Loading...
Logo TinLit
Read Story - SATU FRASA
MENU
About Us  

"Do... Fa... Si... La... Si... Re... Si... Do..."

"Stop! Siapa itu yang false?"

Tidak ada yang menyahut, keheningan menyeruak begitu saja. Miss Evelin memindai sepenjuru auditorium, termasuk satu per satu anak didiknya. MedChoir berdiri bukan untuk main-main. Memilih untuk bergabung dengan klub paduan suara mahasiswa ini artinya siap untuk menekuni dengan serius bukan cuma sekadar numpang tenar. Miss Evelin tidak akan toleran dengan anggota yang slengekan dalam latihan.

"Saya bertanya, siapa yang sengaja merusak nada? Jawab jujur atau saya sebutkan sekarang juga!"

Lagi-lagi tidak ada sahutan, ruangan mendadak senyap. Mereka justru saling melempar, tuduh menuduh satu sama lain.

"Juwita! Apa maksud kamu? Malas latihan? Nggak serius?" tembak Miss Evelin langsung.

Juwita yang mulanya berhasil sembunyi, kini tidak lagi. "Ma... maaf, Miss. Suara saya sedikit kecekik, kurang minum mungkin."

Hahaha, ada-ada saja memang si Juwi. Padahal nih baru saja ia terkaget-kaget melihat satu pesan WhatsApp yang dikirimkan oleh Bundanya. Memang, kemarin Ayah Bundanya itu pamit untuk ke Malang dalam rangka bisnis juga mengunjungi Kakung Utinya yang asli sana, tapi ia nggak menyangka saja kalau orang tuanya nekat berangkat tanpa menunggunya pulang kuliah.

Niat hati, Juwita sebenarnya pengin ikut, tapi apalah daya kalau hukuman dari Bundanya tentang nilai D di anatomi kemarin membuatnya terkurung dari dunia hip-hip hura. Kegiatannya akhir-akhir ini nggak jauh dari laptop, buku, modul, diktat, dan benda-benda lain yang beratnya bisa banget buat nimpuk maling jemuran, apalagi kamus andalan kesayangan si Dorland yang baru melihat saja rasa kantuk langsung menyergap.

Juwita hampir mual dengan rutinitas yang menjemukan seperti itu. Well yeah, sampailah ia di tempat ini, mengikuti latihan rutin Lembaga Kegiatan Mahasiswa yang ditekuninya belakangan ini. Ya, menjadi anggota paduan suara fakultas memang dipilih Juwita untuk mengusir sedikit rasa bosannya selama mengenyam perkuliahan yang semakin hari terasa semakin ingin berhenti dan nikah saja. Hah!

Masalahnya siapa yang mau menikahi anak bawang macam dirinya? Juwi lagi-lagi mendesah pasrah.

"Saya tidak mentolerir mahasiwa yang nggak serius ikut padus. Saya melatih kalian untuk mempersiapkan Java Grand Pix Festival yang tinggal sebulan lagi. Tapi apa? Masih ada di antara kalian yang cuma mau main-main! Saya tahu kalian di sini tujuan utamanya kuliah, tapi kami juga memberikan wadah untuk mengembangkan minat bakat mahasiswa di bidang seni kreatif. Kami sangat terbuka menerima kalian yang... BISA MELUANGKAN WAKTUNYA dengan baik. Catat!"

"Jadi, bagi kalian yang nggak niat mengikuti Grand Pix besok, tidak terlambat rasanya untuk segera angkat kaki dari sini," lanjut Miss Evelin membuat Juwita mengkeret.

Pandangan yang ditujukan Miss Evelin kepada Juwita sudah jelas menjadi sinyal untuknya segera hengkang dari tempat ini. Dengan langkah gontai, Juwi mengambil taa kemudian melenggang keluar Auditorium.

Gagal! Juwita merasa dirinya benar-benar buruk di bidang apapun. Sudah nilai akademik bikin perih mata, sekarang ia terancam kehilangan tempatnya menyalurkan hobi. Juwi mendesah pasrah, kembali membuka ponselnya dan membaca satu pesan yang membuat mood-nya terjun payung baru saja itu.

Bunds ????

Neng, Bunda sma Ayah brgkat ke Malang ya. Bunda sdah blang ke Om Arga dn Tante Shakiya kalau kamu mau nginap d sana, ati-ati ya. Jaga diri baik2. Ntar psen oleh2 apa bilang aja. Ingat, belajar!

Ia kembali menyimpan ponselnya, berniat segera meninggalkan kampus tapi langkahnya tercegat begitu saja. Juwita melirik sekilas, menemukan perempuan berperawakan tinggi dengan dandanan jauh dari kata mahasiwa: make up show on, boots ber-wedgesmini pant dengan hand bag yang ditenteng bak model yang siap menyusur catwalk. Juwita bukannya iri, justru ingin muntah melihat penampakan di depannya.

Mbak ini waras? Macam ondel-ondel nyasar jadinya.

"Hai, Wi. Mau pulang?"

Juwita enggan menjawab, ia hanya memutar mata dengan tujuan makhluk di depannya ini segera paham kalau dirinya sudah mulai jengah.

"Gue minta tolong, dong!" Sudah Juwi duga akan ada sesi seperti ini. Suatu hal langka seorang Debby Debora mahasiswa sosialita tinggi mengajaknya sekadar berbasa-basi macam begini. Jelas, ada usut tersembunyi di baliknya.

"Hmm...," jawab Juwi sekenanya.

Kalau menjedukkan kepala seseorang ke tembok bukan suatu tindak kriminal, mungkin Juwi sudah melakukannya terhadap mbak-mbak satu ini. Juwi sangat kesal dengan tingkah sok kecakepan dari kakak tingkat tiga di kampusnya, kakak tingkat yang centilnya sudah macam cacing kepanasan itu.

Debby mengasongkan satu kotak berpita emas kepada Juwi. "Wi, sampein ya ke Ray, please! Lo tau dia nggak bakal ngewaro gue cuma karena hal-hal beginian."

Jangankan lo, Mbak! Gue aja yang mengenal dia dari masih jabang aja kudu akrobat dulu baru diwaro. Juwi menggerutu sendiri.

Juwi awalnya sedikit mengernyit, tapi ia juga penasaran apa sebenarnya isi dari kotak tersebut.

"Apaan sih ini?" tanya Juwita sambil menerima kotak kecil berpita dari Debby.

"Oleh-oleh dari Luar, cuma Sevenfriday doang, kok." Sementara Debby dengan santainya menyombongkan diri di depan Juwi.

"Koleksi jamnya Bang Ray udah bejibun kali. Lo pikir Bang Ray kagak bisa beli beginian?" Juwi mulai beringas, sedikit nggak terima ada perempuan jelmaan kudis yang bau-baunya sedang melakukan aksi pedekate terhadap abangnya.

"Gue tahu lo mau dikeluarin dari MedChoir, kan? Gue punya penawaran menarik, win-win solution aja."

"Apaan? Belibet, lo!"

"Miss Evelin itu kakak gue. Gue bisa nego dan kasih rekomen ke dia buat mempertahankan lo di MedChoir. Yaa... asalkan lo lancarin aksi gue ke Rayyan. Gimana?"

Kancutjadi si Evil Dekil itu kakaknya Debby Debong ini? Pantes sih, sama-sama monyi! Juwita misuh-misuh nggak terima. Nggak mungkin ia rela menggadaikan abangnya hanya untuk mengamankan posisi di MedChoir. Tapi, ini terlihat menggiurkan, sih. Ia masih pengin mengikuti Java Grand Prix Festival yang diidamankan dari masih maba itu.

"Udeh, nggak usah kebanyakan mikir. Inget ya, Wi, ini amanah. Kudu sampai ke Ray. Atau gue bakal ngelakuin hal-hal yang nggak lo duga sebelumnya. Oke cantik! Anak pinteeerrr...." Debby menggoda Juwi sambil menoel sedikit dagunya kemudian melenggang pergi dengan tingkah kemayu yang semakin membuat rasa jengkel Juwi mendidih dibuatnya.

"Bang Ray kagak murahan kali! Dia nggak bakal luluh sama nenek lampir macam Debby cuma gara-gara sosogakan Sevenfriday gini doang! Cih!" Juwi mengumpat sendiri sepanjang jalan sambil memasukkan kotak kecil titipan Debby.

????????????????

