Loading...
Logo TinLit
Read Story - Hug Me Once
MENU
About Us  

Dennis mengangkat alis heran begitu mendapati adik sepupu sahabat baiknya berbicara tanpa sopan santun padanya. Tapi setelah ia membuang sopan santun itu, ia kembali bicara seperti bagaimana dulu Dennis bicara pada Leo.

“Kamu nyeramahin aku tentang cara memperlakukan Marsha, sementara kamu sendiri meluk, rangkul, nepuk kepala, bahkan nyium-nyium tangan dia, memangnya dia istri kamu?” Dennis mendengus sinis.

“Oh, sekarang lo malah ngebahas perlakuan gue ke Marsha?” sergah Leo tidak mempedulikan cara bicara Dennis. “Nggak, lo nggak punya hak buat ngomong itu.”

“Aku—”

“Abangnya?” sela tertawa jahat. “Well, kalau emang lo abangnya, lo nggak bakal nelantarin dia, nyiksa dia, bahkan merendahkan dia. Lo bahkan nggak mau bersabar untuknya, dan malah menyebar fitnah ke semua orang yang membuat keluarga lo benci sama adik lo.”

Dennis bisa saja sudah berkelahi dengan Leo jika disana tidak ada Kiki dan ia tidak ingat siapa sebenarnya. Jadi ia pergi meninggalkan tempat itu, langsung menuju apartemannya.

Apa sebenarnya yang ia rasakan? Ia membenci Marsha sampai ia tidak mau lagi dan tidak peduli apa yang gadis itu lakukan tapi mengapa kali ini ia ingin Leo tahu bahwa ia tidak suka Leo memperlakukan Marsha seperti itu.

***

Hari-hari Dennis berjalan seperti biasa. Hadir di beberapa program acara, menjadi model iklan, datang ke konser amal, menghadiri pemutaran film, dan lain sebagainya. Pekerjaannya lancar, dan tidak ada gosip miring mengenai dirinya. Ia juga terbebas dari keharusan untuk memberikan uang jatah bulanan Marsha, mengingat ia sudah memberikan semua warisan orangtua yang dikhususkan untuk pendidikan gadis itu.

Ia juga sudah tidak pernah lagi menemui Kirana. Lagipula, untuk apa? Kirana pasti hana ingin membicarakan Marsha, dan bahkan hanya memikirkan namanya, Dennis merasa ingin muntah.

Belum lagi dengan Leo yang entah mengapa membuatnya selalu merasa darahnya mendidih. Marsha bahkan membiarkan Leo memperlakukannya begitu. Apa-apaan itu? Apakah benar adiknya sudah berubah menjadi.. nakal?

Dan kalaupun begitu, memangnya ia peduli?

Ia tidak mau tahu apa yang sedang terjadi dengan Marsha, ataupun apa yang gadis itu lakukan di kampus, ataupun perkembangan Marsha sekarang ini seperti apa. Itu sama sekali tidak ada gunanya untuk kehidupannya.

Setidaknya, itu sampai ia mendapat sebuah kiriman dari kantor pos pada suatu hari di bulan Juli.

Hari itu sudah sore ketika Dennis pulang bersama teman-temannya setelah bermain futsal bersama. Mereka masuk langsung menempati ruang tengah, merebahkan diri di karpet depan televisi.

“Eh, besok kayaknya bokap nyokap gue bakal ke sini.” celetuk Yusuf. “Mereka katanya mau lihat-lihat.”

“Oh?” sahut Lintang. “Kita gimana?”

“Ya emang mau minggat lo pas ortu gue dateng?” Yusuf sekarang duduk bersandar di sofa, mengamati teman-temannya. “Dulu pas neneknya Jordi dateng doi malah main-main sama kita.”

Jordi terkekeh. “Nenek gue emang dari dulu selalu akrab sama teman-teman gue. Jangan kaget.”

“Nenek lo umurnya berapa sih?” Dennis menimpali. Ia memejamkan mata, menikmati sejuknya pendingin ruangan.

