Seoul adalah salah satu di antara seluruh kota di Korea Selatan yang terlalu banyak diminati orang-orang untuk memiliki kehidupan di sana. Kota metropolitan yang indah nan penuh cinta, dan kau bisa melihat bagaimana gambaran kota itu sendiri dalam drama-drama televisi yang kau tonton di rumah.
Karena aku telah jatuh hati pada Seoul sejak usia kanak-kanak, aku pun menjadikan kota itu sebagai mimpiku. Dan usai menamati SMA, kutantang diriku untuk mengadu nasib di sana—ini pun kulakukan agar beban kedua orangtuaku berkurang, karena aku mencoba mencari uang sendiri. Kendati pekerjaan yang kudapati di Seoul bukanlah pekerjaan yang terbilang hebat karena aku pun tak pernah lulus sarjana, ada satu harapan di Seoul yang mungkin terdengar seperti aku yang tak bisa menggapai langit maupun galaksi: mendapati pasangan hidup.
Nyatanya, harapanku pada Seoul tak ubahnya menangkap kupu-kupu yang beracun. Seoul memang indah, tapi hampir-hampir tak ada cinta. Seringnya aku berganti-ganti pekerjaan disebabkan oleh kesenjangan sosial sekaligus pendapatan. Kesalahan kecilku dalam bekerja, selalu dijadikan alasan untuk menyingkirkanku. Aku lebih sering tak melawan, karena mereka—yang menyingkirkanku—memiliki status yang bagus.
Yah, aku memang sering dipecat ketimbang mengundurkan diri.
Sama halnya dengan percintaan. Bila aku tak ikut kencan buta bersama Minju waktu itu, mungkin aku tak akan tahu betapa pentingnya asal-usul keluarga, pendidikan, serta masa depan yang cemerlang. Kau tak bisa bermodal cinta saja jika ingin memiliki kekasih.
Hal itu pun, yang terkadang, membuatku lelah berada di Seoul. Namun, aku tak punya alasan untuk kembali ke Goyang. Dengan begitu, kucoba sekali lagi menantang diri menjalani hidup di Seoul dengan lapang dada—barangkali keberuntungan di Seoul akan terjadi di tahun berikutnya. Dan bersyukur sekali sekarang aku telah menjadi salah satu karyawati di toko CD StarSing. Mereka yang berada di sana amat baik, membuatku terlalu betah saat berada di antara mereka.
“Aku bahkan tak pernah memiliki keinginan untuk tinggal di Seoul, meskipun aku tahu bahwa Kakek tinggal di kota ini.” Ujarnya, usai aku bercerita. “Seoul penuh dengan orang-orang sibuk yang memiliki gengsi. Berkebalikan dengan Gunpo, membuatku lebih betah berada di kota kelahiranku saja ketimbang di sini.”
“Lalu, mengapa kau berkuliah di Seoul?” tanyaku. “Aku yakin, beberapa universitas di Gunpo pasti memiliki jurusan politik.”
Ia mengangkat bahu. “Semua orang merekomendasikanku pergi ke Seoul untuk berkuliah, tak terkecuali orangtuaku. Sebenarnya aku enggan, namun, saat Nenek meninggal di musim gugur empat tahun yang lalu dan Kakek pun tinggal sendirian di rumahnya, aku mengubah pikiranku. Aku harus pergi ke Seoul dan tinggal bersama Kakek agar ia tak kesepian.”
Perkataannya membuatku seakan ditonjok. Ya ampun, betapa baiknya pemuda ini. Semua yang ia lakukan tak ubahnya demi orang lain.
“Bukankah pembicaraan kita ini aneh?” kataku, kemudian. Ia menaiki sebelah alisnya. “Kita berada di Seoul, dan kita menjelek-jeleki orang Seoul sembari berjalan di pedestrian yang ramai!”
Ia terbahak. “Benar juga! Kuharap orang-orang di sekitar kita—terutama orang asli Seoul—tak mendengar pembicaraan kita.”
Aku pun ikut terbahak.
Kami pun sampai di stasiun kereta bawah tanah. Kubilang padanya jangan menungguku hingga kereta datang, toh, kereta pun pasti akan datang. Tapi, ia tetap menungguku hingga kereta datang.
Baru saja aku akan melangkahkan kaki menuju pintu kereta, ia menghentikanku.
“Aku senang berbicara denganmu…” Ungkapnya. “Boleh aku minta nomor teleponmu?”[]
i love rain too
Comment on chapter [2]