"Siang, Tan." Juwi langsung memasuki rumah besar di salah satu bilangan Jakarta Selatan itu. Ia sudah hapal dengan seluk beluk rumah yang menyerupai istana ini. Seperti sudah tahu kalau penghuninya ada di belakang, Juwi tanpa sungkan menyerobot ke dalam, menjajaki seluruh ruangan hingga ia menemukan wanita paruh baya yang masih terlihat sangat menawan di usianya yang tak lagi muda.

"Hei, sayang, udah selesai kampus?" tanya Shakiya saat Juwi menyalaminya.

"Hehe, udah, Tan. Baru aja. Tante kok tumben jam segini udah di rumah?" Juwi sudah bergabung, mengakuisisi dapur sambil mengikuti Shakiya yang tengah sibuk mengupas buah dan memotongnya.

"Aku bantu potongin, Tan." Shakiya tersenyum, menyerahkan talenan, pisau, dan buah yang telah dikupasnya tadi.

"Iya, Tante off hari ini. Baru kelar operasi lepas subuh tadi," jelas Shakiya yang saat ini mencairkan mayonaise di mangkuk kaca.

"Oalah iya ding, kan sama Bunda juga."

"Heem, mangkanya Tante heran, Bundamu itu apa nggak capek ya langsung terbang ke Malang."

Juwita sih hanya mengedikkan bahu, sudah terlanjur hapal perangai Bundanya yang worka holic begitu. Mana mau Freya mendengarkan nasihatnya untuk sedikit saja mengurangi jadwal praktiknya di rumah sakit? Juwita merasa terlantarkan kadang-kadang.

"Tante, Juwi boleh tidur sini, kan?" tanya Juwi ragu-ragu. Ia sudah mengigiti bibir bawahnya, takut saja kalau Shakiya nggak suka dirinya berada di sini.

Pasalnya, dari semua tantenya, Juwi merasa kalau Shakiya orang paling serius dibandingkan Mami Valerie atau Tante Fara.

"Boleh, dong. Bundamu kan sudah bilang Tante dan Om tadi." Juwita bersorak dalam hatinya, sambil celingukan mencari sosok yang dinantikannya itu.

Setahu Juwi, Abangnya sedang nggak ada jadwal di kampus, jadi Juwi berharap besar bahwa ia bisa menemukan Ray di rumah ini.

"Abang mana, Tan?" Nggak bisa Juwi menunggu lebih lama untuk mengetahui keberadaan Rayyan sehingga memutuskan untuk bertanya pada Shakiya.

"Tuh di belakang lagi renang. Makanya Tante buatin ini, kamu anterin ke Abang, ya."

Yes... Yes... Yes...

Jelas saja Juwi jingkrak-jingkrak nggak karuan. Kapan lagi ia bisa menyaksikan seorang Rayyan sedang naked di kolam renang begitu. Juwita membawa satu mangkuk berisi salad buah hasil kreasinya bersama Shakiya ke kolam renang di beranda belakang. Benar saja, Rayyan terlihat seksi dari jarak sekian sedang memperagakan beberapa gaya renang yang dikuasainya. Juwita sama sekali nggak berkedip melihat. Astaga! Dirinya sudah kepayang mabok menyaksikan keagungan Tuhan tiada taranya tersebut.

"Wi, udah lama, lo?" tanya Rayyan begitu menyadari ada seseorang lain yang menungguinya entah dari kapan.

Rayyan kemudian mentas, duduk di tepian kolam sambil meniriskan dirinya.

Ya Tuhan, rasanya Juwi ingin menyeruduk Rayyan saat itu juga     


Ya Tuhan, rasanya Juwi ingin menyeruduk Rayyan saat itu juga. Tingkat kegantengannya berpangkat-pangkat kalau sedang basah seperti ini. Uugh, Juwi ingin mengelap tubuh Rayyan tapi nyalinya nggak segoblok itu untuk semakin anarkis.

Yang elegan, Wi. Ia menyugesti dirinya sendiri untuk terlihat kalem dan tidak bertindak binal. Demi Rayyan yang lebih suka perempuan manis nggak banyak tingkah.

"Nih, Bang, salad." Juwi menyerahkan mangulurkan mangkuk berisikan potongan buah dan mayonaise itu kepada Rayyan. Niat awalnya sih mau menyuapi Rayyan gitu, tapi ia urungkan kembali. Alhasil, ia hanya bisa mengigiti bibir bawahnya melihat Rayyan menikmati salad yang nampak semakin memesona karena paparan sinar matahari pukul tiga sore itu.

"Jadi belajar?" tanya Ray di sela-sela ia menikmati kudapannya.

"Jadi, dong. Tapi Juwi nggak bawa buku apa-apa. Lagian di sini buku nggak kurang-kurang kan, ya?" Juwi enteng banget kalau ngejeplak gitu. Dasar nggak tahu diri! Rayyan cuma geleng-geleng aja, sih. Sudah kebal juga dengan kelakuan adik sepupunya itu.

????????????????

"Coba sekarang gue tes, saraf kranial ke sembilan apa?" Rayyan sudah duduk anteng di sofa ruang keluarga dengan tumpukan modul dan laptop di depannya.

Sedangkan Juwi berasa sedang di eksekusi depan hakim melihat Ray yang nggak ada santai-santainya. Ah elah! Memang sih niatnya menginap di sini untuk belajar, tapi nggak bisakah Abangnya ini lebih slowly kayak Pauli yang lagi gelut dengan chew toys-nya.

Sambil mengingat-ingat, Juwi menggoda Pauli dengan mengambil mainannya, membuat kucing milik Ray itu semakin tertarik untuk bermain dengan Juwi.

"Wi, jadi belajar, nggak?"

"Iih, abang, ini lihat Pauli lagi gemes nih."

Rayyan yang sudah gregetan, merebut Pauli yang masih asyik berusaha meraih tulang mainannya itu.

"Syaraf kranial ke sembilan apa, Wi? Katanya tadi udah hapal?"

"Ng... coba Juwi urutin dulu, Bang. Olfaktorius, Optikus, Okulomotoris--"

"Stop! Kalau diurutin gitu mah semuanya juga bisa, Wi! Langsung jawab, nah." Rayyan memotong Juwi yang belum selesai dengan penjelasannya. Sedangkan Juwita, jangan ditanya, sudah kicep hanya karena soal syaraf kranial macam begini. Antara beneran blank atau kedistrak dengan pesona Rayyan tiada bandingnya itu. Uugh!

"Ah, Juwi inget, Glosofaringeus, Bang!"

Rayyan manggut-manggut, sambil mencari soal lain yang lebih sulit. Juwita sendiri sudah ingin menguliti otaknya yang kian melepuh karena pembelajaran blok syaraf dengan keruwetan super wahid.

"Coba langsung kasus sederhana aja, ada seorang wanita berumur 55 tahun mengeluh wajah kanannya kebas, eksrimitas kanan lemah, penciumannya tidak kuat, lidahnya hambar, gimana tata laksananya?"

Juwita masih berusaha membongkar ingatan materinya beberapa waktu lalu. Sambil memainkan pulpennya, Juwi tampak berpikir serius.

"Cek saraf olfaktoriusnya dulu, kasih bau-bauan, dan meminta ibu tadi untuk menebak bau apa itu," jawab Juwi dengan percaya diri.

"Gitu aja?"

"I think so." Juwi mengedikkan bahu, merasa penjelasannya cukup bisa dimengerti sekalipun hanya singkat begitu.

"Duh yang lagi serius belajar. Nih Biya bawain strawberry panacotta buat cemilan." Shakiya datang menyelamatkan Juwi dari Rayyan yang terlihat semakin geram.

"Ugh, Tante tahu aja kalau mikir begini mengeluarkan banyak energi. Laper, Tan, hehe."

"Lagi belajar saraf, ya?" Juwi mengangguk sambil menyendok puding yang diberikan Tantenya itu.

"Kalau ngetes olfaktori itu, harus minta pasien tutup mata, kalau kita cuma ngasih baunya aja percuma dong. Pasien nggak benar-benar tahu bau itu, tapi tahu karena melihat bendanya. " Shakiya ikut nimbrung di tengah-tengah, menjadikan Juwi lebih ciut lagi. "Oh satu lagi! Tanya umur pasien jangan lupa, itu penting!" Duh! Ada dokter bedah hebat di depannya ini. Malu-maluin banget sih, Wi!

"Nah! Dengerin tuh," sambar Ray merasa ada hero yang membantunya mengatasi anak bebal satu ini.

"Heheh, iya Tante, kelewat, ya." Juwi hanya meringis menampilkan deretan gigi putihnya tanpa merasa bersalah. Apalagi, masih dengan satu tangannya yang terus menyuapkan puding ke mulutnya.

"Ya udah, kalian lanjut, gih." Nah, kalau seperti ini, Juwi bisa bernapas lagi. Gila, gila... dirinya merasa terpelatuk di antara kumparan para dokter hebat dengan kredibilitas tak perlu diragukan lagi.

Apalah dirinya hanya seonggok upil tak ternilai yang siap dibuang begitu saja.

"Lanjut, nggak?"

"Eh, ii... iya, Bang. Nih nyambi dulu pudingnya Tante enak tau, Bang."

Rayyan nggak menggubris ocehan Juwi. Ia memilih melanjutkan menguji adiknya itu, "terus pemeriksaan lainnya apa?"

Sambil menunggu Juwi menghabiskan pudingnya, Rayyan mengecek ponselnya sejenak. Ada satu pesan Line yang membuat alisnya bersatu.

Ng?

Kemudian pandangannya beralih kepada Juwi yang sibuk membolak-balik halaman modul di hadapannya.

"Wi?"

"Bentar, Bang. Juwi lupa kalau habis itu ngapain," jawab Juwi dengan muka lempeng pengin nabok.

Kesabaran Rayyan benar-benar level khayangan lah kalau sudah menghadapi Juwi. Unlimited macam sinyal internet pokoknya.

"Lo ada dititipin barang sama Debby?"

Deg!

Juwi menegang seketika. Mampus! Maksud hati, ia sengaja menyembunyikan itu dari abangnya, tapi kalau sudah kepalang basah begini ia bisa apa?

"Nggak ada, Bang." Tetap saja Juwi memilih berbohong daripada mengaku dan menyerahkan kotak berpita itu.

Rayyan yang curiga kemudian mengambil paksa tas di samping Juwita. Sambil terus menancapkan pandangan ke arah Juwi, ia menggeledah isi tas adiknya itu. Benar saja, ia menemukan benda yang ia duga kuat seperti maksud Debby.

"Ini apa?"

"Eh... eh, ii... itu... bukan apa-apa, Bang." Masih dengan dusta Juwi menjawab. Padahal nih, apa susahnya jujur? Ia nggak rela saja kalau Rayyan menerima pemberian Debby. Itu artinya, kesempatan Debby untuk pedekate dengan Abangnya menjadi terbuka sedikit lebar.

"Wi, gue nggak suka ya lo kayak gini? Apa susahnya sih nyampein amanah?!" Nada Rayyan mulai naik satu oktaf, membuat Juwi bergidik ngeri dan berhenti dari aktivitasnya.

"Bukannya Abang nggak suka cewek-cewek model Debby?" tanya Juwi takut-takut.

"Bukan masalah itu, Wi! Ini soal amanah. Segitu nggak sukanya gue dengan barang-barang pemberian mereka, setidaknya gue tahu dan menerima. Urusan gue balikin, gue buang, atau gue kasih orang lain, itu nanti, Wi!" Rayyan makin mengegas, membuat Juwi menundukkan kepalanya nggak berani menatap ke arah Rayyan.

Rayyan kalau sudah marah gini macam singa lapar yang terbangun dari tidurnya karena usikan dari musuhnya. Menyeramkan.

"Maa... maaf, Bang." Jadilah hanya itu yang bisa Juwi ucapkan. Memangnya ia bisa apa lagi coba?

"Gue kecewa sama lo, Wi! Lo tuh adek gue, jangan bikin malu kenapa, sih?!! Udah belajar nggak bener-bener, sekarang ada lagi kelakuan lo! Males lama-lama gue, Wi!!!" Kali ini Rayyan benar-benar teriak.

Juwi sudah nggak bisa membendung air matanya lagi. Oh, entah Rayyan nggak tahu atau mungkin lupa kalau Juwi paling nggak bisa dibentak seperti itu. Perempuan itu bangkit, mengambil tasnya dan berjalan serabutan keluar rumah. Ya, berjalan.

Juwi membawa langkahnya tanpa tahu arah, berjalan saja mengikuti instingnya yang menginginkan ke sana ke mari. Sambil sesenggukan, ia masih terngiang jelas bagaimana Rayyan dengan kencang menyemprotnya hanya karena masalah yang menurut Juwi masih bisa diselesaikan tanpa harus mengeluarkan suara speaker tersebut.

Sementara itu, Rayyan mengacak rambutnya frustasi. Ia salah, nggak seharusnya ia terbawa emosi. Mungkin akumulasi capek juga kesal yang bertubrukkan menjadikan ia kalap lepas kontrol seperti tadi.

Kalau sudah seperti ini, ia bahkan nggak tahu harus seperti apa? Ke mana perginya adik perempuannya itu?

________Nantikan Kelanjutannya______

________Nantikan Kelanjutannya______

Jujuwwitjantik, Kiya.Zee, AyeshaA, Debbydeb, and 2983 others
RayyanArg Maybe you find another time to heal. So, just breath and relax ????????
View all comments
Kiya.Zee gantengnya anak Biya, Abang ????????????????
Arganata.dr gantengan Daddy, Biya.... ????????????
Debbydeb hai om, tante, emang ya kegantengan Ray nggak perlu diragukan lagi, sudah pasti nurun dari om dan tante. Btw salam kenal tante, om, saya teman sejawatnya Ray @Kiya.Zee @Arganata.dr 
Jujuwwitjantik Abaaaang..... ????????????????
Zulfikarboy bro lapak lu laris coy! 
Megastron sok kecapekan lu boy, kongkow sini jangan mendelep sama buku aja curut!

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • yurriansan

    Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.

    Comment on chapter Sembilu Dusta
  • eksindrianii

    Ada abg disini????????

    Comment on chapter SERANGKAI FRASA
  • dede_pratiwi

    nice story :)

    Comment on chapter BERMULA KARENA
Similar Tags
Rasa Itu
707      520     0     
Short Story
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
7749      1948     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
REWIND
13833      1926     50     
Romance
Aku yang selalu jadi figuran di kisah orang lain, juga ingin mendapat banyak cinta layaknya pemeran utama dalam ceritaku sendiri. -Anindita Hermawan, 2007-
mutiara hati
740      314     1     
Short Story
sosok ibu
Akhir yang Kau Berikan
512      359     1     
Short Story
\"Membaca Novel membuatku dapat mengekspresikan diriku, namun aku selalu diganggu oleh dia\" begitulah gumam Arum ketika sedang asyik membaca. Arum hanya ingin mendapatkan ketenangan dirinya dari gangguan teman sekelasnya yang selalu mengganggu ia. Seiring berjalan dengan waktu Arum sudah terbiasa dengan kejadian itu, dan Laki Laki yang mengganggu ini mulai tertarik apa yang diminati oleh Arum...
A Man behind the Whistle
1429      630     2     
Action
Apa harga yang harus kau tukarkan untuk sebuah kebenaran? Bagi Hans, kepercayaan merupakan satu-satunya jalan untuk menemukannya. Broadway telah mendidiknya menjadi the great shadow executant, tentu dengan nyanyian merdu nan membisik dari para Whistles. Organisasi sekaligus keluarga yang harus Hans habisi. Ia akan menghentak masa lalu, ia akan menemukan jati dirinya!
Renjana
482      356     2     
Romance
Paramitha Nareswari yakin hubungan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun dengan penuh kepercayaan akan berakhir indah. Selayaknya yang telah ia korbankan, ia berharap agar semesta membalasnya serupa pula. Namun bagaimana jika takdir tidak berkata demikian? "Jika bukan masaku bersamamu, aku harap masanya adalah milikmu."
Dira dan Aga
520      354     3     
Short Story
cerita ini mengisahkan tentang perjalanan cinta Dira
Dark Fantasia
4882      1480     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
Adelia's Memory
491      314     1     
Short Story
mengingat sesuatu tentunya ada yang buruk dan ada yang indah, sama, keduanya sulit untuk dilupakan tentunya mudah untuk diingat, jangankan diingat, terkadang ingatan-ingatan itu datang sendiri, bermain di kepala, di sela-sela pikirian. itulah yang Adel rasakan... apa yang ada di ingatan Adel?