Malam itu, awan kelabu menggantung di langit, menutupi usaha bulan yang masih ingin menyinari bumi dengan cahayanya. Saat aku dan teman sekerjaku, Minju, baru saja meninggalkan toko StarSing untuk pulang ke rumah masing-masing, rintik hujan mulai berjatuhan. Spontan Minju berlari, tak terkecuali aku. Sebelum berlari, ia juga sempat berseru padaku bahwa aku harus secepatnya berlari menuju halte sebelum aku basah kuyup.
Tatkala aku sedang berlari dengan terhambat-hambat di trotoar karena orang-orang yang juga terburu-buru berlalu-lalang di sekitarku, seseorang menarik lenganku tepat di depan gang kecil, memaksaku masuk ke dalam sana. Jantungku hampir copot karena kupikir seseorang sedang menculikku dan ingin melakukan kejahatan padaku, dan saat kutahu siapa seseorang tersebut, barulah aku merasa lega.
“Ahn Tae Young!” kesalku. Kami berhenti beberapa meter dari mulut gang. “Kau membuatku hampir jantungan!”
Ia cengar-cengir, lalu tertawa. “Maaf.” Sesalnya, meskipun itu tidak terdengar seperti penyesalan. Aku pun mendengus sebal. “Kuingat-ingat, kemarin kau ingin menemuiku.”
Oh, ya, sedari kemarin aku ingin menemuinya, tapi pemuda itu masih disibukkan dengan tugas kuliahnya dan aku pun dengan sabar menunggu hari di mana ia sudah tak lagi sibuk.
“Ya.” Jawabku.
“Agaknya Ye Jin-ah mau mentraktirku makan malam.” Candanya.
Perasaan sebalku kini berganti dengan rasa geli di perut. Aku pun tertawa. “Berhentilah memanggilku ‘Ye Jin-ah’, Namaku ‘Han-Yu-Na’.”
Ia ikut-ikutan tertawa. “Baiklah, Han-Yu-Na.” Ia memperbaiki. “Mengapa kau mencariku, kemarin?”
“Aku harus berterima kasih padamu.” Kataku. “Dengan cara mentraktirmu makan tteokbokki atau eomuk kkochi dan twigim.”
“Mengapa pula mendadak berterima kasih padaku? Oh, karena aku sering mentraktirmu sebelumnya, karena itu kau ingin membalasnya? Ya ampun, Yuna. Aku sudah bilang padamu berkali-kali, kau tak perlu membalasnya.”
“Sebenarnya, itu juga alasanku ingin mentraktirmu. Tapi, ada satu alasan lagi.”
Sebelah alisnya terangkat dari balik rambutnya yang jatuh ke dahi akibat dibasahi oleh air hujan. “Apa?”
“Pokoknya, ayo kita pergi ke Myeongdong 2-gil dulu.”
Tapi, dari mulut gang, tirai hujan masih menggantung. Atap-atap seng yang melindungi kami dari gempuran hujan, berbunyi-bunyi, terdengar seperti sedang dihujani peluru. Saat aku menoleh Ahn Tae Young untuk memintanya menunggu hujan agak reda, ia sedang mengaduk-aduk sesuatu dari dalam tas punggungnya yang berwarna hitam. Dari dalam tas itu pun ia mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna merah yang tak asing di mataku.
“Itu payungku, bukan?” tanyaku, memastikan. Ia pun menolehku saat sedang mengembangkan payung.
“Ya, ini payungmu.”
Ah, benar kan. Melihat payung itu mengingatkanku akan awal mulanya aku dan pemuda itu bisa menghabiskan waktu bersama. Aku masih ingat jelas saat pergi menemaninya mencari piringan hitam untuk kakeknya, lalu menemui kakeknya yang ternyata amatlah ramah.
“Kau ingin payung ini kembali?” tanyanya. Belum aku menjawab, pemuda itu langsung berkata, “Maaf ya, aku tak mau mengembalikannya.”
Meskipun memang aku tak pernah meminta benda itu untuk kembali padaku, ucapannya barusan sukses membuat sebelah alisku terangkat.
Seakan baru saja membaca isi kepalaku, ia pun membuka suara. “Agar aku bisa menjadikan payung ini sebagai alasan bila nantinya kita tak punya alasan lagi untuk bertemu.”
Karena perkatannya itu, aku lagi-lagi tak bisa menahan pipiku yang bersemu, serta detak jantungku yang bisa kudengar sendiri. Sesaat aku tersenyum. “Keahlianmu selain bermain piano, pasti menggoda banyak perempuan, kan?”
Aku pun turut berlindung di bawah payung berwarna merah itu, yang mana tangkainya dipegang oleh pemuda itu. Ia berada di sampingku sembari tersenyum. “Tergantung, jika perempuannya itu bernama Han Yuna.”
Aku tertawa. “Ada banyak nama perempuan ‘Han Yuna’ di Korea Selatan, omong-omong.”
Kami pun mulai keluar dari gang kecil tersebut, hujan yang tak mau ampun menggempur bumi tak bisa membasahi kami karena payung yang mekar di atas kepala kami.
“Pokoknya, Han Yuna yang aku kenal.” Ujarnya, yang kini terdengar sebal.
Ia pun memindahkan tangkai payung di tangan kirinya, sementara tangan kanannya merangkul bahuku dan menariknya hingga tubuh kami tak berjarak. Aku kaget atas perlakuannya. Aku pun menengadah, mencoba menatap wajahnya. Ternyata ia menunduk, ikut menatapku. Perasaanku semakin tak tertahankan saat aroma parfume-nya begitu jelas memenuhi rongga hidungku. Pipiku pun pasti sedang bersemu untuk kesekian kalinya saat melihatnya tersenyum.
“Aku hanya tak ingin kau terkena hujan, kok.”
***
“Alasan yang satunya lagi itu apa?”
Aku dan Ahn Tae Young sekarang sedang berteduh di kedai yang menjual eomuk kkochi. Pemuda di sampingku ini masih menatapku penasaran dengan setusuk eomuk kkochi di tangan kanannya.
“Alasan kau ingin berterima kasih padaku itu.” Jelasnya.
Oh, ya, hampir lupa soal itu. Aku menurunkan gimbap goreng dari depan bibirku, lalu tersenyum padanya. “Karena kau telah menyuruhku untuk terbuka pada ibuku.” Ungkapku. Aku pun kembali memakan gimbap gorengku.
Ia menyunggingkan senyum. “Bukankah sudah seharusnya ada keterbukaan antara hubungan ibu dan anak.”
“Ya. Tapi, berkat ucapanmu waktu itu, kau menyadarkanku akan aku yang hampir-hampir tak pernah mengungkapkan isi hatiku kepada ibuku. Jika waktu itu aku tak bercerita padamu, Ibu pasti tak akan pernah tahu bahwa aku terbebani dengan semua ucapannya, yang mana terus-terusan menyuruhku mencari pekerjaan yang lebih layak.”
“Jadi, kau akan tetap bekerja di toko CD itu?”
Aku mengangguk. “Ya, untuk saat ini. Tapi, aku tak tahu ke depannya. Perkataan ibu pun ada benarnya saat ia memberitahuku sisi baik dari permintaannya itu. Lagi pula, saat orangtuaku ada di masa kesusahan, hanya akulah yang bisa membantu. Jadi, mungkin, aku akan mencari pekerjaan yang lebih bagus lagi daripada bekerja menjadi karyawati toko CD.”
Di sampingku, Ahn Tae Young mengambil setusuk eomuk kkochi. Lalu, disodorkannya benda itu di depan wajahku.
“Ambillah.” Pintanya. “Ini hadiah dari ibumu, karena kau selalu menjadi anak yang baik dan penurut.”
Aku tertawa. Kuambil setusuk eomuk kkochi dari tangannya. “Meskipun aku tahu ini bukan hadiah dari ibuku. Tapi, gomawo, Ahn Tae Young. Kau memang pemuda yang paling baik sedunia.” Pujiku.
Kini giliran ia yang tertawa. “Kata siapa kalau aku ini pemuda yang paling baik sedunia? Tak tahukah kau kalau aku ini bisa menjadi jahat sewaktu-waktu?”
Aku menggigit eomuk kkochi, kemudian mengangkat bahu. “Memang, kan? Sejak awal melihatmu pun aku tahu bahwa kau pemuda yang paling baik sedunia. Terlebih saat kau mati-matian mencari piringan hitam Chick Corea untuk kakekmu.”
“Tidak. Aku bisa saja bersikap jahat. Apalagi padamu.” Akunya.
“Sikap jahat macam apa yang bisa kau lakukan padaku?” Aku menantang. Kini eomuk kkochi sudah habis kumakan. Kubuang tusuk makanan itu di tempat sampah di dekat panci makanan tersebut.
Dia menatapku serius, seakan sedang mencari-cari kelakuan jahat macam apa yang cocok dipersembahkan kepadaku. Aku menahan diri untuk tidak tertawa, yang sialnya aku malah tertawa.
“Sudahlah, Ahn Tae Young.” Kataku, sembari membayar makanan pada seorang wanita dari balik panci emouk kkochi. “Kau tak bisa—“
Sekonyong-konyongnya ucapanku berhenti saat kurasa pinggangku ditarik seseorang, membuat tubuhku seketika sudah menghadap pemuda yang ternyata dialah pelakunya. Belum juga aku bertanya “Mau apa kau?”, senyum jahilnya secepatnya menggerogoti wajahnya. Begitu, sesuatu yang tak pernah kurasakan, dan mungkin terakhir kali pernah kualami saat masih kanak-kanak, tak mampu membuatku berbicara karena perutku mendadak merinding.
Ia menggelitik perutku.
Aku tak sanggup digelitik. Jadi, dengan tawa yang terdengar seperti menangis bersama rasa bahagia, aku mencoba menjauhi tangannya dari perutku. Namun, ia tak mau menyerah. Sembari mengusap sudut mata karena terlalu banyak tertawa, aku menahan tangannya.
“Kau tak bisa melakukan itu.” Tegasku.
“Oh, aku tahu sekarang. Kau tak tahan digelitik.”
Sebelum tangannya kembali menangkap pinggangku, cepat-cepat aku keluar dari kedai. Selain takut karena gelitikan maut dari Ahn Tae Young, aku juga takut Bibi Pemilik Kedai akan merasa terganggu. Tapi, di luar masih hujan. Deras pula. Aku sempat berhenti. Sialnya Ahn Tae Young masih ingin menerkamku, itu terlihat dari wajahnya.
“Aku tahu, kau takut hujan.”
“Kata siapa?”
Secepatnya aku berlari, menerobos tirai-tirai hujan, mencoba membuktikan bahwa aku memang tak takut hujan, juga mencoba menghindar dari gelitikannya untuk kesekian kalinya. Seakan tak mau kalah, Ahn Tae Young turut mengejarku, membuat laju pada langkah kakiku bertambah. Namun, aku tak sanggup lagi berlari. Mata dan wajahku sudah terlalu sakit karena diserang hujan.
Kini, Ahn Tae Young sudah menangkap pinggangku. Kudengar ia tertawa-tawa sebelum akhirnya berdiri di hadapanku. Rambut dan wajahnya telah basah, berikut dengan tubuhnya. Hujan seakan tiada ampun untuk menyerang permukaan bumi.
“Sudahku bilang, kan. Aku bisa saja menjadi jahat sewaktu-waktu.” Katanya.
Aku menjauhkan tangannya dari pinggangku, antisipasi agar ia tidak menggelitikku lagi. “Menggelitik orang… Ahahaha!”
Pemuda itu malah menggelitik perutku.
“Bukan… Ahaha…Tindakan kejahatan… Oh, Ahn Tae Young, sudahlah! Ahaha...” Sebisa mungkin aku menampar-nampar lengannya. Tapi, kekuatan laki-laki memang tak terkalahkan.
Begitu berhasil lepas darinya, aku berjalan mundur. Ia masih di tempat, masih tertawa-tawa bersama senyumnya yang amat mencurigakan.
“Kau tahu, saat kau berlari tadi, kau seperti orang gila yang sedang menari-nari di bawah hujan. Orang-orang melihatmu.”
Aku memandang di sekitar, jalanan beraspal yang ukurannya tak sebesar jalan raya, memang tampak sepi. Namun, ada beberapa kedai yang tampak masih memiliki pelanggan, yang diam-diam mungkin sedang memperhatikan kami.
Ya ampun, aku malu sekali… Tapi, aku maupun Ahn Tae Young pun juga sama-sama menanggung rasa malu, bukan?
“Kau pun sama. Kau juga terlihat seperti orang gila yang sedang menari-nari di bawa hujan!” seruku.
“Iya. Aku kan gila karena kau!” ia balik berseru.
Aku tertawa. Tak tahu kenapa, saat di bawah hujan bersamanya, membuat rasa maluku akan ditatap orang-orang karena tingkahku terlalu kekanak-kanakan secepatnya lenyap. Saat ia kembali mengejarku dan ingin menangkapku, pun aku merasa bahwa pemuda itu memang harus melakukannya.[]
i love rain too
Comment on chapter [2]