Selesai mandi dan mengganti baju, gue memakai kaos oblong dan celana pendek sampai batas lutut. Sejenak gue tersenyum di depan kaca, kemudian hidung gue mengendus-endus kaos dan badan gue. Kening gue cepat merapat saat gue nggak menemukan bau yang biasanya nempel di badan gue.
“Apa yang kurang ya? Mandi udah, pake sabun yang sehat dan wangi, sabun datol. Keramas udah, pake sampo juga. Trus sikat gigi udah, malah gue pake garam dulu sebelum pake pasta gigi, kata Nyokap untuk mengurangi bau mulut dengan cara alami. Pake apa yang belum ya?”
Sejenak gue mengalihkan pandangan gue, trus tertuju pada meja, hingga akhirnya bergeser pada parfum di meja. “Ooo iya...gue kan belum pake parfum. Pantesan baunya ada yang hilang.”
Setelah itu gue cepat mengambil parfum, trus gue membuka kaos lagi dan gue semprotkan parfum favorit gue ke badan. Nggak terlalu banyak dan nggak terlalu sedikit, sedang-sedang aja, karena Allah suka yang pertengahan dan nggak suka yang berlebihan.
Selesai pakai parfum sejenak gue merapikan rambut gue, trus keluar kamar dan turun tangga, tapi belum sampai bawah gue berhenti melangkah di tangga rumah. Sejenak gue menghembuskan nafas saat ingat gue lupa membawa jaket, pagi ini kan gue mau mengantar Vita ke sekolahnya. Gue cepat balik naik bersamaan suara Nyokap keras memanggil gue.
“Deni...cepat turun.” Panggil Nyokap keras.
“Ya Bu...sebentar.” Setelah itu gue cepat naik ke lantai dua, trus cepat turun lagi ke lantai satu. Di lantai satu gue baru inget, gue lupa membawa dompet yang isinya cuma ada KTP, SIM dan STNK. Tanpa banyak mikir lagi gue naik ke lantai dua, trus masuk kamar dan mengambil dompet.
Setelah itu gue turun tangga lagi bersamaan Nyokap memanggil keras “Deni... cepat makan dulu... nanti keburu dingin.“
“Astaghfirullah haladziim, gue lupa bawa hp. Ah! Tapi itu nggak penting, jadi nggak usah dibawa. Siapa juga yang mau nelepon.” Di akhir perkataan gue tegas.
“Bawa aja Deni! Cepet naik lagi!” Bisik hati gue keras.
Sisi hati gue yang lain lebih keras bilang “Udah nggak usah dibawa, bikin capek aja naik turun. Nggak akan ada yang nelepon atau sms lo Deni!”
Sejenak gue terpaku memikirkan perkataan hati gue, trus gue bilang pelan “Ini yang malaikat baik mana dan yang setan jahat mana ya?”
“Deni...lama amat sih! Cepat turun!” Suara Nyokap tambah keras.
“Iya Bu...” Gue cepat balik naik ke atas trus masuk ke kamar gue, dan gue baru sadar kalo gue salah arah. “Astaghfirullah haladziim...kenapa gue malah ke kamar, gue kan mau turun.”
Gue cepat membuka pintu kamar trus keluar, tapi baru dua langkah mendadak gue berhenti di depan pintu. Sejenak gue menghela nafas, trus mengusap keringat di kening. Gue bilang “Ya udahlah gue ambil hp aja! Udah terlanjur naik sih.”
Gue cepat masuk kamar lagi dan mengambil handphone. Sebelum keluar kamar, sejenak gue tertegun dengan kedua sorot mata bergerak ke sana ke sini dan otak gue berpikir, mencari barang yang belum gue bawa. Tiba-tiba pintu kamar bersuara keras, menyusul suara lain “Den di...”
Sebelum suara Mang Encep di depan pintu kamar selesai, gue cepat keluar dan cepat turun, meninggalkan Mang Encep yang mendadak membatu di depan pintu kamar. Dengan terengah-engah gue langsung duduk di depan meja makan. Gue heran nih, melihat Bokap sama Vita yang nggak kayak biasanya, selalu cemberut kalo gue telat datang ke meja makan, tapi pagi ini Bokap sama Vita malah kelihatan santai.
“Sarapan paginya udah mulai ya? Kenapa Deni ditinggalin?” Tanya gue dengan nafas tersengal, trus mengusap keringat di dahi.
Sejenak mulut Bokap komat-kamit, trus nyeruput kopi panas. Abis itu bilang “Ya udah ayo kita berdoa dulu trus sarapan.”
Bokap pun segera memimpin doa, sementara kami bertiga menundukkan kepala dan menengadahkan kedua tangan. Setelah itu Nyokap mengambil satu mangkuk dari empat mangkuk yang tertumpuk di meja makan. Merasa heran kening gue langsung merapat melihat di atas meja makan ini cuma ada kerupuk, kecap sama sambel, kacang kedelai goreng, potongan daun seledri, dan sepiring suiran daging ayam. Di paling ujung meja gue melihat ada satu martabak keju di piring besar. Jantung gue sedikit tersentak, gue baru ingat Martabak Pelangi Una klasik max.
Gue cepat tanya “Bu, itu martabaknya tinggal satu atau temennya yang lain masih diangetin?”
“Tinggal satu itu.”
Membuat kedua mata gue sedikit terbuka lebar karena kaget, trus gue tanya lagi “Yang lain ke mana?”
Sementara itu terlihat dengan santai Vita mau mengambil martabak di piring, tapi gue cepat merebut piring dan martabaknya. Dengan cemberut gue bilang “Ini kan bagiannya Kak Deni. Pasti Vita dan Bapak nih yang ngabisin martabaknya.”
Sejenak Vita menghela nafas, trus bilang tegas “Kak Deni sih beli martabak nggak bangunin Vita, Vita kangen udah lama nggak makan martabak.”
“Deni, martabaknya masih enak walaupun kamu belinya tadi malam. Kamu beli di mana?” Tanya Bokap sambil tersenyum.
Gue nggak segera menjawab, tapi gue masih manyun, soalnya gue cuma disisakan satu potong dari sekian banyak martabak yang masih tersisa tadi malam. Padahalkan martabak keju itu kesukaan gue banget, huu uu.
“Udah udah udah, sekarang sarapan dulu. Tadi subuh Mang Encep masak bubur, karena persediaan makanan kosong, tapi untung tadi pagi ada yang jual ayam kampung. Tinggal disembelih aja sama Mang Encep, jadi suir ayam deh. Jadi pagi ini kita sarapan bubur ayam kampung.” Di ujung perkataannya Nyokap tersenyum lebar.
Setelah itu Nyokap menoleh pada gue dan bilang “Deni, nanti sepulang ngantar Vita kamu temani Ibu belanja ke supermarket trus pasar ya.”
Sejenak gue menghela nafas saat terbayang pasar tempat Nyokap belanja selama ini. Lemas gue tanya “Bu, kenapa sih nggak sekalian belanja di supermarket biar nggak usah muter-muter dan bolak-balik?”
Nyokap nggak menjawab, tapi memberi Vita dan gue semangkuk bubur. Eh si Vita malah yang menyahut tegas “Udaaah Kak Deni nggak udah protes, itu kan tugas Kak Deni, menemani Ibu belanja ke pasar.”
“Kriiiing...kriiing...krriiing...” Suara telepon rumah.
Sigap Mang Encep mengangkat telepon dan nggak lama kemudian Mang Encep menghampiri Nyokap, trus bilang kalo Bu Marwah telepon. Dengan senyum bahagia Nyokap pergi mengangkat telepon. Sesekali suara tawa Nyokap terdengar sampai ke ruanga makan sambil bilang iya dan iya. Setelah cukup lama, Nyokap pun kembali ke ruang makan dan duduk di sebelah Bokap.
“Deni, ingat nanti sepulang ngantar Vita, langsung pulang ke rumah, trus antar Ibu belanja. Kita ke supermarket dulu, trus ke pasar.” Suara Nyokap tegas.
