juga punya sisi baik, kok :) terima kasih sudah membaca

    Comment on chapter 14. Saling Melarutkan
  • firlyfreditha

    bersetting tahun brp kak?

    Comment on chapter 3. Pemantauan
  • ayuasha

    kesel sama Febby sumpah

    Comment on chapter 9. Tergelincir
  • Andrafedya

    @defreeya selamat membaca, jangan berhenti ya. Terima kasih banyak buat apresiasinya

    Comment on chapter 1. Makhluk Malang
Similar Tags
Ballistical World
10101      1987     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
It Takes Two to Tango
474      347     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
Breakeven
19648      2660     4     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
For Cello
3145      1065     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Apakah kehidupan SMA-ku akan hancur hanya karena RomCom? [Volume 2]
1759      817     0     
Romance
Di jilid dua kali ini, Kisaragi Yuuichi kembali dibuat repot oleh Sakuraba Aika, yaitu ia disuruh untuk bergabung dengan klub relawan yang selama ini ia anggap, bahwa melakukan hal seperti itu tidak ada untungnya. Karena godaan dan paksaan dari Sakuraba Aika terus menghantui pikirannya. Akhirnya ia pun terpaksa bergabung. Seiring ia menjadi anggota klub relawan. Masalah-masalah merepotkan pun d...
kekasihku bukan milikku
1315      673     3     
Romance
Renafkar
9552      1827     5     
Romance
Kisah seorang gadis dan seorang lelaki, yakni Rena dan Afkar yang sama-sama saling menyukai dalam diam sejak mereka pertama kali duduk di bangku SMA. Rena, gadis ini seringkali salah tingkah dan gampang baper oleh Afkar yang selalu mempermainkan hatinya dengan kalimat-kalimat puitis dan perlakuan-perlakuan tak biasa. Ternyata bener ya? Cewek tuh nggak pernah mau jujur sama perasaannya sendiri....
Haruskah Ku Mati
53348      5922     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
The World Between Us
2439      1046     0     
Romance
Raka Nuraga cowok nakal yang hidupnya terganggu dengan kedatangan Sabrina seseorang wanita yang jauh berbeda dengannya. Ibarat mereka hidup di dua dunia yang berbeda. "Tapi ka, dunia kita beda gue takut lo gak bisa beradaptasi sama dunia gue" "gue bakal usaha adaptasi!, berubah! biar bisa masuk kedunia lo." "Emang lo bisa ?" "Kan lo bilang gaada yang gabis...
DEVANO
728      447     1     
Romance
Deva tidak pernah menyangka jika pertemuannya dengan Mega bisa begitu berpengaruh untuk hidupnya. Dan untuk pertama kalinya setelah hari itu, Dio-mantan sahabatnya, ikut campur dalam urusannya. Padahal, biasanya cowok itu akan bersikap masa bodo. Tidak peduli pada semua yang Deva lakukan. Ternyata, pertemuan itu bukan hanya milik Deva. Tapi juga Dio di hari yang sama. Bedanya Deva lebih berun...