Loading...
Logo TinLit
Read Story - TRIANGLE
MENU
About Us  

“Kayaknya Arda marah beneran sama gue, deh, Yan.” Aku berkata sambil mengaduk-aduk milkshake strawberry.

“Enggak. Si Arda cinta banget malah sama elo.” Dika menyahut dengan suara tidak jelas karena sedang mengunyah ramen.

Harap dicatat: ramen yang Dika rampas dariku. Karena saat Lyana dan Dika datang tadi aku sedang membuat ramen di dapur. Dan saat ini, Dika dan Lyana duduk manis di meja makan rumahku dan dengan lahapnya menyantap ramenku. Semangkuk berdua. Dangdut banget nggak, sih?

Agak-agak nggak rela juga sih, melihat ramenku dimakan mereka berdua. Sengaja aku menambahkan banyak wortel kesukaanku, cabe rawit lima buah, daun bawang, daging, sosis ayam, telur. Paket lengkap. Harus bayar berapa tuh kalau beli di restoran? Dasar Lyana dan Dika menyebalkan. Bukannya pelit. Tapi nggak rela.

“Ck… cinta pala lo? Mana ada orang cinta diajak ngomong diem aja?” Aku menjawab dengan kesal.

“Ya kali dia lagi sariawan. Positive thinking aja, Ra.” Ini barusan yang ngomong Lyana. Pengen deh, rasanya pukul kepalanya pakai sandal jepitku.

“Bisa gitu, ya, orang sariawan ngebentak gue?” Aku berkata dengan sinis.

“Kalo dia nggak cinta sama lo?” Dika menggantung kalimatnya untuk menyesap es jeruknya. Dapat dari menjarah kulkasku. Kemudian menatapku dan melanjutkan, “?mana mungkin dia rela deketin Ralin cuma buat nyelidiki tuh cewek terlibat sama foto kemaren itu atau enggak?”

“Yakin lo, dia deketin Ralin cuma buat itu? Setau gue dia deketnya dari sebelum foto itu kesebar deh. Dan mengingat… adegan di café itu?” Hatiku tiba-tiba nyeri saat mengingat kejadian di café antara Arda dan Ralin dulu itu.

“?ah, udahlah.” Aku mengibaskan tangan. Berharap Dika pun mau menyudahi perdebatan tentang Arda.

“Nanti deh. Biar gue minta Arda jelasin ke elo sendiri.” Dika menyahut.

“Nggak usah. Kalo dia mau jelasin, ya pasti dia jelasin. Kalo dia nggak mau jelasin, ya berarti dia emang nggak mau ini jelas.”

“Terserah lo deh, Ra.” Dika masih menjawab dengan suara nggak jelas. Masih sibuk mengunyah ramenku.

Lyana hanya mengangguk-angguk sambil menerima suapan dari Dika. Duh, romantis banget. Serasa dunia milik berdua. Yang punya rumah dianggap nggak ada. Dasar bocah-bocah sableng!

Aku hanya diam sambil mengamati dua manusia yang sedang makan ramen dengan gaya makan orang pulang bertapa dua bulan itu. Lapar apa doyan, sih?

“Non, Tara.” Bik Yati berjalan menghampiriku dengan raut panik.

“Kenapa, Bik?” Aku menatapnya bingung.

“Itu… anu….”

“Itu, apa anu?” Dika menanggapinya dengan senyum tertahan. Yang malah membuat Lyana terbahak sampai tersedak kuah ramen. Aku menepuk bahu Lyana pelan melihat ekspresi Bik Yati yang semakin panik.

“Anu Mas….” Bik Yati mengucapkan dua kalimat itu dalam satu rangkaian, sehingga terdengar seperti satu kata.

“Hah? Anu gue?” Dika semakin menggoda Bik Yati. Lyana memukul lengannya gemas.

“Bukan! Mas Rafa ada di depan.”

“HAH?” Aku dan Lyana berteriak bersamaan kemudian saling pandang.

“Iya. Sekarang di teras. Lagi di ajak ngobrol sama Bapak sama Ibu.” Lanjut Bik Yati.

Aku sudah menceritakan pada orangtuaku soal foto sialan yang beredar di sekolah kapan tau itu. Siang tadi, sepulang sekolah aku datang ke butik Mama bersama Lyana dan Dika. Yang nggak tahu kebetulan atau apa, ternyata Papa ada disana.

