"Kamu jangan baper."
Aku menatap aneh gadis yang tiba-tiba muncul di hadapanku dan mengatakan sesuatu yang tak berguna. Baper? Aku? Sudah gila? Lagi pula, aku baper sama siapa? Bahkan, aku tidak mengenal gadis berambut emi di depanku ini.
"Feri begitu pasti disuruh Azka."
Ah ... itu. Dia beranggapan aku baper karena Feri bernyanyi di depanku? Idih, tidak mungkinlah. Aku berdecak, lalu berniat meninggalkannya. Akan tetapi, gadis itu menghalangi, membuatku mendengkus kesal.
"Aku pacarnya Feri," katanya percaya diri.
Aku mengibaskan tangan. "Nggak penting."
Aku memegang dan mendorong bahunya supaya dia menyingkir, lalu berjalan melewatinya. Ketika melihat bangku panjang kosong dekat taman, aku segera duduk di sana untuk memakan roti pemberian Feri. Pak Mulyo mengijinkanku meninggalkan perpustakaan tiga menit sebelum bel masuk berbunyi.
"Tinggal sepuluh detik."
Aku berhenti mengunyah roti, menatap sinis Feri yang seenaknya duduk di sampingku. Cowok itu meletakkan minuman di dekatku, membuatku menjejalkan sisa roti ke dalam mulut hingga penuh. Bodoh amat tidak terlihat anggun. Ini adalah efek karena telah menganggu waktu mepet makanku.
"Roti itu dari Azka. Minumannya juga. Katanya sebagai ganti rugi sudah ...." Feri tidak meneruskan kalimatnya.
Aku menatap Feri yang sedang menyeringai.
"Jarang lho Azka baik gini. Kalian sudah kikuk-kikuk." Feri memperagakan orang sedang berciuman dengan menggunakan kedua tangan.
Aku tersedak. Sialan!
Feri menepuk-nepuk keras punggungku. Aku sempat berusaha menyingkirkan tangannya, tetapi tidak berhasil.
Aku menatap tajam Feri. "Kamu ingin membunuhku?"
"Aku hanya berusaha membantu," jawab Feri santai.
"Dengan memukul-mukul keras punggungku? Semelet banget sumpah ini rasanya!" semburku sambil melempar bungkus plastik roti ke arah Feri. Cowok itu terkekeh, berlari seraya melambaikan tangan, bertepatan dengan bel masuk berbunyi.
Aku berdiri, memunggut plastik yang tadi aku lempar, lalu meremasnya. Aku berjalan menuju tong sampah untuk membuang plastik. Ya, bagaimanapun, membuang sampah itu harus pada tempatnya. Budayakan kebersihan. Duh, kalau kayak begini aku seperti menjadi murid baik-baik. Aku tertawa sampai mendogakkan kepala. Menjadi murid baik-baik? Aku pasti menjadi superhiro-nya sekolahan.
Aku memutar tumit, berjalan untuk menyusuri lorong-lorong sekolah yang sepi menuju kelasku berada. Sebab kepintaran otakku sudah membaik, aku memilih berjalan santai saja. Toh, sudah terlambat—aku menatap jam yang ada dipergelangan tangan kanan—satu, eh menuju dua menit.
"When the days are cold
And the cards all fold
And the saints we see
Are all made of gold." Aku bersenandung lirih.
Keningku mengernyit. "When your dreams all fail
And the ones we hail
Are the worst of all
And the blood's run stale."
Aku memutar-mutar mataku cepat. Terus apa lagi, ya?
Berdeham sekali, lalu mencoba melanjutkan, "I wa-want to—apa ya? To." Aku menjilat bibirku. "I want to—sialan! Aku nggak ingat."
Aku mengaruk-ngaruk kepala yang tidak gatal dan menyerah. Aku tahu nadanya, tetapi percuma. Aku tidak hafal liriknya. Sampai di depan kelas, aku menghela napas panjang hanya untuk memegang gagang pintu. Dengan satu kali sentakan, pintu kelasku terbuka lebar. Aku melenggang masuk dan berdiri diam. Bu Ami, guru bahasa Inggris, yang berdiri sambil membawa buku paket, menoleh padaku. Dan, kurasa semua teman sekelasku juga demikian.
"Nurul," kata Bu Ami penuh arti. "Do you want to sing?"
Ini dia! Hukuman jika terlambat masuk kelas bahasa Inggris. Kami harus bernyanyi lagu barat. Satu lagu penuh. Mampus! Aku tidak hafal. Aku melirik teman-temanku yang menatapku harap-harap cemas.
Aku berdeham dengan berlebihan, kemudian menggeleng sebagai jawaban. Ya, dari pada memalukan diri sendiri. Aku lebih memilih mengorbankan teman sekelasku untuk sama-sama mendapatkan hukuman juga.
Suasana kelas yang tadinya sunyi, mendadak gaduh di sana-sini. Ada yang mengeluh. Ada yang tidak terima dan marah-marah. Ada yang nyinyir. Ada yang mengebrak meja dan masih banyak polah lainnya. Aku menatap teman sekelasku, kemudian mendengkus sinis. Kayak mereka tidak pernah saja melakukan kesalahan. Solidaritas kek! Aku juga biasa saja saat ada yang terlambat dan tidak mau bernyanyi hingga pada akhirnya kami kena hukuman. Ya, biasa sajanya itu hanya mendorong meja hingga siapa pun yang sial duduk di depanku mencak-mencak.
Semua teman sekelasku berdiri dengan tatapan sebal tertuju padaku. Maaf, mau bagaimana lagi? Bu Ami mempersilakanku ke tempat duduk. Bukan untuk duduk, tentu saja, melainkan berdiri.
"Baik," kata Bu Ami lembut seraya membetulkan letak kaca matanya. "Kalian ingin pertanyaan umum atau hanya pelajaran bahasa Inggris?"
"Umum," jawab kami serempak.
Bu Ami berjalan ke mejanya, duduk. Dengan santai, dia membuka buku—entah apa—lalu mengeluarkan secarik kertas.
"Sebutkan fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa persatuan?" Bu Ami melemparkan pertanyaan pertama.
Lima temanku mengangkat tangan.
"Kamu, Abror, apa jawabannya?"
"Lambang kebanggaan nasional," jawab Abror tegas.
"Silakan duduk," perintah Bu Ami, membuat Abror mengucapkan kata 'yes' dengan girang.
Bu Ami menunjuk seseorang. "Kamu, Latifa."
"Bahasa resmi kenegaraan," jawab Latifa tidak begitu yakin.
Bu Ami menggeleng. "Salah."
Latifa mengerang kesal. Dia sempat menabok lengan Vita, teman semejanya, membuatku terkikik pelan.
"Udin," panggil Bu Ami.
Udin berdeham. "Sebagai alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang beda kebudayaannya."
"Duduk." Bu Ami tersenyum. Aku tahu, Udin salah satu murid kesayangannya.
"Nurul," panggil Bu Ami, membuatku menatap guruku itu. "Mungkin kamu mau menjawab."
"Tapi, aku—eh, saya tidak mengangkat tangan, Bu. Kasihan sama yang sudah angkat tangan, mereka pasti tahu," dalihku, tersenyum lebar. Jujur, aku tidak tahu apa jawabannya.
"Baik." Bu Ami mengalihkan perhatian. "Samanta."
Samanta tersenyum senang. "Lambang identitas nasional."
"Duduk."
Tuh, kan, aku bilang juga apa.
"Siapa pencipta karakter Naruto?" Bu Ami mengajukan pertanyaan kedua yang langsung mendapat respon super baik. Semuanya, termasuk aku mengangkat tangan. Pandangan Bu Ami mengedar.
"Raehan."
Sebagian besar mengerang sampai ada yang memukul tembok, sementara Raehan terkekeh dan menjawab, "Masashi Kishimoto."
Bu Ami memberi isyarat kepada Raehan untuk duduk melalui pergerakan tangannya.
"Saat penggaris mika digosokkan ke rambut maka muatan negatif pada penggaris akan?"
Bu Ami menunjuk Salma.
"Berkurang."
"No!" Bu Ami menggeleng dan beralih menunjuk Jaya.
"Bertambah."
"Duduk." Sejenak Bu Ami terdiam untuk menghela napas. "Bila lebar dari sebuah persegi panjang adalah 4x dan ukuran panjangnya 6x sedangkan keliling dari persegi panjang tersebut adalah 1800, berapa nilai x? Yang bisa menjawab, maju ke depan, tulis di whiteboard."
"Anjiiiiir!"
"Woi! Yang pinter bagi rumus dong. Lupa asli."
"Ini nggak ada yang mau maju gitu?"
"Yang dingin ... yang dingin?"
"Mijon, mijon, prutang, prutang, kacang rebus."
"Dikira terminal?"
"Hoi! Yang jago si mamat maju geh! Cepetan!"
"Eh, kenapa yang maju malah si anu?"
Aku melihat Mayang maju ke depan dengan berani. What the f .... Oke, aku tidak boleh meremehkannya. Siapa yang tahu diam-diam Mayang itu ternyata jago matematika?
Mayang mengambil snowman dan mulai menulis di whiteboard.
Diket :
l = 4x
p = 6x
K = 1800
Rumus :
K = 2(p+l)
1800 = 2(6x + 4x)
1800 = 2(10x)
1800 = 20x
x = 1800 : 20 = 90
Mayang menoleh kepada Bu Ami yang berdiri di belakangnya, mengoreksi. Dan, kejadian yang sangat langka pun terjadi. Mayang diperbolehkan duduk. Sial! Aku iri banget.
Bu Ami berbalik menatap kami, beliau kembali memberikan pertanyaan. "Nama organisasi PBB yang mengurusi kesehatan dunia adalah?"
"WHO."
Kepalaku nyut-nyutan.
"UU No. 23 tahun 2002 berisi tentang?"
"Perlindungan anak."
Kepalaku bertambah nyut-nyutan.
"Pelopor pendirinya ASEAN dari Negara Filipina adalah?"
"Adam Malik."
"Bukan."
"Narcisco Ramos."
Aku menghela napas. Kapan giliranku datang?
"Tanggal 29 Februari terjadi setiap 4 tahun sekali. Tahun yang ada tanggal tersebut disebut?"
"Tahun Kabisat."
Sialan! Keduluan.
"Ledakan bintang di galaksi disebut?"
"Supernova."
Hey! Itu jawabanku tadi.
"Sultan Ageng Tirtoyoso melakukan perlawanan terhadap penjajah di wilayah?"
"Banten dan Jakarta."
Tuhan, tolong aku!
"Karena Indonesia memiliki penampakan yang hijau ketika dilihat dari langit. Juga disebabkan oleh letaknya yang berada tepat di bawah garis khatulistiwa sehingga memperoleh cahaya yang cukup untuk mendukung keanekaragaman hayatinya, untuk itu Indonesia mendapat julukan?"
Aku saling berpandangan dengan Mayang. Melalui sorot mata, aku meminta jawaban. Seolah mengerti, Mayang menggeleng, tanda tidak tahu. Suasana kelas mulai berisik, berkasak-kusuk. Aku menatap Bu Ami yang mengedarkan pandangan mencari-cari siapa yang mengangkat tangan, tetapi sepertinya tidak ada yang berniat. Lah, mampus! Ini bisa berdiri terus sampai jam bahasa Inggris berakhir kalau tidak ada yang menjawab. Aku mengedarkan pandangan, berharap mendapat wangsit. Kemudian, pandanganku terkunci dengan pandangan Udin yang mulutnya bergerak-gerak tidak semestinya.
Aku mengerutkan kening. Udin menggaruk kepala, beralih mengusap tengkuk, dan masih mengerakan bibir seolah mengucapkan sesuatu. Kerutan di keningku semakin dalam, memandang Udin bingung, membuat cowok itu mengumpat tanpa suara, sepertinya, dan sekarang menjambak-jambak rambutnya.
Pandanganku beralih menatap Bu Ami yang kini duduk sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi sambil mengipasi diri menggunakan selembar kertas yang beliau pegang dengan kepala menunduk. Situasi aman, aku kembali menatap Udin yang ternyata masih menatapku. Kali ini bukan mulutnya yang komat-kamit, melainkan jarinya juga ikut bergerak.
"Rambut ...," gumamku lirih.
Udin menepuk jidatnya gemas dan kembali mengulang dengan geregetan. Jangan salahkan aku. Harusnya, kalau Udin mau berbagi jawaban kenapa bukan ke teman depannya yang masih berdiri? Kenapa memilih aku yang berseberangan dengannya? Aku tidak tahu.
"Apaan sih?" tanyaku tanpa suara.
Udin menggeleng lelah. Kupikir itu artinya dia menyerah. Namun, saat aku juga berniat menyerah, cowok itu menjatuhkan pulpen dengan mata tertuju padaku dan mulutnya ikut bergerak mengulang-ulang kata yang pada akhirnya aku paham.
"Ah," kataku cukup keras, membuat Bu Ami mengedarkan pandangan sampai bersirobok dengan pandanganku.
"Nurul," panggilnya.
"Itu, Bu," ucapku. Aku berdeham, merasa gugup setengah mati. Astaga. "Em, Zamrud Khatulistiwa?"
Caraku menjawab lebih mirip pertanyaan. Aku meringis.
Bu Ami menatapku cukup lama sebelum akhirnya mempersilakanku duduk. Akhirnya! Aku menghela napas lega, menoleh kepada Udin sambil nyengir. Dan, seperti itulah Bu Ami, beliau akan mengajukan pertanyaan dan akan melanjutkan pelajaran ketika semua muridnya sudah duduk.
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu