Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Waktu semalam yang Marsha habiskan dengan menangisi kembali perkataan Dennis setelah Victoria dan Jesica pulang ternyata merupakan waktu dimana pikirannya berada pada saat yang paling stabil. Entah mengapa, ia bisa memikirkan banyak hal setelah membuat kasur tempat tidurnya basah. Gadis itu tidur telentang, mengamati langit-langit kamar yang buram selain karena ia tidak memakai kacamata, juga karena air mata. Ia mengusap kasar matanya, menghela napas.

Sejak mendengar Dennis mengatainya dengan kejam, Marsha memang bertekad menghindari semua orang. Ah, bahkan pikiran itu sudah terlintas sejak hubungannya dengan Dennis memburuk. Ia memang menjauhkan diri dari beberapa teman SMA nya, dan lantas mengenal Victoria dan Jesica saat hari pertama kuliah, tapi ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari Leo yang selalu menempel padanya. Leo adalah orang yang paling ingin ia hindari sejak ia berseteru dengan Dennis. Karena Leo mengenal baik dirinya, sejak mereka bertengkar, Leo terus memaksa Marsha agar mengatakan yang sebenarnya sampai laki-laki itu lelah dengan sendirinya karena Marsha tetap keras kepala.

Sesungguhnya, hal itu membuatnya muak.

Terkadang ia tidak menyukai cara para wanita di kampus menatapnya bila ia ada di dekat Leo, terlebih Marsha seringkali bersikap kasar terhadap laki-laki itu. Mereka seakan ingin berkata bahwa gadis sepertinya sama sekali tidak cocok menjadi teman Leo, jika dan hanya jika Marsha selalu menjitaknya. Leo memang terlihat tidak peduli, tapi para penggemarnya di luar sana merasa Marsha harus dilenyapkan.

Ia sedang membangun alasan untuk menjauhi Leo, tapi ia tahu semua itu tidak logis dan tidak cukup kuat. Lagipula, memangnya Leo mau dengan sukarela menjauhinya?

Terpaksa, Marsha yang harus menarik diri dari semua orang.

Gadis itu keluar dari kamar dengan membawa sebuah cangkir kosong, melangkah menuju kulkas di dekat televisi. Beberapa anak perempuan tengah menonton sinetron di ruang tengah, cekikikan. Mereka cukup terkejut begitu melihat Marsha, dan ketika ditanya, gadis itu cuma menjawab ia baru selesai menonton film sedih. Ia separuh mendengar mereka berkata bahwa Leo tengah menunggunya di ujung tangga, tapi ia tidak peduli. Ia membuka freezer, mengambil kira-kira enam bongkahan kecil es batu, menaruhnya di cangkir, lalu masuk ke kamar. Ia menuangkan es batu itu ke sebuah handuk, membungkusnya, dan mengompres matanya.

***

“Tadi bagaimana? Ada mahasiswa yang menyusahkan kamu?”

Marsha mengangkat wajah dari tumpukan lembar jawaban kuis Fisika Dasar yang sedang ia periksa. Dosen Termodinamika Metalurgi ini duduk di kursi empuk putarnya, meletakkan tangan di arm rest kursi, menatap lurus ke arahnya. Gadis itu membenarkan posisi kacamata, menggeleng. “Tidak ada, Bu. Saya harus mengakui, mereka cukup kritis. Saya agak kewalahan menjawab pertanyaan mereka, tapi sejauh ini, tidak ada masalah.”

Bu Qori mengangguk-angguk. Suara gesekan pulpen dan kertas kembali mengisi kesunyian ruangan.

“Marsha, kamu berasal dari Bali kan?”

Tangan Marsha yang sedang menulis berhenti. Ia kembali memandang dosennya, mengangguk.

“Kamu bisa berbahasa Inggris?”

“Ya.” jawab Marsha.

“Kenapa kamu tidak mendaftarkan diri di kelas internasional?” tanya wanita berjilbab itu. “Saya sudah dengar semua prestasi kamu. Dan kamu pasti tidak akan punya kesulitan untuk mengikuti pelajarannya.”

Marsha menjawab pertanyaan pertama sang dosen dengan menutupi keengganannya membicarkaan hal ini. “Saya.. tidak punya uang, Bu.”

Itu memang benar. Kedua orangtuanya meninggal sebelum Marsha mengikuti seleksi masuk universitas. Karena itulah, ketika ia sudah resmi menjadi mahasiswa, semua uang dari kedua orangtuanya tentu saja dipegang Dennis. Marsha hanya menerima jatah sesuai dengan nominal biaya kuliah per semester dan jajan selama sebulan yang ditetapkan Dennis. Meski Marsha mengelola keuangannya dengan baik, jatah bulanannya kadang tidak mencukupi. Hal ini membuatnya mendaftarkan diri untuk mencari beasiswa, dan ia bersyukur keuangannya sedikit terbantu. Ada kalanya Dennis lupa memberikan jatah bulanannya.

“Tapi.. kamu kan nanti bisa dapat dua gelar?” bu Qori tampak tak terima dengan alasan klasik itu. “Untuk Teknik Metalurgi, kamu akan melanjutkan gelar kamu di Australia. Kamu lulus dalam empat tahun dengan mendapat dua gelar. Kamu nggak tertarik?”

Tentu saja Marsha tertarik. Ia tidak ragu dengan kemampuan akademisnya, tapi tentu saja ia tidak mungkin memberitahu Dennis bahwa jika memang ia mengambil kelas itu, ia harus membayar uang kuliah lebih mahal dari biasanya. Bisa-bisa, Dennis langusung menyuruhnya keluar saat hari pertama kuliah dan mencari kampus lain dengan biaya lebih murah.

Menyadari pertanyaannya tidak dijawab, bu Qori bertanya lagi. “Kamu punya keinginan untuk ke luar negeri?”

Tanpa ragu, Marsha berkata. “Ya, Bu.”

“Kalau begitu, kenapa kamu tidak mencari beasiswa pertukaran mahasiswa ke luar negeri?”

“Memangnya ada, Bu?” Marsha refleks bertanya.

“Tentu saja ada.” Wanita itu tertawa. “Tapi, kamu harus menyiapkan persyaratannya cukup lama. Biasanya universitas di luar negeri meminta semua dokumen akademikmu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dulu. Selain itu, kamu juga harus memiliki sertifikat TOEFL atau IELTS. Jadi, kalaupun kamu memiliki salah satunya, kamu tetap harus mengikuti ujian lagi.”

Marsha kini sudah selesai memeriksa soal kuis para mahasiswa tingkat pertama. Perhatiannya kini terfokus pada perkataan dosen itu.

“Saran saya, kamu bisa mencari informasi tentang beasiswa-beasiswa itu di internet. Semester tiga adalah waktu yang pas untuk menyiapkan segala hal, karena nanti kamu bisa berangkat saat semester lima, dan kembali saat semester tujuh hanya untuk fokus dengan skripsi dan wisuda. Kemarin ada salah satu universitas membuka pendaftaran untuk kelas musim dingin, tapi saya rasa itu sudah terlambat untuk kamu. Kamu bisa mencoba untuk mendaftar di kelas musim panas tahun depan. Mereka juga menyediakan beasiswa full-funded, asalkan kamu memenuhi syarat yang mereka inginkan.”

Tatapan Marsha sekarang sekosong perpustakaan kampusnya.

Bu Qori melihat tumpukan kertas di dekat Marsha. “Ah, kamu sudah selesai rupanya.” Ia mengambil kertas itu, memeriksanya dengan tatapan mata, tampak sangat puas. “Mulai minggu depan kamu akan mengisi dua kelas yang saja ajarkan. Selain itu,” ia menaruh kertas itu di sebuah map. “Kamu bisa mulai menerjemahkan dokumen-dokumen kamu. Dan jika kamu butuh surat rekomendasi dari dosen, saya siap memberikan tanda tangan saya.”

***

Selesai mengajar kelas bu Qori siang itu, Marsha langsung menuju indekosnya. Ia menyalakan laptop, mulai mencari-cari soal beasiswa ini. Ia memiliki tekad kuat untuk mengikuti program ini. Pikirnya, jika ia sukses, ia bisa memulai hidup baru di luar negeri. Meninggalkan semua masalahnya di sini, dan hidup sebagai orang baru di negara orang.

Gadis itu menahan napas saat menemukan apa yang ia cari.

Ia segera membuka link yang merupakan situs resmi sebuah kampus di Inggris. Memang benar bahwa mereka membuka pendaftaran untuk mahasiswa internasional, tetapi program itu ternyata program pertukaran mahasiswa, yang berarti bahwa Marsha tidak bisa tinggal selamanya di sana. Ia lanjut membaca beberapa tulisan mengenai program itu, tidak mempedulikan berapa lama ia di sana yang penting ia bisa ke luar negeri dan pergi jauh dari sini.

Persyaratannya persis seperti yang dikatakan oleh bu Qori, termasuk mengenai persetujuan dosen. Marsha harus mendapatkan surat pernyataan rekomendasi dirinya dari dua orang dosen. Ini tidak sulit, ia bahkan bisa mendapat persetujuan dari semua dosen yang mengajar dirinya. Yang harus ia permasalahkan adalah mengenai banyak dokumen yang harus ia terjemahkan dan sertifikat IELTS. Semua dokumen yang ia miliki berbahasa Indonesia dan sertifikat IELTS nya jelas sudah tidak berlaku.

Ia mengambil ponsel, menghubungi seorang kenalan yang berkuliah di jurusan sastra Inggris.

“Halo, Ka?”

“Eh, Marsha!” seru Erika ramah di seberang sana. “Tumben nelpon gue. Leo lagi?”

“Nggak.” jawab Marsha langsung. “Dan ngomong-ngomong soal Leo, bisa nggak lo janji sama gue kalau lo nggak bakal bilang ke dia pembicaraan gue sama lo hari ini?”

“Oh?” Erika terdengar agak kaget disana. “Okay. I won’t tell anyone.”

Nice.” Marsha tersenyum. “Lo tahu nggak tanggal-tanggal ujian IELTS?”

“Tahu.” kata Erika. “Ujian IELTS diadain setiap bulan, tapi tanggalnya beda-beda tiap bulannya. Wait, gue punya jadwalnya. Gue cari dulu.”

Marsha diam, menunggu sambil mendengar bunyi krasa-krusuk di ujung telepon.

“Nah, ini dia.” seru Erika kegirangan. “Oh, Mar, ujian bulan ini udah lewat dua hari lalu!”

Marsha berseru kesal.

“Bulan depan tanggal satu dan lima belas, dua bulan lagi tanggal enam.”

“Serius?!” Marsha melebarkan bola matanya. Itu sebentar lagi, yang berarti ia tidak punya waktu untuk bersantai. “Bisa lo kirim tanggal-tanggalnya ke gue nggak? Dari awal sampai akhir bulan?”

“Bisa. Nanti gue kasih jadwal sama link pendaftarannya. Kalau lo mau ikut, saran gue lo daftar aja untuk ujian empat atau lima bulan lagi, biar sertifikat lo nggak langsung kadaluarsa, yah walaupun masa berlaku IELTS dua tahun sih. Tapi itu terserah lo, tergantung kebutuhan lo. Ngomong-ngomong, lo tahu biaya pendaftarannya kan?”

“Eh?” Marsha menggigit bibir, lalu Erika seketika menyebutkan sejumlah nominal uang, dan itu membuat tidak ada satupun yang berbicara di telepon. Marsha tertegun, membisu cukup lama.

“Mar? Lo masih di sana?”

Suara itu menyadarkan Marsha. “Masih.” Ia menghela napas. “Ya udah. Jangan lupa kirim link sama jadwalnya ke gue ya, Ka. Thank you, anyway.”

“You’re welcome.” Dan sambungan telepon terputus.

Marsha menaruh ponsel di meja. Seharusnya ia tidak heran dengan harga ujian tes bahasa Inggris itu. Ia sepertinya terpaksa harus menguras tabungannya, dan itu jauh lebih baik daripada ia menggunakan uang yang diberikan Dennis untuk membiayai ujian itu. Ia bisa tidak makan selama tiga bulan jika melakukannya.

Ponsel Marsha berbunyi. Dari Erika dan isinya adalah tanggal-tanggal ujian dan link yang tadi dibicarakan gadis itu. Marsha segera membuka link itu di laptopnya, menarik napas panjang, dan akhirnya mendaftar untuk tes empat bulan mendatang. Setidaknya ia bisa menabung.

***

It’s okay.” Leo tersenyum, terlihat getir. “Aku nggak keberatan aku bukan orang pertama yang kamu ceritain soal orangtua kamu. Seenggaknya aku tahu, kamu udah berani mengungkap sesuatu yang paling kelam di hidupmu.”

Mendengar ucapan itu keluar langsung dari mulut Leo, entah mengapa membuat ulu hati Marsha terasa sangat sakit. Ia benci melihat Leo yang kecewa padanya, mengingat Leo selalu membanggakan dirinya kepada semua orang yang laki-laki itu kenal. Tapi kegetiran pada wajah itu tetap tidak bisa menggantikan perasaan sedih Marsha setiap kali mengingat Dennis.

Abangnya itu tetap tidak pernah hilang dari pikirannya, meski laki-laki itu begitu membenci dirinya. Selama Marsha menyiapkan persyaratan pertukaran pelajar itu diam-diam, ia selalu memikirkan reaksi Dennis. Jika saja keadaannya jauh lebih baik, ia yakin Dennis akan sangat senang. Dan Marsha tidak perlu merasa terbebani karena ia menyembunyikan hal sebagus ini dari semua orang.

Tentu saja. Tidak ada yang tahu tentang program yang ia jalankan selain dirinya, bu Qori, dan pak Bima, dosen lain yang bersedia memberikan persetujuan.

“Tahu nggak?” Leo duduk tegak sekarang. “Dua minggu lagi kita udah mau ikut ujian akhir aja.”

Marsha mengangguk setuju. Ia jelas tidak memikirkan hal itu karena selama ini, selain menyiapkan berkas-berkas, ia selalu belajar untuk ujian dan persiapan tes bahasa Inggrisnya. Jadi, Marsha tidak akan lupa jika ujian mereka memang sudah dekat.

“Ajarin aku, ya?”

Marsha mendengus. “Nggak perlu minta.”

Leo menyeringai senang. “Sayang banget aku sama kamu.”

Dan Marsha berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit yang tidak disebabkan oleh teringatnya kembali perlakuan Dennis.

***

Hari demi hari berlalu. Marsha membantu Leo, Victoria, dan Jesica belajar, di dua tempat terpisah tentunya. Ia senang, ketiganya sama sekali tidak mencurigai betapa sibuknya ia karena mereka pikir ia mempersiapkan ujian. Memang ada benarnya, meski tidak sepenuhnya rahasia terungkap.

Ujian berjalan dengan lancar. Setelah selesai, Marsha memutuskan untuk menghabiskan waktu liburannya bersama Victoria dan Jesica, entah untuk makan-makan di mall, jalan-jalan, melakukan perawatan bersama di salon, atau hanya bergosip di kamar Jesica di rumahnya. Selalu menyenangkan bila bersama kedua orang itu.

Marsha juga tentu menghabiskan waktu bersama Leo. Entah untuk menemani laki-laki itu menonton film, bermain futsal, makan bersama, dan bermain di taman hiburan. Ia juga menikmati waktunya bersama laki-laki ini, dengan segala usaha menghalau rasa sakitnya. Ia hanya tidak mau terlihat lemah di depan Leo, dan Leo seharusnya bisa bebas untuk menjadikan gadis manapun temannya, namun Marsha kadang tidak terima melihat Leo bersama perempuan asing yang tak ia kenal.

Liburan berlalu dan semester empat datang secepat yang tidak diduga oleh Marsha. Begitu jadwal kuliah mereka keluar, ia kembali menetapkan strategi baru dalam belajar: setelah menyelesaikan aktifitas kampusnya termasuk menjadi asisten bu Qori, ia akan ke perpustakaan dan menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Sesampainya di indekos, ia akan menggunakan dua jam untuk mengulang materi-materi ujian bahasa Inggris, yang akan diikutinya beberapa minggu lagi. Setelah beristirahat selama satu jam, ia akan belajar untuk mata kuliah besok.

Hasilnya cukup setimpal. Nilai-nilai ujian tengah Marsha stabil, berkas-berkasnya diterima pihak universitas di Inggris, dan ia lulus ujian bahasa Inggrisnya dengan nilai sangat memuaskan.

Tahap selanjutnya dari program yang ia ikuti adalah, ia harus memenuhi berkas-berkas lain sebagai syarat agar menjadi peserta dengan biaya full-funded. Setelah semua berkas diterjemahkan ke bahasa Inggris, Marsha tentu saja harus mengurus paspor dan visa. Ia jelas harus mencari waktu kosong untuk mengurus semua itu, agar teman-temannya tidak curiga. Ia sangat menyesal. Mengapa ia tidak mengurus semua itu ketika libur semester?

Akhirnya setelah mencuri-curi waktu kosong, ia bisa memiliki sebuah paspor. Ia tidak pernah tahu bahwa mengurus visa akan sangat lama, sabar, dan melelahkan, itu belum termasuk jika visanya ditolak. Ia kembali mencari-cari waktu untuk menghadiri janji di pusat permohonan visa setelah mengajukan aplikasi permohonan visa dan berhemat gila-gilaan untuk membayar biaya permohonan visa. Leo sampai merasa kasihan padanya karena ia hanya nasi ayam tanpa sayur saat makan siang dan tidak pernah lagi sarapan dan makan malam.

Kehadirannya di pusat permohonan visa hanya untuk memenuhi informasi biometric, scan sidik jari, dan foto wajah. Setelah semua itu, ia harus menunggu visanya diproses. Ia waswas sekali, takut bila visanya tidak diterima. Hari-hari ia menunggu tanggal yang sudah ditetapkan pengurus visanya merupakan hari yang tidak menyenangkan. Sampai ketika ia sedang mengobrol dengan Vicotria dan Jesica di bangku luar gedung jurusan mereka, seseorang mendatangi mereka.