Awalnya sih, mereka mengira kalau aku memang melakukan hal itu. Sempat marah dan membentakku. Tapi berkat bantuan dari Dika dan Lyana yang membantu meyakinkan mereka, akhirnya Mama dan Papa mempercayaiku. Yang jadi masalah sekarang adalah, kenapa Rafa muncul di rumahku malam-malam begini?

Aku langsung berdiri dari dudukku dengan diikuti Lyana dan Dika. Kemudian dengan cepat berjalan ke arah teras. Dari ruang tamu, samar-samar aku bisa mendengar suara Mama yang lumayan keras.

“Tante kecewa sama kamu, Rafa.” Itu yang dikatakan Mama saat aku tiba di ambang pintu. Rafa tidak menjawab apa-apa. Hanya menunduk dalam. Papa dan Mama serempak menoleh ke arahku begitu mendengar langkah kaki.

“Kenapa, Ma?” Aku bertanya pada Mama. Mendengar suaraku, Rafa mengangkat wajahnya. Aku tersentak melihat wajah Rafa yang merah padam. Matanya berkaca-kaca. Terlihat lelah. Aku juga bisa melihat penyesalan dari matanya.

“Masuk kamu!” Mama berkata dengan keras.

“Tante. Saya mohon, Tan, saya mau ngomong sama Tara sebentar saja.” Rafa memohon pada Mama. Miris mendengar Rafa berkata begitu. Mau tidak mau aku jadi nggak tega juga.

Mama dan Papa saling pandang, kemudian bersamaan menatapku. Aku mengangguk samar untuk menyetujui permintaan Rafa. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, Mama dan Papa masuk ke dalam rumah dengan diikuti Lyana dan Dika.

Aku duduk di kursi depan Rafa dengan enggan. Jujur saja, aku sendiri malas untuk bertemu dengannya. Hanya saja, aku rasa aku memang perlu bicara dengannya.

Aku menatap Rafa yang ternyata juga sedang menatapku. “Mau ngomong apa?” Aku bertanya dengan sinis. Mengalihkan tatapanku dari Rafa. Mencoba untuk tidak terpengaruh dengan tatapan memelasnya itu.

“Aku?” Rafa berhenti sejenak untuk menarik napas. “?aku minta maaf. Untuk segalanya.” Kata Rafa akhirnya. Aku hanya diam. Menunggu apa yang akan dia katakan selanjutnya.

“Mulai besok, aku tinggal sama Eyang di Jogja.” Rafa melanjutkan. Dan kalimatnya yang itu berhasil membuatku menoleh untuk menatapnya.

Itu artinya dia akan benar-benar pergi dari hidupku. Tidak akan menggangguku lagi. Seharusnya aku senang. Tapi, kenapa aku merasakan aneh? Seperti merasa kehilangan. Bukan. Bukan karena aku masih mencintainya.

Biar bagaimana pun juga, sebelum kami pacaran Rafa adalah sahabatku. Sejak SMP kami satu sekolah. Beberapa kali satu kelas. Bahkan saat aku mengalami patah hati untuk pertama kalinya sampai membuatku sedih berhari-hari, Rafa-lah yang menghiburku. Memberiku semangat. Rafa juga orang pertama yang mengenalkanku pada cinta.

Rafa menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Lalu berkata, “Ya udah. Aku pamit, ya. Sekali lagi maaf untuk segalanya.”

Rafa berdiri. Aku ikut berdiri. Dia menatapku lama. Aku pun hanya mampu membalas tatapannya. Banyak yang ingin kukatakan. Saking banyaknya, aku sampai tidak tahu harus berkata apa.

Separuh hatiku merasa lega, separuh hatiku seperti tidak rela. Tanpa terduga, Rafa berjalan menghampiriku kemudian memelukku. Erat. Pelukan yang dulu sering aku terima. Pelukan hangatnya yang diam-diam pernah kurindukan. Tapi kali ini, pelukan perpisahan.

Perpisahan? Benarkah ini perpisahan? Benarkah ini akhir dari segala keterlibatanku dengan Rafa?

“Maaf, ya, Ra. Aku sayang sama kamu.” Rafa berbisik lirih. Mengusap pelan kepala bagian belakangku.

Aku tidak membalas pelukannya, juga tidak menolak pelukannya. Aku hanya diam. Menangis pun tidak. Hanya menyesali akhir dari segala kebersamaan kami?dari sebelum pacaran, selama pacaran, dan setelah berpisah?yang begitu menyakitkan. Sekali lagi, aku mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa kujadikan alasan untuk menahannya. Tidak ada!

“Baik-baik, ya, Raf. Aku harap kamu bisa kembali kayak Rafa yang dulu.” Aku berkata sama lirihnya.

Kali ini, aku mengangkat tangan kananku untuk mengusap sekilas punggungnya. Rafa mengecup pelan puncak kepalaku. Kemudian melepas pelukannya. Dia menatapku. Aku balas menatapnya. Matanya berkaca-kaca. Hampir membuat kewarasanku hilang karena tidak tega dan memeluk tubuhnya yang terlihat ringkih.

“Kamu juga. Jaga diri baik-baik. Bye, Tara.” Lirih Rafa mengatakan itu. Suaranya terdengar parau.

Bye, Raf.”

Aku mengamati Rafa. Mulai dari dia membalik badan. Berjalan pelan menuruni tangga dengan wajah tertunduk, sampai masuk ke mobil, dan akhirnya mobilnya menjauh meninggalkan halaman rumahku. Saat itu juga aku merasakan air mataku menetes. Bukan karena aku masih mencintai Rafa. Terlebih karena aku sedih. Sedih atas semua akhir yang begitu menyakitkan ini.

Ceritaku dengan Rafa, kini  telah usai. Tidak akan ada lagi kita di antara kami. Yang ada hanya aku dan kamu. Kami bukan lagi ‘bersama’. Sekarang kami adalah ‘sendiri’. Cerita yang telah kami tulis dulu, aku akan tetap menyimpannya. Dia punya tempat tersendiri dalam hati dan kenanganku. Sebagai temanku. Sebagai orang yang pernah menjadi teman terdekatku, sahabatku.

Aku tidak akan berusaha untuk menghilangkan segala tentangnya. Baik manis atau pun pahit. Seiring berjalannya waktu, aku atau pun Rafa akan terbiasa. Terbiasa berjalan sendiri. Terbiasa menghiklaskan. Terbiasa merelakan. Yang perlu kami lakukan sekarang adalah, menerima.

---

Tags: twm18 twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • annis0222

    Thank you, kakak.... Cerita kakak lebih keren. Jadi minder... ????

    Comment on chapter SATU
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter SATU
Similar Tags
Night Wanderers
17812      4183     45     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...
Rinai Hati
529      290     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
Cinta Aja Nggak Cukup!
5029      1642     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Secret Elegi
4312      1270     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
Journey to Survive in a Zombie Apocalypse
1358      662     1     
Action
Ardhika Dharmawangsa, 15 tahun. Suatu hari, sebuah wabah telah mengambil kehidupannya sebagai anak SMP biasa. Bersama Fajar Latiful Habib, Enggar Rizki Sanjaya, Fitria Ramadhani, dan Rangga Zeinurohman, mereka berlima berusaha bertahan dari kematian yang ada dimana-mana. Copyright 2016 by IKadekSyra Sebenarnya bingung ini cerita sudut pandangnya apa ya? Auk ah karena udah telan...
Hug Me Once
8702      1964     7     
Inspirational
Jika kalian mencari cerita berteman kisah cinta ala negeri dongeng, maaf, aku tidak bisa memberikannya. Tapi, jika kalian mencari cerita bertema keluarga, kalian bisa membaca cerita ini. Ini adalah kisah dimana kakak beradik yang tadinya saling menyayangi dapat berubah menjadi saling membenci hanya karena kesalahpahaman
AROMA MERDU KELABU
2667      964     3     
Romance
F.E.A.R
9324      1678     5     
Romance
Kisah gadis Jepang yang terobsesi pada suatu pria. Perjalanannya tidak mulus karena ketakutan di masa lalu, juga tingginya dinding es yang ia ciptakan. Ketakutan pada suara membuatnya minim rasa percaya pada sahabat dan semua orang. Bisakah ia menaklukan kerasnya dinding es atau datang pada pria yang selalu menunggunya.
Breakeven
19338      2587     4     
Romance
Poin 6 Pihak kedua dilarang memiliki perasaan lebih pada pihak pertama, atau dalam bahasa jelasnya menyukai bahkan mencintai pihak pertama. Apabila hal ini terjadi, maka perjanjian ini selesai dan semua perjanjian tidak lagi berlaku. "Cih! Lo kira gue mau jatuh cinta sama cowok kayak lo?" "Who knows?" jawab Galaksi, mengedikkan bahunya. "Gimana kalo malah lo duluan ...
I have a dream
317      257     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...