“Iya Bu...”
Sedikit terkejut tiba-tiba gue ingat, gue kan mau bilang kalo gue suka Dokter Meyda dan gue mau melamar Dokter Meyda. Sejenak gue tertegun dengan kening merapat, sementara tangan kanan memegang sendok di atas bubur dalam mangkuk dan tangan kiri di atas meja makan, trus jari-jari tangan kiri bergerak perlahan. Perlahan juga wajah gue terasa kaku, lebih tegang dari sebelumnya, disusul kemudian detak jantung gue nggak beraturan. Rasanya gue tegang banget, kenapa ya? Gue pun mengusap sedikit keringat di kening, trus sejenak menghembuskan nafas.
“Deni, kenapa? Jangan bilang kamu lagi nyanyi lagu sedih dalam hati, jadinya kamu tegang dan gelisah seperti itu.” Tanya Bokap tegas sambil memandang gue.
Ternyata jantung gue yang semakin hebat berdetak membuat gue berkali-kali menghela nafas panjang, trus tanpa sadar tangan kanan gue rapatkan di atas dada kiri. Sementara Nyokap, Bokap dan Vita semakin serius melihat gue, hingga wajah mereka mendadak tegang.
“Deni, kamu sakit?” Tanya Nyokap cepat dengan gelisah.
“Deni, kita ke rumah sakit ya!” Bokap tegas sambil bangkit berdiri.
“Ahmm Deni...Deni...mau...Deni mau...”
“Mau apa?” Tanya Nyokap dan Bokap serentak sambil memandang gue.
“Kak Deni pasti mau martabak. Nanti Bapak belikan martabak pulang dari kantor, iya kan Pak?” Sahut Vita. Tanpa menjawab Bokap cuma mengangguk tegas tanpa mengalihkan pandangannya dari gue.
“Deni bilang mau apa?” Tanya Bokap tegas dengan wajah khawatir. Sembari mengangguk tegas Nyokap mengiyakan.
“Deni...mau ngelamar Dokter Meyda. Deni suka Dokter, Meyda.” Di ujung perkataan gue berhenti sejenak.
Tiba-tiba wajah Nyokap dan Bokap terlihat datar, kemudian terlihat lebih rileks, nggak setegang tadi. Setelah itu Bokap sama Nyokap tersenyum lebar, cuma Vita yang tiba-tiba cemberut sambil memandang gue. Trus Vita bilang tegas “Kenapa sih Kak Deni nggak bilang minta martabak aja? Supaya nanti dibelikan Bapak.”
Sejenak Bokap menghela nafas, trus melahap bubur lagi dan kerupuk. Nyokap juga santai melahap bubur lagi dan si Vita masih tetap cemberut, mungkin karena gue nggak bilang mau minta martabak ke Bokap.
Terpaksa nih gue harus bicara lebih tegas, supaya mereka percaya kalo gue serius. “Deni serius Pak, Bu. Deni suka Dokter Meyda dan Deni pingin....”
“Deni cepat habiskan buburnya, trus antar Vita ke sekolah nanti keburu siang.” Nyokap memotong tegas, sementara Bokap cuma tersenyum sambil mengangguk-angguk dan melahap bubur.
Lagi-lagi gue heran sama keluarga gue. Tiap gue mau ngomong serius pasti ujung-ujungnya kayak gini, gue dicuekin. Sekarang kan gue bukan anak kecil lagi dan udah nggak pakai popok, jadi gue kan berhak bilang suka sama Dokter Meyda, dan itu wajar dan normal soalnya gue cowok bukan cewek. Huu uu.
***
Sepulang mengantar Vita, gue cepat pulang ke rumah kayak pesan Nyokap. Pagi ini juga gue sama Nyokap pergi belanja. Seperti kemarin-kemarin, Nyokap selalu belanja di supermarket lebih dulu, trus Nyokap minta diantar dan ditemani belanja di pasar. Sesampainya di pasar Nyokap meminta gue menunggu di pos jaga dekat parkiran pasar, kata Nyokap sih ada yang mau ditemui dulu. Sebelum pergi Nyokap cuma ngasih uang untuk parkir dan beli bensin. Karena Pak Satpam yang jaga pos mendadak sakit perut, juga kebelet pupi alias BAB di WC umum, jadi Pak Satpam nitip pos jaga sama gue. Akhirnya gue seorang diri duduk menunggu di depan pos jaga yang kosong.
Semakin lama hari bertambah cerah dan malah kelihatan panas banget, tapi Nyokap belum balik juga. Membuat gue jadi nggak tenang menunggu Nyokap, soalnya gue khawatir Nyokap kenapa-kenapa. Akhirnya semakin lama hati gue semakin gelisah, karena gue juga menunggu kedatangan Pak Satpam yang nggak nongol-nongol.
“Haddduuuh pupi di mana sih Pak Satpam ini? Gue kan harus nyari Nyokap juga. Dan Nyokap lagi, bilangnya pergi cuma sebentar, tapi ini udah dua jam belum balik-balik. Haaa...”
Sambil manyun gue berjalan mondar-mandir, karena gelisah menunggu kedatangan Nyokap dan Pak Satpam. Mendadak suara klakson mobil yang keras dari samping kiri mengagetkan gue. Sambil mengelus dada gue menoleh ke pick up putih yang berhenti tepat di samping gue. Nggak lama kemudian kaca mobil terbuka, trus melongok dari dalam seorang laki-laki berkumis tebal.
“Bang, saya mau parkir di sebelah mana ini? Penuh semua, Abang tolong carikanlah tempat buat pick up saya ini.”
“Ehmm, yaaa terserah Bapaklah eh Om aja mau parkir di mana, yang penting jangan di tengah jalan.” Suara gue ketus.
“Ah, si Abang ini bisa aja.” Di ujung perkataannya laki-laki itu mengedipkan mata kanannya pada gue.
“Astaghfirullah haladziim...jangan-jangan Bapak eh Om ini suka jeruk makan jeruk, hiii serem...” Ucap gue pelan dan di ujung perkataan gue meringis.
Setelah itu pandangan gue cepat bergerak, mencari tempat buat parkir pick up si Bapak genit eh si Om genit ini. “Ah! Di sebelah sana Pak, eh Om di bawah pohon mangga aja biar teduh.”
Sejenak si Om genit memandang tempat yang gue tuduhkan. Setelah itu dia kembali memandang gue sambil tersenyum dan bilang “Oke, saya parkir di sana aja deh. Tapi boleh nggak kalau kuparkir hatiku di hatimu? Biar teduh juga.”
“Astaghfirullah haladziim...” Ucap gue pelan sambil meringis dan mengelus dada.
Sambil tersenyum si Om genit mengedipkan salah satu matanya pada gue. Membuat gue kaget dengan wajah kaku mendadak. Setelah itu pick up putih si Om genit melaju.
“Waduh, kayaknya tempat ini udah nggak aman nih buat gue. Gue harus cepet pergi sama scoopy, dan Nyokap... astagfirullah haladziim! Deni, lo kan bawa hp! Dasar lemot, telepon Nyokap sekarang.” Di akhir perkataan suara gue keras dan cepat merogoh handphone di saku jaket, dengan kedua mata yang selalu sigap bergerak ke kanan dan ke kiri. Soalnya gue khawatir si Om genit balik ke sini tanpa sepengetahuan gue.
Akhirnya telepon tersambung juga. Nggak lama kemudian Nyokap mengangkat dan menjawab “Halo assalammualaikum, kenapa Deni?”
“Waalaikumsalam, addduuuuh harusnya Deni dong yang nanya Ibu, Ibu di mana sekarang? Deni udah capek dan takut nunggu di pos satpam, Ibu cepet sini.” Di ujung perkataan kedua mata gue celingukan.
“Astaghfirullah haladziim. Ibu benar-benar lupa, kalau tadi pergi sama kamu. Ehmm gini aja, sekarang kamu masuk ke dalam pasar, Ibu tunggu kamu di lapak penjual asin.”
“Deni sendiri masuk pasar? Ibu...Deni kan nggak pernah sendiri masuk pasar. Lapak penjual asin kan banyak Bu, Deni nggak tahu yang mana.”
“Iya juga ya...ehmm ya udahlah gini aja, kamu pulang aja duluan sama belanjaan dari supermarket. Ibu nanti pulang naik taksi sama Bu Marwah, sama belanjaan Ibu juga.”
“Oooh jadi Ibu tadi janjian belanja sama Bu Marwah, yang temen Ibu itu? Kenapa nggak dari tadi Bu bilangnya? Jadi kan...”
“Tuuuut...tuuuut...tuuutt...” Telepon terputus.
“Kok mati sih?” Gue melihat layar handpone, trus ngecek batrei dan pulsa. Ternyata nggak ada masalah di handphone gue kok.
Kening gue pun berkerut, trus bilang “Oooh mungkin handphone Nyokap nih yang trouble kayak biasanya, suka lupa nge-charge handphone.”
Sejenak gue menghela nafas, trus bilang tegas “ Ya udah Deni akan patuhi perintah Ibu. Deni bakal pulang sekarang sama belanjaan Ibu, tapi Deni mau mampir ke bengkel sebentar dan Deni minta ijin pakai uang bensin.”
Setelah itu gue menenteng kresek belanjaan Nyokap dari supermarket, sambil terus waspada sama si Om genit. Setelah menemukan scoopy gue langsung cabut. Sebelum keluar pasar gue berpapasan sama Pak Satpam yang jaga di pos parkir dan gue bilang tegas “Pak, saya cabut dulu. Pos jaga saya serahkan kembali ke Bapak, kondisi aman terkendali.”
“Siap, diterima.” Pak Satpam tegas sambil hormat sama gue. Setelah itu gue sama scoopy langsung cabut.
Untuk menghemat waktu, gue mencari bengkel yang agak dekat dari pasar. Alhamdulillah masih ada uang bensin dari Nyokap dan tadi gue udah ijin pakai telepati untuk memakai uangnya. Hari ini gue mau beli ehmm yang buat menghilangkan goresan si scoopy, biar kelihatan mulus lagi. Sambil melaju pandangan gue sesekali tertuju pada kiri jalan dan kanan jalan, mencari bengkel motor atau mobil. Beberapa kali gue ketemu bengkel motor dan mobil, tapi beberapa kali juga bengkel-bengkel itu nggak buka alias tutup.
Akhirnya gue menemukan bengkel motor dan mobil yang buka juga, tapi gue baru sadar ternyata gue udah jauh dari wilayah pasar. Akhirnya Scoopy hitam manis ini berhenti di depan bengkel, trus gue turun tanpa melepas helem. Gue langsung berjalan ke depan etalase di dalam bengkel, tapi gue masih celingukan karena nggak ada satupun pegawai yang menghampiri gue, maklum mungkin karena banyak orang yang datang. Sedikit kesal gue alihkan kedua mata gue pada tempat lain. Mendadak kening gue merapat saat melihat seseorang yang gue kenal nih, walaupun baru namanya doang.
“Itu kan Kak Fifi, ngapain di bengkel? Masak Dokter bengkel eh ehmm Dokter mobil sama motor alias Montir. Hmm tapi kayaknya nggak mungkin Montir kalo dilihat dari pakaiannya sama dandanannya. Oooh mungkin Kak Fifi ini Bosnya bekel ini atau...lagi perawatan mobilnya.” Ucap gue sambil mengerutkan dahi, trus di ujung perkataan gue melihat nama bengkel ini tertulis besar di Dinding sebelah Utara “Bengkel Ongkit mobil dan motor”
“Ada yang bisa dibantu?” Tanya seseorang dari belakang gue.
Gue cepat menoleh dan balik badan. Sejenak gue tersenyum, trus bilang “Ehmm ini...saya cari...ehmm yang buat menghilangkan goresan di motor itu pakai apa ya?”
“Oooh untuk menghilangkan baret atau goresan?”
“Iya itu, apa ya?”
“Banyak Mas, bisa pakai KIT, bisa pakai amplas, trus...”
“Amplas? Yang buat menghaluskan besi itu, yang biasanya digunakan sama tukang?”
“Iya Mas pakai itu juga bisa, cuma beda di ukurannya.”
“Waduh, masak scoopy gue digosok sama yang kasar, malah tambah baret dong...” Ucap gue dalam hati.
“Tapi kalau nggak mau ribet dan banyak tahapan, Mas bisa pakai ini. Cukup dioleskan di bagian yang tergores aja, trus selesainya di lap sama kain halus.” Kata pegawai di depan gue sambil menunjukkan spidol.
Dengan kening merapat dan teliti melihat, gue membaca agak keras tulisan di spidol “Fix It Pro”
“Mas, semuanya jadi berapa? Saya bayar di depan ajalah, jadi nanti lusa saya tinggal ngambil aja.” Kata seorang cewek berkerudung di samping gue.
Sejenak gue menoleh, ternyata Kak Fifi yang di samping gue. Nggak lama kemudian Kak Fifi menoleh dan melihat gue. “Ehmm De...”
“Deni.” Gue memotong tegas.
Kak Fifi tersenyum lebar, trus bilang “Panggil aja Fifi, santai aja.”
“Oh ehmm...justru saya panggil Kak Fifi karena wajah saya lebih imut dari Kak Fifi.”
Sontak Kak Fifi tersenyum lebar, sementara gue sedikit tersenyum dan sedikit nyengir. Dalam hati gue bilang “Gue nggak kepedean kan?”
“Kak Fifi nggak lagi jadi Dokter mobil atau... ”
“Dokter mobil?” Kak Fifi mengulang sambil mengerutkan dahi.
“Ahmm iya. Dokter mobil alias montir.”
“Enggaklah saya nggak bakat benerin mobil atau motor, bisanya benerin sepedah gowes. Itu pun cuma mompa bannya.” Di ujung perkataannya Kak Fifi tersenyum lebar.
Sejenak gue tersenyum lebar juga, trus bilang agak tegas “Ooo berarti yang punya bengkel Ongkit ini.”
Kak Fifi nggak menjawab, tapi malah semakin lebar senyumnya. Akhirnya sebelum pulang gue sama Kak Fifi ngobrol sebentar di depan bengkel Ongkit, juga sambil menemani Kak Fifi nunggu taksi yang lewat. Ternyata Kak Fifi ini seorang guru SMA untuk pelajaran Bahasa Indonesia, juga Penulis artikel sebuah majalah Islam dan terkadang juga menulis artikel di kolom koran. Waaah kayaknya ilmu menulis gue bakal nambah nih, tapi...kalo menulis artikel apa sama dengan menulis novel? Kayaknya beda deh, eh bisa juga sama. Ehmm....bedanya apa ya? Kalo aku tanya Kak Fifi nih, dia menjawab bedanya cuma ada satu dan dapat dilihat jelas di kening seseorang, persamaannya juga satu dan dapat dilihat jelas di satu tempat. Nah! Apa ya, bedanya yang dapat dilihat di kening? Trus persamaannya di tempat mana? Tapi masalahnya Kak Fifi nggak mau kasih tahu, malah meminta gue mikir sendiri.
Tapi ya udahlah, nggak usah dipikir sekarang, yang penting gue nggak nyangka ternyata Kak Fifi orangnya santai dan nggak jutek. Kemarin aja waktu pertama ketemu, kelihatan jutek banget, sedikit senyum. Kayaknya hati gue semakin tenang nih, insya Allah nggak bakal baret atau ada goresan lagi. Soalnya gue kan dekat sama Nilam yang sepupunya Dokter Meyda dan sekarang gue dekat sama Kak Fifi, temennya Dokter Meyda. Mereka berdua itu bagaikan Fix It Pro buat hati gue, dengan seijin Allah Yang Maha Memiliki Hati gue. Subhanallaha...