Api menyengat matanya.
“Oh Theo yang malang,” Caesar menghirup rokoknya dalam-dalam, lalu puntungnya ia matikan, di lutut kanan gladiator kesayangannya. Theo menahan dirinya untuk tidak berteriak keras.
“Kenapa kau menahan rasa sakit, hah? Teriak saja. Berteriaklah sesukamu.” Pria-pria di belakang orang tua ini mulai menertawakannya, Gideon tidak menegur pula.
Sepertinya ungkapan kacau belum cukup. Aliran merah di sekujur tubuhnya tidak membuat Gideon hatinya luluh. Itu malah membuatnya semakin ingin meruntuhnkan Theo. Hatinya sudah terkubur lama hingga ia tidak merasakan empati.
Di ujung ruangan sana, Darius hanya bisa merapikan peralatan bedahnya.
“Darius–” ucapan Theo dipotong karena pukulan, kemudian tendangan bertubi-tubi diterimanya. Theo merasa mual tak terhingga. Ia tidak mengerti apa lagi salahnya? Ia juga memenangkan pertandingan, mendatangkan harta hasil Caesar menang judinya, tambah lagi Darius meluluh lantakkan lawannya juga. Kenapa hanya ia yang disiksa?
“Kau lemah dibanding Darius. Kau petinju yang lemah.”
Untuk mengeluarkan amarahnya pun setengah-setengah. Matanya memerah, ditambah lebam di lipatan matanya tidak membuat ia terlihat garang seperti biasa. Caesar mendecih remeh melihat dirinya terlihat seperti sampah.
Theo mengalihkan pandangannya ke Darius. Pria itu hanya melipat tangannya tanpa ekspresi apa-apa. Benar-benar dingin. Kedua kalinya ia merasakan, perasaan yang sama semenjak skandalnya.
Apa yang di dalam pikirannya? Dengan muka seperti itu ia tidak bisa menebak rencana apa yang akan dijalaninya. Atau bahkan ia tidak punya rencana sekalipun, menganggap janji waktu itu hanya ucapan belaka, dan membairkannya hidup seperti ini selamanya? Alias tidak peduli?
Ia tidak bisa membiarkan ini.
“Aku kuat.”
Gideon menyuruh semuanya berhenti mengebuk dia. Gigi taringnya kelihatan jelas saking lebar senyuman liciknya. Telunjuknya menyuruh yang lain menyingkir, ia masih menunggu Theo.
“Aku tantang kau, Darius. Kubuktikan aku yang terkuat disini.”
Darius tersenyum miring.
.......
“Kau benar-benar agresif soal menang ya.”
“Shut the hell up, go away.”
“Aku merasa terjebak olehmu Darius. Tapi aku tidak tahu kenapa.”
“Karena kau idiot,” ucap Darius dan menepak jidatnya jahil.
Yang mana sisi asli sebenarnya? Pria yang dinginnya merawat orang-orang atau pria buas yang haus menghantam segala yang menantangnya? Manusia macam apa dia? Psiko alami atau asli mengidap kepribadian ganda?
“Ditutup mulutnya,” Darius membuka baju kaosnya yang berlumuran darah, menampilkan tubuh sesungguhnya seorang dokter, serta nampak jelas luka-luka samar di sekujur tubuhnya. Ia mengambil handuk basah nan lusuh lalu mengelap mukanya, “Wah, seriusan, kau segitu termenung apa terpana melihatku tadi?”
Theo menutup mulutnya dengan tangan, “can’t tell, don’t know.” Theo rasanya ingin mengebuk pria di depannya ini. Bilangnya ia tidak suka berkelahi bla bla bla, dan lihat lah tadi. Tersenyum puas sehabis mengalahkan lawannya.
Darius terkekeh kecil sambil menggulung kain putih di tangannya, kemeja doker lusuhnya diganti kaos krem berlengan panjang dengan celana bernada sama. Sedangkan Theo masih memakai baju sebelumnya, warna hitam serta celana warna yang sama seperti Darius.
Suara sorakan manusia membuat Darius lebih mendekat karena Theo yang berbicara pelan. “You say what?”
Ini kesempatan dia.
Theo menepak kepala Darius yang lebih tinggi darinya, sedikit, dengan kepuasan hati.
“Apaan sih?!”
“Aku kesal. Bye.” Theo jalan ke depan melambaikan tangan tanpa melihatnya, meninggalkan Darius yang bengong dan berubah memasang wajah kesal kesumat. Kemudian dia mengejar Theo.
Dan menendang bokong orang itu ke depan, sangat tidak santai.
“Ha! Akankah Darius melawan Theo?” Seluruh lautan manusia bersorak setuju. Mendorong Theo untuk lawan Darius, yang dimana sang dokter lagi memasang senyum misterius.
Ah Theo mengerti.
“Drama lagi?” tanya Theo bersuara kecil, namun karena gerakan mulut Darius mengatakan iya. Theo mendesah pelan, dikiranya saat di siaran tv saja ia harus memasang wajah palsu, namun karena ide Darius, mau tidak mau ia ikut.
Ini terkesan melelahkan, which it is.
Gideon terlihat jelas sekali menunggu saat-saat momen ini.
Memberi mereka berdua waktu melukai satu sama lain.
Sang dokter terengah-engah. Percayalah, diantara lawan yang pernah ia tandingi, hanya pemilik nama belakang Masimov ini saja yang membuat dia kewalahan seperti ini. Barulah ia mengakui kemampuan Theo hebat bukan main.
“Heh, dokter,” Darius merespon dengan muka risih.
“Segini saja kekuatanmu?” Untung saja baik wibawa, sifat, dan pemikiran Darius lebih dewasa, jadi ia tidak terpancing begitu saja, dan ia hanya menyengir licik.
“Kau akan mati begitu aku mengerahkan seluruh kekuatanku.” Theo sekuat mungkin tidak menahan napasnya, hanya ia saja yang tahu napasnya tidak beraturan. Darius menerkam Theo duluan, memegang kedua pundak sang petinju kencang sekali. “Lagipula, kau memang harus menang di pertandingan ini.”
Theo mengambil sabit di sorong kanan, ia menyerang Darius tanpa keraguan. Mata Darius melebar namun untung bisa dihindari serangan itu, tanpa menunggu waktu Theo mengayunkan sabit itu ke Darius, membuat pipi tirusnya terluka, walaupun hanya goresan tipis.
Satu goresan, dibalas dua goresan. Satu lebam, hasilnya belasan lebam.
Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau berpura-pura kalah. Mereka terihat pure ingin mendapat kemenangan. Sangat menakjubkan betapa lihainya dua orang itu berperan.
“Cepat cari kelemahanku. Aku sudah mulai lelah.”
Theo melempar pisau ke arahnya. Untung saja hanya terkena bagian pelipis saja, iuka gores kecil. Kini Theo yang menerkam Darius. “Kalau begitu kau menyerah saja.”
“Kau bercanda? Orang-orang tidak akan menganggap pertandingan yan serius kalau begitu. Kau ingin memakai gelar terkuat itu kan disini? Cepat kalahkan aku.”
“Kau adalah orang pertama yang meminta kepadaku seperti itu.” Theo menanamkan sabit itu di pundak kanan Darius, ia mengerang kecil saja. Tapi genggamannya di lengan Theo tidak kendor juga. Namun tidak membuat urung niat Theo menghantamnya sekali lagi.
“Mau tahu? Kau itu orang yang sangat mudah di tipu. Dan kau mau-mau saja bertemen dengan psikopat manipulatif seperti diriku. Seharusnya kau mengucap syukur, karena aku bukan Douglas ataupun Gideon.”
“Apa kau bilang?”
“Lihat itu, mudahnya terpancing amarah.”
Senjata panjang yang memiliki rantai panjang itu diarahkan ke Theo, menyebabkan pria tersebut terkena luka tebas di rusuknya. Theo bertahan dengan lutut bertumpu, bercak-bercak darah menetes membanjiri arena.
“Jangan sampai lengah begini di arena selanjutnya. Harus jadi rahasia kita berdua saja, bagaimana?” Suara datar nan mencekamnya Darius tidak lagi membuat Theo takut, karena emosi negatif sudah mengelubungi pikirannya.
“Jika kau menang, rencanaku akan berjalan mulus. Kau adalah objek utama dalam rencanaku.”
Theo tidak senang mendengar ada kata objek dari bibir Darius. Terkesan ia diperalat lagi. Tanpa berpikir Theo meninju wajah Darius. “Aku tahu kau punya ide jenius untuk kabur dari neraka ini, tapi aku bukan objek, bukan hak milik siapapun.”
Sabit tadi dicabutnya dengan paksa. Selagi Darius lengah karena cabutan tadi, dengan secepat kilat Theo mengunci tubuh Darius dan melakukan smack down handalannya.
Mata hijau Theo menatap kebawah, langsung ke mata Darius dengan dingin. Sang dokter malah yang tertawa puas.
“Puas?”
“Kau punya harga diri yang tinggi, Theo.”
Theo membuang sabit itu sembarang arah dan mendecih kesal, “kau membuat cukup kekacauan akan tubuhku. Cepatlah bangun dan bereskan lukaku.”