Aku menatap Lyana yang sedang makan Soto dengan lahapnya. Nggak tahu kenapa, sejak kejadian di café kemarin, nafsu makanku jadi menghilang. Bahkan tanpa makan pun aku juga nggak merasa lapar.
Samar-samar aku mendengar kasak-kusuk yang menyebut namaku. Aku menoleh ke sumber suara. Seketika segerombol cewek yang sepertinya kelas dua belas itu langsung diam dan sok sibuk dengan makanan masing-masing. Bahkan ada juga yang masih terang-terangan menatapku dengan tatapan menghina.
Sepertinya mulai sekarang aku harus mulai terbiasa dengan kondisi seperti ini. Dicaci, dimaki, dijadikan bahan gosip. Terserah!. Silahkan lakukan itu sepuas kalian. Dan tunggu sampai aku menemukan pelaku penyebar foto itu. Maka kalian akan berbondong-bondong mendatangiku untuk meminta maaf.
Dan lihatlah, Arda dan gerombolannya yang duduk di pojok kantin itu. Sebentar-sebentar menatapku kemudian tertawa. Arda sih hanya diam. Tapi teman-temannya itu lho, rasanya pengen nimpuk mereka satu persatu dengan mangkok sambal di hadapan Lyana itu. Apalagi si Rangga tuh, sialan emang tuh bocah. Padahal mereka sempat dekat denganku, lho. Bisa gitu ya, dalam waktu sekejap berubah memusuhiku?
Dari masalah yang kualami ini aku jadi tahu. Disaat kita mendapat masalah, disitulah kita tahu mana yang tulus berteman dengan kita dan mana yang tidak. Dalam kasusku ini, Lyana dan Dika-lah yang tulus berteman denganku. Dan mereka-mereka yang dulu berdiri disampingku, sekarang berbalik menyerangku. Ya seperti Arda dan teman-temannya itu.
Sialan. Bahkan sampai saat ini pun dadaku masih berdebar tiap kali mataku bertemu pandang dengan mata Arda. Bagaimana bisa dia memusuhiku seperti ini? Dan, apa kemarin dia bilang? Aku disebut anarkis? ASTAGA.
Aku kembali menatap Lyana. “Aduh, Yan. Gue harus gimana ini?” Aku menggoyang-goyang meja dengan geregetan. Yang membuat Lyana langsung mengomel.
“Taraa. Kalo gue mati keselek gimana coba?” Omel Lyana sambil mengelap mulutnya dengan tisyu.
“Bantuin gueee!” Sekali lagi aku merengek. Memasang tampang memelas sambil menggaruk-garuk meja dengan frustasi.
“Ya gue makan dulu kali, Ra. Kalo perut gue kosong mana bisa mikir, coba?” Jawab Lyana dengan santainya. Kemudian sibuk kembali dengan Soto-nya.
“Tega lo, ya? Bisa makan disaat sahabat lo hampir gila gini.” Aku merengut kesal.
“Alah. Nggak usah lebay kayak Fiby gitu, deh.” Jawab Lyana dengan santainya.
“Enak aja. Elo tuh yang lebay kayak Fiby. Nggak bisa gue baayangi kalo lo jadi sama Dika beneran. Betapa sialnya orangtua Dika punya dua anak cewek yang lebay begitu.” Aku berkata dengan nada mengejek.
“Sialan lo!” Lyana memaki.
Aku menghembuskan napas frustasi. Melipat kedua tanganku di meja dengan cara menumpuknya. Kemudian menenggelamkan kepalaku disana. Aku diam. Seketika suara berisik aktifitas di kantin terdengar begitu jelas. Seperti suara tawon yang berdengung tepat di telingaku. Sesekali terdengar suara sendok Lyana yang beradu dengan mangkuk.
“Siang, girls. Hai sayang, kamu cantik banget deh hari ini.” Aku mendengar suara renyah Dika. Dan merasakan hempasan pantatnya duduk di sampingku. Seketika itu tercium wangi maskulin yang begitu lembut.
Aku masih tetap menunduk. Kepalaku lagi pusing. Akan lebih pusing kalau harus melihat Dika menggombali Lyana.
“Terima kasih sayang.” Jawab Lyana dengan centil.
“Kenapa tuh si Tara?” Suara Dika bertanya.
“Tau, tuh. Depresi gara-gara mergokin Arda sama Ralin kemarin kali.” Jawab Lyana asal. Hampir saja aku bangun untuk memukul kepalanya. Tapi terlalu malas. Yang kudengar selanjutnya adalah tawa ringan Dika.
“Aku punya berita bagus, nih.” Dika berkata lagi.
“Berita apaan?” Tanya Lyana dengan suara nggak jelas karena sambil mengunyah.
“Semalem pas aku ke Grand Indonesia buat jemput Fiby, aku ngeliat Ralin masuk ke sebuah toko digital printing gitu.”
Mendengar nama Ralin disebut, aku langsung mengangkat kepalaku dan menegakkan badan. Menatap Dika penuh minat.
“Serius lo?” Aku bertanya dengan excited.
“Serius. Ini buktinya.” Dika merogoh saku depan celananya untuk mengambil handphon. Kemudian mengutak-atik sesaat dan meletakkannya di hadapanku dan Lyana yang duduk bersebrangan. Refleks aku dan Lyana mencondongkan badan dan menyambar smartphone tersebut untuk melihat apa yang ada disana. Ternyata sebuah foto.
Dalam foto tersebut Ralin terlihat sedang mengobrol serius dengan seorang cowok tinggi, berbadan kurus, rambut ikal gondrong sebahu dan kedua lengan atasnya di tato. Aku bisa melihat tatonya karena cowok itu menggunakan kaos lengan pendek warna hitam bergambar gitar.
Aku menggeser LCD smartphone Dika. Foto kedua, Ralin menyerahkan amplop coklat yang kelihatan tebal. Dari bentuknya, aku asumsikan kalau itu uang. Aku menggeser lagi LCD smartphone Dika. Foto ketiga, Ralin sedang berjabat tangan dengan cowok itu. Keduanya tersenyum puas.
Aku menggeser LCD lagi. Dan yang muncul adalah foto narsis Dika dan Lyana yang memamerkan gigi. Aku berdecak kesal kemudian mengembalikan smartphone itu pada Dika. Lyana sih hanya nyengir nggak jelas.
Aku mendekat ke Dika dan berkata dengan pelan, “Apa ini artinya Ralin seratus persen pelaku penyebaran dan perekayasa foto sialan itu?”
“Kayaknya sih iya. Lo liat aja di foto-foto tadi. Gesture mereka mencurigakan banget.” Dika menatapku dan Lyana bergantian.
“Terus, Arda sama Lega?” Aku bertanya.
“Nah, untuk memastikannya, kita harus balik ke sana buat tanya langsung ke cowok itu. Tapi kalo Lega ya, Ra, kayaknya dia nggak terlibat deh.” Jawab Dika.
“Yakin banget lo?” Aku menatap Dika heran.
“Dari info yang gue dapet dari temen Lega, Lega tuh nggak akan berani lagi buat deketin apalagi ganggu lo. Pasca kejadian di halte yang lo ceritain waktu itu, Arda datengin Lega buat peringatin dia.” Jawab Dika.
“Peringatin, buat?” aku bertanya lagi.
“Ya buat nggak mengganggu elo lah.”
Hah? Apa aku nggak salah dengar apa yang dibilang Dika?
“Gue kok makin bingung, ya? Kalo masalah Lega aja Arda bisa sebegitunya belain gue, terus, gimana ceritanya dia bisa fitnah gue pake foto itu?” Aku meragukan apa yang dikatakan Dika.
“Ya gue nggak tau. Makanya, untuk memastikan kita harus balik ke digital printing itu.” Jawab Dika.
“Ya udah. Kita kesana.” Aku menatap Dika untuk meminta persetujuan.
“Tapi ada syaratnya.”
“Apaan?”
“Lo harus punya duit lebih banyak dari Ralin.”
“Hah?” Aku nggak ngeh dengan maksud Dika.
“Lo liat kan tadi amplop yang disodorin Ralin tebel banget gitu. Lagi pula cowok itu nggak akan ngaku gitu aja kali, kalo kita nggak ngasih ‘sesuatu’.” Lanjut Dika dengan semangat. Aku melongo.
“Emang berapa? Kalo sejuta dua juta sih, gue masih ada. Kalo lebih, gue bisa digantung nyokab kalo bobol ATM buat bayar cowok itu.” Aku mengeluh.
“Yaelaa, Ra. Nyokab lo juga nggak bakal tau kalo lo nggak ngomong.” Sahut Lyana yang kembali menekuni nasi Soto yang sempat ditingalkannya tadi.
“Lo lupa kalo rekening gue itu atas nama nyokab gue? Ya walaupun kartu ATM gue yang bawa sih, tiap akhir bulan Mama pasti print mutasi. Bisa mampus gue kalo sampai Mama tau.” Aku berkata dengan sinis.
“Demi keselamatan lo, Ra. DEMI KESELAMATAN ELO.” Dika menambahi. Aku diam sejenak. Mencoba mempertimbangkan.
“Entar gue pinjemin deh.” Sahut Lyana. Aku langsung menoleh ke Lyana yang sedang mengelap mulutnya menggunakan tisyu. Sepertinya sudah menyelesaikan ritual makan siangnya.
“Seriusan?” Kataku sambil menahan senyum.
“Iya. Apa sih yang nggak buat lo. Gue transfer sekarang deh.” Jawab Lyana sambil lalu. Aku tersenyum lebar kemudian berdiri untuk memeluk Lyana.
“Thanks yaaa. Lo emang sahabat terbaik gue.” Kataku lalu mencium pipi Lyana. Aku melepas pelukanku. Lyana hanya tersenyum manis. Kemudian aku beralih ke Dika. “Thanks ya, Dik. Lo emang bisa gue andelin.” Aku menepuk pelan bahu Dika. Kalau nggak ada Lyana, aku nggak segan buat peluk Dika demi rasa terima kasihku yang begitu besar.
“Don’t mention it, Ra!” Dika menunjukkan senyum renyahnya yang jujur saja dulu sempat membuatku terpesona. “Ya udah, entar sepulang sekolah kita langsung samperin tuh cowok.”
“Oke.” Jawabku sambil tersenyum. Lega banget rasanya.
----
Seperti yang sudah aku sepakati bersama Dika dan Lyana tadi di kantin. Siang ini sepulang sekolah, aku dan dua orang itu bergegas menuju Grand Indonesia. Masih dengan seragam putih abu-abu. Ya namanya nggak direncanakan, jadi ya nggak bawa baju ganti.
Dan di sinilah kami sekarang. Grand Indonesia. Berdiri bersandar di railing void tidak jauh dari Rock Digital Printing. Seperti itulah yang tertulis di atas pintu masuk tempat itu. Kesan pertama yang aku dapat dari tempat itu adalah, suasana rock-nya yang kental banget. Mulai dari ornamen dan gambar beberapa musisi rock dunia di kaca dan dinding atas.
Kami bertiga mengamati gerak-gerik yang terjadi di dalam toko. Karena hampir semua dinding pembatas depan terbuat dari kaca tembus pandang, makanya kami bisa melihat apa saja yang terjadi di dalam dengan jelas. Setelah sepi, kami baru bergerak.
“Kalian masuk aja. Gue jaga di sini. Siapa tau aja si Ralin muncul mendadak.” Kata Lyana.
Aku dan Dika saling pandang sejenak. Kemudian aku berkata, “Oke. Kalo ada apa-apa lo tau kan, apa yang harus lo lakukan?”
“Iya. Udah, buruan masuk sana.” Lyana mendorong tubuhku menuju ke toko itu.
Aku mendorong pintu kaca toko itu. Lagu milik Linkin Park yang Numb langsung menyambut begitu aku masuk. Aku suka dengan aroma green tea pengharum ruangan ini. Seperti wangi kamarku. Tapi, apa nggak terlalu dingin suhu di ruangan ini? Serasa lagi ada di kutub. Alaah, kayak pernah ke kutub aja.
Tempatnya nggak terlalu besar. Sekitar lima kali empat meter. Terdapat banyak rak tempat memajang beraneka macam pigura, album foto, pernak-pernak yang entah apa itu, serta berbagai macam kertas. Yang aku asumsikan itu sebagai kertas foto, poster, banner, stiker dan segala macamnya.
Hampir di seluruh tembok ditempel berbagai macam foto. Dari foto spot-spot alam, seperti gunung, pantai, tebing, sawah, pedesaan. Ada juga foto-foto bangunan kuno. Foto yang menggunakan model cewek cantik juga banyak. Dan, tetap, foto-foto musisi rock dunia juga beberapa musisi rock Indonesia. Seperti Slank dan Kotak. Aku membaca tulisan yang tertempel di belakang dua buah meja. Sepertinya meja kasir. ‘Menyediakan perlengkapan fotografi. Menerima jasa fotografer, cetak foto, banner, dll.’. Ditulis menggunakan huruf besar semua.
“Selamat siang. Ada yang bisa dibantu, Mbak, Mas?” Seorang wanita gemuk berwajah ramah menyapaku dan Dika.
“Siang, Mbak. Itu, saya mau cari Mas yang tinggi, kurus, terus lengannya ada tato.” Kata Dika mengatakan maksud kedatangan kami.
Mbak itu diam sesaat kemudian berkata, “Oo, Mas Wawan. Ada kok.”
Dan muncullah seorang cowok seperti deskripsi Dika tadi dari bawah meja dengan wajah penasaran. Mungkin karena namanya disebut-sebut.
“Kenapa, Ta?” Tanya cowok itu ke Mbak tadi.
“Ini, Mas. Ada yang nyari.” Mbak itu menunjukku dan Dika. Wawan mengikuti arah pandangnya. Dan sedikit tersentak saat menatapku. Aku bisa melihat raut terkejut di wajahnya walaupun samar. Aku berjalan mendekati Wawan dengan diikuti Dika.
“Halo, Mas Wawan. Gue Tara.” Aku mengulurkan tanganku. Wawan memandangnya lama kemudian menyambut tanganku dengan ragu.
“Ada yang bisa dibantu?” Wawan bertanya dengan nada tidak bersahabat. Aku yakin, kalau dia memperlakukan semua customernya dengan begitu, nggak akan ada lagi yang mau memakai jasanya.
“Yup. Gue yakin lo tau siapa gue. Dan tujuan gue kesini adalah?” Aku mengeluarkan smartphone-ku dari tas. Membuka folder foto. Mencari sesaat foto sialan itu. “?lo tau foto ini, kan?” Aku menyodorkan smartphone pada Wawan. Kuamati perubahan wajah Wawan saat melihat foto itu. Sekarang bukan terkejut lagi. Wajahnya memucat. Terlihat gelisah.
“Apa maksudnya ini?” Wawan bertanya seolah-olah dia tidak mengerti maksudku. Padahal dari perubahan ekspresi wajahnya saja aku sudah tahu kalau dia paham dengan maksudku.
Aku menarik smartphoneku dan memasukkannya ke saku baju. “Lo tau banget apa maksud gue. Ralin kan, yang bayar lo buat rekayasa foto itu?”
“Gue nggak ngerti sama apa yang lo bilang.” Wawan masih keukeuh dengan pendiriannya. Nggak mau ngaku. Aku berdecak kesal.
“Gue lihat kali, Mas, soal transaksi lo semalam sama Ralin. Gue foto. Lo nggak usah ngelak.” Dika menyahut.
“Gue makin nggak ngerti sama apa yang kalian bicarain. Sorry, gue masih ada kerjaan lain.” Wawan meraih kunci entah mobil atau motor yang ada di meja, kemudian bergerak keluar dari balik mejanya, melewatiku, dan berjalan menuju pintu. Secepat kilat Dika bergerak untuk menghadangnya.
“Ralin bayar lo berapa, sih?” Aku berkata dengan kesal. “Gue bisa bayar lebih.”
Wawan langsung menoleh untuk menghadapku begitu mendengar pertanyaanku itu. Tersenyum sinis, kemudian berkata. “Gue nggak yakin lo sanggup bayar.”
Good. Pancingan berhasil. Aku tersenyum samar menyadari hal itu. Lalu menatap Dika yang ternyata juga tersenyum tipis.
“Gini-gini gue nggak miskin banget, kali. Duit gue kalo cuma buat beli ini tempat juga masih sisa.” Aku menyahut dengan nada sombong. Sungguh, aku tidak serius mengatakan itu. Hanya sebagai pertahanan diri saja. Wawan tetap bergeming.
“Lo jangan lupa, Bro. Apa yang lo lakuin ini termasuk pencemaran nama baik. Dan kalo kami bawa masalah ini ke polisi, lo bisa masuk penjara.” Dika diam sejenak kemudian melanjutkan, “Kami nggak akan bawa kasus ini ke polisi kalo lo mau diajak kerja sama. Yang kita minta cuma bukti buat bersihin nama Tara, kok.” Dika menimpali. Wajah Wawan terlihat semakin pucat. Beberapa menit kami hanya terdiam. Menunggu jawaban Wawan.
“Lima juta. Ralin kasih gue lima juta.” Jawab Wawan akhirnya.
“Gue bayar lo enam juta. Kasih semua bukti ke gue.” Aku mencoba bernegosiasi.
Wawan tersenyum sinis menanggapi perkataanku barusan.
“Oke. Tujuh juta. Penawaran terakhir. Kalo lo masih nolak, gue rasa masalah ini memang harus dibawa ke polisi.” Kataku kemudian. Wawan terdiam lagi untuk beberapa lama.
“Tujuh setengah.” Wawan berkata lagi sambil menatapku.
Pernah dengar pepatah Jawa yang ini, ‘diwenehi ati ngrogoh rempelo’ (dikasih hati minta jantung). Sepertinya pas banget buat menggambarkan Wawan saat ini. Dia tahu banget aku membutuhkan bukti itu, makanya dia memasang harga tinggi. Berhubung aku tidak benar-benar ingin membawa kasus ini ke polisi, sepertinya aku akan menyanggupi.
Bukannya takut atau apa, malas saja membayangkan banyaknya waktuku yang akan tersita demi mengurus kasus ini di polisi. Belum biaya yang harus di keluarkan. Yang aku rasa akan lebih dari tujuh setengah juta. Belum lagi kalau orangtua dan kakakku tahu. Bisa tamat hidupku.
“Oke. Tujuh setengah. Duitnya gue transfer setelah lo kasih bukti ke gue.” Kataku akhirnya menyetujui permintaan Wawan. Apa pun akan kulakukan demi nama baikku.
“Nggak bisa! Lo transfer dulu baru gue kasih buktinya.” Wawan menolak.
Aku berdecak kesal. “Ribet banget sih, lo. Siniin nomor rekening lo.”
Wawan berjalan menuju mejanya. Melempar kunci yang diambilnya tadi ke meja. Merobek selembar kertas dari sebuah buku yang ada di atas meja dan mengambil bolpoin. Kemudian menulis sederet angka dan huruf diatas kertas tersebut. Tidak lama kemudian dia berbalik padaku dan menyerahkan kertas itu.
Aku mengamati kertas itu sesaat. Lalu mengeluarkan smartphone dari saku kemudian melakukan transaksi i-banking untuk mentrasnfer uang ke rekening Wawan.
“Udah gue transfer. Lo cek saldo rekening lo.” Kataku setelah selesai mentransfer. Aku menunjukkan layar smartphoneku ke Wawan untuk menunjukkan bukti transfer. Wawan merogoh saku depan jeans belelnya. Mengeluarkan smartphone besarnya kemudian mengutak-atiknya untuk sesaat. Aku asumsikan kalau dia sedang mengecek transfer dariku.
“Oke. Ikut gue!” Wawan kembali ke mejanya. Aku dan Dika mengikuti. Berjalan melewati celah yang dihasilkan oleh dua meja yang diletakkan berjajar. Meja Wawan dan meja kasir yang ditempati Mbak tadi. Aku baru sadar kalau ternyata Mbak tadi sudah tidak ada di sini.
Wawan duduk di kursinya. Meraih mouse dan membuka sebuah folder yang dia beri nama My Job. Seketika itu muncullah banyak folder lain di dalamnya dan foto-foto WOW. Dan… ASTAGA, itu foto WOW artis-artis dan pejabat tinggi negeri ini. Dan aku mendapati salah satu foto yang sempat menggemparkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini beberapa waktu yang lalu. Dan itu artinya, Wawan-lah pihak terlibat atas tersebarnya foto itu. Mengingat apa yang Wawan lakukan terhadap fotoku, tebakanku sih, sepertinya foto itu juga hasil rekayasa Wawan.
Wow, wow, wow. Kalau aku laporkan ini ke polisi atau paling tidak ngadu ke artis atau pejabat yang bersangkutan, kira-kira apa yang akan terjadi pada Wawan, ya?
Tapi, berhubung tujuanku ke sini adalah untuk mengurusi masalahku sendiri, aku nggak mau peduli dengan foto-foto mereka. Hidupku sendiri sedang terancam. Tidak perlulah ikut campur urusan orang lain.
Aku lihat Wawan menggerakkan kursor mouse-nya ke sebuah folder yang terdapat dalam folder My Job itu juga. Nama foldernya Ralin. Dan setelah folder itu terbuka, muncullah beberapa fotoku dalam berbagai momen. Serta foto sialan itu.
“Sebentar.” Aku menahan gerak tangan Wawan. “Itu?” Aku menunjuk foto Ralin bersama Rafa dengan pose yang mirip sekali dengan foto sialan itu. Asli, aku sama sekali tidak menyangka kalau dalam foto itu ternyata Rafa sungguhan. Dan yang makin membuatku syok adalah, cewek yang berpose WOW bersama Rafa adalah Ralin. Aku menatap Dika dan Wawan bergantian.
“Apa itu artinya…. foto itu sebenarnya foto Rafa sama Ralin?” Dika bertanya pada Wawan.
“Ya.” Wawan menjawab singkat.
Ada perasaan aneh saat mendengar jawaban Wawan. Aku sama sekali nggak menyangka Rafa melakukan itu. Padahal saat bersamaku dulu, sekali pun Rafa nggak pernah macam-macam. Paling hanya sekedar pegang tangan, pelukan, atau kissing. Nggak sampai yang keterlaluan seperti ini.
“Apa itu artinya juga Rafa sama Ralin udah pernah?” Dika menggantung kalimatnya begitu melihat muka muramku.
“Ya udahlah, ya. Nggak peduli mereka mau ngelakuin atau enggak. Yang gue peduliin adalah, lo kirim semua data itu ke sini.” Aku mengulurkan smartphone pada Wawan.
Wawan menerima smartphoneku dengan ragu. Kemudian membuka laci mejanya, mencari-cari sesaat kabel USB. Menyambungkan smartphoneku dengan CPU Setelah itu mengirim semua foto yang ada dalam folder tersebut.
“Oke. Terima kasih atas kerjasama lo.” Aku menegakkan tubuh dan mengulurkan tangan untuk mengambil smartphoneku. Tapi dengan cepat Wawan menahan tanganku.
“Lo bisa pastiin kalo nama gue nggak akan di sebut?”
Aku menarik tanganku dengan kikuk kemudian berkata. “Lo bisa percaya sama gue.”
“Tapi gue nggak percaya sama Ralin.” Wawan diam sejenak. Terlihat berpikir.
“Lo bisa jamin kalau Ralin nggak akan ganggu gue? Gue nggak mau rugi.” Wawan bertanya sekali lagi. Menatapku dan Dika bergantian. Kemudian mengembalikan tatapannya ke layar komputer. “Kalian bisa gunain ini buat nutup mulut Ralin.”
Wawan membuka sebuah folder yang diberi nama ‘bumerang’. Dan mataku melotot maksimal saat mendapati pose WOW Ralin bersama beberapa Bapak-Bapak tua. Aku mengenali sebagian dari mereka sebagai ‘orang penting’ di Indonesia. Melihat baju-baju minim Ralin yang menonjolkan beberapa bagian tubuhnya, sekarang aku baru benar-benar paham kalau ‘balon gas’ itu memang aset utama Ralin untuk melakukan pekerjaan gilanya itu. ASTAGA.
“Jadi si Ralin itu cewek…” Aku nggak melanjutkan kalimatku. Masih syok dengan gambar-gambar yang terpampang di depan mataku.
“Gue dapet ini dari memory card Ralin sewaktu transfer foto lo.” Wawan berkata tanpa menatapku. Dia masih sibuk mengirim beberapa foto Ralin yang akan dijadikan sebagai senjata untuk menutup mulut Ralin.
Aku berdehem kemudian menegakkan tubuhku kembali. Merasa aneh saja melihat foto-foto WOW itu bersama Dika dan Wawan. Biar bagaimana pun dua orang itu adalah cowok. Dan sepenglihatanku, baik Dika maupun Wawan nggak memiliki tanda-tanda kalau mereka nggak normal.
“Oke.” Kataku kemudian.
“Lo nggak akan berkhianat, kan?” Wawan masih saja tidak percaya.
“Bawel banget sih, lo. Iya. Gue bisa jamin kalau Ralin nggak akan ganggu lo. Puas?” Jawabku dengan sebal. Wawan melepas sambungan USB di smartphoneku kemudian menyerahkan smartphone padaku.
“Ada orang lagi selain Ralin?” Dika bertanya. Aku jadi ingat pada kecurigaan kami terhadap Arda.
“Selama ini dia cuma dateng sendiri. Pernah sekali ada cowok yang nganter. Tapi dia nggak masuk. Cuma berdiri di luar nungguin Ralin.” Jawab Wawan. Aku dan Dika saling tatap. Seketika itu muncul keyakinan kalau cowok yang dimaksud Wawan adalah Arda.
“Orangnya kayak gimana?” Dika bertanya lagi. Selayaknya polisi yang sedang menginterogasi saksi pembunuhan. Sumpah, serasa jadi detektif sungguhan.
“Nggak jelas juga. Posisinya membelakangi toko gue. Jadi nggak kelihatan mukanya. Yang jelas dia tinggi.”
Tercipta jeda yang agak lama. Aku sibuk dengan kecurigaanku pada Arda. Dika menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Sedangkan Wawan, masih memasang tampang pucatnya.
“Oke. Thanks atas kerjasamanya, Bro.” Akhirnya Dika berkata. Wawan tidak menjawab. Hanya menaikkan sebelah alisnya.
Dika Menatapku sesaat kemudian berjalan menuju pintu keluar. Aku mengikutinya dari belakang.
“Mari, Mbak.” Dika menyapa Mbak karyawan Wawan tadi yang ternyata berada di luar toko. Aku hanya tersenyum sopan.
“Oh, iya, Mas, Mbak. Terima kasih sudah datang.” Jawab Mbak itu dengan ramah.
Lyana berlari menghampiriku dan Dika begitu melihat kami keluar. Kemudian berjalan di samping Dika untuk menjajari langkah kami.
“Gimana?” Lyana bertanya dengan wajah cemas.
“Beres. Kita udah dapet buktinya.” Jawab Dika dengan tersenyum. Tanpa bisa kucegah aku ikut tersenyum bersamanya.
“Syukurlah. Gue khawatir banget selama di luar.” Lyana mengelus dada. Aku bisa melihat kelegaan di wajahnya.
“Lo udah rekam, kan, Dik?” Aku bertanya pada Dika. Yup. Saat perjalanan ke Grand Indonesia tadi, aku sempat meminta Dika untuk merekam apa saja yang kami bicarakan dengan Wawan.
“Beres.” Senyum Dika semakin lebar.
“Dan sekarang, gue laper banget. Butuh makaaan.” Aku mengelus perutku dengan dramatris.
“Gue traktir. Sepuas kalian.” Seru Lyana yang langsung mendapat seruan girang dariku dan Dika.
“Indah banget hidup gue di kelilingi dua cewek cantik gini.” Dika berkata sambil merangkul aku dan Lyana secara bersamaan. Aku dan Lyana kompakan mencubit perut rata Dika sampai dia meringis kesakitan.
----
Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????
Comment on chapter SATU