Aku merasakan seperti baru terlahir kembali. Lega banget. Walaupun baru aku, Dika, dan Lyana yang tahu tentang fakta di balik foto sialan itu, tapi itu cukup membuatku lega. Tidak lama lagi. Sebentar lagi, setelah Dika selesai menyusun bukti untuk dibawa ke Kepala Sekolah, aku akan terbebas dari fitnah keji itu. Dan yang harus kulakukan selanjutnnya adalah, membersihkan namaku di sekolah ini. Kemudian melanjutkan hidup damaiku seperti sebelum kemunculan foto itu.
“Are you okay?” Lyana berkata. Aku menatap Lyana yang sedang menatapku dengan tampang jijik. “Lo waras, kan?” Memang sialan nih bocah.
“Sialan lo.” Aku menepuk dahi Lyana yang selalu tertutup poni itu. “Sebentar lagi, gue akan terbahak di depan Ralin.” Senyumku semakin lebar menyadari bahwa sebentar lagi aku akan bebas dari fitnah foto itu.
“Ya. Terbahaklah sepuas lo.” Lyana menanggapi dengan ogah-ogahan. “Setidaknya gue nggak akan lagi melihat muka menyedihkan elo.”
“Sialan.”
“Tapi, Ra. Gimana sama Arda? Emang beneran dia terlibat?” Lyana memelankan suaranya.
Aku tidak langsung menjawab. Menarik napas perlahan terlebih dulu. “Nggak tau, Yan. Informasi dari Wawan nggak jelas. Dia cuma ngasih ciri-ciri cowok yang dateng ke tempatnya sama Ralin. Wawan sendiri juga nggak lihat muka tuh orang. Gue sih curiganya Arda. Tapi, nggak bisa juga asal tuduh tanpa bukti begitu.”
Dalam hati aku berharap bahwa itu bukan Arda. Agar aku ada alasan untuk tidak membencinya. Sejujurnya aku masih mengharapkan dia. Hanya saja, melihat kedekatannya dengan Ralin akhir-akhir ini, membuat keinginanku untuk memilikinya menguap begitu saja.
“Gue sih tetep nggak percaya kalo Arda terlibat.”
Mendengar perkataan Lyana, dadaku tiba-tiba terasa sesak.
“Nggak taulah, Yan. Dengan terbongkarnya fakta kalau Ralin-lah pelaku rekayasa foto itu, dengan sendirinya siapa saja yang terlibat juga akan terbongkar.” Aku menoleh ke kanan untuk menatap Ralin dan gerombolan pagar ayu-nya yang sedang tertawa centil di pojokan kantin. Sekarang dia bisa tertawa, sebentar lagi dia akan menangis.
Aku kembali menatap Lyana yang sedang menatapku dengan serius. “Gue sih berharapnya Arda nggak ikut terlibat.”
“Kalo misalkan Arda beneran terlibat seperti yang lo dan Dika curigai, bagaimana?”
Aku menatap menerawang. Apa yang akan aku lakukan kalau Arda terlibat? “Gue nggak akan berani lagi berharap apa-apa dari dia. Mungkin?” Aku menggantung kalimatku untuk mengambil smartphonne yang bergetar di saku rokku. “?mungkin memang udah jalannya gue nggak akan sama dia.” Aku melanjutkan kemudian menjawab panggilan telepon dari Dika.
“Ya, Dik?” Aku kembali memasukkan smartphone ke saku rok sambil berdiri.
“Ke ruang Kepsek sekarang, Ra.” Suara Dika terdengar tegang. Tanpa bisa kucegah dadaku jadi berdegup cepat.
“Oke. Gue ke sana sekarang.” Kataku kemudian mematikan sambungan telepon dan memasukkan smartphone ke saku rok.
“Dika udah laporin semuanya ke Kepsek. Gue disuruh ke sana.” Aku berkata pada Lyana.
“Gue gimana?” Lyana ikut berdiri.
“Lo tunggu di sini aja. Atau kalo mau ikut, lo bisa tunggu di luar ruangan Kepsek.”
“Gue ikut aja deh. Nggak tenang kalo di sini sendirian.”
“Ya udah ayo.” Aku berjalan ke luar kantin bersama Lyana.
Aku sempat menoleh sesaat ke arah Ralin dan pagar ayu-nya. Ada Pak Rahman, pesuruh sekolah di antara mereka. Wajah Ralin terlihat muram. Mungkin ada hubungannya juga dengan alasan aku di panggil ke ruang Kepala Sekolah. Ah, masa bodoh. Saat ini aku sedang menuju tempat yang akan menentukan kelanjutan hidupku di sekolah ini.
----
Disaat yang bersamaan, Rafa juga mendatangi ruang Kepala Sekolah. Dan aku yakin sebentar lagi Ralin juga tiba di tempat ini. Wajah Rafa terlihat tenang. Dia tidak menyapaku. Hanya menatapku sekilas kemudian mengetuk pintu ruang Kepala Sekolah.
“Lo tunggu di sini ya, Yan. Doain gue semoga masalah ini cepet selesai.” Aku menatap Lyana. Lyana tidak menjawab. Hanya mengangguk dengan wajah cemas. Tidak lama kemudian Pak Danu membuka pintu ruang Kepala Sekolah.
“Masuk, kalian!” Pak Danu berkata padaku dan Rafa.
Tanpa berkata apa pun aku mengikuti Rafa masuk ke ruangan Kepala Sekolah. Semua menatap ke arahku dan Rafa. Aku mengedarkan tatapan ke penjuru ruangan. Sama dengan yang hadir saat aku dipanggil ke ruang Kepala Sekolah seminggu lalu itu. Bapak Kepala Sekolah, Pak Danu, Bu Indira, Bu Wahyu, Pak Harlan, ditambah Bu Sika wali kelas Rafa dan Ralin. Dan… Arda? Apa itu artinya Arda terlibat?
Mata Arda terus terarah padaku. Bahkan aku masih salah tingkah saat ditatap Arda seperti itu. Apa keterlibatannya dalam kasus ini belum juga bisa membuatku untuk membencinya? Setidaknya untuk tidak mengharapkannya.
“Duduk kalian!” Perintah Kepala Sekolah dengan suara dingin.
Aku duduk di depan beliau berdampingan dengan Rafa. Sedangkan beberapa guru yang ada di ruangan itu duduk di sofa pojok ruangan, kecuali Pak Harlan yang duduk di kursi samping meja Kepala Sekolah. Tetap setia dengan laptopnya. Arda dan Dika berdiri berjajar bersender di tembok belakangku. Wajah mereka terlihat datar tanpa ekspresi. Tidak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk
Semua mata menoleh ke arah pintu. Seketika itu muncullah Ralin dengan wajah piasnya. Jujur, aku senang melihat pemandangan itu, tapi ada juga rasa kasihan. Biar bagaimana pun aku juga manusia yang mempunyai hati.
“Duduk, kamu!” Perintah Kepala Sekolah. Bersamaan dengan itu, Pak Harlan berdiri dari duduknya. Menggeser kursi yang didudukinya tadi ke samping Rafa. Ralin berjalan menghampiri kursi itu dan mendudukinya.
Mendadak suasana menjadi hening. Tanpa bisa kucegah dadaku berdebar menunggu apa yang akan terjadi. Kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, ‘berhasilkah Dika meyakinkan Kepala Sekolah atau malah sekali lagi aku yang kalah?’.
Bapak Kepala Sekolah menatap Pak Harlan, kemudian berkata, “Silahkan, Pak Harlan.”
“Baik, Pak.” Jawab Pak Harlan.
Pak Harlan berjalan menuju ujung kanan meja Kepala Sekolah. Dan aku baru menyadari kalau ternyata di sana terdapat sebuah proyektor. Pak Harlan menyalakan proyektor yang diarahkan ke whiteboard yang terletak menempel dengan dinding di sisi kananku. Semua mata mengarah ke sana. Yang paling terlihat bingung adalah Ralin. Sedangkan Rafa, wajahnya masih datar tanpa ekspresi.
“Mungkin di antara semua yang ada di ruangan ini, ada beberapa orang yang masih bingung tentang apa alasan dia dipanggil ke ruangan ini. Dan yang akan saya tunjukkan ini, akan menjawab kebingungan beberapa orang tersebut.” Pak Harlan berkata sambil menatapku, Rafa, dan Ralin lekat-lekat. Dadaku berdebar hebat.
“Ini mengenai foto yang beredar di sekolah beberapa waktu lalu. Bukti yang di bawa Dika dan Arda.” Lanjut Pak Harlan.
Aku tercekat. Arda membawa bukti? Bukti yang menolongku apa bukti yang semakin menyudutkanku? Aku menoleh untuk menatap Arda dan Dika. Mereka balas menatapku tanpa ekspresi.
“Disini, akan terjawab siapa dalang dibalik tersebarnya foto itu.” Pak Harlan melanjutkan.
Aku menoleh kembali untuk menatap whiteboard begitu mendengar suara Pak Harlan. Whiteboard berukuran satu kali satu meter itu mulai dipenuhi dengan gambar yang aku dan Dika dapatkan dari Wawan kemarin. Mulai dari gambar Ralin dan Wawan (wajah Wawan dibuat blur) sampai gambar Ralin dan Rafa dengan pose WOW. Ternyata Dika sudah menyusunnya dengan powerpoint. Mirip materi presentasi Geografi kami beberapa waktu lalu itu.
Aku menoleh demi melihat ekspresi Ralin dan Rafa. Ralin, terlihat semakin menyedihkan dengan wajah pucat pasinya. Terlihat jelas kegelisahan dan ketakutan yang terpancar dari wajahnya. Sedangkan Rafa, aku benar-benar nggak habis pikir. Ini cowok punya hati atau tidak, sih? Ekspresinya sedatar saat dia bertemu denganku di depan ruang Kepala Sekolah tadi. Nyaris tanpa ekspresi. Tapi matanya tetap tidak teralih dari whiteboard.
Aku mengalihkan kembali tatapanku ke whiteboard yang sedang menayangkan gambar lain Ralin dengan pose tidur miring. Foto itu bukan foto yang kudapat dari Wawan. Entah Dika mendapatkannya dari mana. Dalam foto itu, bagian bawah kemeja putih Ralin sedikit tersibak dan menampilkan tato Kalajengking di pinggang kiri bagian bawah. Yang beberapa waktu lalu sempat dibahas Dika. Tato itu dilingkari dengan warna merah untuk menegaskan keberadaannya. Dan di sebelah foto itu ada foto sialan yang tersebar kemarin, yang masih bergambar wajahku. Bagian tato di pinggang bawah juga dilingkari dengan warna merah. Dan, berakhirlah rangkaian foto itu.
Kemudian terdengar suara kresek-kresek lalu terdengar percakapan Ralin dengan seorang cowok. Yang aku kenali dengan suara Arda. Aku menajamkan pendengaran. Pak Harlan mengeraskan volume speaker aktif.
“Yang nyebar foto Tara itu, elo bukan, sih?” Suara Arda bertanya. Dengan sedikit bunyi kresek-kresek. Tapi suara Arda masih terdengar cukup jelas.
Terdengar suara tawa pelan Ralin. “Mmm… tapi jangan kasih tau siapa-siapa, ya?” Dari intonasi suara Ralin yang naik turun, aku bisa menebak kalau cewek itu sedang mabuk. Mungkin Arda sengaja membuatnya mabuk agar Ralin bisa jujur tentang foto itu.
“Nggak akan.” Suara Arda lagi.
“Yang nyebar itu foto gue. Dan lo tau… itu sebenernya foto gue sama Rafa. Canggih kan, gue? Bisa ganti wajah gue dengan wajah Tara.” Ralin menjawab pertanyaan Arda dengan diakhiri tawa. Jenis tawa orang gila kalau menurutku.
“Lo sendiri yang edit?” Suara Arda lagi.
“Hmm…”
“Lin, lo sendiri yang edit?” Arda bertanya lagi. Diam beberapa detik. “Ralin… hei.. gue belum selesai.