“Tujuh lima.”

Semua orang langsung duduk. Keempatnya langsung berkata berbarengan, Jordi diserbu dengan tatapan tak percaya mereka.

“Sumpah?!”

“Demi apa?!”

“Seriusan lo?!”

“Bohong dosa, gila!”

“Serius.” jawab Jordi kalem. “Iya dia emang nggak kelihatan rapuh sama sekali. Uban di rambutnya aja jarang banget, heran gue. Nenek gue emang enerjik abis. Semua orang di keluarga gue aja heran tiap pagi dia masih jogging santai keliling kompleks rumah, walaupun rutenya nggak sejauh dulu. Dulu nenek gue tiap hari muterin GBK sama kakek gue. Pulang-pulang udah waktu makan siang.”

Semua orang menggeleng takjub, termasuk Dennis, yang digunakannya untuk menutupi kegetiran ekspresinya. Terkadang, omongan tentang keluarga seringkali membuat Dennis agak merasa sakit.

“Ngomong-ngomong, Mira gimana, Jo?” Thomas bertanya. “Kemaren ke sini dia.”

“Masih aja lo baik sama dia.” Jordi mendengus sinis. “Tau nggak? Gue diporotin abis-abisan sama dia.”

“Edan!” seru Lintang tak bisa menahan diri.

“Manajer gue ngasih rincian tagihan kartu kredit yang gue kasih ke Mira. Tuh anak sehari bisa ngabisin setengah milyar.”

“Tolol.” ejek Dennis. “Lagian ngapain ngasih kartu kredit di cewek sih?”

Jordi tersenyum malu. “Gue sayang banget sama dia soalnya.”

“Tapi dia lebih sayang duit lo.”  Yusuf tersenyum dengan begitu menjengkelkan. Membuat kepalanya dipukul Jordi. Semua orang tertawa.

“Eh, ngomong-ngomong, lo pada mau sop buntut nggak?” tanya Yusuf menawarkan. “Kemarin dikirimin ekor sapi dua kilo sama nyokap, lo pada tinggal beli bumbu-bumbunya abis ini. Gue masak malam ini.”

“Horeeeee!” seru Thomas seperti anak kecil yang dibelikan sekantung besar permen. “Akhirnya Ucup gue masak setelah berminggu-minggu!”

“Perasaan kemaren gue ninggalin rendang, dah.” dengus Yusuf menyipitkan mata.

“Udah abis kali, rendang lo enak gitu!” senyum Thomas melebar. “Parah emang masakan lo. Untung aja gue masih ingat masakan nyokap gue.”

“Seenggaknya kita punya orang yang bisa membuat kita makan bergizi disini.” sahut Dennis. “Nggak tahu lagi gue kalau tiap hari harus makan masakannya Lintang.”

“Enak aja!” seru Lintang merasa tersinggung. “Adik gue suka banget telur orak arik bikinan gue.”

“Yaelah, telur dicampur garem, kecap, sama saos doang mah, gue juga bisa kali.” Thomas berkata. “Udah ah. Cup, jadi masak nggak?”

“Jadi lah.” tegas Yusuf. “Tom, lo sama Dennis bantuin gue ngurusin ekor sapi dan nyiapin peralatan buat masak. Jojo sama Lintang aja yang belanja.”

“Heran gue, kenapa Lintang sih?” gumam Dennis. “Dia masak mie goreng aja angus loh, gimana bisa lo nyuruh dia nyari bumbu?”

Lintang mencibir kesal ke arah Dennis. Masak-memasak adalah salah satu topik yang bisa menjatuhkan dirinya.

“Rasa masakan Lintang emang miris banget, sampe bisa bikin gue nangis, tapi seenggaknya dia masih bisa bedain lengkuas sama jahe. Gue aja masih suka bingung. Emang lo bisa, Den?”

Lintang tertawa bahagia sekali.

“Ah lo mah jago masak mie goreng doang!” sambung Jordi kedengarannya membela Lintang. “Abang warmindo mah juga bisa kalo itu!”

“Ya lo tetep seneng kan kalau dimasakin mie sama gue?” Dennis menangkis sewot.

Yusuf yang sedari tadi menyimak adu mulut mereka dengan wajah datar. “Jadi masak ga neh?”

“JADI.” Empat suara rendah itu menyahut.

Yusuf mengambil secarik kertas dan pulpen di meja samping televisi, lalu menuju dapur. Empat orang lain mengikuti. Ia membuka kulkas, mengecek bahan masakan yang ada di sana, lalu menulis bahan-bahan yang harus dibeli. Ia memberikan kertas itu kepada Jordi, kemudian Jordi dan Lintang meninggalkan aparteman.

Sementara itu di dapur, Yusuf mengeluarkan ekor sapi dari dalam baskom yang tersendam air. Rupanya ekor sapi itu diletakkan di kulkas dan Yusuf sudah merendamnya sebelum mereka pergi bermain futsal.

“Emang pengen masak banget nih?” tanya Dennis dengan nada retoris. Ia sedang mencuci sebuah panci.

Yusuf tersenyum. “Gatel tangan gue kalo nggak masak.”

“Kan lo masak tiap hari di restoran lo, gimana sih?” sahut Thomas menyiapkan peralatan yang kira-kira dibutuhkan Yusuf.

“Ralat, tangan gue gatel nggak masak buat lo pada.” Yusuf meniriskan ekor sapi, lalu mulai membersihkannya. Sementara itu, Dennis menyiapkan panci presto dan air, sehingga Yusuf bisa langsung merebusnya. Begitu buntut sudah empuk, Thomas menyiapkan panci lain, sementara Yusuf menyisihkan buntut empuk itu dan merebus kembali kaldu.

Jordi dan Lintang datang ketika Yusuf tengah memotong-motong wortel dan kentang. Mereka segera memberikan bahan lain padanya, dan Yusuf mengolahnya dengan begitu cekatan, membuat keempatnya merasa tidak berguna hanya dengan memandangi Yusuf memasak. Tapi, Yusuf memang seperti itu. Ia jarang sekali meminta bantuan saat masak, kecuali meminta untuk mencuci piring.

Sop buntut itu jadi setengah jam kemudian. Yusuf membawa mangkuk berisi makanan itu ke ruang makan, sementara Jordi berinisiatif mengambil mangkuk besar lain dan mengisi nasi banyak-banyak. Dennis membawa setumpuk piring bersih, Lintang membawa lima pasang sendok dan garpu, sementara Thomas membawa lima buah gelas.

Pada saat itu, pintu aparteman mereka berbunyi. Jordi yang berjalan menuju pintu terlebih dahulu. Laki-laki itu kembali dengan membawa sebuah bingkisan kecil seukuran setengah kotak sepatu, memberikannya kepada Dennis.

“Buat lo.”

Dennis mengerutkan kening tidak mengerti. Ia memegangi benda itu. Permukaannya agak kasar. Siapa yang mau repot-repot mengirimkan benda itu padanya? Dan untuk apa?

Ketika membalik bingkisan itu, ia menahan napas saat membaca nama lengkap sang adik berserta sebuah nomor telepon, tertulis kecil-kecil di ujung paket.

Selera makan Dennis langsung hilang. Ia membuka kertas pembungkus itu dengan kasar.

Kemudian, sebuah benda berkilauan jatuh dari paket itu.

Dennis membelalak terkejut, mengambil kalung bermata bunga matahari. Dan setelah ia menyadari, ada juga sebuah gelang tali hitam bermata burung hantu kecil yang jatuh di lantai. Ketika semua pembungkusnya lepas, Dennis semakin heran karena isinya adalah sebuah compact disk. Tanpa pesan atau instruksi apapun.

***

“Tang, gue boleh pinjem komputer lu nggak?”

Ketika melihat compact disk itu, tanpa ada suruhan apapun, Dennis tahu ia harus melihat apa yang ada di dalam sana. Dan karena ini pemberian dari Marsha, dan entah mengapa ia memutuskan untuk tidak langsung membuang benda itu.

“Pake aja.” kata Lintang setelah meneguk segelas air. “Lo mau ngeliat isi kaset itu?”

Dennis mengangguk.

“Dari siapa?” Thomas bertanya begitu ia kembali dari dapur setelah mengantar piringnya.

“Nggak tahu. Nggak ada nama pengirimnya.” dusta Dennis. Ia berjalan mengikuti Lintang, yang menuju kamarnya. Seperangkat computer terletak di ujung ruangan samping jendela. Dengan cekatan, Dennis langsung menyalakannya. Lintang berdiri di belakangnya. Tak lama kemudian, Yusuf, Thomas, dan Jordi masuk ke kamar.

Menjawab tatapan kurang suka Dennis, Thomas menjawab. “Kita cuma pengen tahu. Emang siapa yang mau ngirim kaset ke elo? Lo ‘kan nggak punya keluarga di sini. Aneh aja lo dapet kiriman”

“Mungkin.. ini hadiah dari penggemar gue.” Dennis mencoba berspekulasi.

“Nggak mungkin dia nggak nulis nama dia sejelas mungkin.” Jordi menyahut. “Kalau itu penggemar lo, dia pasti pengen di-notice sama lo.”

Dennis sudah bisa menyangkal semua pernyataan itu. Ketika computer sudah sempurna menyala, ia menekan tombol di CPU untuk membuka CD drive. Ia meletakkan piringan kaset di sana, mendorong CD drive, dan mulai mencari tahu apa yang sebenarnya Marsha berikan kepadanya.

Hanya ada satu berkas di sana, dan berdasarkan formatnya, berkas itu adalah sebuah rekaman suara.

Dennis membukanya, menunggu. Awalnya hanya terdengar gemerisik tak jelas, sampai kemudian terdengar tarikan napas, suara deheman, dan suara Marsha.

Jordi dan Yusuf berlutut di antara Dennis yang duduk di kursi, sementara Thomas dan Lintang berdiri di belakang mereka.

 

“Bang Dennis, kalau Abang udah terima paket berisi rekaman ini, itu berarti aku benar. Aku sempat ragu alamat yang aku tulis salah, dan rekaman ini dikirim ke orang yang nggak berhak dan tepat. Bisa gila aku kalau sampai ada orang lain yang dapet kiriman ini.”

 

“Abang?” desis Thomas tak percaya, membelalak menatap Lintang. Jordi dan Yusuf juga sudah saling tatap tak percaya.

Lintang menaruh dari di depan bibirnya dan mengisyaratkan pada mereka untuk mendengarkan.

 

“Bang, aku mau ngucapin terima kasih yang sebesar-besarnya. Aku nggak akan bisa lupa gimana dulu Abang sayang banget sama aku, peduli sama aku, dan perhatian banget sama aku, padahal aku sama Abang sering berantem dan Abang kadang iri sama aku. Aku bener-bener nggak nyangka, Abang yang dulu sebegitunya sama aku, sekarang jadi benci banget sama aku.

Iya sih, aku sadar, aku sendiri yang buat Abang kayak gitu sama aku. Aku minta maaf, setelah dua tahun, baru kali ini aku berani ngomong soal Bapak dan Ibu.

Aku tahu, seharusnya aku nggak nunggu selama ini. Tapi kalau udah bicara soal Bapak dan Ibu, aku nggak bakal kuat. Aku pasti nangis. Aku bukan lagi adik Abang yang tangguh dan jarang nangis. Aku sekarang jadi cengeng dan sering nangis kalau keinget Bapak, Ibu, dan Abang.

Jadi, disinilah aku. Dengan cara pengecut, mengatakan kebenaran ke orang yang seharusnya sudah tahu dari dulu.

Aku harus mengakui, cerita para tetangga itu ada benarnya, walau tidak semuanya. Waktu itu, aku memang lagi di dapur. Aku pulang karena itu libur semester sebelum ujian nasional, dan aku nggak nunggu Abang karena Abang sibuk, aku nggak terlalu ngerti ruang lingkup pekerjaan Abang kayak apa. Aku lagi bantuin Ibu masak lontong sayur untuk Bapak. Oh ya, Bapak lagi di baca koran di ruang tamu, seperti biasa. Terus, Ibu ke kamar mandi. Kata Ibu, aku hanya perlu ngaduk pelan-pelan lontong sayur di panci biar santannya nggak pecah. Kupikir ngaduk-ngaduk kayak gitu bakal lama, jadi aku balik lagi ke kamar, ngambil buku Harry Potter aku, dan masuk lagi di dapur. Aku kaget pas aku masuk ke dapur, api udah menjalar kemana-mana. Perabotan masak punya Ibu yang terbuat dari plastik udah meleleh di lantai. Kakiku sakit karena lelehan itu. Dan disitu, aku bener-bener nggak tahu harus ngapain. Waktu itu Gianyar memang lagi berangin, dan aku kaget api udah kemana-mana. Dapur langsung sepenuhnya terbakar, dan ada aku di sana.

Aku cuma berdiri diam, ngeliatin api. Aku udah ngerasa kepanasan. Malahan, ujung bukuku terbakar, dan aku refleks membuang buku itu. Aku makin kaget karena apinya membesar, bajuku udah terbakar dan aku batuk-batuk. Mataku tertutup sejak api membesar karena bukuku. Disitu aku ngerasa aku bakal mati terbakar. Tapi tahu-tahu, aku ngerasa ada yang nyiram aku pakai air. Aku buka mata, dan ternyata itu petugas pemadam kebakaran. Aku melihat ke rumah. Aku teriak-teriak kayak orang gila waktu lihat seluruh rumah terbakar. Terus aku sadar ada yang aneh. Pas aku liat sekeliling, Bapak sama Ibu nggak ada. Aku udah mulai mikir yang nggak-nggak. Akhirnya, aku lari ke rumah yang terbakar itu.

Sayangnya, aku ditahan petugas pemadam kebakaran lain. Aku masih teriak-teriak, aku kasih tahu mereka, masih ada orang di dalam. Bapak sama Ibu di dalam. Tapi Abang tahu apa? Mereka bilang, api udah terlalu besar, sulit untuk masuk. Aku udah mulai panik dan nangis.”

 

Untuk sesaat, suara gemerisik di awal rekaman kembali terdengar. Lalu, terdengar suara tangisan yang begitu memilukan. Tidak tahan, Dennis sampai harus menekan tombol forward beberapa kali agar ia bisa mendengar lanjutan isi rekaman. Ketika suara Marsha terdengar lagi, Dennis meringis pedih. Gadis itu bicara dengan isakan pelan yang ditahan-tahan. Suaranya menjadi jauh lebih emosional, jauh lebih menyedihkan, dan jauh lebih tertekan karena perasaan bersalah.

 

“Setelah akhirnya api padam seluruhnya, aku langsung bisa ngelepasin petugas pemadam kebakaran yang nahan aku. Mereka yang tadi memadamkan api sudah mencari-cari di tumpukan puing gosong rumah. Lalu mereka kembali dengan membawa tandu. Aku langsung tahu itu Bapak dan Ibu pas mereka menaruh dua tandu di depan aku. Aku nangis-nangis ngeliat tubuh Bapak dan Ibu hangus terbakar. Para tetangga mulai datang, membantu untuk membersihkan sisa rumah, dan mempersiapkan pemakaman Bapak dan Ibu.

Saat itu aku bener-bener takut sama semua orang, bahkan sama suami bu Tina yang nawarin teh ke aku aja aku takut banget. Aku nggak berani ngomong apapun ke siapapun. Bayangan Bapak sama Ibu yang hangus membuatku nangis lagi. Seharian itu aku nggak berhenti nangis. Banyak orang yang nenangin aku tapi aku masih nggak bisa berhenti nangis. Aku nggak nyangka aku bakal kehilangan Bapak dan Ibu secepat itu, padahal aku mau liat ekspresi mereka waktu aku nanti masuk perguruan tinggi favoritku. Aku bahkan nggak sempat minta maaf sama mereka, atau bilang sayang sama mereka. Mereka pergi, dan nggak bakal kembali lagi. Dan aku masih aja nangis.

Terus, bu Tina, pemilik warung samping rumah, dia nelpon Abang. Dan aku yang lagi nangis-nangis, aku langsung diam.

Aku jadi takut banget sama Abang, takut Abang nuntut cerita. Aku masih nggak bisa ngomong apa-apa, termasuk sama Abang. Aku cuma bisa nangis, terus diam, terus nangis lagi. Akhirnya, aku kabur diam-diam. Aku hanya ngeliat dari jauh upacara pemakaman Bapak dan Ibu. Disitu aku udah liat beberapa saudara Ibu udah datang. Mereka juga nangis, dan dihibur oleh para tetangga. Agak siangan, keluarga Bapak datang. Dan mereka nangis juga. Aku benar-benar nggak bisa nahan air mataku hari itu.

Sore harinya, Abang datang. Aku udah punya niat untuk lari dan nangis-nangis sambil dipeluk Abang. Aku diam-diam menyelinap di antara puing-puing, tapi aku nggak ngeliat Abang. Pas aku udah mau pergi, Om Rio nanya aku ke para tetangga, dan mereka jawab nggak tahu, sampai ada yang bilang persis seperti apa yang tante Maya bilang ke Abang. Yang soal mereka ngeliat aku di dapur dan aku yang membakar rumah.”

 

Marsha berhenti bicara untuk kembali menangisi setiap kata yang sudah dia ucapkan. Ia kembali menarik napas, bicara lagi. Suaranya tersendat-sendat.

 

“Akhirnya Abang tahu apa yang terjadi sama Bapak dan Ibu dua tahun lalu.. selama ini sejak tante Maya datang ngeliat kita, aku mengumpulkan niat untuk mengatakan semua ini sama Abang.. aku bahkan sudah berniat untuk datang ke aparteman Abang dan menjelaskannya sendiri. Tapi, aku sibuk dengan program pertukaran mahasiswa yang sedang aku ikuti. Aku.. aku mengurus banyak hal.. menerjemahkan dokumen, ikut tes IELTS, sampai akhirnya aku dapat jadi peserta program itu dan aku akan berangkat bulan Agustus awal. Jadi, kalau Abang udah dengar rekaman ini, berarti aku udah ada di ruang tunggu, atau bahkan pesawatku udah berangkat.

Ah, ya. Aku juga mengembalikan kalung yang dulu Abang kasih ke aku, dan gelang yang dibeliin Bapak dan Ibu untuk kita. Aku nggak butuh lagi. Dua tahun terakhir, ngeliat kalung itu hanya membuat aku mengingat sebuah tindakan kasar Abang padaku. Kalau Abang mau menjual kalung itu, silahkan. Aku sudah tidak ada di sini untuk memakai kalung itu. Gelang itu juga membuat aku keinget Bapak dan Ibu, yang akan membuatku menangis lagi.

Dan aku harap setelah ini Abang jangan pergi ke kak Kiki ataupun Leo, karena mereka sama sekali nggak tahu soal Bapak dan Ibu. Aku juga nggak cerita ke mereka, kalau Abang mau tahu. Aku sama sekali nggak cerita ke Leo soal program pertukaran mahasiswa yang aku ikuti. Sekali lagi, Abang jangan marah ke mereka karena Abang pikir mereka sudah tahu. Mereka sama sekali belum tahu, dan aku mau Abang bersedia memberikan rekaman ini kepada kak Kiki. Atau, Abang bisa menceritakan kembali isi rekaman ini kepada keduanya.

Ah.. ini benar-benar melegakan. Aku bodoh karena baru mengatakannya sekarang. Aku minta maaf sudah membuat Abang menunggu. Dan terima kasih udah mau mendengar rekaman ini. Aku nggak butuh Abang percaya sama aku atau nggak, tapi seenggaknya, tugasku sudah selesai. Aku tidak punya hutang apapun lagi. Dan juga.. Bang Dennis, selamat tinggal.”

 

Dengan kata-kata itu, pengakuan pun berakhir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • DijiDeswitty

    Ahhhi gemeeees Uda kepooo

    Comment on chapter 6 - Sakit
Similar Tags
14 Days
970      676     1     
Romance
disaat Han Ni sudah menemukan tempat yang tepat untuk mengakhiri hidupnya setelah sekian kali gagal dalam percobaan bunuh dirinya, seorang pemuda bernama Kim Ji Woon datang merusak mood-nya untuk mati. sejak saat pertemuannya dengan Ji Woon hidup Han Ni berubah secara perlahan. cara pandangannya tentang arti kehidupan juga berubah. Tak ada lagi Han Han Ni yang selalu tertindas oleh kejamnya d...
The Secret Of Donuts
1321      833     9     
Fantasy
Masa lalu tidak dapat dibuang begitu saja. Walau, beberapa di antara kita berkata waktu akan menghapusnya, tapi yakinkah semuanya benar-benar terhapus? Begitu juga dengan cinta Lan-lan akan kue donat kesukaannya. Ketika Peter membawakan satu kue donat, Lan-lan tidak mampu lagi menahan larangan gila untuk tidak pernah mencicipi donat selamanya. Dengan penuh kerinduan, Lan-lan melahap lembut kue t...
REASON
9395      2276     10     
Romance
Gantari Hassya Kasyara, seorang perempuan yang berprofesi sebagai seorang dokter di New York dan tidak pernah memiliki hubungan serius dengan seorang lelaki selama dua puluh lima tahun dia hidup di dunia karena masa lalu yang pernah dialaminya. Hingga pada akhirnya ada seorang lelaki yang mampu membuka sedikit demi sedikit pintu hati Hassya. Lelaki yang ditemuinya sangat khawatir dengan kondi...
Dear Vienna
375      286     0     
Romance
Hidup Chris, pelajar kelas 1 SMA yang tadinya biasa-biasa saja sekarang jadi super repot karena masuk SMA Vienna dan bertemu dengan Rena, cewek aneh dari jurusan Bahasa. Ditambah, Rena punya satu permintaan aneh yang rasanya sulit untuk dikabulkan.
Werewolf Game
558      415     2     
Mystery
Saling menuduh, mencurigai, dan membunuh. Semua itu bisa terjadi di Werewolf Game. Setiap orang punya peran yang harus disembunyikan. Memang seru, tapi, apa jadinya jika permainan ini menjadi nyata? Cassie, Callahan, dan 197 orang lainnya terjebak di dalam permainan itu dan tidak ada jalan keluar selain menemukan Werewolf dan Serial Killer yang asli. Bukan hanya itu, permainan ini juga menguak k...
5 Years 5 Hours 5 Minutes and 5 Seconds
544      384     0     
Short Story
Seseorang butuh waktu sekian tahun, sekian jam, sekian menit dan sekian detik untuk menyadari kehadiran cinta yang sesungguhnya
Peringatan!!!
2375      1024     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Rain, Maple, dan Senja
967      588     3     
Short Story
Takdir mempertemukan Dean dengan Rain di bawah pohon maple dan indahnya langit senja. Takdir pula yang memisahkan mereka. Atau mungkin tidak?
Foodietophia
525      396     0     
Short Story
Food and Love
Frasa Berasa
66067      7357     91     
Romance
Apakah mencintai harus menjadi pesakit? Apakah mencintai harus menjadi gila? Jika iya, maka akan kulakukan semua demi Hartowardojo. Aku seorang gadis yang lahir dan dibesarkan di Batavia. Kekasih hatiku Hartowardojo pergi ke Borneo tahun 1942 karena idealismenya yang bahkan aku tidak mengerti. Apakah aku harus menyusulnya ke Borneo selepas berbulan-bulan kau di sana? Hartowardojo, kau bah...