Read More >>"> simbiosis Mutualisme seri 2 (Semua Baru Nih) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - simbiosis Mutualisme seri 2
MENU
About Us  

Serunya mendapat teman baru, apalagi teman baru gue ini adalah teman cewek pertama gue. Soalnya dari kecil gue nggak punya teman, dan sekali punya teman juga cowok yang rada-rada sama kayak gue, namanya Aldo. Selama gue kenal dan berteman sama Aldo, kita berdua selalu diledekin sama teman-teman, cuma gara-gara kita kayak anak kembaran. Gue sama Aldo selalu kompak jadi bahan ketawa teman-teman, sama-sama terlihat cupu. Semenjak saat itu gue sama Aldo berusaha menunjukkan kalo kita berdua bukan anak Ibu dan mama, walaupun selalu diantar ke sekolah, selalu beli susu kotak UTRA dan nggak ada teman yang mau dekat sama kita. Kita berdua pingin jadi anak gaul yang disayang sama Ibu dan mama. Juga harus jadi anak gaul yang nggak kebablasan, itu kata Ibu yang gue panggil Nyokap semenjak gue udah merasa lebih percaya diri kalo gue bisa lebih gaul dari mereka yang ngejek gue.

Gue cuma ingat pesan Nyokap saat itu sama gue “Kamu boleh jadi apapun, mau jadi orang seperti apapun terserah. Tetapi Ibu cuma pesan sama kamu, jaga iman Islam, sholat dan Alquran di hati kamu. Kalau kamu ingin seperti mereka, bukan berarti kamu harus masuk dalam lingkaran mereka. No! Jangan sekali-kali kamu salah membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Berteman sama siapapun dan menjadi apapun nggak boleh menggoyahkan keyakinanmu pada Tuhanmu dan selalu jaga sholatmu.”

Gue tersenyum lebar saat mengingat Nyokap bilang “No!”, soalnya Nyokap cuma bisa bilang “Yes” dan “No” aja kalo ngomong bahasa Inggris.

Scoopy hitam manis ini akhirnya berhenti di depan pagar besi rumah yang gue tempati. Gue sengaja nggak membunyikan klakson seperti biasa, biar Mang Encep nggak membukakan pintu pagar buat gue. Walaupun kemarin-kemarin gue membunyikan klakson di scoopy, itu bukan supaya Mang Encep membukakan pagar, tapi itu udah jadi kebiasaan sebagai tanda gue baru datang.

Setelah pintu pagar terbuka, pelan gue menuntun scoopy masuk ke halaman yang nggak luas. Di depan garasi gue turunkan besi di kolong scoopy. Sejenak gue mengamati scoopy, meneliti goresan di body scoopy sebelah kiri. Sejenak juga gue melihat jam di handphone, ternyata udah jam 11 siang. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum gue menjemput si Vita.

“Kayaknya...mmm nanti sore ajalah, eh mmm besok siang aja gue obati baret di body scoopy. Mending gue masuk dulu, trus istirahat bentar.”

Gue balik badan dan melangkah, tapi suara mobil yang berhenti di depan rumah ini menghentikan langkah gue. Sejenak gue menoleh dan melihat HRV hitam di depan rumah. Nggak lama kemudian pintu kedua terbuka dan jendela kanan depan perlahan terbuka.

Subhanallah...Dokter Meyda.” Ucap gue pelan sambil tersenyum memandang Dokter Meyda di dalam mobil di depan kemudi.

“Terima kasih Kak Mey...makasih Nilam...dadah...” Suara Vita agak keras di depan pintu pagar.

Sebelum mobil itu melaju sejenak Dokter Meyda tersenyum melihat gue sambil menganggukkan kepala. Dengan senyum bahagia gue pun membalas. Hingga HRV hitam itu melaju, tapi sorot mata gue masih mengikuti mobil itu.

“Kak Deni!” Suara Vita keras.

Astagfirullah haladziiim, nggak bisa lebih pelan lagi apa!” Gue kaget banget mendengar suara si Vita.

Sambil manyun si Vita bilang “Salah Kak Deni sendiri pake ngelamun segala. Hemm jangan-jangan Kak Deni ini beneran suka sama Dokter Meyda.”

“Kak Deni memang suka sama Dokter Meyda.” Gue tegas.

“Vita nggak percaya.” Celetuk Vita, trus masuk ke dalam rumah meninggalkan gue yang masih terpaku melihat si Vita.

Saat itulah otak gue berlari, nggak mau diem, tapi memikirkan perkataannya si Vita tadi “Vita nggak percaya!” Emangnya perkataan gue ada yang kurang? Atau ada yang salah? Atau kurang jelas di telinga si Vita? Kenapa si Vita nggak percaya sama yang gue bilang kalo gue suka Dokter Meyda.

Sigap kedua tangan gue cepat meraba-raba wajah gue, trus gue merapat. Apa ada yang salah sama wajah gue? Apa wajah gue masih kelihatan kayak anak cabe eh anak ayam eh anak...bawang. Jadi keluarga gue nggak percaya kalo gue bisa suka cewek, dan baru kali ini gue suka sama cewek. Sebelumnya...yang pasti gue nggak pernah suka atau tertarik sama jeruk eh cowok kayak si Om genit di pasar hii...serem, bisa dipecel sama Allah gue kalo kayak gitu.

Sejenak gue manggut-manggut, trus kening gue semakin rapat dan bilang “Wah wah wah...jangan-jangan ini efek keseringan maen dan keluar sama Aldo nih. Dari dulu kan gue nggak punya temen lagi selain Aldo.”

“Gue harus merubah diri nih! Ehmm merubah diri?” Di ujung perkataan gue mengerutkan dahi dan bingung sama maksud kata yang gue ucapkan.

Nggak lama kemudian sebuah taksi bercat biru berhenti di depan pintu pagar rumah ini. Gue cepat menoleh dan sejenak meneliti taksi itu. Setelah pintu terbuka ternyata Nyokap keluar sambil dipapah sama Bu Marwah, sementara supir taksi cepat mengambil belanjaan Nyokap di bagasi. Mendadak gue kaget dan cepat membuka pintu pagar, trus memapah Nyokap dan tanya “Ibu kenapa?”

Nyokap nggak segera menjawab, tapi sejenak melihat Mang Encep yang sigap keluar dari pintu samping, trus menjemput belanjaan dari Supir taksi dan cepat memasukkan ke dalam. Setelah itu Mang Encep memikul sekarung beras dari bagasi taksi.

“Bu, Ibu kenapa?”

“Nggak apa-apa.” Jawab Nyokap pelan.

“Hari ini Ibu kamu jadi pahlawan. Tante salut sama Ibu kamu, masih sama seperti waktu SMA, selalu jagoan.”

“Pahlawan? Selalu jago?” Gue mengulang dengan kening merapat, trus hati gue ikut ngomong “Pasti nih kayak dulu, Nyokap nangkep copet di pasar. Nyokap kan jago karate waktu SMA, tapi kok...Nyokap malah lemes sih.”

Setelah masuk ke dalam rumah Nyokap langsung duduk di ruang tengah dan sejenak Bu Marwah menemani Nyokap. Gue buru-buru membuat minum teh hangat untuk Nyokap, trus gue membawanya ke ruang tengah, tapi mendadak gue berhenti melangkah saat ingat gue lupa nggak membuatkan minum untuk Bu Marwah. Jadinya gue balik badan dan kembali ke...tiba-tiba Mang Encep terlihat berjalan di depan gue sambil membawa satu gelas minuman dingin rasa leci di atas nampan.

Sejenak gue menghela nafas, trus bilang pelan “Mang Encep emang selalu kejepit, ehhmm sedapit, selalu ada di saat kejepit alias darurat.”

Gue balik badan lagi dan ke ruang tengah bersamaan dengan Mang Encep, trus meletakkan teh anget dan minuman dingin rasa leci di meja. Setelah itu gue duduk di samping Nyokap yang masih lemas, sedangkan Mang Encep kembali ke belakang.

Sementara Bu Marwah meminum air dingin rasa leci, pelan gue pijit tangan Nyokap sambil tanya “Ibu kenapa sih jadi kayak gini? Tadi pagi kan nggak apa-apa.”

“Jeng aku pulang dulu ya. Istirahat, jangan lupa makan.” Kata Bu Marwah.

“Iya, terima kasih udah nganter ke rumah.”

“Iya Jeng, sama-sama.”