Tidak ada sahutan dari Ralin. Dan rekaman itu berakhir. Berganti dengan rekaman suaraku, Dika, dan Wawan kemarin. Lengkap, dari awal sampai akhir. Emm… nggak juga, sih. Bagian dimana Wawan meminta untuk membungkam mulut Ralin dan menyerahkan foto Ralin dengan Om-Om itu sudah dihapus oleh Dika. Canggih juga itu bocah.
Rekaman percakapanku dengan Dika dan Wawan berakhir. Semakin mempertegas keheningan di ruangan Kepala Sekolah. Aku menghembuskan napas lega. Kemudian kembali menoleh untuk menatap Ralin yang saat ini sedang menunduk dalam. Tangannya bergetar hebat, saling bertautan di atas pangkuan. Bisa kutebak kalau tangannya pasti sudah sedingin es. Sedangkan Rafa, tetap tanpa ekspresi. Matanya menatap lurus ke depan. Ke arah Kepala Sekolah.
“Saya rasa, saya tidak perlu menyebutkan siapa yang memfitnah dan siapa yang difitnah. Dengan bukti yang didapat Arda, Dika, serta Tara sudah sangat jelas siapa yang bersalah.” Kepala Sekolah berhenti sejenak. Mengalihkan tatapannya dari Ralin-Rafa kepadaku. “Tara, apa kamu ingin menyelesaikan masalah ini secara?” Pak Kepsek menggantung kalimatnya.
Aku tersenyum sopan. “Enggak, Pak. Buat saya, asal pelaku perekayasa dan penyebar foto itu di temukan, itu sudah cukup. Saya rasa Bapak yang lebih berwenang untuk mengambil tindakan atas ulahnya.”
“Baiklah kalau begitu.” Bapak Kepala Sekolah mengeluarkan dua buah amplop warna putih dari dalam laci mejanya. Membaca sekilas bagian depan kedua amplop itu. Kemudian meletakkan satu di depan Rafa dan satu di depan Ralin.
Rafa menatap amplop itu. Kali ini tatapannya terlihat nanar. Tidak berkomentar sama sekali. Sedangkan Ralin, aku melihat matanya berkaca-kaca. Entah menangis karena takut, malu, atau menangisi dosanya yang kalau ditumpuk mungkin sudah setinggi Monas.
“Mulai besok kalian tidak perlu datang ke sekolah lagi. Silahkan cari sekolah yang bisa menerima kalian.” Tegas Kepala Sekolah mengatakan itu. “Saya rasa tidak ada yang ingin saya sampaikan lagi. Rafa dan Ralin, silahkan kemasi barang kalian dan segera tinggalkan sekolah ini. Saya tunggu kedatangan orangtua kalian besok di sini.”
Rafa benar-benar bungkam. Ekspresinya semakin tidak terbaca. Dia mengambil amplop itu dari atas meja dengan gerakan pelan kemudian berdiri. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia meninggalkan ruang Kepala Sekolah. Sedangkan Ralin?
“Gue benci sama lo. Gue bersumpah, akan bikin hidup lo nggak tenang, Tara.” Ralin berteriak histeris kemudian berdiri dan menyerangku dengan jambakan di rambut. Aku tersentak. Tidak sempat menghindar karena kejadiannya tidak terduga dan begitu cepat.
Aku memejamkan mataku saat merasakan sakit yang tidak terkira di kepalaku. Rambutku serasa tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku bisa mendengar suara ribut semua orang yang ada di ruangan Kepala Sekolah untuk melepaskan tangan Ralin dari kepalaku. Tubuhku sedikit tersentak ke belakang saat Ralin melepaskan cengkeraman tangannya dengan kasar. Aku merasakan tangan kekar Arda memegangi kedua bahuku.
“Lo gila, ya?” Arda berseru tertahan.
Aku meringis sambil memegangi kepalaku yang berdenyut hebat. Ralin saat ini dipegang kuat oleh Pak Harlan dan Pak Danu, aku rasa dia adalah iblis yang menjelma menjadi manusia. Matanya nyalang menatapku. Sungguh mengerikan.
“Lo juga brengsek, Arda. Lo penipu.” Ralin meneriakkan itu dengan kalap. Airmatanya mengalir deras. Aku melihat luka di matanya. “Padahal gue percaya banget sama lo.” Kali ini suaranya lirih. Terdengar memilukan. Kemudian tiba-tiba dia tertawa terbahak. Membuat bulu kudukku meremang. Semua guru saling pandang. Ralin mengalihkan tatapannya padaku.
“Lo ingat Maisya, Ra? Maisya Rahardjo temen SD lo. Yang sering lo bully sama temen-temen lo. Yang lo sama temen-temen lo bilang cupu. Yang sahabat satu-satunya pernah lo rebut.” Ralin berkata dengan nada naik turun penuh emosi. “CEWEK ITU GUE, RA. GUE!” Ralin berteriak dengan kalap. Berusaha berontak dan hampir saja tendangan kakinya mengenai perutku kalau saja Arda tidak menarik tubuhku ke belakang.
“Dan sekarang, gue kembali, buat balas dendam ke elo. Ini belum selesai, Ra. Gue akan pastiin hidup lo nggak bakal tenang.”
Sumpah. Aku benar-benar syok mendengar pengakuan Ralin barusan. Maisya Rahardjo. Cewek nerd bertubuh kurus, berkulit putih pucat, berkacamata tebal, berambut keriting yang dulu memang sering aku bully dengan teman-temanku, adalah Ralin. Dia dendam padaku atas semua itu. Dan sengaja mencariku untuk balas dendam. Tapi, bukankah bukan hanya aku yang melakukan itu? Kenapa dia hanya balas dendam padaku? Lagi pula, bukankah Maisya ikut Mamanya ke Singapura?
Astaga. Separah inikah akibat dari kenakalanku masa SD dulu? Tapi, sumpah. Soal dia bilang aku merebut sahabat satu-satunya, itu nggak benar. Demi Tuhan, Rico-lah yang meninggalkan Maisya dan memilih bergabung dengan anak-anak lain. Untuk alasan Rico meninggalkan Maisya, aku benar-benar tidak tahu.
Ralin terbahak lagi. Kemudian menangis. “Lo tau, Ra. Hidup gue hancur waktu itu. Orangtua gue cerai, nyokab gue selingkuh, lo ambil Rico dari gue, dan gue dipaksa nyokab buat ikut dia sama selingkuhannya ke Singapura.” Suara Ralin terdengar serak. Dia tertawa sinis kemudian terisak.
“Orang itu perkosa gue.” Lirih Ralin mengatakan itu.
Aku membekap mulutku dengan kedua tangan. Aku merasa sangat bersalah. Merasa sangat jahat. Air mataku mengalir deras. Tubuhku terasa lemas. Meluruh dalam pelukan Arda.
“Dan semua itu gara-gara elo? Kalau lo nggak rebut Rico dari gue, gue akan tetap stay di Indonesia. Dan semua ini nggak akan terjadi. Ini karena elo, Tara. KARENA ELO!” Ralin kembali berteriak dan berusaha keras untuk lepas dari cekalan Pak Harlan dan Pak Danu. Aku semakin terisak.
Semua itu karena aku?
“Bawa dia keluar, Pak. Antar pulang sekalian.” Perintah Kepala Sekolah pada Pak Danu dan Pak Harlan.
“Baik, Pak.” Pak Danu dan Pak Harlan menjawab serempak. Kemudian menyeret paksa Ralin untuk keluar dari ruang Kepala Sekolah.
Ralin berontak. Dia berteriak lagi sebelum menghilang di balik pintu. “Lo harus rasain apa yang gue rasain, Tara. LO HARUS RASAIN!”
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Karena aku, hidup orang lain berantakan seperti itu. Aku semakin terisak. Yang kurasakan sekarang, tubuhku bergetar hebat dalam pelukan Arda. Dan Arda semakin mengeratkan pelukannya.
???
“Minum, Ra.” Lyana menyerahkan segelas teh hangat padaku. Aku menerimanya kemudian meminumnya sampai habis setengah.
Samar-samar aku mendengar suara beberapa anak yang ada di kantin, mereka terlihat sedang bergosip. Dari yang aku dengar karena suara mereka cukup keras, sepertinya mereka sudah tahu apa yang terjadi tiga puluh menit lalu di ruang Kepala Sekolah. Secepat itukah gosip menyebar di sekolah ini?
Aku menundukkan wajah dalam-dalam. Merasa sangat bersalah atas apa yang menimpa Ralin. “Jadi itu semua karena gue?” Aku berkata lirih. Entah aku mengatakannya untuk yang keberapa kali selama tiga puluh menit ini.
“Ra, nggak sepenuhnya salah lo. Lagipula itu zamannya kalian masih SD. Masih anak-anak.”
Aku mengangkat kepalaku. Menatap Lyana dengan frustasi. “Tapi dia masih inget, Yan. Dia dendam sama gue. Dan sekarang dia nyari gue buat balas dendam. ”
“Masalah sebenarnya adalah perceraian orangtuanya. Dia hanya nggak bisa menerima keadaan. Dan menyalahkan segala sesuatu yang pernah membuatnya terluka. Termasuk elo.” Dika menyahut.
“Nggak, Dik. Ini salah gue. Lo denger sendiri, kan, dia bilang apa tadi. Kalau saja waktu itu gue nggak jahat sama dia, kalau saja gue dan temen-temen gue nggak nge-bully dia, dia nggak akan ngalamin?”
“Tara. Kamu bisa nggak, sih, berhenti nyalahin diri sendiri begitu?” Arda memotong kalimatku dengan bentakan. Aku langsung bungkam. Menoleh untuk menatap Arda yang duduk disampingku. Baru ngeh kalau sejak tadi dia berada di antara aku, Lyana, dan Dika.
Arda menatapku dengan tatapan tajam, tapi nggak ada kemarahan disana. Diam-diam, aku merindukan saat-saat seperti ini. Duduk berdampingan dengannya. Saling tatap. Mencium aromanya yang maskulin. Khas Arda.
“Emm… sayang, kamu laper nggak, sih? Aku mau makan Soto deh kayaknya? Kita pesen yuk?” Suara Dika membuatku tersadar dari lamunan. Aku menoleh untuk menatapnya yang sedang berdiri dengan mengelus-elus perutnya didepanku.
“Aku butuh es teh kayaknya. Buat dinginin kepala yang rasanya mau kebakar.” Lyana menyahut kemudian berdiri dan menarik tangan Dika untuk mengikuti langkahnya.
“Eh?” Aku berseru panik. Tapi tidak tahu kenapa kakiku seperti tidak mau bergerak. Ingin tetap berdiam di samping Arda.
Lyana dan Dik sudah menghilang. Tinggal aku berdua Arda yang kini sedang sama-sama terdiam. Aku sama sekali nggak berani menatap Arda. Dan Arda, sama sekali tidak bersuara. Nggak ngomong apa-apa. Napasnya pun nggak kedengaran.
“Jangan nyalahin sendiri kayak gitu.” Akhirnya Arda berkata. Nadanya suaranya terdengar lebih lembut.
“Thanks, udah dibantuin.”
“Bukan masalah.” Arda menjawab pelan.
“Eee… maaf juga soal yang dulu itu.” Aku berkata lagi. Arda tidak langsung menjawab. Tercipta jeda beberapa detik.
“Yang mana?” Akhirnya Arda bertanya setelah diam beberapa detik. Tapi dengan tatapan masih lurus ke depan.
“Soal Rafa.”
“Oh.”
Hening.
Ngomong dong, Arda. NGOMONG! Rasanya ingin sekali aku teriakkan kalimat itu tepat di telinga Arda. Sepertinya dia sengaja sekali membuatku mati kutu dengan nggak menanggapi omonganku.
Daripada tersiksa dengan keadaan seperti ini, akhirnya aku berkata, “Ya udah, aku mau balik ke kelas.”
Lalu aku berdiri. Diam sesaat untuk menunggu reaksi Arda. Tidak ada reaksi. Akhirnya aku meninggalkan Arda yang masih sibuk menatap entah apa di depannya. Yang sepertinya lebih menarik daripada aku.
----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU