Tentu, mereka tidak bisa melarikan diri sepanjang hidup mereka, tapi mereka butuh suatu yang menjadi fondasi mereka, walaupun itu harus bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Kemana saja asal walaupun hanya satu malam, aman. Bila uang Sara sudah habis, mengemis ataupun mencuri tidak masalah.
Theo tidak ingat lagi kapan terakhir kali ia merasakan senang, bahagia, dalam arti murninya. Untuk saat ini, mereka harus bersembunyi, bertemu dengan sang suster menjadi sebuah keberuntungan.
Nampaknya tidak dengan Sara. Terlihat jelas ia duduk tegak dan kaku di kasurnya. Di hadapan Sara, orang itu, berdiri sambil berkacak pinggang. Entah apa yang dibicarakan mereka berdua, Theo tidak mendengar jelas dari area dapur, ia bersama Robyn, nama suster yang menolongnya.
“Mau teh?” Theo mengangguk. “Dan cookies?” Theo mengangguk dua kali lipat lebih cepat. Sekalinya bocah selamanya bocah.
Theo bertanya apa hubungannya Sara dengan pria itu, “Sara belum pernah cerita–“ Suster membuka mulutnya lagi, “Ah, tentu saja ia tidak menceritakan padamu.”
“Tentang apa?”
“Masa lalunya.” ucap Robyn setelah jeda yang dirasakan Theo berlangsung selamanya. Robyn sibuk mengaduk bumbu untuk Ribolita, sup buatannya, dan Theo melihatnya dengan ekspresi ingin tahu di wajahnya.
Hanya masalah waktu, Sara dan Ryland mulai bertengkar hebat, “demi Tuhan.” Robyn mematikan kompor lalu masuk ke kamar, mencoba melerai diikuti Theo, “Anak ini susah banget dinasihati, Robyn.” Sara menarik selimut dan menggulung diri didalamnya, tidak peduli sepanas apa ruangan.
“Robyn, aku ingin sendiri . .” ucap Sara terdengar lemah. Ryland menarik napas, percuma ia marah-marah barusan. Tapi ia tetap memberi Sara ruangan untuk bernapas, dengan bantuan Robyn yang menariknya keluar dari kamar.
“Duduk saja di meja makan. Dan Ryland, ajak Theo.” Wanita yang lebih tua dari Theo itu menghilang dari bilik ruangan. Theo berdiri di depan pintu Sara dengan canggung, karena Ryland menatapnya sangat tajam.
“Kita ngobrol sambil makan saja, kalo Sara lapar nanti dia keluar sendiri.” Theo merasakan pandangan tidak suka dari Ryland. Dalam situasi ini, ia tidak mengerti apa yang terjadi, sama sekali.
Selama ini Sara tidak pernah bercerita tentang keluarganya. Sara selalu mendengar keluh kesah dirinya. Sara hanya bercerita jika ia merasa senasib dengan Theo. Satu fakta yang Theo abaikan dan merasa bodoh akan hal itu.
“Apa saja yang Sara katakan padamu?”
Theo mengendikkan bahu. “Tidak sedalam yang kau tahu.” Ryland memakan sup tanpa melepas tatapannya ke Theo, “Ia tidak pernah menyebut namaku? Di sela pembicaraan kalian?” Theo menggeleng. “Kau tidak tahu selama kalian di Milan, aku terus meneleponnya?”
Lagi-lagi Theo menggeleng. Ryland meletakkan sendok.“Demi apapun bocah itu–“
“Aku tahu ada telepon masuk, tapi tidak tahu itu kau, Dia selalu bilang itu atasannya.” ucap Theo cepat. Ryland menyipitkan matanya lalu mendesah nan pasrah. “Harusnya aku mencegat Sara sebelum ini terjadi.”
Cukup sudah bagi Theo. “Oke, Ryland. Aku tidak tahu apa yang terjadi sekarang, bisa ceritakan yang Sara tidak pernah bilang kepadaku?”
“Sebenarnya, Sara bukan asli orang Itali. Identitas sebenarnya tidak ada yang tahu kecuali aku, Robyn, dan secepatnya kau juga. Seorang detektif menolongnya keluar dari kubangan hitam dalam hidupnya dulu, dan membuat identitas baru.”
Sampai Ryland membuka lembaran lama dan Theo, membenci bahwa ia tidak mengetahui sedari awal, menganggap kemalangan Sara tidak sederhana yang ia pikirkan.
-------------------------------------
Sara lahir di Carcassonne, 9 November, 1989.
Setengah Inggris, setengah Itali. Ryland tentu mengenal kedua orang tua Sara terutama ayah Sara, Alan, sejak mereka muda. Kedua orangtuanya saling mencintai. Isabella hanyalah ibu rumah tangga, dan sakit-sakitan, walaupun masih di usia muda. Alan keluar dari kerjaanya, polisi lokal. Alan dan Isabella masih kuat di tahun pertama, namun saat tidak bisa lagi membeli sekedar nasi, semuanya berubah.
Hingga ia menyadari goresan luka di leher Ibunya, Isabella , dan memar-memar di balik gaun.
Suatu hari, pulang dari sekolah Sara dan Tonya asik bermain di taman sampai matahari terbenam. Merasa tidak enak, Tonya menemani Sara pulang ke rumah. Namun nyatanya pertanda buruk seolah menunggui mereka.
Dua gadis kecil, melihat secara langsung Alan memukuli istri yang harusnya dicintainya.
Sara merasa sangat malu. Sedangkan Tonya sibuk memikirkan diri sendiri, bagaimana ia bisa melihat itu. “Setiap hari kamu selalu melihat itu?”
Sara kecil mengangguk pelan. “Aku tidak tahu kenapa, dan aku takut harus berbuat apa.”
Itu sudah berlangsung selama 5 tahun.
Awalnya Sara tidak mengerti. Semakin hari semakin menjadi, Ia menjadi semakin mahir mengenali tanda-tanda luka itu. Bahkan turut mengobati luka Ibu tersayangnya, yang dibalas senyuman pedih. Sara menjadi trauma melihat bekas luka. Malangnya juga, dia tidak punya banyak teman, kecuali satu. Tonya. Tonya menjadi pegangan Sara kala jenuh akan kondisi rumahnya.
Sore hari pada 13 Agustus, 1999.
Di malam hari, Sara jalan kaki ke rumah bersama Tonya. Pintu terbuka lebar, Seketika Sara lupa cara menutup mata.
Alan memukul tengkuk Isabella, lagi dan lagi. Tanpa henti.
Sara, dengan segala kelelahan hati, ia mengambil kayu besar dan memukul ayah kandungnya dengan itu. Alan tersungkur, namun masih bisa meraih kaki kecilnya Sara dan keduanya terjatuh keluar tangga teras. Setengah wajah Alan tertutupi darah, adalah ingatan terakhir Sara sebelum ia dihajar habis-habisan
“Aku berusaha mencari uang dan kau malah memukulku!” Sara menutup kepala dengan tangan mungilnya, “dengan kayu ini! Mana balas budimu?!”
Demi sumpah dewa neptunus, Alan tidak menyadari Tonya yang berdiri di belakangnya yang jaraknya cukup dekat. Hampir seluruh badan Tonya gemetar hebat, dan perlahan ia menjauh dari zona menyeramkan.
Tak lama dari itu, suara sirine polisi dan mobil ambulans terdengar seluruh jalan. Semua orang-orang keluar dan ingin melihat lebih dekat. Entah bagaimana nasib Sara jika polisi tidak datang tepat waktu. Beberapa polisi bertanya ke tetangga terdekat. jawaban mereka tidak memuaskan.
“Oh, mereka keluarga yang sangat pendiam.”
“Tidak disangka suami bertindak seperti itu.”
"Kudengar pria itu penggila minum.”
Mereka tidak tahu Sara mendengar tiap kata yang duduk di belakang ambulans.
Di ruang interogasi, Detektif menunggunya untuk tenang sebelum mulai, pikirnya. Begitu Sara tersadar dari lamunan dan menatapnya tanpa berkedip, detektif berjalan sambil memegang berkas. Pertanyaannya seperti biasa, sejak kapan hal ini berlangsung terjadi, mengapa, apa penyebabnya. Begitulah.
“. . .Aku diberitahu tim penyidik, sidik jari di pecahan kayu yang terbenam di. . . tubuh ayahmu ada sidik jari milikmu. Jadi apa kau yang–eh, hingga..?”
“Benar.”
Sara memang ingin Alan pergi dari hidupnya, membenci ayahnya. Berkat Alan, ia tidak bisa membedakan rasa cinta dan obsesi, rasa kasih sayang nan lembut sudah terlupakan oleh Sara ketika itu. Alanlah yang melahirkan sisi gelap Sara
Detektif itu merasa prihatin, dan ikut bersedih atas apa yang terjadi dengan Alan, setelah bertahun-tahun tidak kontak lagi. Akhirnya dengan bantuannya, bersama salah satu teman pengacaranya, Sara terbebas dari tuntutan hukum. Karena selain dibawah umur, Sara dinyatakan hanya melindungi diri sendiri.
“Inikah akhirnya, detektif? Aku tetap tidak bisa mengecek kondisinya,” ucap teman pengacaranya. Sara berduka di depan nisan isabella. Malang sekali Isabella tidak bisa bertahan, ia kehilangan banyak darah.
“Ryland, kau bersungguh-sungguh?” Selesai sidang akhir, mereka berdua sedang duduk jauh dari Sara. “Memangnya kau sanggup? Mengurus diri sendiri saja minta ampun deh.” Ryland menepuk temannya dengan keras, ia tampak terkejut. Ryland menyeringai dan berkata, “Jangan lupa pernikahanku lusa.”
“Aku kasihan pada Robyn nanti.” Akibat Rylan barusan, air kaleng birnya tumpah ke mantelnya. “Hei, aku serius, Ry. Kalau iya selama itu legal aku bisa membantumu.”
“Dengan senang hati, aku terima bantuanmu.”
-------------------------------------
Theo menutup mulunya yang menganga. “Aku sangat sangat tidak menyangka, that’s a super fu–sorry. So, that detective is you?” Mata Ryland memancarkan ekspresi yang tak bisa diutarakan.
“They’re not as happy as they used to be. I just wanna make Sara smile, at least.”