Theo duduk di kursi lipat dari kayu, berusaha keras mengabaikan terik matahari yang semakin meninggi. Mumpung lagi ada kesempatan, ia ingin berjemur setelah sekian lama tidak berjumpa dengan sang surya.
Sara berdiri di depannya, memandangi kota Tropea, yang terletak di selatan Italia, yang kononnya didirikan oleh Hercules. Sara bahkan bisa menikmati pemandangan Laut Tyrrheninan dari atap rumah, sambil memakan nduja[1] buatan Robyn kesukaannya.
“Hei."
“Apa?” tanya Sara sambil menyuap pastanya.
Theo nggak mau kalah dengan ricciarelli[2] di tangannya, yang satu ini asli buatan Ryland. “Aku yang di belakang melihatmu seperti Helios.“ Sara yang berdiri menghalangi sinar matahari menoleh kepadanya.
“That’s a man, bro,” Sara tersenyum melihat Theo tertawa akan jawabannya. “Bukannya seperti Hades?”
Biskuit kedua dihabiskan Theo, “Itu aku. God of the dead and underworld.”
“Kalau begitu, aku jadi Até, karena aku, pada faktanya, tidak ada sinar masa depan,” ucap Sara dengan nada bercanda dan Theo bermuka masam. Sara kelewatan merendahkan dirinya. Ia tidak menyukai itu.
“Sara. . .”
“Atau seperti Mania,” lanjut Sara.
“Uh-huh, no no no,” Theo menjernihkan tenggorokannya, “Tidak ada untungnya meremehkan dirinya sendiri.” Sara menyilangkan badannya.
“Ucap seseorang yang hobinya merutuki sendiri.”
Gerakan telunjuk pria itu menunjukkan tidak setuju, “Tapi aku memang idiot. Kau wanita jenius, dan kau mengutuk diri sendiri yang bahkan bukan kau penyebabnya, bukan kau juga yang melakukannya.”
Sara terdiam. Merasakan adrenalin di sekujur tubuh. Hatinya memberontak berkata setuju, namun isi kepalanya terus meracuni dirinya. “Aku tetap tidak seperti Helios, aku juga tidak punya kerajaan emas seperti Helios.”
“Tempat ini kerajaanmu, Sara.” ucap Theo lembut. Sara tahu ia hanya ingin menghibur dirinya. Sara tertawa kecil. “Ini bukan rumahku, Theo.”
“Rumah Robyn, Ryland, dan Sara,” ralat Theo. Sara menggeleng tanpa melepas senyuman. “Tempat tinggalku di Carcassone, yang terakhir kuketahui jadi tempat panti jompo.”
“Theo. Layaknya gula merah yang dimasukkan ke dalam kopi hitam, gula itu akan larut namun tidak mengubah warna kopi tersebut. Gula itu aku, di dunia yang tidak mengenal hati, aku terlahir dari dunia itu. Si kopi hitam. Sekeras apapun aku berusaha menjadi terbaik,” suara Sara mulai gemetar, “Sepintar apapun aku menghindar dari kesialan, mereka tahu tempatku berada.”
Tatapannya tidak bisa diartikan sebuah kata-kata. Sebagian dirinya Theo juga berpendapat sama. “Tapi tidak setiap jalan, setiap pilihan akan berakhir menjadi buruk, atau lebih buruk. Jadi apa kau berpikir bertemu denganku adalah sebuah kesialan?”
“Oh God, absolutely no,” jawab Sara tanpa ragu. Theo mengusap air mata Sara yang sedikit lagi menyentuh tanah. “Kau. Theo Masimov, teman pertama yang tidak meninggalkanku tenggelam. Bahkan dia ketakutan melihatku,” Sara enggan menyebut namanya. Semenjak kejadian itu, Tonya menghilang begitu saja.
“Dia masih kecil, wajar kok.” Wanita itu masih keras kepala dan Theo membungkam mulut Sara dengan selusin biskuit sebelum dia bicara lagi, “Ingat kataku ini. Tidak ada yang boleh mengontrol dirimu, yang punya berhak atas dirimu namanya Sara. Aku yakin sikap keras kepala dan kejeniusannya akan mendukung.”
Sara terkekeh-kekeh. “I’ll tell her.”
Theo memasang senyum tidak tega, “Sara, aku tahu bukan siapa-siapa, kakak kamu bukan, teman mungkin,“ Sarapun juga memasang wajah tak enak padanya, “kau bisa cerita denganku, si orang asing ini. Apapun.”
.......
Sementara Theo sedang mandi di kamar belakang, Ryland berbicara dengan Sara di teras. “Kau ingin di sini apa di apartemenku?” Sara menggeleng tidak tahu. Ia masih bingung apa yang harus dilakukan.
Karena itu ia mengganti topik, “bagaimana?”
Ryland menggeleng. “Tidak ada catatan yang berkaitan dengan nama ‘Valhalla’ dan selama aku tahu, tidak ada juga yang pernah melaporkan Theo menghilang, Tapi aku ingin bertanya padamu,” setelahnya Sara merinding mendengar akhir kata Ryland.
“Kau tahu skandal kebakaran kapal pesiar delapan tahun lalu? Bagaimana kalau aku bilang ada kaitannya dengan skandal itu?”
.......
Langkah kaki yang menguasai seluruh lorong gelap, tangan-tangan yang menggapainya, berteriak bebaskan, lepaskan, tak ingin berada disini hingga suara menjadi sekecil semut.
“Diamlah kalian!” sahut suara yang entah dari bilik mana. Namun tidak ada yang mendengar, karena masih berteriak dengan kalmat yang sama. “Aku sudah di sini bertahun-tahun lamanya, hingga punggungku sakit kelamaan bungkuk di tempat kumuh ini. Kalian baru sehari saja sudah kuat, dasar lemah!”
“Easy, man,” ucap Darius sambil membuka kunci gembok. Lalu ia membuka pintu kecil dan memasukkan sepiring makanan, lalu mencentang di daftarnya. “Habiskan, aku tidak mau menerima kalau masih ada sebutir nasi di atasnya.”
Mendengar suara Darius saja, seisi lorong terdiam. Pemuda yang berteriak tadi ketakutan melihat Darius yang baru saja lewat. Mereka sudah tahu rupanya.
Tidak ingin mencari gara-gara dengan doctor from asylum ini.
Hampir selama dekade ia tinggal disini, tentunya sudah hapal lorong-lorong di bawah kota Bologna ini. Cahaya pun hanya dari bohlam lampu kecil dan jaraknya berjauhan.
Setelah memberi makan para tahanan, dan selagi melewati ruang Douglas, ia mendengar sesuatu. Awalnya hanya gumaman biasa, hingga ia menyadari siapa lawan bicara Douglas.
Gideon.
Darius langsung mendekatkan telinganya, takut-takut mereka dapat info terbaru tanpa memberitahunya.
“Kau kurang asupan makan atau apa, Douglas? Aku butuh kau menemukan Theo tapi sampai sekarang tidak ada hasilnya.”
Douglas mendesah. “Caesar, aku bahkan menemukan microchip nya tidak jauh dari sini, taman Montagnola.”
Gideon gusar. “Aku bukan mempermasalahkan alat mu. Bagaimana teman wanitanya?”
Inilah yang bikin Douglas malas membicarakannya. “Sepertinya kawanan kita melemah, karena tua mungkin, wanita itu mengalahkan semuanya, dan ketika aku mengikuti jejak darahnya, terhenti sudah di stasiun. Setelah itu aku buntu.”
“Kita punya teknologi canggih dan kau tidak menggunakan itu dengan baik.” Gideon mendekati Douglas, “Sudah berapa lama kita berteman, Douglas? Kau tahu aku bukan orang yang suka menunggu.”
“Lalu kau mau apa? Menyingkirkanku?” Yang Darius tahu, Douglas tidak pernah berjengit sedikitpun di depan Gideon.
Itulah mengapa Darius tidak mau macam-macam dengan Douglas. Secara logika saja, satu pria ini tidak takut pada Gideon berarti sama sinting atau tanpa kita ketahui bisa lebih sinting bukan?
Mereka berdua sama-sama mengerikan.
“Daripada kau, Gideon, hadeuh. . .” Douglas menggeleng heran, “mengundang perhatian semua orang di taman itu, di rumah sakit juga. Tidak berunding denganku dulu. Hanya satu orang yang keluar dan kau seperti kehilangan kelinci peliharaanmu.”
“Yes it is.” Gideon semakin mendekat dan semakin mengintimidasi Douglas. “Dia prajurit favoritku. Dan aku kehilangan dirinya. Ia terlalu menarik untuk hilang.” Douglas ingin bicara namun dipotong Gideon, “Lagipula, aku tidak ingin kecelakaan delapan tahun yang lalu, yang sudah terkubur dalam tanah, kembali ke permukaan, jika Theo terlalu lama di luar.”
“Itu yang ingin kukatakan barusan.” Douglas kembali duduk di meja kerjanya, lalu mulai mencari. Darius tercenung akan kalimat Gideon setelahnya, karena ini terlalu kebetulan. Selama ini mereka menyembunyikan fakta itu darinya, menganggap dirinyalah simbol kesialan.
“Aku ingin Theo tetap mati, Douglas. Jangan bangkitkan dia dari kematian.”
Darius sangat murka.
Darius juga berada di sana. Theo dengan teman dan kru-krunya. Darius dengan anak perempuannya, mereka berada di kapal yang sama. Ia yakin itu. Publik mengira mereka semua mati. Darius mengira tidak akan ada yang selamat.
He is undoubtly wrong.
“Sialan kau Gideon.”
[1] pasta salami yang sangat pedas.
[2] biskuit tradisional ala Itali, semacam macaroon