"Mau masuk nggak?"
Galau. Beginilah rasanya kalau punya pacar, maksudku, aku masih punya pacar tidak? Aku memijit pelipis berulang-ulang. Damn yeah! Memikirkan status hubungan antara aku dan Adnan saja membuat migrainku kumat. Menghela napas berat, aku menatap rumah Adnan dengan perasaan gamang.
"Hoi, jawab! Malah ngelamun."
Alfa menjentikan jari ke depan wajahku beberapa kali, membuatku menatapnya sekilas. Tanpa kata, aku membuka pintu mobil dan keluar. Sepulang sekolah tadi, aku melihat Alfa menganggur di rumah karena memang itulah kerjaannya. Untuk menebus kesalahannya kemarin, aku memaksanya untuk mengantarku ke rumah Adnan dengan beralasan mau bertemu Mayang. Padahal, aku hanya ingin berbicara dengan Adnan untuk memastikan hubungan kami.
"Cepet. Jangan lama-lama!" pesan Alfa galak yang kini sudah berada di luar mobil.
Aku terdiam dan masih galau. Kakiku seperti tertempel dengan aspal. Tidak mau bergeser sesenti pun.
"Cepetan!" kata Alfa lagi.
Aku menatap kakakku yang sekarang sedang bersandar pada badan mobil.
Aku menghela napas panjang. Memantapkan hati akan memasuki rumah yang dari luar tampak sepi. Aku berjalan dan berhenti tepat di depan gerbang rumah Adnan. Mengangkat tangan hendak memencet bel, tetapi tidak. Aku menengok kembali ke Alfa yang masih di posisi yang sama seraya menatapku heran, kemudian tanpa sengaja aku menoleh ke arah jalan pulang.
Mataku melotot. Aku melihat motor yang seperti milik Adnan. Aku tahu yang memiliki motor seperti itu bukan hanya satu orang. Bisa puluhan bahkan ribuan orang. Namun, dari jarak motor dan tempatku berdiri yang dari detik ke detik semakin mendekat, aku tidak mungkin salah mengenali. Itu motor Adnan.
Mam to the pus. Mampus!
Aku menoleh cepat ke Alfa. Menyuruhnya dengan panik masuk kembali ke mobil. Aku pun panik saat masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, aku menepuk-nepuk keras lengan Alfa untuk segera melajukan mobil.
Mungkin karena melihatku panik, Alfa ikut-ikut panik sampai menjatuhkan kunci. Saat akan memasukan kunci ke lubang tidak bisa, membuatku gemas.
"Kenapa sih dengan sifat cewek yang suka terburu-burunya?" tanya Alfa ketus.
Aku menghela napas gusar. "Cepet dong elah ada Adnan tuh!"
"Lah, kenapa dengan Adnan?" tanya Alfa bingung, dia berhasil memasukkan kunci ke lubang. "Kalau mau ketemu Mayang, pastilah ketemu kakaknya."
"Karena aku harus kabur!" seruku agak histeris.
"Waktu itu kamu nggak kabur," kata Alfa, masih tampak bingung. "Kalian kayak deket. Dia juga anterin kamu pulang, belum lagi yang katanya sampai dia mengajarimu mengerjakan tugas matematika, tapi anehnya tugasmu masih utuh."
Aku tidak berkomentar dan menyuruh Alfa menjalankan mobil.
"Terus kenapa sekarang harus kabur?" Suara Alfa terdengar penasaran.
"Karena pelet cinta Adnan udah luntur," jawabku ngasal.
Alfa mengangguk. "Oh, bagus deh."
Lha, kenapa dia bilang bagus?
"Tuh si Mayang boncengan sama Adnan, beneran nih pergi?" tanya Alfa tanpa menatapku. Dia menstarter mobil. "Beneran nggak jadi ketemu Mayang-nya?
"Iya pergi. Gampanglah nanti," kataku seraya memasang sabuk pengaman.
Motor Adnan berhenti tepat di depan mobil yang kutumpangi. Aku bisa melihat Adnan dengan jelas. Dia terlihat baik-baik saja dan aku bersyukur akan hal itu. Setelah itu, aku beralih menatap Mayang yang menunjukku sambil memanggil namaku.
Alfa memundurkan mobil, kemudian melajukannya melewati motor Adnan. Sekuat tenaga aku menekan rasa inginku untuk kembali menatap wajah Adnan dan lebih memilih menatap Alfa dengan pandangan datar.
Sebelum berbelok menuju gerbang komplek, aku menoleh ke belakang. Berharap Adnan masih di tempat dengan memandang mobil yang kutumpangi dengan tatapan sedih. Akan tetapi, harapanku pupus. Baik Adnan maupun Mayang apalagi motor kebanggaan Adnan, tidak ada di sana. Sepertinya mereka sudah masuk ke dalam rumah.
Hidup memang tidak adil. Kenyataan memang lebih menyakitkan.
Aku kecewa.
***
"Hai, hai, eperibadeh."
"Ketemu lagi bareng saya, Dudung."
"Dan saya, Solikhin."
"Anjrit! Sia mah, itu nama Bapak aing kofloks."
"Hahaha .... Sateh nih. Ampun, ampun. Astagah! Bocah banget, sumpah! Hahaha ...."
"Oke. Huft! Lap keringat dulu. Maapken wahai pendengar setia. Temen saya ini emang lagi kekurangan sajen. Baik, malam ini, seperti biasa ketemu bareng kami berdua. Ya barang kali ada yang belum kenal, ayuklah kenalan. Saya Dudung."
"Dan—"
"Awas sia teh kalau ngelantur deui. Aing sambit pake golok!"
"Pfff! Saya Vano, dalam acara kesayangan kita."
"Mars versus Venus jomlo."
"Bagi kalian para fakir jomlo, setdah bahasa gue, hahaha, kalian bisa banget sms di 081234567xxx atau telepon di 6968xxx. Dengan nyebutin, nama, umur, ciri-ciri, dan nomer hape yang bisa dihubungi. Inget khusus yang masih jomlo lho, Blooo. Yang udah punya pacar, bini, bojo, suami, istri dilarang main-main di sini. Karena apa? Karena setia itu indah. Bukan 'selingkuh itu indah' ya. Catet bosquuuuee! Bagaimanapun jelas ada pengaruh yang sudah tentu salah. Titik. Ambekan dulu, Bro. Hahaha."
"Garing! Pret!"
"Cuy, jadi gini, ini bagi kalian yang menganggap selingkuh itu indah ya, sampai kapan lo-lo pada ngikutin nafsu bejad merusak moral, akhlak, dan mengarahkan kepada kebodohan permanen? Setialah pada satu pasangan atau monogami. Tapi, hidup ini pilihan. Iya memang, tetapi alangkah baiknya tegas dalam mengambil keputusan. Bersyukurlah ada yang mau menerima segala kekurangan kita. Percayalah, kita belum tentu baik. Kalau mau mendapat terbaik, berkacalah dulu pada diri sendiri. Jangan mau menang banyak. Setia itu sifatnya manusia bijak, cerdas, berakhlak, dan mendekatkan kepada kebaikan. Insya Allah."
"Busyeeet! Ceramahnya panjang amat, Pak, sampai pusing kepala Ipin nih ngedengerin petuah selevel Mario Teguh."
Aku tersenyum sebelum menyeruput teh hangat sambil mendengar kicauan pembawa acara radio kesayangan. Meletakkan mug, aku meraih ponsel. Kosong. Tidak ada pemberitahuan apa pun. Aku menghela napas, memencet menu kontak dan mencari nama Adnan. Aku menimang-nimang sebentar untuk mengiriminya pesan singkat atau langsung meneleponnya. Akan tetapi, pada detik kelima, aku memutuskan untuk tidak menghubunginya. Meletakkan benda tipis itu kembali di samping mug.
"... apaan banget sih."
"Apa? Emang nggak ada kompromi untuk itu."
"Tapi, namanya juga perasaan. Gimana bisa ngaturnya coba?"
"Kalau gitu, bisa keles putusin pacar dulu, baru deh jadian sama yang baru. Gitu aja repot."
"Kalau sayang dua-dua?"
"Mati aja lo kampret! Hahaha ... canda ding. Ya lo jangan maruk kitulah. Udah ah nanya mulu kaya wartawan. Emang sini artis? Hehehe. Eh, ada penelepon pertama nih. Angkat nggak, ya?"
"Jemuran kali diangkat."
"Hallo, selamat malam Mars versus Venus jomlo, siapa di situ?"
"Jones eperidaiii."
"Hahaha, oke deh jones eperidaiii, sok atuh perkenalkan dirimu."
"Ehem, loha! Aku Nurul Arini. 16 tahun."
Keningku mengernyit mendengar nama itu. Kok kedengarannya itu aku? Iya sih yang memiliki nama seperti itu banyak, tetapi entah kenapa aku merasa akan ada sesuatu yang menyebalkan bakal terjadi?
"Ciri-ciri, aku punya wajah cantik—of course. Kulitku putih bersih, hidung mancung, mata dan rambutku berwarna cokelat, tinggi yaa semampailah dan yang penting, aku jomlo."
Kerutan di keningku semakin dalam. Memangnya ada kesamaan semacam itu? Tidak mungkin. Pasti ini Nurul yang lain. Buktinya, pada bagian penyebutan jomlo. Ya, aku tahu hubunganku dengan Adnan tidak ada bayangannya, tetapi aku sudah memutuskan bahwa aku dan Adnan masih berpacaran. Bego, tidak?
"Bagi kalian para jomlowan yang menawan, memiliki hati sebening air, dan cinta kasih seluas langit, boleh deh hubungi aku di nomer 08567130xxx."
Mataku melotot. For god's sake! Itu nomor ponselku. Kok bisa? Gawat!
"Oke, Beibeh, aku tunggu telepon kalian. Buat Kak Dudung dan Kak Vano, tengkiyuuu sangat. Aku sayang kalian. Emmmuuaacch!"
Mudah-mudahan semua yang sedang mendengar acara Mars versus Venus jomlo pada budek. Kecuali, tidak untukku, tentu saja.
Dasar baji—tit!
Siapa coba yang berani main-main sebar nomor ponsel orang tanpa seizin pemiliknya? Awas saja kalau ketemu pelakunya, aku kruwes-kruwes sampe menjadi serpihan kerupuk kulit.
"Tengkiyu Nurul. Moga-moga segera melepas sandang jones eperidaiii-nya, ya."
"Yak, bagi kalian yang mau mengenal Nurul lebih dalam, monggo, silakan, cepetan sebelum diduluin sama yang lain-lainnya."
"Oke, kita ke lagu dulu saja kali ya. Nanti habis ini kita akan bacakan sms yang sudah bejibun minta dibabad habis. Gila, gila, gila! Ini yang jomlo banyak amat euy."
"Semuanya ... jangan ke mana-mana. Tetap bersama kami di Rassuci sembilan delapan point satu FM Kuningan friendly station. Cuuuuzzzzz!"
Lagu Call Me milik Radja Band mulai mengalun. Aku terlonjak kaget mendengar ponselku berdering nyaring. Kepalaku melongok, menatap layar, ada panggilan dari unknow. Aku mendesis kesal, tidak mengangkat panggilan itu dan langsung mematikan ponsel tanpa pikir panjang.
Kampret!
Aku melempar ponsel ke ranjang, menjadi malas memegang benda itu lama-lama, takut terkena sawan wangkeh. Eww! Bukannya aku mau juga sih.
"Nurul."
Aku menoleh. Terlihat Alfa membuka pintu dan berdiri di sana. Pandangannya mengedar ke seluruh kamar. Ketika melihat keberadaanku, Alfa berjalan menghampiriku.
"Mau beli martabak nggak?" tanya Alfa ketika sudah berada di sampingku.
Aku mengangguk. Rezeki nomplok tidak boleh ditolak. Alfa berjalan keluar kamar. Aku mengambil jaket dan memakainya lalu berjalan mengikuti Alfa yang ternyata menungguku. Dia bersandar di dinding. Ketika Alfa melihatku, dia baru berjalan mendahuluiku.
Selama di perjalanan, baik aku maupun Alfa terdiam. Di dalam mobil suara yang mendominasi adalah lagu yang terputar dari radio.
"Penginnya sih ke Mr. Bucks, tapi jauh banget. Di situ aja deh, tuh ada yang jualan di pinggir jalan," kata Alfa membuka percakapan lalu menghentikan mobil.
Aku dan Alfa keluar dari mobil. Dia memesan apa yang kusuka, martabak manis (cokelat, kacang, susu) lalu memesan martabak telur istimewa untuknya. Kami duduk lesehan sambil selonjoran, menunggu pesanan.
Lima menit kemudian, stresku kumat ketika Adnan mendadak muncul, duduk di samping Alfa, menunggu pesanan martabak juga. Dari sekian banyak penjual martabak, kenapa dia memilih di sini? Kalau sudah kepalang basah begini, bagaimana aku bisa kabur?
Indonesia latarnya eiy.. Keruen..... Jarang lho...
Comment on chapter Satu