Sekolah libur untuk musim dingin, bagian dalam kamar Sara tidak ada penghangat ruangan. Maka itu, Sara terbangun di pagi hari sekali.
Segelas air putih hangat lumayan menghangatkan dirinya. Kulit dinginnya yang menyentuh gelas hangat menyadarkannya dari sisa-sisa rasa kantuk. Lalu secara abstrak ia mengambil baju rajutan coklat di lemari, dan keluar lagi menuju balkon atas.
Arah balkon harus melewati kamar tidur Theo, dan ketika ia mengintip kamar itu, tak ada orang di dalamnya. Rasa kepanikannya terusik. Sara coba mencari di dapur, seperti yang terakhir ia datangi, nihil. Di ruang tamu lantai bawah juga tak ada. Akhirnya ia mencari di lantai atas, tak lain di balkon.
Sara mendesah lega, “aku mencarimu seisi rumah. Malah berleha-leha di sini.”
Theo perlu mendongak untuk melihatnya di belakang dan membalas dengan senyuman, terlalu malas untuk beranjak dari kursi yang kelewatan nyaman itu. ”Walaupun sudah minum susu buatan Robyn, insomniaku tidak hilang juga. Jadilah aku di sini.”
“Kangen, eh?”
Senyuman tak ikhlas Saralah jawabannya. “Kita sudah punya ikatan beban tak tertulis, jadi jangan menghilang begitu saja.”
“Jadi karena insomniaku kumat, semuanya salahku?” Theo tidak terima begitu saja. Wanita terpintar yang ia kenal itu menggeleng sambil buka tutup botol wine pakai tangannya dengan mudah. Sekali lagi Theo dibuatnya takjub.
“Bagaimana bisa–“
“Setidaknya kau bawa ponselmu kemana-mana.”
“Hei, tadi kau sungguhan pakai tangan?”
“Dan jangan sampai rumah ini terlacak juga, kau punya tanggung jawab besar di sini.”
“Ryland sudah mengurusi itu, bukan?”
“Tidak bagus mengandalkan orang lain selamanya.”
“Bukan itu maksudku–hei masa pagi begini sudah minum, berikan padaku.” Wanita itu menolak tangan Theo.
Sara meneguk sekali bir tersebut. “Kau ingin aku kehilangan akal mencarimu dan mengira kau sudah mati di luar sana?” Theo berhenti membantah Sara.
Hampir sebulan mereka ada di sisi satu sama lain, mungkin itu yang membuat Sara merasa tak nyaman ketika berbeda ruangan dengannya. Dan selama itu juga ia tahu wanita ini termasuk orang yang sulit menerima perbedaan, itulah mengapa ia tidak menyalahkan perilaku Sara ini.
“Baiklah. Maaf.”
Sara mengangguk dan memalingkan wajah. Dua kalimat itu sanggup membuatnya lega dan hati serasa membuncah dalam satu masa.
“Karena itu, ponselku ‘kan ada di kamar,” ucap Theo menggantung. Sara menunggu kelanjutannya.
“Ambilin.”
“Oh.” Urat-urat bermunculan di leher dan dahi Sara saking gondoknya.
“Sekalian aku mau ambil gelas dan coklat juga.” Sebelum turun, ia menepak dahi Theo dengan telapak tangan terbuka, hasilnya jidat Theo penuh berwarna merah. Syukurlah amukan Theo tidak kedengaran sampai bawah.
...............
Darius berdiri di tengah arena, guyuran hujan yang deras tidak ia pedulikan.
Pedang panjang yang berlumuran darah, telah habis bersih saking lamanya ia berdiri disitu. Lukanya sudah bersih dan kulitnya menjadi dingin. Bibir bawahnya juga sudah berubah warna ungu.
Entah kerasukan setan apa dia. Tapi ketika ia minta orang untuk menjadi lawannya kepada Gideon, pria tua itu senang sekali dan memberinya sebanyak yang ia mau. Darius benar-benar tidak peduli lagi.
“Sudah cukup,” gumam Darius dan melepas pedang itu.
Darius seharusnya bersiap-siap menghadapi hari esok. Besok adalah permulaan rencana gilanya. Dan semoga rencananya itu akah berhasil. Semenjak mencuri dengar Gideon dan Douglas, obrolan paginya bersama Douglas, betapa kacau pikirannya.
“Maafkan aku Theo.”
Lelah untuk menyalahkan diri sendiri. Bingung ingin menyalahkan siapa. Ia tidak tahu cara menentukan siapa yang harus bertanggung jawab. Hanya ini yang bisa ia lakukan, walaupun membawa nama pengorbanan.
...............
Ryland menurunkan kertas korannya. “Aku tidak salah dengar, Robyn?”
Wanitanya menoleh tanpa merasa aneh, “Wajar ia minta begitu. Lagipula Sara masih hapal jalanan di sini.” Sara mengangguk santai dan mengambil selembar roti.
“Aku memang dari dulu ingin jalan-jalan di Tropea ini,” ucap Theo gamblang, namun merasa canggung, karena sepertinya ia meminta bukan di waktunya. “Tapi kalau masalah ini sudah selesai. Maksudku di lain waktu saja, nggak sekarang juga.”
Ryland menggeleng, “Kau hampir membuat kolesterolku naik.”
“Astaga, sudah setua itukah? Aku tidak sadar. Makanya makan yang benar.”
Tisu Ryland kepalkan dan melempar langsung ke jidat Sara, “Siapa yang bikin aku suka marah-marah? Kau juga penyebab aku begini, bodoh.” Robyn mendehem keras, Sara dan lelakinya langsung terdiam. Theo hampir tertawa jika Sara tidak mencubitnya di balik meja makan.
Setelah selesai makan, Sara dan Robyn yang membersihkan meja makan. Theo menawarkan tapi ditolak oleh mereka, akhirnya ia bergabung dengan Ryland yang berujung mengobrol pagi.
Robyn minta bantuan Sara membersihkan rumah. Ryland pergi sebentar karena urusan kerjaanya. Theo juga turut membantu dua wanita tersebut. Jadilah seharian mereka sibuk beres-beres.
Waktunya Robyn pergi ke rumah sakit. Acara bersih-bersih rumah telah usai.
Theo duduk istirahat di meja makan, setelah dua jam mengepel tiga lantai rumah ini. Sara membuka kulkas namun apa yang ia cari tidak ada. “Robyn, apa tidak ada kaleng bir?” Sang suster muncul dari teras rumah. “Tidak ada yang mau minum kaleng bir di sini selain dirimu.”
“Sara, tadi pagi kan sudah.” Wanita muda itu melotot kepada Theo.
“Aku kira alcoholic pada dirimu sudah hilang Sara,” ucap Robyn berkacak pinggang. Theo baru tahu. Karena selama perjalanan ia tidak pernah melihat wanita ini minum ataupun mabuk.
Sara menggaruk rambutnya salah tingkah, “Untuk hal itu susah kutinggalkan, bibi.”
Hatinya terenyuh saat dia memanggilnya bibi. Bukannya ingin membenarkan, tapi daripada ia melampiaskan dengan cara yang lebih salah, mau bagaimana lagi. Robyn menyanggul rambutnya dan mengeluarkan uang pas untuk Sara.
“Sekalian beli bahan masakan untuk malam dan esok pagi.” Bahagia sekali Sara dikasih uang jajan.
“Hati-hati dijalan bibiku sayang!” ucap Sara dari balik pintu, Robyn melambaikan tangan dan berlalu pergi.
“Mau keluar sekarang juga?” Tanya Theo. Sara menutup pintu dan memasuki ruang tamu tempat Theo berada. Ia ikut duduk di sofa dan menyalakan televisi. “Nanti sore. Tunggu Ryland pulang. Kenapa?”
“Aku kira sekarang. Mau ikut.”
“Nggak boleh.”
“Argh kenapa? Bosan tahu.”
Sara kasih gameboy dan menunjuk ke arah laci dengan dagunya, “kaset gameboy-nya ada di sana. kalau bosan main itu, kau bisa lihat rak buku di sebelah dapur, masih jenuh juga? Coba main gitar sana, tuh di belakangmu.”
Theo melihatnya datar walaupun di tangannya gameboy itu sudah nyala. “Kamu itu beneran nggak tahu apa pura-pura nggak peka. Dan juga aku tidak tahu cara main gitar, asal kau tahu.”
Ia menoleh kearah Theo setengah hati, “keluar sama saja mati.”
“Bisakah tidak mengucapkan kata sakral itu?”
Sara gemar sekali membuatnya cepat tua. Ia mengusap rambut pria itu yang semakin kesal. “Jangan berpikiran aku mengurungmu di sini. Ingat, hanya sementara sampai menunggu konfirmasi dari Ryland. Jika situasi mulai aman, aku rela jadi tour guide-mu di sini.”
Sara memakai jaket dan sepatu boot lamanya. “Tempatnya juga tidak jauh, aku tidak akan lama.” Namun raut wajah Theo masih tidak memberi izin Sara untuk pergi.
“Aku punya kekuatan lebih darimu.”
Ia mendecih kesal, “aku bisa menjaga diri.”
Theo menggembungkan pipinya. “Aku punya insting lebih tajam darimu.”
Ia mengambil uang tadi dari meja kecil dekat pintu. “Kalau begitu, ingatkan aku siapa yang menyelamatkanmu dari peluru di rumah sakit.”
Sara tersenyum, melihat Theo gelisah. “Aku janji akan mengajarimu bermain gitar.”
Perasaan tidak nyamannya masih hinggap di hati. Theo mengawasi Sara yang berjalan semakin jauh. Rambutnya yang coklat semakin bercahaya, sinar matahari terbenam menyirami seluruh tubuhnya, hingga menghilang ke bilik bangungan sana.
...............
Haruskah? Bisakah? Apakah ini sepadan dengan derita anak gadisnya, atauhkah kurang? Dan haruskah ia berbuat lebih?
Ia sudah muak, tidak ingin lagi mendengar suara keributan orang berkelahi dan aroma bau tidak sedap khas penjara. Darius begitu rindu suara burung berkicau di pagi hari dan aroma bunga.
“Aku mau tanya padamu.” Kebisingan orang-orang yang sibuk berkemas, Douglas bilang ada apa sambil memasukkan pisau hitam favoritnya di saku tersembunyi.
“Apa status Elena saat ini?”
“Kenapa kau bertanya hal seperti itu?”
Setelahnya ia menyesal untuk bertanya. Karena pikirannya akan menggila, tubuhnya tidak akan stabil layak biasanya, matanya akan memerah setiap malam. Gerakan Douglas berhenti. Ia benci melihat senyumannya.
“Itu masa-masa yang sudah kadaluarsa. Berhenti memikirkan hal tak penting dan bantu aku bereskan ini.”
Sialan itu bilang putrinya tidak penting.
Hatinya sungguh merasakan kehampaan sekaligus perih yang luar biasa. Tak lagi berlubang, nanah telah mengering, menghitam seperti lubangan hitam. Cahaya terakhirnya telah direnggut. Apa lagi yang bisa ia lakukan di bumi ini?
Di balik kaca helmnya, seorang wanita muda bercengkrama dengan penjual dan sesekali menertawakan sesuatu. Darius menggeram tanpa suara. Apa yang ia tertawakan? Ini sangat tidak adil.
“Maafkan aku, Elena.”
Darius menyalakan motor, kali ini harus merasa yakin. Ia telah merasakan dendam. Ia berhak melakukan pelampiasan yang setara.
“Hai, Sara.”