Theo sepenuhnya seorang diri dalam rumah tersebut. Menahan dirinya untuk tidak mengelilingi rumah ini, namun rasa penasaran akan diri Sara memenuhi pikirannya. Ia bahkan tidak tahu kalau Sara penggemar coklat kelas berat, namun ogah minum susu putih ketika sedang mengorbol dengan Ryland. Robyn yang bilang semalam.
Pria itu membuka foto lembaran demi lembaran, album berganti album lainnya. Baik Robyn maupun Ryland, mereka berusaha menyenangkan hati Sara dengan tulus. Theo bisa melihat dari wajah mereka ketika berpose. Like, siapa yang tidak akan terlena akan keindahan kota tepi laut ini?
Mereka menghabiskan waktu, dan juga memori kamera di Centro Storico. Bahkan Sara, memakai kaus putih berlengan pendek ikut berpose konyol dengan Ryland di Pinturicchio. Padahal itu tempat–yang harusnya–bernuansa romantis dan cantik, dan mereka mampu merubah semua itu. Sorenya, langit didominasi oleh oranye kemerahan dan matahari yang terbenam, dua orang tadi bersepeda di pantai, yang sepertinya Robyn yang mengambil momen itu.
Dan foto terakhir, biasa saja. Mereka bertiga, layaknya keluara mini yang bahagianya sedang makan di restoran lokal. Di bawah foto tercantum tulisan,
Misi terakhir! Sara akhirnya tertawa di sepanjang hari tanpa secuil air mata. Ingatlah hari ini Sara, karena dirimu layak tertawa dan bahagia di sini.
Hidup tidak selalu di atas, dan tidak selamanya menangis terus menerus. Sara telah melalui hari ke hari dengan sukses. Theo merasakan hangat dan manis lewat tulisan itu, bahkan seperti kecipratan bahagia hanya melihat Sara yang tertawa lepas di foto itu. Setidaknya ia bisa membayangkan kota Tropea yang legendaris ini dari itu.
Senyuman Theo melebar. “Good work, Sara.”
Suara pintu di tutup membuat Theo terjaga, melihat Ryland yang langsung melewatinya ke dapur membuat waspadanya berkurang. “Di mana Sara?” tanya Ryland. Theo pun menjawab beli makanan dan sebentar lagi akan kembali. Ryland mengecek waktu di jam tangannya, menandakan waktu sore akan habis sedikit lagi.
“Mungkin sibuk menawar harga,” gumam Ryland. Theo mengangkat bahu saja, namun benaknya ada benih kekhawatiran, namun ia tahan.
“Jadi, bagaimana?”
Ryland meneguk air putih. “Susah sekali buat orang percaya. Pemalsuan kematianmu sangat kelihatan asli. Aku bisa saja membawamu tapi. . .,” ia menatap Theo yang berdiri di depannya, “Sara yang tidak mau. Terlalu bahaya katanya, tapi memang benar sih.”
“Apa maksudmu?”
“Kau pikir saja, tidak ada yang menyinggung investigasi ulang insiden itu, apakah ide ‘orang berderajat tinggilah yang menutupi’ tidak terlintas di kepalamu?”
Theo terdiam. “Jadi maksudmu, ada yang mau menutup mulut demi Gideon?”
“Atau menutup mulut Gideon, ataupun juga menutup mulut mereka. Namun Theo, tidak adakah yang ganjil pada malam itu? Orang penting atau kejadian apalah?” Sayangnya ia jawab menggeleng.
Ryland berpikir keras. Kasus ini sangat minim bukti, bahkan petunjuk sepele apapun tidak ia temukan. Seandainya ada pihak lain yang menjelaskan, mungkin ia dapat. Hanya dapat informasi dari pihak Theo saja tidak kuat, jelas sekali. “Apa kau tidak sekutu di tempat itu?”
“Ada seseorang tapi. . Terakhir kali ia meneleponku sebelum ke rumah sakit, sejak itu ia tidak menelepon dan membalas pesanku, Benar-benar tidak ada kabar,” ucap Theo yang tertunduk memandangi layar ponsel yang mati.
Theo mendongak, menatapnya agak sayu. “Aku tidak bisa menelepon duluan, karena akan terdeteksi sinyal masuk, dan kalau Darius ketahuan, selamanya ia tidak akan bisa keluar dan aku tidak mau selamat sendirian.”
Ryland sudah mengetahui tentang microchip. Sial, alatnya Douglas tidak bisa dilacak olehnya. Hingga tim Ryland kesusahan, ia hanya bisa menyampaikan kata menunggu untuk Theo. “Tapi aku tidak bisa menunggu selamanya.” Ryland juga merasa gelisah dan semakin gelisah yang hanya bisa dipendam,
Ia mengangguk paham. “Aku tahu.”
Pria itu coba mengobrol dengan Ryland, coba mengusik pikirannya yang beracun, namun matanya tidak berpindah dari jarum jam. Dia mendesah berat, dan dengan langkah tergesa-gesanya ia mengambil jaketnya, lalu hendak pergi.
“Hei, itu jaketku, bukan?” Tanya Ryland bingung, Theo juga ikut melihat jaket yang ditangannya. “Harus sekarang ya berdebatnya?”
“Jaket yang kutinggalkan di tempat Sara? Kenapa kau yang–kembalikan.” Ryland hendak mengambil dari Theo, namun kalah cepat. Lagi, tapi Theo sudah terlanjur memakai jaket tersebut. Ryland menatapnya tidak percaya. “Ya tuhan.”
“Aku bisa kedinginan kalau tidak pakai ini. Kalau aku kedinginan siapa yang mau mencari Sara? Oh my god, you are so–hhh,” Theo berkata dengan suara meninggi. Ryland menatapnya masih tidak percaya, ia menjitak kepala anak itu.
“Hadeuh, kau ini berlebhian. Drama queen. Dia akan kembali sebentar lagi.”
“Dia pergi dari lebih dari lima jam! Aku yang heran mengapa kau tidak ada khawatir secuilpun.”
Ryland menolehkan kepalanya dengan cepat, lalu berpikir lagi. Dia membuka ponselnya dan layarnya menampakkan sebuah lokasi. Awalnya Theo tidak mengerti tujuan dia, tapi ketika melihat ada dot merah yang diam saja, nalarnya baru jalan.
“Kirim aku alamat lokasinya.” Ryland mengangguk dan ikut bergegas bersamanya. Beruntungnya jalanan tidak terlalu ramai, dan sudah menjadi kebiasaan Theo memakai kupluk dan topi, ia menuju ke tempat Sara.
.......................
Deruman mesin hal pertama yang menjumpai Sara. Dalam posisi tidurnya ia bisa melihat langit bintang sedang berkelap-kelip. Bulan sabit yang muncul dengan sempurna, perlahan pudar karena awan yang menutupinya.
Sejak kapan malam terasa begitu cepat?
“Kau sudah bangun, putri tidur.”
Siluet bayangan dari bilik rongsokan mesin. Di sebelahnya ada mesin penggiling yang menyala. Sepertinya dari situlah suara yang membangunkan Sara. Wanita itu coba bangun dan bergerak mundur. Tapi tidak bisa. Dengan tangan terikat dan kaki terborgol, tak ada yang ia bisa lakukan.
“Simpan energimu.”
Orang ini mengangkatnya dengan bajunya, mencekiknya tiba-tiba namun ia bisa bangun juga. Kursi kayu yang reyot menjadi tampuannya. Orang itu berdiri di atas lampu yang buram, setidaknya siluet hitam itu berkurang dan tergantikan wajah yang tidak akan ia kira.
“Kau. . . orang yang menyapaku sebelum. . .” Orang itu tersenyum licik.
Sara terdiam menahan takut, amarah dan bingung sekaligus. “Cepat, beritahu aku. Apa yang kau mau? Siapa kau?”
Orang itu membuka tudungnya perlahan, menampakkan wajahnya. “Ia pernah menceritakanku kepadamu, kenapa kau tidak tahu aku?” Mata Sara membelalak lebar. Apa-apaan orang ini. “Kau tidak membelot, bukan begitu Darius?”
Pria itu tertawa keras. Suaranya yang membahana seperti auman beruang dalam gua. “Mau pilih yang mana? Aku yang menggotongmu sampai sini atau Gideon yang menyeretmu ke sarangnya?”
Wanita itu meneguk ludah. Tidak ada setengah jam Sara mengerti mengapa Theo tidak berani menentangnya. Orang ini memang beraura mencekam. “Aku butuh kejelasan. Kau berpihak kepada siapa?”
Darius tersenyum tanpa menjawab.
.......................
“Bagaimana? Sudah ketemu?”
Theo menggeleng lemas. Ia juga bingung kenapa bisa seletih ini, walau hanya berlari mengitari beberapa komplek saja. Ryland memberinya sebotol minum dan langsung habis.
Ryland menengok kearahnya, Theo yang lagi duduk jongkok sambil memegangi kepalanya frustasi, ia hanya menghela napas. “Theo, jangan berpikiran yang negatif, belum tentu benar. Hanya membuatmu semakin kacau.”
“Bagaimana jika pikiran kacau ini benar? Apa yang harus aku lakukan?”
“Biar aku–“
“Jangan dulu,” potong Theo.
“Argh! Lalu maumu apa?” Ryland jadi ikutan frustasi. Di kepalanya hanya ada satu solusi, yaitu menghubungi rekan-rekannya.
“WellI, aku susah mempercayai mereka.”
Ryland mendecih, “Seperti kau pernah menemui mereka saja.” Kemudian pria itu melihat lagi pelacaknya, dot merah itu masih di tempat yang sama, alias tempat mereka berdiri. Di gang sekecil ini, ia jadi ragu orang-orang melihat Sara disini, saking sepinya. Theo mengabaikan Ryland yang sibuk dengan pelacaknya. yang ia gagal abaikan titik air yang semakin lama menjadi guyuran deras. Theo melepas topinya sementara dan mengadahkan kepalanya menghadap langit hitam.
“What? why’d you cry, sky?”
“Jangan pernah mengolok ciptaan Tuhan.”
Theo memainkan rambutnya dengan kasar. “Anggap saja aku sedang menyindir diriku sendiri.”
Bagaimanapun, kilatan cahaya kecil menyita perhatian Theo. Pria itu jalan mendekat. Ketika sudah di ujung lorong nan gelap tersebut, ia menemukan ponsel yang mereka cari. Namun tidak dengan pemiliknya.
“Ry, aku menemukan ponselnya.” Ryland menghampirinya tergesa-gesa, “Tapi Sara tidak ada.”
“Kalau begitu mundurlah, jangan menyentuh ponsel itu. Aku yang akan menyelidiki tempat ini.”
Gundukan pasir yang terbentuk aneh, seperti ada sesuatu yang diseret, atau seseorang. Sebotol bir kecil yang pecah beserta isinya yang sudah hilang tercecer di jalanan, namun tidak ditemukan jejak darah. Bekas pisau di tembok, ada lebih dari satu. Dibalik sarung tangan hitamnya, ia bisa merasakan struktur yang dalam itu, bahwa lawan Sara serius ingin menyerangnya.
Dengn bukti yang sedikit ini, hanya ada satu kemungkinan. Kemungkinan yang membuat ia geram.
Seseorang tidak ingin anaknya pulang ke rumah.