“Kak Marsha, dipanggil bu Qori.”

Victoria dan Jesica tidak heran, jadi mereka membiarkan Marsha pergi begitu saja. Namun, itu hanya berarti satu hal bagi Marsha: perjuangannya selama berbulan-bulan akan terbayar atau tidak.

Dengan gugup, ia membuka pintu ruangan bu Qori yang sudah begitu akrab dengannya. Wanita itu tengah duduk di kursinya yang biasa, memegang sebuah dokumen yang terlihat resmi. Wanita itu memandangnya dengan tatapan agak aneh.

“Kamu meminta saya untuk memberi kamu informasi jika visa kamu diterima atau ditolak, betul?”

Marsha mengangguk kaku. Karena hanya wanita ini dan pak Bima yang tahu soal apa yang ia lakukan selama ini, ia akhirnya meminta sang dosen menjadi walinya dan memantau kemajuan visa yang sudah ia ajukan. Jantungnya berdegup tak karuan saat ini. Nasibnya ada di dalam amplop resmi itu.

Bu Qori memberi dokumen yang ia pegang kepada gadis itu. Marsha membukanya. Isinya lembar-lembar kertas berupa data diri lengkap, cara memeriksa apakah data pribadinya benar, hal-hal yang harus ia lakukan bila terdapat kesalahan di visanya, hal-hal yang dapat ia lakukan sesuai dengan visa, daftar barang yang dapat ia bawa ke Inggris, hal-hal mengenai apa yang akan terjadi saat ia sampai di perbatasan Inggris, dan apa yang harus ia lakukan jika paspor dan visanya dicuri.

Marsha mundur dengan kaget, berdiri lemas bersandar di pintu yang tertutup.

“Selamat, visa kamu diterima.” Bu Qori tersenyum. Ada gurat bangga di wajahnya. “Kamu hanya tinggal menentukan keberangkatan dari sini nanti.”

“T-t-terima k-kasih, Bu.” Marsha menjabat tangan wanita itu dengan bersemangat dan air mata bercucuran.

“Ada lagi tahapan yang harus kamu ikuti?”

Gadis itu mengangguk. “Saya harus ikut wawancara dengan pihak penyelenggara beasiswa dan perwakilan universitas tempat saya mengajukan program ini. Juga mungkin seorang dosen yang mengajari saya.”

Bu Qori menepuk-nepuk tangan Marsha yang masih menggenggamnya. “Saya nggak heran, kamu pasti mendapatkan beasiswa ini. Jadi, persiapkan dirimu. Jangan biarkan dirimu gagal hanya karena wawancaramu yang buruk. Setelah kamu benar-benar dinyatakan lolos, kamu bisa mencari tiket pesawat.”

***

Wawancara berlangsung tiga minggu sebelum ujian akhir semester empat. Marsha gugup sekali. Jantungnya berdebar begitu kencang dan tangannya terus saja berkeringat. Wawancara itu dilakukan di ruang dosen. Ketika Marsha datang, tidak ada satupun orang di sana kecuali seorang pria akhir empat puluhan yang tampak enerjik, seorang wanita berambut hitam yang digulung ketat, dan seorang wanita warga negara asing yang tampak paling mudah di antara keduanya.

“Selamat datang, Marsha Anabel Wibowo.” sambut si wanita yang rambutnya digulung. “Saya Anggi Lestari, perwakilan penyelenggara beasiswa pertukaran mahasiswa di Inggris, dan di sebelah saya adalah Kendra Norton dari universitas tempat kamu mengajukan program pertukaran mahasiswa, dan di sebelah Mrs. Norton tentu saja, kamu tidak mungkin tidak mengenal Bima Setiawan, ketua jurusan Teknik Metalurgi kampus kamu, sekaligus dosen yang mengajari kamu.”

Marsha menjabat tangan mereka semua sambil menyebutkan nama dirinya dengan tegas dan penuh keyakinan.

“Kamu melewati semua seleksi dengan baik sekali, bahkan kamu sudah mendapatkan visa untuk ke Inggris.” Bu Anggi tampak puas, senang, dan tegang. “Wawancara ini adalah tahap terakhir. Setelah ini kami akan tahu apakah kamu layak untuk menjadi peserta pertukaran mahasiswa atau tidak.”

Marsha mengangguk penuh percaya diri, dan duduk di kursi kosong di depan ketiganya. Dengan tenang dan yakin, ia menjawab pertanyaan-pertanyaan pewawancaranya dengan lugas dan tegas.

***

Hari ketika hasil wawancara Marsha dikirimkan ke email langsung pada dirinya adalah hari ketika ia sedang bersama Leo setelah ujian mata kuliah terakhir berlangsung.

“Aku heran aku bisa ngerjain soal tadi.” Leo membaringkan tubuhnya di ranjang kamar indekosnya. Mereka hanya ujian satu mata kuliah hari itu, sehingga mereka bahkan sudah ada di indekos Leo sebelum jam sepuluh. Marsha hanya ingin mengunjungi tempat Leo sebelum menuju tempatnya sendiri. Jadilah ia duduk di kursi meja belajar laki-laki itu, melihat-lihat buku Leo. “Tiba-tiba tadi aku inget kata-kata kamu tentang teori Gibbs. Luar biasa emang.”

Marsha mendengus, membolak-balik salah satu komik Detective Conan Leo di tangannya.

“Ah kamu pasti nggak ada masalah kan tadi?” Leo melirik gadis itu.

Marsha menaruh komik di meja. “Udah kenal aku lama kan? Harusnya kamu tahu.”

Leo mencibir, memejamkan mata tanpa bermaksud untuk tidur. Sementara itu, Marsha melirik dengan heran ponselnya yang bergetar. Dari nomor asing. Ia sudah hendak menghapus pesan itu kalau saja ia tidak membaca pesannya.

Marsha membekap mulutnya, takut Leo curiga. Tapi terlambat. Laki-laki itu sudah membuka mata dan duduk. “Kenapa?”

“Ini.” Marsha berusaha keras mencari-cari alasan. “Eka bilang mereka butuh orang untuk ngomongin teman lomba esai.”

Leo terlihat heran. “Kamu bukan panitia lomba itu kan?”

“Memang bukan.” Marsha mengangguk. “Tapi aku udah bersedia buat bantuin mereka kalau-kalau mereka butuh bantuanku.”

“Tapi..” gumam Leo lagi, seakan berusaha mencegah pergi. “Ini lomba esai. Kenapa mereka butuh kamu? Kamu kan ketua divisi fotografi.”

“Untuk desain brosur lomba, mungkin?” Marsha mengangkat bahu. “Dan bagian dokumentasi?”

“Oh.” Leo berbaring di kasur lagi. “Mereka sebutuh itu sama kamu?”

“Ya, kamu tahu sendiri ‘kan?” Marsha berdiri, mengambil ponsel, dan memakai ranselnya. “Aku pergi, ya. Nanti aku ke sini lagi.”

Leo menyahut mengiyakan, dan Marsha keluar dari kampusnya. Dan setelah memasuki wilayah kampus, yang untungnya sepi karena para mahasiswa lain masih mengikuti ujian, Marsha langsung meluapkan kegembiraannya.

YES!” pekiknya bahagia sambil melompat-lompat. Ia menempuh perjalanan menuju ruang pak Bima dengan senyum mengembang. Ia sama sekali tidak bisa mengekspresikan hal ini dengan kata-kata, jadilah hanya seruan itu yang keluar dari mulutnya. Senyumnya semakin lebar ketika ia sudah di depan ruangan ketua jurusannya itu. Ia meredam degup jantung, membuat senyumnya menjadi wajar, dan masuk ke ruangan.

“Selamat, Marsha.” sambut pak Bima dengans senyum bangga, menjabat tangannya. “Kuliah kamu dimulai tanggal satu September. Dan saya ingin kamu sudah ada di Inggris satu bulan sebelum kuliah dimulai. Ada banyak sekali hal yang kamu urus.”

“Terima kasih banyak, Pak.” Marsha balas tersenyum, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.”

“Kamu tetap harus kembali tahun depan.” kata pak Bima mengingatkan. “Skripsi kamu diurus disini, dan kamu jelas tetap diwisuda disini. Jangan lupa diri.”

Marsha hanya mengangguk.

Pak Bima memberikan sebuah surat kepada Marsha. “Simpan itu, untuk bukti jika mereka membutuhkan.”

Marsha menerimanya, memasukan ke dalam tas. Ia sudah memegang gagang pintu, ketika ia teringat sesuatu.

“Pak, saya ingin bertanya.” Marsha kembali menghadap orang itu, yang sudah duduk di kursinya. “Karena semua biaya saya disana ditanggung, termasuk tiket pesawat, apakah saya.. bisa berangkat dari Bali?”

“Tentu.” ujar Pak Bima. “Mereka sudah mengirimkan uang yang kamu butuhkan untuk membeli tiket pesawat. Masalah kamu mau berangkat dari mana dan kapan, itu urusan kamu, asalkan kamu sudah ada di sana sesuai waktu yang mereka tentukan, dan harga tiket kamu tidak melebihi dari uang yang mereka berikan. Ada apa?”

Marsha terlihat sedang menguasai diri. “Saya harus mengunjungi kedua orangtua saya sebelum berangkat.”

***

Marsha sebisa mungkin merencanakan keberangkatannya ketika Leo sudah benar-benar tidak menginjakan kaki di indekosnya. Ia butuh seminggu untuk mengemasi barang-barang, dan menunggu Leo benar-benar pulang ke rumahnya tanpa perlu pergi ke indekosnya. Ia tidak mempermasalahkan reaksi teman-teman indekosnya. Mereka hanya mengira ia akan pindah indekos lagi.

Dan hari ketika ia berangkat dari Jakarta ke Surabaya dengan menggunakan kereta lalu melanjutkan perjalanan dengan kapal menuju Bali adalah hari dimana semua orang di indekos sudah pulang ke rumah mansing-masing.

Marsha bisa berangkat dengan tenang.

Ia melewati kamar Leo dan tersenyum sedih. Ia pasti akan sangat merindukan laki-laki itu.

Ia menyeret koper hitam besarnya keluar. Ia membiarkan taksinya menunggu sebentar sementara ia ke kantor pos untuk mengirim barang, lalu kembali untuk benar-benar meninggalkan tempat ini. Ia terpaksa harus pergi ke stasiun kereta api dengan taksi karena ia tidak punya alternatif transportasi yang lebih murah. Ia sampai di stasiun lima belas menit sebelum keretanya berangkat. Hari itu masih pagi. Banyak orang membaca koran sambil minum kopi hangat di kursi-kursi mereka dalam kereta. Begitu Marsha sampai di kursinya, ia menaruh koper di rak kabin di atas kepala, dan membiarkan ransel berada di pangkuannya. Ia mengeluarkan sebuah novel tebal, dan mulai membaca sampai ia sendiri tertidur.

Marsha sampai di Surabaya sore hari. Ia segera menuju pelabuhan untuk melanjutkan perjalanan. Kapalnya tiba di pelabuhan Bali pagi keesokan harinya. Tante Maya menyambutnya dengan senyum sedih.

“Kamu minta Tante jemput kamu cuma buat nganterin kamu ke bandara karena kamu mau ke Inggris?” wanita itu berkata dengan nada amat sangat kecewa. Air matanya menggenang di matanya. “Terus ngapain kamu ke sini?”

“Mau ziarah Bapak Ibu sebelum aku berangkat, dan makan masakan Tante.” Marsha berujar tulus, terlihat tidak nyaman dengan situasi ini. “Maafin aku. Tapi aku memang sudah bertekad untuk nggak bilang siapa-siapa.”

“Termasuk Tantemu sendiri?”

Marsha merasa seakan Dennis baru menamparnya di wajah. Ia baru merasa menyesal sekarang. Ia benar-benar bodoh. Terlalu sibuk dengan kuliah dan persiapan program yang diikutinya membuat ia tidak sedikitpun terpikir untuk memberitahu semua ini kepada satu-satunya orang di keluarga yang percaya padanya.

“Maaf, Tante.”

“Sudahlah, itu nggak berarti lagi.” Tante Maya menyeka air matanya. “Sini Tante bawa ransel kamu. Kapan kamu berangkat?”

Gadis itu memberikan ranselnya. Mereka berdua berjalan menuju mobil. “Pesawatku jam lima Subuh.”

Wanita itu mengangguk-angguk. Ia menempati kursi pengemudi, sementara Marsha duduk di sampingnya. “Sore ini aku ke tempat Bapak sama Ibu. Besok kalau Tante nggak bisa nganterin aku nggak apa-apa. Aku bisa ke bandara sendiri.”

“Nggak,” tolak kakak ibu Marsha menyalakan mesin, dan melaju masuk jalanan. “Tante nganterin kamu.”

Suasana hening lagi. Marsha sedang menimang sesuatu untuk dikatakan.

“Tante..” mulai Marsha.

“Tante janji Tante nggak bakal bilang siapa-siapa kalau kamu disini dan besok kamu udah pergi lagi.” Wanita itu memutar setir mobil dengan lincah sekali. “Tante tahu kamu dari tadi ngumpulin keberanian buat ngomongin itu. Paling nanti yang tahu cuma Om Toni dan Farel.”

Air mata Marsha jatuh tanpa bisa dicegah. “Makasih banyak, Tante..”

Marsha disambut oleh saudara sepupunya. Anak laki-laki itu tengah bermain playstation. Tidak ada yang istimewa. Hanya bertegur sapa saling bertukar kabar, lalu mereka mengobrol lama sekali dengan tentang kuliah karena Marsha baru ingat bahwa laki-laki ini baru lulus SMA dan tengah mencari kampus. Marsha menjabarkan semua pengetahuannya, dan ketika hari sudah sore, ia meminta Farel mengantarkan dirinya ke tempat kedua orangtuanya dimakamkan, menghabiskan waktu hampir satu jam di sana.

Marsha makan malam dengan keluarga kecil itu sambil menahan diri agar ia tidak menangis. Sudah lama sekali sejak ia bisa makan dengan dua orang sebagai sosok orangtua. Keluarga kakak ibunya sangat menyenangkan, dan di atas semua itu, Marsha sangat berterima kasih karena tante Maya membuat om Toni dan Farel percaya padanya.

Keesokan harinya, Marsha betul-betul harus meninggalkan suasana kehangatan keluarga itu dengan berat hati. Farel yang selalu terlihat cuek malah agak sedih memandangi Marsha dengan ransel dan kopernya. Ketiganya mengantar Marsha ke bandara, om Toni tidak mungkin bekerja saat hari Minggu. Setelah setengah jam saling mengucapkan perpisahan, ditambah wejangan ekstra dari tante Maya dan om Toni, juga pesan Farel yang akan mengirim uang kepada Marsha agar gadis itu membelikan barang-barang berbau Manchester United, serta janji Marsha yang akan menghubungi ketiganya begitu sampai di sana, Marsha akhirnya masuk ke Keberangkatan Internasional.

Seribu seratus lima puluh empat kilometer dari tempat itu, Dennis menatap dengan bingung paket yang baru saja ia dapatkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
Musyaffa
138      120     0     
Romance
Ya, nama pemuda itu bernama Argya Musyaffa. Semenjak kecil, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang manga artist profesional dan ingin mewujudkannya walau profesi yang ditekuninya itu terbilang sangat susah, terbilang dari kata cukup. Ia bekerja paruh waktu menjadi penjaga warnet di sebuah warnet di kotanya. Acap kali diejek oleh keluarganya sendiri namun diam-diam mencoba melamar pekerjaan s...
LOVE, HIDE & SEEK
504      342     4     
Romance
Kisah cinta antara Grace, seorang agen rahasia negara yang bertemu dengan Deva yang merupakan seorang model tidak selalu berjalan mulus. Grace sangat terpesona pada pria yang ia temui ketika ia menjalankan misi di Brazil. Sebuah rasa cinta yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali saat Grace mulai berusaha menyingkirkan pria itu dari ingatannya. Akankah me...
Premium
Sakura di Bulan Juni (Complete)
20114      2213     1     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
ketika hati menentukan pilihan
378      286     0     
Romance
Adinda wanita tomboy,sombong, angkuh cuek dia menerima cinta seorang lelaki yang bernama dion ahmad.entah mengapa dinda menerima cinta dion ,satu tahun yang lalu saat dia putus dari aldo tidak pernah serius lagi menjalani cintanya bertemu lelaki yang bernama dion ahmad bisa mengubah segalanya. Setelah beberapa bulan menjalani hubungan bersama dion tantangan dalam hubungan mereka pun terjadi mula...
Konspirasi Asa
2802      966     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Mama Tersayang
404      314     2     
Short Story
Anya, gadis remaja yang ditinggalkan oleh ayah yang amat dicintainya, berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan. Kini, ia harus hidup berdua dengan ibu yang tak terlalu dekat dengannya. Senang atau tidak, Anya harus terus melanjutkan hidup tanpa ayah. Yang Anya tidak sadari, bukan hanya ia yang kehilangan ayahnya, ibunya pun kehilangan suami, dan teramat mencintai dia, Anya, putri satu-sa...
SWEET BLOOD
0      0     0     
Fantasy
Ketika mendengar kata 'manis', apa yang kau pikirkan? "Menghirup aromanya." Lalu, ketika mendengar kata 'darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Menikmati rasanya." Dan ketika melihat seseorang yang memiliki 'bau darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Mendekatinya dan menghisap darahnya."
NWA
2314      929     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
Rain Murder
2545      672     7     
Mystery
Sebuah pembunuhan yang acak setiap hujan datang. Apakah misteri ini bisa diungkapkan? Apa sebabnya ia melakukannya?
Flower
308      260     0     
Fantasy
Hana, remaja tujuh belas tahun yang terjebak dalam terowongan waktu. Gelap dan dalam keadaan ketakutan dia bertemu dengan Azra, lelaki misterius yang tampan. Pertemuannya dengan Azra ternyata membawanya pada sebuah petualangan yang mempertaruhkan kehidupan manusia bumi di masa depan.