Setelah itu Bu Marwah pulang dengan taksi biru tadi. Sedikit manyun gue masih memijat tangan Nyokap, soalnya Nyokap nggak mau bilang apa yang terjadi dan membuat gue semakin khawatir. Gue yakin nih pasti ada orang yang jahat sama Nyokap atau mungkin Nyokap...jatuh karena gue nggak menemani belanja, jadi Nyokap kewalahan bawa belanjaan sendiri. Hmm kayaknya gue yang salah deh, nggak ikut menemani Nyokap belanja. Mendadak wajah gue pun lemes, karena merasa bersalah.

“Bu, nanti sore ke Dokter ya? Biar Ibu diperiksa, dikasih obat, jadi bisa cepet sembuh.” Ucap gue pelan.

Sejenak Nyokap menghela nafas panjang, trus perlahan menegakkan tubuhnya dan menatap gue yang masih memijit tangannya. Mendadak si Vita turun tangga sambil memanggil Nyokap “Bu...Ibu udah datang?”

“Ibu sakit.” Suara gue keras dari ruang tengah yang sebelahan sama tangga.

“Ibu kenapa? Kak Deni Ibu kenapa?” Tanya Vita panik dan di ujung pertanyaan suara Vita tegas sambil tegas juga menatap gue.

“Vita, Ibu nggak apa-apa.” Kata Ibu pelan.

“Pasti Kak Deni nih, yang nggak bisa jagain Ibu.” Kata Vita tegas sambil melotot pada gue. Sambil manyun gue nggak membalas perkataan si Vita, soalnya gue merasa kayak gitu.

 “Sudah-sudah...Deni, Vita. Kalian nggak tahu kan kenapa Ibu mendadak lemes begini?”

Tanpa menjawab dan manyun gue sama Vita serentak menggelengkan kepala. Trus Nyokap bilang “Vita mulai sekarang jangan suka nuduh orang tanpa bukti, bisa jadi fitnah itu, bahaya! Soalnya itu yang disukai Iblis dan orang yang suka mengumbar fitnah itu orang yang dilaknat Allah.”

“Iya Bu...” Kata Vita sambil mengangguk dan manyun.

“Kalian tahu kenapa Ibu sama Bu Marwah naik taksi?”

Tanpa menjawab dan manyun, gue menganggukkan kepala. Sementara Vita langsung melotot sama gue dan bilang tegas “Kak Deni kenapa...”

“Tadi itu selesai belanja di pasar Ibu sama Bu Marwah cari taksi, semua belanjaan Ibu dan Bu Marwah dibawakan sama kuli panggul. Kebetulan ada taksi berhenti di depan kita, trus Ibu langsung buka pintunya, tapi mendadak laki-laki gondrong menyusup ke taksi. Karena nggak terima, Ibu tarik rambutnya sebelum masuk ke dalam taksi. Akhirnya si laki-laki gondrong jatuh, dan Ibu yang narik rambutnya dari belakang juga jatuh. Tiba-tiba orang-orang di jalan teriak jambret sambil nunjuk ke arah laki-laki gondrong dan Ibu.” Ibu memotong.

“Jadi Ibu digebukin? Wah siapa yang berani gebukin Ibu, biar Deni yang bales.” Gue memotong dengan suara tinggi dan berapi-api. Vita juga sama marahnya kayak gue nih, bahkan kayaknya wajahnya lebih garang daripada gue sambil tegas mengiyakan dan mengangguk.

“Nggak ada yang gebukin Ibu. Ibu sakit gara-gara jatuh dan nggak sengaja kena pukul waktu melindungi si gondrong dari orang-orang yang mau main hakim sendiri.” Suara Nyokap tegas.

“Ooo...” Gue dan Vita serentak.

“Baru kali ini Ibu kena pukul, itu juga karena membela orang yang salah. Kenapa...” Sahut Vita.

“Nggak sengaja kena pukul.” Gue memotong tegas.

“Kenapa harus dibelain segala sih Bu si gondrong itu, dia kan udah ngejambret, jadi panteslah jadi bulang-bulanan orang-orang.” Tanya Vita.

“Karena Allah melarang kita menganaiaya sesama, jadi nggak boleh main hakim sendiri. Kalau dia punya salah, ya udah serahkan sama yang berhak mengadili, Polisi. Kalau dia nggak punya salah tapi dituduh orang berbuat jahat, ya udah jangan takut. Polisi juga hati-hati dan teliti memerikasa, memutuskan dan menetapkan berdasarkan bukti dan ahlinya. Itu semua karena Allah memerintahkan pada hamba-Nya untuk teliti sebelum memutuskan dan menetapkan, tidak boleh tebang pilih pada siapapun.”

 “Tin tin tin....tin...” Suara klakson mobil yang kayaknya di depan rumah. Sejenak Nyokap menoleh pada suara klakson mobil dari luar.

“Tenang aja Bu, Mang Encep pasti cepat keluar. Soalnya pendengaran Mang Encep itu kayaknya sensitif banget sama bunyi klakson atau bunyi lainnya.”

“Masak sih?” Tanya Vita sambil mengerutkan dahi.

“Bu, ada kiriman atas nama Bapak. Ini kertasnya, Ibu tanda tangan di sini.” Kata Mang Encep sambil tersenyum.

Sedikit kaget Vita menoleh pada Mang Encep, trus menggeleng-gelengkan kepala dan bilang “Waaah...”

“Tuh kan...” Sahut gue pelan.

Sejenak Nyokap membaca selembar kertas yang diberikan Mang Encep, trus mengangguk-angguk pelan, hingga akhirnya tersenyum. Abis itu Nyokap bilang sama Mang Encep “Turunkan semuanya, trus langsung dipasang di kamar.”

“Siap Bu.” Mang Encep tegas, trus balik badan, tapi Mang Encep balik badan lagi dan tanya “Di kamar siapa Bu?”

“Ya di kamar Mang Encep. Semuanya ditaruh dan dipasang di kamar Mang Encep.” Kata Nyokap.

Sejenak Mang Encep tertegun dengan kening berkerut. Gue sama Vita juga membatu, memikirkan yang dimaksud Nyokap. Apa ya yang mau ditaruh dan dipasang di kamar Mang Encep?

“Bu...” Ucap gue sama Vita serentak.

“Vita mau lihat yang datang siapa.” Kata Vita sambil cepat pergi ke depan.

“Deni juga.” Gue cepat menyusul Vita.

“Oh saya oge1 Bu.” Sahut Mang Encep, trus cepat mengikuti gue dan Vita.

Di teras rumah gue sama Vita kaget sama barang-barang yang diturunkan dari mobil boks. Sementara Mang Encep cepat memberi kertas pada pegawai yang mengantar barang. Setelah itu dengan wajah datar Mang Encep memandang AC yang masih dibungkus kardus, TV layar datar yang masih dalam kardus, trus kulkas kecil yang masih dalam kardus juga.

“Ibu...” Ucap gue sama Vita trus lari ke dalam rumah, ke ruang tengah dan langsung nempel di dekat Nyokap.

“Bu, jadi Ibu tadi juga belanja AC, TV, trus kulkas kecil?” Tanya gue tegas.

“Buat Mang Encep?” Vita memotong tegas.

Sejenak Nyokap menghela nafas, trus bilang “Memangnya kenapa?”

Mendadak gue sama Vita tambah manyun dengan mulut semakin rapat.

 

                                                                                     ***

Selesai sholat maghrib berjamaah di masjid Baiturrahman di kompleks gue ini, semua jamaah berhamburan keluar masjid. Bokap masih seperti kebiasaannya, selalu jalan santai di depan gue sambil ngobrol sama temannya yang kayaknya kali ini seumuran sama Bokap. Gue emang udah paham sama kebiasaanya Bokap yang sering melupakan gue, jadi gue nggak merasa kesal. Tetapi kenyataannya malam ini gue malah nggak tenang, bahkan malam ini gue merasa lebih manyun dari biasanya. Mungkin karena gue memikirkan alasan yang belum dikatakan Nyokap membeli barang-barang tadi siang buat di kamar Mang Encep. Segitu istimewanyakah Mang Encep buat Nyokap sama Bokap? atau Nyokap sama Bokap punya alasan lain yang belum gue tahu.

Pandangan gue kembali beralih ke depan, trus mengerutkan dahi saat gue nggak melihat Mang Encep di depan Bokap, yang begitu keluar dari masjid langsung ngibrit pulang ke rumah, subhanalah...Mang Encep. Mendadak gue berhenti berjalan saat gue teringat Dokter Meyda. Gue cepat balik badan, dan mendadak jantung gue tenang banget berdetak saat melihat Dokter Meyda. Pelan gue bilang “Subhanallah, Dokter Meyda selalu jalan tenang di belakang.”

Sambil tersenyum gue menunggu Dokter Meyda yang terlihat jalan sendirian. Kayaknya malam ini Nilam nggak sholat ke masjid. Pelan gue bilang “Alhamdulillah...

Mendadak wajah gue kaku, gue kaget karena bilang alhamdulillah saat tahu Nilam nggak ke masjid. Dalam hati gue bilang “Astaghfirullah haladziim. Maksud gue nggak gitu ya Allah...bukan nggak suka dan melarang orang ke masjid buat beribadah pada-Mu. Gue yakin Engkau lebih tahu apa yang gue maksud. Mohon ampuni gue Ya Allah.”

Setelah itu senyum gue mengembang saat menunggu Dokter Meyda yang berjalan seorang diri masih jauh di belakang gue, tapi tiba-tiba seorang Ibu yang terlihat udah lumayan tua berjalan di samping Dokter Meyda. Sejenak mereka bertegur sapa dengan ramah, trus jalan bareng sambil ngobrol kayak Bokap sama temannya. Subhanallah...rupanya Allah nggak mengijinkan gue deket-deket sama Dokter Meyda, mungkin karena bukan muhrim, belum halal jalan berdua. Sepertinya gue harus intropeksi diri nih, jangan terlalu berharap bisa dekat alias berdua sama seseorang yang bukan muhrimnya. Karena bisa bahaya! Setan ada di mana-mana dan selalu tiba-tiba muncul, tapi untung malaikat juga ada di mana-mana dan selalu tiba-tiba muncul juga. Hmm gue curiga nih, jangan-jangan...Ibu itu malaikat yang menyamar, soalnya Ibu itu mematahkan harapan gue untuk bisa jalan berdua sama Dokter Meyda malam ini, masya Allah. Alhamdulillah Allah masih menolong dan mengingatkan gue.

Subhanallah...” Ucap hati gue, saat Dokter Meyda dan Ibu agak tua yang nggak gue kenal udah di depan gue.

Sedikit gugup gue mengucap salam “Assalammualaikum Bu Dokter...”

“Waalaikumsalam..” Jawab Dokter Meyda sambil tersenyum. Disusul Ibu di sampingnya.

“Boleh saya...jalan bareng Bu Dokter?”

Sejenak Dokter Meyda mengerutkan dahi dan nggak segera menjawab. Saat itulah gue cepat menyela “Ehmm ada yang mau saya tanyakan, tentang...jantung.”

“Ooh boleh, ayo Nek.” Di ujung perkataan Dokter Meyda menoleh pada Ibu agak tua yang dipanggil Nenek.

Akhirnya kita bertiga jalan bareng malam ini. Hati gue bahagia walaupun ada Nenek di tengah-tengah kami, tapi itu nggak masalah. Mungkin Allah pingin melindungi gue dan Dokter Meyda dari setan-setan yang tiba-tiba nongol di antara dua muda-mudi.

 “Oh, ehmmm Nilam nggak ke masjid ya Dok eh ehmm Bu Dokter?”

“Iya, Nilam lagi halangan jadi nggak ke masjid.”

“Ooo...” Ucap gue pelan sambil manggut-manggut.

“A...” Ucap gue sama Dokter Meyda bersamaan. Akhirnya kita berdua nggak jadi ngomong.

“Bu Dokter dulu aja.” Kata gue cepat.

“Tadi mau apa?” Tanya Dokter Meyda sambil sejenak menoleh.

“Ehmm...” Gue nggak melanjutkan perkataan, soalnya gue bingung mau tanya apa ya? Alhamdulillah sekarang jantung gue nggak ada masalah semenjak gue tahu kalo yang menikah kemarin-kemarin itu adiknya Dokter Meyda. Tapi gue udah terlanjur bilang mau tanya soal jantung nih. Mmm ya udahlah, gue tanya aja yang ada di otak gue sekarang.

“Biasa Dok eh Bu Dokter, masalah jantung bocor. Kalo...ehmm kenapa jantung seorang bayi bisa bocor?”

Sejenak Dokter Meyda menghela nafas, trus bilang sambil sesekali menoleh pada gue “Penyebab jantung bocor pada bayi hingga saat ini masih diteliti lebih jauh oleh para ilmuan. Ada beberapa sebab yang sudah ditemukan, yang memiliki peran paling utama adalah karena faktor keturunan, dari orang tua yang memiliki cacat jantung bawaan. Yang kedua bisa disebabkan oleh anak-anak itu sendiri yang memiliki kelainan genetika, seperti sindrom drown, yang sering memiliki kelainan jantung bawaan. Yang ketiga, ini dari pola hidup Ibu saat kehamilan pada trimester pertama, misalnya merokok, karena zat-zat yang dikandung dalam rokok sangat berbahaya dan berpengaruh dalam pembentukan organ calon bayi. Sebab lain yang bisa jadi masalah pembentukan jantung bocor pada bayi, pada trimester pertama yaitu bisa karena tuturan cahaya rontgen, trauma fisik jiwa, minum jamu atau pil kontrasepsi.2”

“Ooo gitu ya...” Ucap gue pelan, trus otak gue mikir dan hati gue bilang “Kalo gue masuk yang mana ya, kenapa Jantung gue punya kelainan? Apa...”

“Bruuuk!!”

Astaghfirullah haladziim, tiba-tiba si Ibu eh Nenek jatuh! Kayaknya kesandung deh. Sigap Dokter Meyda dan gue menolong si Nenek yang gue hapal wajahnya karena sering ke masjid, tapi gue nggak tahu namanya.

“Nek, nggak apa-apa? Mana yang sakit?” Tanya Dokter Meyda sambil membersihkan rok panjang si Nenek.

“Nggak apa-apa Nak, nggak apa-apa. Nenek cuma kaget, sepertinya ada lubang di situ.” Di ujung perkataannya si Nenek menoleh ke belakang. Sigap gue sama Dokter Meyda melihat jalan yang dilalui tadi, dan oooh ternyata benar kata si Nenek, ada lubang kecil yang nggak kelihatan.

“Ya udah, bisa jalan lagi kan Nek?” Tanya Dokter Meyda.

“Bisa Nak.”

Setelah itu kami bertiga berjalan lagi. Mungkin karena terlalu khawatir Dokter Meyda sampai menuntun si Nenek. Subhanallah...perbuatan yang harus di contoh nih, selalu was-was menjaga orang-orang yang udah tua alias lansia, supaya makin dicintai Allah.

“Aduh duh duh...“ Ucap si Nenek sambil sedikit meringis dan berhenti berjalan.

Dokter Meyda langsung tanya “Kenapa Nek? Ada yang sakit?”

Masya Allah...lutut Nenek kok jadi sakit ya kalau jalan?”

“Mungkin bekas jatuh tadi Nek?”

“Mungkin Nak.

“Emmm rumah Nenek masih jauh?” Tanya Dokter Meyda.

“Masih Nak, di blok F nomer 22, dari sini lurus.” Jawab si Nenek.

“Ehmm...boleh saya minta tolong?” Di ujung perkataan Dokter Meyda menoleh pada gue.

Sedikit kaget gue cuma manggut-manggut, soalnya baru kali ini Dokter Meyda minta tolong sama gue, jadi gue merasa seperti terhipnotis nih. Astaghfirullah haladziim....

“Ehmmm...” Dokter Meyda nggak melanjutkan.

“Minta tolong apa Dok eh Bu Dokter?” Tanya gue cepat.

“Apa Deni bisa gendong Nenek Jum ini ke rumahnya?”

Gue langsung bengong, hampir syok mendengar permintaan Dokter Meyda. Astaghfirullah haladziiim...cobaan nih buat gue atau mungkin ujian, gendong Nenek-Nenek...masya Allah.

“Kalau Deni sedang sakit, biar saya papah Nenek Jum aja.” Sahut Dokter Meyda.

“Ehmm enggak kok, nggak sakit. Saya baik-baik aja Dokter, ehmm Bu Dokter.” Gue terbata-bata.

“Bener nggak sakit? Jantung Deni nggak apa-apa?”

Tiba-tiba senyum di wajah gue mengembang, saat Dokter Meyda tanya jantung gue. Subhanallah...perhatian banget sama gue yang baru ketemu beberapa kali. Gue bilang “Insya Allah nggak apa-apa Bu Dokter. Cuma gendong Nenek kan nggak buat capek, malah jadi seneng kan sambil jalan sama Bu Dokter. Mmm maksudnya sambil melanjutkan ngobrol tentang jantung tadi.”

Dokter Meyda pun tersenyum lebar, trus sigap gue menggendong Nenek Jum di punggung gue. Masya Allah...Nenek yang baru gue tahu namanya ini, ternyata lumayan berat, walaupun badannya kecil. Nih Nenek Jum pasti sering minum susu tiap pagi, jadi udah tua tapi masih kuat jalan ke masjid.

Akhirnya sambil jalan bareng sama Dokter Meyda gue menggendong Nenek Jum di punggung gue. Rasanya nafas gue udah setengah berhenti setengah berlari nih, nggak lama kemudian keringat di dahi mulai keluar juga. Masya Allah...capek banget, padahal baru setengah jalan dan gue sampai nggak sempat tanya-tanya masalah jantung ke Dokter Meyda. Dokter Meyda juga nggak tanya gue, mungkin karena Dokter Meyda udah tahu jantung gue saat ini. Nggak lama kemudian sejenak kami berhenti di perempatan jalan, sambil ngos-ngosan gue baca pelan “Astaghfirullah haladziim...”

Sementara Dokter Meyda cuma tersenyum melihat gue, trus tanya “Masih kuat?”

“Oh, masih Dok eh Dokter, Bu Dokter.” Jawab gue tegas dengan wajah tegas.

Sejenak Dokter Meyda melihat jalan ke arah Blok F, trus melihat jam tangannya, kemudian Dokter Meyda bilang “Saya nggak bisa menemani Nenek Jum ke rumahnya, setelah ini saya ada janji. Jadi...”

“Nggak apa Dokter, eh Bu Dokter. Saya sendiri yang antar Nenek Jum pulang. Lagian Blok F udah deket kok.” Gue memotong sambil terengah-engah.

Sambil tersenyum Dokter Meyda bilang “Ya sudah, terima kasih. Nek saya pamit dulu, nanti Nenek istirahat di rumah, dikasih minyak tawon atau minyak kayu putih kakinya yang sakit. Kalau masih sakit cepat periksa ke Dokter, ya Nek.”

“Iya Nak, hati-hati.”

Sebelum pergi sejenak Dokter Meyda tersenyum dan menganggukkan kepala pada gue. Dengan bahagia gue pun membalas, malah lebih lebar dari senyumnya Dokter Meyda. Semua rasa bahagia yang gue rasakan berakhir saat suara Nenek Jum yang keras dan tiba-tiba mengagetkan gue yang masih memandang Dokter Meyda yang berjalan menjauh. Haaa akhirnya gue berjalan lagi, tertatih sambil menggendong Nenek Jum menuju Blok F ke rumah nomor 22, rumahnya Nenek Jum.

Hingga akhirnya alhamdulillah....setelah berjuang menggendong Nenek Jum, gue sampai juga di rumahnya. Nenek Jum udah gue turunkan dan langsung disambut anak perempuannya. Sejenak gue cerita sama anaknya Nenek Jum yang udah punya cucu, kenapa Nenek Jum sampai gue gendong. Setelah itu gue langsung pulang sambil terengah-engah dan memegang dada kiri gue, tepat di atas jantung. Gue merasa badan gue jadi pegel-pegel nih, tapi emang berat sih tuh Nenek Jum, atau gue yang payah, gendong Nenek-Nenek aja udah sakit semua badan gue.

Mendadak gue berhenti melangkah sebelum rumah yang gue tinggali, melihat pick up hitam sedang menurunkan spring bed, lemari baju dan kaca di depan rumah gue. Kemudian tiga orang membawa semua barang-barang itu bergantian masuk ke dalam rumah.

“Siapa yang pindahan ke rumah gue? Masak Nyokap mau terima anak kos di rumah? Atau jangan-jangan...”

Terlihat Bokap keluar rumah trus menoleh kanan kiri, dan akhirnya berhenti pada gue. Kayaknya Bokap mencari gue yang nggak pulang-pulang abis sholat maghrib di masjid nih. Dengan tegas Bokap menatap gue, tapi dengan lemas gue berjalan sambil memegang dada kiri gue. Seketika itu wajah Bokap berubah dan berjalan cepat mendekati gue.

Sambil merangkul gue Bokap tanya “Deni kenapa kamu? Kamu sakit?”

Gue nggak menjawab, tapi cuma menggelengkan kepala. Setelah itu Bokap dan gue berjalan lagi ke rumah sambil tangan Bokap merangkul gue. Ternyata Nyokap sama Vita yang cemberut udah duduk di depan meja makan. Melihat gue lemas Nyokap cepat berdiri dan menghampiri. Vita juga nggak ketinggalan paniknya kayak Nyokap dan Bokap.

“Deni kenapa? Jantung kamu nggak apa-apa? Pak, kita ke rumah sakit sekarang.” Tanya Nyokap cepat dan di ujung perkataan Nyokap menoleh pada Bokap.

“Deni nggak apa-apa Bu, Pak. Cuma capek aja.” Kata gue lemes, trus mata gue mengintip masakan Nyokap di meja makan.

“Dan laper.” Ucap gue sambil melihat makanan di meja makan.

Akhirnya gue sama keluarga gue makan bareng malam ini, sambil sesekali ngobrol saat nggak ada makanan di mulut. Seperti kata Bokap kalo mau ngomong itu, makanan di mulut harus ditelan dulu. Ternyata barang-barang di kamar Mang Encep yang semuanya baru, sengaja dibelikan Bokap. Kata Bokap, kamar yang di tempati Mang Encep itu udah lama kosong jadi cuma ada kasur kapuk, meja kecil dan lemari butut. Sebelumnya kamar itu selalu kosong, cuma terkadang aja dipakai Nyokap untuk menaruh barang-barang yang udah tua. Itu karena selama ini Bokap sama Nyokap udah lama nggak memakai jasa pembantu, jadi Bokap sengaja membelikan spring bed, lemari baju dan kaca besar. Bokap juga menjelaskan kenapa membelikan TV, kulkas kecil, bahkan AC. Itu karena Bokap merasa bertanggungjawab, menghargai dan perhatian terhadap pegawainya, walaupun cuma pembantu. Apalagi Jakarta ini panas jadi pembantu juga harus pakai AC, biar nggak masuk angin dan pastinya ada kulkas kecil, biar Mang Encep nggak sungkan atau malu sama kita kalo mau air dingin atau makanan dingin.

Sengaja juga Bokap membelikan TV untuk di kamar Mang Encep. Sama kayak AC dan kulkas kecil, Bokap pingin Mang Encep bisa nonton TV dan nggak sungkan atau malu dengan kita. Dan yang paling penting adalah sebagai bentuk perhatian dan apresiasi Bokap pada Mang Encep supaya tambah rajin kerjanya. Di akhir ternyata Nyokap memberi Mang Encep sarung, baju koko, peci, sajadah dan Quran. Subahnallah...semua baru nih! Mang Encep...bikin ngiri gue sama Vita aja!

 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Oge (bahasa sunda)= juga

2. http://jantungbocor.org/jantung-bocor-pada-bayi  

2. http://mediskus.com/penyakit/jantung-bocor

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Nobody is perfect
12138      2173     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Babak-Babak Drama
421      287     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Story Of Me
3192      1148     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
You Can
994      630     1     
Romance
Tentang buku-buku yang berharap bisa menemukan pemilik sejati. Merawat, memeluk, hingga menyimpannya dengan kebanggaan melebihi simpanan emas di brankas. Juga tentang perasaan yang diabaikan pemiliknya, "Aku menyukainya, tapi itu nggak mungkin."
NAZHA
396      296     1     
Fan Fiction
Sebuah pertemuan itu tidak ada yang namanya kebetulan. Semuanya pasti punya jalan cerita. Begitu juga dengan ku. Sang rembulan yang merindukan matahari. Bagai hitam dan putih yang tidak bisa menyatu tetapi saling melengkapi. andai waktu bisa ku putar ulang, sebenarnya aku tidak ingin pertemuan kita ini terjadi --nazha
The War Galaxy
11253      2327     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9214      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5727      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance