Kantor DCA pagi ini tampak sibuk. Lalu lalang para penghuninya memberikan serak keriuhan di dalam sana. Ayesha baru saja tiba, meletakkan tas slempangnya di meja, mematut penampilan sejenak di kaca kecil yang terletak di dalam kubikelnya. Cantik, ah, kadar percaya dirinya memang selalu tumpah-tumpah.
"Ye, jam sembilan meeting di atas. Nggak lupa, kan?" Lagi-lagi, Pak Wiguna selalu muncul di waktu yang nggak tepat. Ayesha yang baru saja memoleskan lip tint di bibir peach-nya itu, hanya bisa ber-hehe ria melihat Pak Wiguna sudah berdiri di depannya.
"Siap, Pak. Setelah ini saya nyusul," ucap Ayesha yang hanya dibalas gelengan ringan serta decak kecil oleh Pak Wiguna. Untung saja setelah itu Pak Wiguna segera lenyap dari pandangan Ayesha.
Sekali lagi, Ayesha memastikan bahwa penampilannya kali ini sudah pas, tidak berlebihan, tidak pula terlalu standar. Perfect!
Ayesha segera menuju ruang meeting, membawa laptop, booknote, pena, dan ponsel yang nggak boleh tertinggal begitu saja.
Padahal, ini masih kurang lima menit dari pukul sembilan, tapi ruang meeting bisa dibilang sudah hampir lengkap oleh para personil. Cia bersorak heboh menyambutnya begitu ia mengambil duduk tepat di seberangnya, meski kemudian Cia membekap sendiri mulutnya itu karena merasa diperhatikan oleh rekan lainnya.
Cia, tentu saja ikut serta dalam meeting kali ini. Sebagai AE--Account Executive--Cia memiliki andil besar untuk menjembatani team Agency dengan klien. Karena itu, perannya sangat dijagokan untuk memenangkan picthing-an.
"Siapa yang belum datang?" tanya Pak Wiguna, memindai satu per satu anggota timnya.
"Gifi, ya? Ke mana dia?"
Belum sempat anak-anak membalas pertanyaan Pak Wiguna, satu sosok yang dibicarakan hadir dengan grasak-grusuk dari luar. "Maaf, Pak. Ada sedikit yang perlu saya handle tadi di bawah." Gifi datang dengan sedikit terengah. Langsung mengambil spot tepat di sebelah Ayesha.
Perempuan itu praktis menengok ke arah samping, dan langsung disambut senyuman lebar dari empunya. Oh, Ayesha baru saja berhadapan dengan Gifi lebih dekat. Sangat dekat, bahkan. Namun, kenapa jantungnya tiba-tiba berdisko?
"It's okay. Langsung saja kita mulai." Pak Wiguna membuka sesi meeting, mengalihkan perhatian Ayesha soal detak tak beraturan itu. Sepertinya ia perlu konsultasi ke Biya atau Daddy-nya terkait hal ini. Kalau ia mengandalkan Papinya, bukannya solusi yang didapat, sudah pasti olok-olokkan berujung sesi interogasi karena kepo berkepanjangan.
"Jadi calon klien kita kali ini adalah sebuah brand soft candy, termasuk di dalamnya marshmallow. Gimana Cia soal objective campaign yang diinginkan oleh mereka?" Ayesha masih menyimak.
Ini bukan kali pertama ia meeting selama menjadi staf DCA. Tapi, meeting kali ini benar-benar beda. Untuk pertama kalinya ia nyemplung langsung menangani brand yang menjadi bakal klien mereka.
"Seperti objective klien-klien kita sebelumnya, mereka juga ingin meningkatkan awareness dan engagement untuk produk marshmallow ini. Mereka menantang kita untuk membuat plan yang berbeda dengan agency yang mereka pakai sebelumnya. Karena menurut mereka, campaign yang diterapkan sebelumnya terlalu basi, tidak up to date, dan kurang bisa menjangkau target audience." Cia memaparkan sedikit overview tentang brand yang akan mereka tangani ini.
Ayesha masih menyimak, sambil mulai menyusun kira-kira ads apa yang akan ia masukkan ke dalam proposal pitching nantinya.
"Gimana, Rud soal market research-nya. Kamu sudah selesai?" Kini, Giliran Rudi--anak Digital Analyst--yang mendapat giliran untuk menjelaskan rancangannya.
Memang, Pak Wiguna sudah memberikan proposal brief ke masing-masing anggota sejak seminggu yang lalu dengan tujuan agar team-nya sudah paham betul agenda meeting yang akan dibahas. Sehingga harapannya, meeting bisa lebih optimal dengan fokus pada point-point penting saja.
"Sambil jalan, Pak. Sejauh ini yang saya dapatkan, target pasar utama dari brand ini adalah teens atau young adult. Rentang usia produktif yang cenderung tertarik dengan hal-hal manis," jelas Rudi melanjutkan penjelasannya.
"Seperti janji-janji manis ya, Rud?" Gifi menyahut, menimbulkan gelak tawa sepenjuru ruang meeting. Tak terkecuali Ayesha yang merasa atmosfer di sekitarnya perlahan menghangat.
Ah, baru duduk bersanding dengan Gifi begini saja, ia sudah kebat-kebit nggak karuan. Jantungnya benar-benar nggak terkendali. Mungkin, kemarin-kemarin ia masih bisa tak acuh dengan candaan Cia mengenai perjodohan itu. Namun sekarang, bolehkah ia berharap Cia membahas hal itu lagi?
Pak Wiguna tidak menanggapi lebih celotehan Gifi tersebut, hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada topik bahasan. Kalau sudah seperti itu, Gifi mengkeret, kembali bungkam dan ikut terpaku pada layar proyektor.
"Kalau soal kompetitor bagaimana?"
"Nah, kompetitor paling mengancam adalah Dumz, Pak. Brand ini cukup luas distribusinya di market offline, hampir seluruh supermarket di Indonesia, sudah dijelajahi oleh Dumz, hanya saja untuk online memang kurang. Tapi, satu lagi kekuatan yang dimiiliki oleh Dumz dan tidak dimiliki oleh Marshmalove, label halal dari MUI. Itu ancaman sih menurut saya." Rudi kembali menjabarkan hasil risetnya.
Pak Wiguna sendiri mengetuk-ketukkan ujung telunjukknya pada meja yang mereka lingkari. "Gimana menurutmu, Gif? Apa yang sudah kamu rencanakan?" Gifi, menjadi sasaran Pak Wiguna selanjutnya.
Ayesha sih masih harap-harap cemas menunggu gilirannya mempresentasikan. Gifi berdiri, bangkit dari tempatnya mendekat layar di depan sana. Sambil memegang pointer, Gifi bersiap memberikan penjelasan. Duh, dalam jarak sekian saja, kharisma yang dipancarkan oleh Gifi begitu kuat menyerangnya. Sepertinya, Centre point Ayesha saat ini adalah sesosok lelaki dengan kemeja lengan digulung setengah. Shine bright like a diamond. Ugh! Ayesha membatin segala umpatan kekaguman itu.
"Kita fokus pada target pasar. Remaja, usia produktif dengan tingkat mobilitas yang tinggi. Tren apa yang sedang digandrungi? Masukkan ke dalam campaign yang kita usung. Kita harus memanfaatkan Facebook, Instagram, Youtube semaksimal mungkin. Karena pengguna aktif tiga social media tersebut adalah ujia remaja seperti target pasar brand ini."
Ayesha tanpa kedip memperhatikan setiap kata yang yang terlantun dari bibir lelaki itu. Pesonanya begitu menyihir, hingga ia hilang fokus dengan bahasan forum. Seolah saat ini ruangan mendadak kedap, suara Gifi yang sedang menjelaskan tiba-tiba menguar, menyisakan wajahnya yang sedang membuka tutup mulutnya itu. Dengan gaya satu tangan memegang pointer dan tangan lainnya ikut aktif memberikan penjelasan, betapa Ayesha ingin menubruk lelaki dekat layar proyektor itu.
"Kalau menurut kamu gimana, Ye?" Ayesha terhenyak, melihat orang-orang di sekelilingnya yang sudah memandang horor dirinya saat ini.
Ampun! Mengapa Pak Wiguna selalu menemukannya dalam kondisi paling absurd seperti baru saja itu?
Sementara Cia yang diam-diam juga memperhatikannya dari seberang, sudah menahan tawa agar tak lolos begitu saja. Ah, ia semakin tertarik untuk melancarkan rencananya kemarin itu. Cia menangkap bahwa sahabatnya memiliki ketertarikan yang semakin menantangnya untuk melakukan rencana itu.
"Anu, Pak--"
"Anu?" Gifi menyahut, membuatku tangan Ayesha tremor tiba-tiba. Keringat dingin manifestasi gugup bercampur deg-degan, juga pandangan Gifi yang membuat jantungnya ingin loncat dari tempatnya. Ayesha nggak paham, kenapa situasi mendadak mencekam seperti ini? Semua mata tertuju padanya.
"Jadi, gini," sambil menarik napas sejenak, Ayesha menetralkan sikap berlebihannya itu. Hei, bukan kali ini ia melakukan presentasi kan? Oh, apa sosok Gifi segitu mendistraksinya?
"Yang terpenting sebenarnya adalah maintenance social media, bagaimana campaign kita bisa meng-engage fans marshmallow yakni target audience seperti di awal tadi. Contohnya, membuat challenge seru yang bisa melibatkan audience. Konten yang dipost di social media juga harus sesuai dengan isu-isu yang lagi happening. Intinya harus terus ada pembaruan agar nggak basi," papar Ayesha, berhasil membuat rekan-rekannya terlihat antusias.
Ayesha lega, setidaknya hal yang disampaikan tadi tidak begitu memalukan. Menurut ia sendiri, sih.
"Contohnya, membuat konten berisikan resep-resep kue berbahan dasar Marshamalove, dengan gitu orang yang tertarik mencoba resepnya secara nggak langsung pasti tertarik juga dengan Marshmalove." Cia ikut memberikan argumennya. Sebagai orang yang paling tahu keinginan klien, jelas pendapat Cia nggak bisa disepelakan begitu saja. Hal tersebut terbukti dari raut seisi ruangan yang mengangguk setuju.
"Saya setuju dengan Cia. Menambahkan saja, untuk pengisian konten kita bisa memberikan semacam challenge, upload video sekreatif mungkin saat menikmati Marshamalove dengan menyeruakkan tagline Marshmalove itu sendiri. Itu influence banget sih kalau saya rasa. Apalagi menyertakan youtuber dengan subcriber yang nggak perlu diragukan lagi."
"Nah! Cocok, saya sepemikiran sama Gifi, Pak." Cia beteriak heboh sambil melentikkan jarinya begitu Gifi selesai memberikan penjelasan. Parahnya, Gifi membalas dengan telunjuk yang dimainkan mengarah balik ke Cia.
Sementara Ayesha? Nyalinya mendadak ciut, percaya diri yang sudah berhasil ia boost sebentar tadi, tiba-tiba saja terjun bebas tercecer nggak tahu diri. Cia berbeda, ada keistimewaan yang dimiliki perempuan itu. Keistimewaan yang membuat Ayesha minder ketika mereka sedang disandingkan bersama. Cia termasuk supel, bisa membawa merenyahkah suasana, dan yaa... bagaimana kharisma yang terpancar dari Cia tersebut bisa menyedot perhatian orang-orang sekitarnya. Sedangkan Ayesha, ia nggak cukup bisa menyamai Cia perihal ini.
Hei, bahkan permainan yang seperti kata Cia itu belum dimulai. Ayesha sudah akan memutar arah saja.
????????????????
Lepas meeting, Ayesha dan Cia memutuskan untuk mengisi cacing-cacing di perut mereka. Kali ini mereka nggak cuma berdua. Cia mengajak Gifi, dan betapa Ayesha ingin berteriak saking noraknya. Kalau kemarin-kemarin ia terlihat nggak bergitu minat dengan hal-hal berbau Gifi, kini semua itu sudah berbeda. Ayesha, entah tingkahnya ini terlihat jelas oleh Cia atau tidak, yang jelas ia kegirangan nggak karuan.
"Makanya Ci, orang LDR-an tuh like a fantasy. Dia semu, hanya bisa mengawang tanpa perasaan yang tenang. Risau nggak bersebab selalu datang tanpa telat. Ada hal-hal yang selalu menghantui lo, entah itu perasaan rindu yang kian tak tentu atau khawatir penuh kecurigaan." Gifi menggoda Cia yang baru saja bercerita soal kekasih jarak jauhnya itu.
Cia memberengut kesal, ingin menangis tapi jam kantor belum usai. Apalagi setelah ini ia harus menemui salah satu klien untuk follow up hasil pitching mereka. Jelas Cia nggak akan mau penampilannya weird hanya karena sisa-sisa air mata bekas menangisi kekasih jauhnya itu.
Sedangkan Ayesha hanya berdiam sambil menyimpul senyum sendiri. Ingin masuk dalam pembicaraan tapi ia nggak seberani itu. Ayesha melihat bahwa di antara kedua manusia yang kini saling berhadapan itu seperti ada sesuatu yang sulit terdeskripsikan. Gifi dengan smirk jahil menoel pipi Cia. Sedangkan Cia? Perempuan itu masih sebal dengan Gifi, ia mengembungkan pipinya, memasang mode bersungut-sungut yang membuat Gifi semakin gemas.
"Eh, Ye... diem mele, lo. Ini tuh ada Gifi, kemarin-kemarin aja tanya mana sih Gifi?" Menyadari seseorang lain di antara mereka dari tadi memilih bungkam, Cia mengganti topik.
Duh, ia lupa, harusnya kan ini kesempatannya untuk membuat dua anak manusia ini saling dekat mengobrol akrab. Lah ini? Baik Ayesha maupun Gifi sama-sama membisu seolah nggak kenal. Ya memang mereka baru kenalan secara official--finally, hal yang dinantikan Ayesha terjadi juga--saat meeting tadi, namun bukan berarti kemudian setelahnya mereka jadi jaim-jaim begini kan?
"Emang kenapa, Ye, penasaran sama gue?" tanya Gifi kepada Ayesha yang berpura sibuk dengan ponselnya.
Merasa dirinya terpanggil, Ayesha hanya bisa nyengir seperti kebiasannya. Lalu, menyeruput es jeruk sisa makan siangnya tadi untuk meredak suaranya yang parau karena terlalu lama berdiam diri.
"Ya penasaran aja, siapa sih seorang Gifi hingga banyak orang yang membicarakan? Nggak Pak Wiguna, nggak cewek sebelah lo juga," tuding Ayesha yang hanya dibalas kekehan kecil oleh Cia.
"Terus sekarang gimana setelah tahu lebih dekat? Kesemsem, lo?" tanya Gifi sambil memainkan puppy eyes kepada Ayesha.
Ayesha? Jangan ditanya, batinnya sudah mengaum menimbulkan gema yang tak terdengar di dalam sana.
"Kagak! Gue cuma oh aja ya, kan? Just it, sih." Ayesha mengelak, menyembunyikan rona merah padam yang sudah terpulas di pipinya itu.
Ya kali Ayesha dengan lantang mengakuinya. Ayesha nggak sefrontal itu.
"Lo tuh lucu tau. Lo benar-benar fresh grad, ya?" Gifi kembali bertanya, kali ini ia mencoba menelisik lebih jauh sosok yang menurutnya lucu itu.
Di mata Gifi, Ayesha adalah perempuan polos yang seolah baru menetas. Dalam sebulan ini, diam-diam Gifi juga sering mencuri lirik perempuan di depannya itu. Ia penasaran juga sebenarnya. Kali ini, ia beruntung bisa duduk satu meja menikmati sajian makan siang bersama dua perempuan baru yang memberikan warna lain di hidupnya.
"Gue? Nggak sih, sebelum ini udah kerja cuma enam bulan doang tapi."
"Ayesha keren tau, Gif. Dia kan kerja di kantor Group-nya Rajendra. Apa namanya, Ye? Top Manajemen ya kalau nggak salah?"
Ayesha mengangguk, sementara Gifi menjadi lebih menarik dengan pembicaraan yang menyangkut soal Ayesha. Entah bagaimana awalnya, Gifi jadi ingin tahu perihal perempuan yang katanya satu tahun lebih muda dibanding dirinya itu.
"Berarti lo alumnus RU, dong?"
"Iya, kenapa emang kalau gue alumnus RU?" Ayesha nggak ingin kalah, mumpung ia ada bahan obrolan, dan ritme jantungnya sudah mulai beradaptasi, ia manfaatkan saja untuk memperpanjang obrolan mereka.
"Nggak pa-pa, pantes aja kelihatan anak borjuis. Aseli, sebenarnya gue kesel sama anak RU. Kampus gue dan RU dulunya kan musuh abadi. Baru-baru ini aja mulai adem."
Ayesha meneguk ludah. Gifi belum tahu saja siapa dirinya. Ugh, menjadi bagian dari Rajendra merupakan beban yang nggak akan pernah rampung.
"Gue nggak tahu sih begitu-begituan," ucap Ayesha tentu saja dengan bumbu-bumbu dusta menopeng rapi latar belakangnya.
"Ya iyalah. Lo kan anak baik-baik, mahasiswa berprestasi pada zamannya," sahut Cia membuat Ayesha semakin ingin enyah dari tempatnya. Makan siang kali ini benar-benar terasa lama. Ayesha dilema, di satu sisi ia senang pada akhirnya bisa berada dalam satu meja lebih dekat dengan seorang Hanggifi Prama. Tapi, ada rasa semacam 'bisakah ia menggapai seorang Gifi?' Keraguan itu timbul begitu saja. Apalagi saat melihat kedekatan Cia dengan Gifi, ada rasa serupa iri, ia nggak bisa seperti Cia dengan energik tingkat absolut. Sekali lagi Ayesha mendesah dalam hatinya, apalah dia saat ini?
"Anjiir, makin keder aja gue deket lo, Ye." Itu maksud Gifi apa? Ayesha hanya diam saja berpura cuek padahal secara nyata: oh ayolah, kapan mereka segera mengakhiri semua ini.
"Ye, lo kan biasanya pulang ngojek. Kenapa nggak nebeng Gifi aja? Searah juga." Cia masih gigih mencari cara lain agar mereka berdua bisa semakin intens. Parahnya, Cia selalu menemukan sela untuk menyusupkan keduanya menjadi satu.
"Lah, emang daerah mana lo, Ye?" tanya Gifi.
"Di Setiabudi," jawab Ayesha sesingkat mungkin. Ayesha lama-lama gregetan dengan Cia. Ada saja hal-hal yang dilakukan Cia yang nggak pernah terpikirkan oleh Ayesha.
"Lo kan ngelewatin, Gif. Tebengin Aye, sih." Cia semakin kompor membuat Ayesha maupun Gifi saling sungkan satu sama lain.
"Lo sendiri di mana, Gif?"
"Di Kuningan situ aja," jawab Gifi singkat.
"Gifi tuh asli orang Bogor. Cuma karena males PP, jadinya dia nyewa apartemen. Sebelah mana, Gif? Rasuna dekat pasfes itu, ya?"
Lagi-lagi Cia menjawab pertanyaan Ayesha untuk Gifi. Timbul rasa penasaran lain di benaj Ayesha soal Cia, bagaimana Cia begitu tahu apapun soal Gifi?
Ayesha berusaha mengenyahkan segala asumsi itu. Hanya saja ia juga nggak bisa munafik kalau ada kecurigaan yang tertanam di hatinya.
Gifi tersenyum, malah kini mengusap-usap kepala Cia. Perlakuan manis Gifi itu, seketika saja mengingatkan Ayesha pada seseorang. Ah, dia lagi.
????????????????
Sudah hampir limabelas menit ia menunggu pesanan ojek online-nya. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda penjemput setianya itu datang menghampiri. Padahal nih, ia sudah tiga kali ganti order, tapi tak satupun para Kang ojek itu mau mengantarkan pulang. Ouch, ditolak Kang Ojek saja sesakit ini rasanya. Apalagi kalau ditolak kecengan? Ayesha merasa gila dengan pikirannya yang makin kacau. Agaknya, otak Ayesha perlu diinstall ulang deh.
Ia sudah mencari bala bantuan lain. Naasnya, tidak satupun dari adik-adiknya yang bisa tersedia saat ini. Izzy, anak kesayangan maminya itu lagi di bengkel, di markas besar anak teknik mesin satu jurusannya. Sementara adik sepupu tergantengnya--siapa lagi kalau bukan Rayyan--sedang berada di rumah sakit mengurus ini itu untuk persiapan koas. Jadilah sekarang ia memble sendirian di depan lobby utama gedung menunggu keajaiban datang.
"Jadi nebeng, Ye?" Satu suara membuyarkan lamunan Ayesha.
Gifi, mengklakson sedikit, membuka kaca mobilnya hingga setengah.
Gila! Ke-ge-er-an sangat yang namanya Gifi! Ayesha membatin sambil gondok. Iya, sih. Awalnya memang ada niatan seperti itu. Tapi kalau ia ditelanjangi begini, Ayesha juga ogah kali. Harga diri, coy!
"Lagi nungu uber."
"Uber libur ada aksi 287."
Hah? Apa iya?
Ayesha memang terbilang tidak begitu mengikuti berita setiap pagi. Namun begitu, ia nggak kudet banget kok soal aksi 287. Lalu, apa iya sampai ada aksi mogok ojek online akibat aksi 287. Nggak yakin sih dirinya.
"Keburu magrib, nih. Bareng, nggak?"
Ayesha dilanda dilema tingkat akut. Bagaimana ini?
_______Nantikan Kelanjutannya_______
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta