W a r n i n g;
Banyak kata kasar yang tak disaring. Bijaklah dalam membaca.
????????????????
"Bete gue! Nggak tahu aja tuh orang gue anak siapa?!" Juwita menggerutu sendiri sambil menenteng jas lab putih panjangnya keluar laboratorium.
Juwita mencak-mencak, kesal dengan asprak sok kecakepan yang menurutnya turut andil dalam munculnya huruf D di nilai Anatomi kemarin itu.
"Wi, kemana lo?" teriak Ayunda, menyusul Juwi yang langkahnya nggak tanggung-tanggung.
"Ngadem, cari es kelapa di kantin! Butuh detox gue, bege si Oggy emang. Sok iya!!!! Gue nggak suka," teriak Juwita yang membuat mahasiswa lain di koridor itu memusatkan perhatiannya.
Ayunda yang berada di sebelahnya merasa nggak enak dan hanya nyengir kuda saat tatapan mereka semua seolah bertanya 'kenapa temen lo?'
Rasanya, Ayunda pengin membekap si Juwi dan menenggelamkannya. Ampun! Punya temen sengkleknya nggak karuan.
"Mang, es kelapa satu, esnya tujuh tube, kelapanya yang sedang nggak begitu tua nggak begitu muda. Pakai jeruk nipis tapi dipisah aja. Dan, nggak pakai lama!" Mamang penjual es hanya terbengong mendengar repetan panjang dari Juwita. Nggak sekali ini sih, tapi tetap saja. Mamang itu hanya menggeleng begitu Juwita pergi dari stand-nya untuk mencari tempat duduk.
Juwita menyederkan kepalanya di meja kantin beralaskan jas lab putihnya. Masa bodoh soal kotor kena noda bekas makanan yang nempel di meja. Apa gunanya bibi di rumah? Begitu pikir Juwita.
Ayunda, yang duduk di seberangnya hanya bisa berdecak sebal dengan kelakukan temannya itu.
"Wi, lo tuh nggak bisa nyalahin kak Oggy. Lo ini yang bebal, salah sendiri kemarin-kemarin bolos tutorial!"
Nasihat Ayunda bagai lirik lagu jazz yang mendayu-dayu hingga membuat Juwita mengantuk. Bukannya mengiyakan, Juwi malah semakin terlelap saking lamanya es kelapa yang dirindukan itu tak kunjung datang.
"Lagian ya, Wi, nyokap lo kan dokter, bokap lo dokter hewan, kok bisa sih lo modelnya begini?" Dengan Juwita, Ayunda sudah nggak sungkan lagi mau menyerapahi seperti apa. Toh, ini juga untuk kebaikan Juwi sendiri.
"Nyun! Berapa kali gue bilang, jangan bandingin gue sama mereka!" Juwita sedikit terusik. Kalau sudah menyangkut nyonya Freya dan Ayahanda tersayang, jangan harap Juwita diam saja. Apalagi kalau dibanding-bandingkan begitu. Ogah! Juwita paling benci dengan hal itu.
Ayunda bergidik ngeri melihat singa terbangun dari tidurnya paket komplit dengan haus yang mendahaga. Lihat saja, saat Mamang penjual es kelapa tadi datang, tanpa bara bere lagi, Juwita menandasakan satu gelas es kelapa tanpa ampun.
Mamangnya mah cuma terheran saja, mbak ini cantik lho, tapi kelakuannya bikin ngurut dada amit-amit.
"Makasih, ya, Mang." Akhirnya Ayunda yang mengucapkan hal tersebut, merasa nggak enak saja sama Mamang yang risih dengan sahabat ajaibnya itu.
Juwita masih asyik dengan daging kelapa yang kini berusaha ia ambil dari dasar gelas dengan sendok kecil dan sedotan. Bahkan, Juwita lupa kalau di depannya masih ada makhluk yang menungguinya dengan jengah.
"Wi, lo tuh kapan sih bisa serius?"
"Apaan sih, Nyun? Diem dulu, susah nih ngambil kelapanya. Eh... nah, kena kan! Hmmm..." Juwita memeragakan bagaimana sebuah serutan daging kelapa begitu terlihat nikmat yang luar biasa.
Ayunda? Ingin mengganti muka saja rasanya. Kalau sampai ada orang lewat lantas tanya: 'temannya ya, mbak?' ia akan dengan lantang menyerukan: 'bukan, maaf saya nemu di lampu merah, kasihan kehausan.'
"Wi, Anatomi tuh pelajaran dasar, mumpung kita masih semester dua, lo segera tobat, deh. Kalau emang ini bukan jalan lo, ya jangan lo paksa. Jangan karena nyokap bokap lo dokter lo harus sama juga." Bukan kali ini Ayunda begitu kesal dengan Juwita. Tapi, sikap bebal yang dimiliki Juwita membuat Ayunda sudah nggak tahu lagi harus berbuat apa.
Sedangkan Juwita, ia tahu betul mengapa ia memutuskan untuk terjun di dunia ini. Bukan karena kedua orang tuanya, tapi karena sebuah alasan yang enggan ia bagi ke orang lain, sekalipun itu Ayunda.
"Tenang, gue bakal tobat kok habis ini. Lo tahu kan, gue punya abang yang pinternya naudzubillah? Nggak perlu ikut tutorial di kelas. Tutorial privat sama abang itu bakal mengubah nilai gue di remed besok." Juwita mengutarakan dengan percaya diri tingkat dewa.
"Abang lagi, abang lagi... Bang Ray tuh sibuk, Wi. Kayak lo nggak tahu aja anak 2013 kan lagi ngejar sidang bulan depan. Setelah itu bakal sibuk ngurus yudisium, wisuda, lanjut koas. Nah elu??? Apa kabar? Masih ngarep buat diwaro?" Ayunda hampir ngakak mendengar sindirannya sendiri.
Sedangkan si Juwi, kini memonyongkan bibirnya sudah macam ikan cupang minta disosor.
"Udeh, ah, balik kuy! Eh temenin gue ke Gramed CP terus mampir Sogo bentar," ajak Ayunda sambil berjalan keluar kantin.
Juwita mengikuti Ayunda dengan langkah gamang. Bang Ray sih nggak menjanjikan bakal memenuhi ajakan belajarnya tadi pagi. Sampai sekarang saja pesan Line yang dikirimnya belum juga terbaca oleh Rayyan.
Ah, apa salahnya mengikuti Ayunda? Juwita ingin melupakan sejenak nilai D Anatomi yang menjadi moodbreaker-nya hari ini.
????????????????
Rayyan baru saja selesai membereskan sediaan histologi dari jaringan hewan coba yang telah difiksasinya seharian di laboratorium ini. Berkutat dengan segala hal yang membuatnya kurang tidur demi sebuah gelar di belakang namanya. Gelar yang nggak bakal bisa terpakai sebelum ia melakoni sesuatu yang lebih menguras kesabaran lahiriah batiniah, dan Tsanawiyah dua tahun ke depan. Tsah!
"Cabut, bro?" tanya Zulfikar, melihat sohibnya terburu-buru mengemasi perkakas lab ke dalam loker.
"Iya, duluan, ya." Rayyan mengangkat tangan, menyapa teman-temannya yang masih betah lembur demi kejar deadline di depan mata.
Kalau Rayyan nggak perlu ditanya, berprinsip serius boleh, jangan sampai saja skripsi merenggut masa bermainmu. Ia nggak cukup pusing dengan hal-hal seperti ini. Masih ada hari esok, satu lagi keyakinan yang selalu ia pegang.
Rayyan bergegas menuju parkiran, mengambil si Rushuh dan segera enyah dari tempat ini.
Belum lama keluar dari gerbang utama RU, ponselnya bergetar menampilkan nama 'Papi Ayik' di sana. Rayyan memasang handsfree dan menyambungkan teleponnya.
"Iya, Pih? Ada apa?"
"Abang di mana?" sapa om yang terbiasa ia panggil Papi sejak ia masih baru belajar mengeja.
"Jalan pulang, baru keluar kampus. Kenapa, Pih?" tanyanya, sambil berkonsentrasi mencari sela di antara kepadatan jalanan yang mulai terasa di jam pulang kantor begini.
"Belum jauh kan?"
"Belum sih ini."
"Jemput kakakmu, ya?" Rayyan mengernyit sejenak. Tampak menimbang-nimbang permintaan omnya tersebut.
"Oke, Pih." Semudah itu untuk Rayyan mengiyakan. Pasalnya mumpung belum sampai rumah juga, sekalian saja Rayyan mengajak kakak sepupunya itu untuk menyegarkan kepala sebentar saja.
Satu pesan Line ia kirimkan kepada Ayesha. Semoga saja Ayesha belum kadung memesan ojek online seperti biasa. Tidak ada balasan, ia langsung melajukan mobilnya menuju gedung tempat Ayesha bekerja. Nggak begitu jauh memang, cuma sepuluh menit kalau jalanan ramai lancar, dan perkiraan Rayyan saat ini paling nggak butuh limabelas menit untuk sampai di kantor Ayesha.
Belum juga ia mengabari Ayesha kembali, satu perawakan perempuan yang dimaksudnya sudah berdiri celingukan di depan lobby utama gedung itu. Rayyan menepikan mobilnya persis di samping Ayesha. Ia membuka kaca setengah agar terlihat oleh kakaknya.
Ayesha sendiri sedikit memicingkan mata melihat siapa yang datang walau pada akhirnya ia meringsek masuk mobil adiknya itu.
"Ngeliatin siapa sih? Udah tahu dari Papi ya kalau gue jemput makanya udah stay on gitu tanpa balas Line gue?" tanya Rayyan sambil memainkan persneling membawa mobilnya keluar area gedung.
Ayesa masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia yakin betul bahwa yang dilihatnya sesaat sebelum Rayyan datang adalah sosok dua tahun lalunya. Mereka sempat bersitatap seperkian detik, sebelum akhirnya Rayyan datang dan memintanya segera masuk mobil.
"Ah elah, kacang dua rebu nggak dapet sekarang," seru Rayyan mengembalikan kesadarannya.
"Apa, Bang?"
"Basi, ah."
"Ih, lo mah ngambekan kek bocah tau nggak?" goda Ayesha melihat adiknya yang merasa dianggurkannya.
"Iya gue emang masih bocah, kenapa? Nggak terima?"
"Idih, PMS ya lo, Bang?"
"High voltage gue ini. Eh, puter balik dikit nggak pa-pa kan?" tanya Rayyan yang sudah menyalakan sein kanan padahal Ayesha belum mengiyakan.
"Kalau gue nggak mau juga bisa apa. Dikasih nebeng hemat dua lima mah udah sukur-sukur nih tanggal tua." Ayesha menyenderkan punggungnya, menikmati lantunan Jingga dari Lala Karmela yang berputar di radio.
Ia bersenandung sambil menikmati pemandangan senja di langit Jakarta. Rasanya indah, menyaksikan matahari melingsir ke peraduan, menyibak gedung-gedung pencakar langit yang menjulang di depan sana. Sebenarnya kota ini bersahabat, jika saja para penghuninya memiliki kesadaran untuk saling bertanggung jawab menjaganya. Tidak abai dengan peraturan yang dibuat untuk kemaslahatan bersama.
Hingga lamunannya terhenti seiring dengan berhentinya deru mesin mobil Rayyan. Mereka sudah sampai basement Mall, keluar bersama menuju salah satu kedai kopi langganan.
Harus banget ke sini cuma buat ngopi? Batin Ayesha berteriak sedikit keberatan, tapi yoweslaaah... Sekali lagi ia tekankan apalah daya seorang tebengers seperti dirinya ini.
Ayesha mengambil spot di sayap kiri kedai, setidaknya area ini penerangannya yang paling memadai. Oh, ia nggak suka situasi remang-remang seperti itu, menyeramkan menurutnya.
Rayyan kembali dengan membawa dua cup blended coffee berlogo kedai kenamaan ini. Ia menyerahkan Green Tea Latte ke Ayesha, dan Caramel Frapuchino untuk dirinya sendiri.
"Tumben jam segini udah balik? Udah selesai nge-lab?" tanya Ayesha membuka sesi perbincangan dua sepupu.
"Nggak nutut juga, yang woles lah!" jawab Rayyan santai, menyeruput minumannya dan memainkan ponselnya.
Ayesha mulai bosan, yang begini nih, untuk apa ia diajak ngafe dengan dalih ingin mengobrol kalau ujung-ujungnya tenggelam dengan dunia maya.
"Bang, mending kita sambil jalan deh, yang penting udah dapet Frapuchino kan?"
Merasa lawan bicaranya teranggurkan, Rayyan menutup ponselnya dan mulai meladeni kakaknya tersebut.
"Sorry-sorry, lagian kapan lagi elah kita ngadem begini? Sejak lo dapat kerjaan baru, jarang banget kan punya waktu buat sekedar chit-chat kayak biasanya?"
Memang, Ayesha sendiri merasa pekerjaan barunya ini sedikit banyak telah merenggut masa kemanjaannya sebagai putri kerajaan. Tapi, Ayesha sendiri betah, Ayesha menikmati meski ada hal lain yang harus dikorbankan. Salah satunya ya ini, spending quality time dengan adik-adiknya.
"Gue traktir, deh!" seru Rayyan lagi, merasa belum mendapat jawaban dari lawan bicaranya tersebut.
"Gegayaan lo, masih anak kuliahan juga!"
Rayyan nggak terima, "gini-gini duit hasil nguber gue mayan tau." Ray jumawa, memamerkan kepada Ayesha bahwa ia memiliki penghasilan sendiri dari part time-nya sebagai driver ojek online.
"Lo jadi nguber?"
Ray mengangguk, masih dengan gayanya yang sok keasyikan.
"Berarti lu ngangkut gue ada maunya dong? Berarti gue harus nyalain aplikasi nih? Anjir! Gue maunya hemat dua lima malah torok."
Ray terkekeh puas melihat ekspresi Ayesha. "Siapa bilang dua lima? Kalo lo yang naik mah bakal beda cerita."
"Gratis?" binar Ayesha sudah percaya diri sendiri.
"Kampret, kali lima lah! Lo belum traktir gue, Izzy, sama Juwi dari gaji pertama lo. Percaya banget gue yang traktir ini, coba cek dompet lo."
Ayesha mendelik, mengecek tas dan nggak menemukan dompetnya di dalam sana. Raib! Oh, Ayesha menyadari satu hal.
"Anjir!!!! Baaaaang!!" Ia mengeplak lengan adiknya itu hingga menimbulkan gelegar tawa renyah. Saking hampir menjungkal tawa mereka, air mata Ray sampai keluar menambah drama malam ini. Ray benar-benar totalitas mengerjai Ayesha.
"Cepek doang elah."
Cepek, sih. Tetap saja Ayesha gondok sambil mengerucutkan bibirnya saat ini. Masalahnya adalah, ini tanggal tua, coy! Tanggal 31 ada di pekan berikutnya. Apa kabar nasibnya seminggu ke depan? Minta Mami atau Papi? Mukanya nggak setembok itu untuk masih menadah ke orang tua. Ayesha cukup paham soal harga diri dan etika. Terlebih, ia sudah bukan anak sekolahan lagi, kan? Tamatlah riwayatnya.
"Gimana, gimana... kerjaan? Aman?" Ray mengalihkan topik. Biar saja Ayesha masih kesal, ia suka sekali ekspresi kakaknya kalau lagi memberengut model begini.
"Aman, dompet gue yang nggak aman!" jawab Ayesha masih dengan mode merajuk.
"Ada yang bisa digebet, nggak?"
Ayesha hanya mengedikkan bahu, memilih menyeruput green tea latte di depannya.
"Takis lah! Biar hidup lo lebih berwarna, Kak. Nggak abu-abu lempeng gitu aja. Lo tuh harus buka hati lagi, jangan stuck di sini aja. Dua tahun, Kak! Kita, adek-adek lo tuh cuma nggak mau lo terpuruk kayak dulu." Nasihat Ray yang membuat Ayesha mendengus sebal.
"Ngemeng enak ya tinggal mangap. Yang jalanin udah koprol ini."
"Ya elah, seriusan gue ini."
"Gue nggak kayak lo, ya, yang ciduk sini, caplok sana."
"Kunyuk lo, Kak! Gue nggak gitu juga kali! Mereka aja yang mau. Ibarat kata nih, gue diem aja para cupang itu udah menghamba di kaki gue. Nah, gue? Gue cuma manusia biasa dengan tingkatan iman level middle yang kalau dipancing bakal nyamber juga."
Hahaha, memang dasarnya Ray, entah gennya menurun dari siapa karena nyatanya Arga nggak gitu-gitu amat.
"Jangan gitu, Bang! Kualat baru tahu rasa, emang nggak sekarang, bisa jadi yang kena karma anak perempuan lo, ntar." Ayesha malah menakuti-nakuti, membuat Ray mendelik nggak terima.
"Setidaknya gue tahu batasan. Gue nggak nge-php-in cewek sampai bikin mereka baper dan ninggalin pas lagi sayang-sayangnya. Kalau itu sih kambing banget lah!"
Nyatanya, obrolan ringan seperti ini saja bisa membuat Ayesha terpingkal-pingkal melepas tawa. Ayesha bahkan menyusut mata. Ah, sibling di antara mereka memang memiliki sisi keistimewaan sendiri.
Hingga satu suara mampu menghentikan semuanya. "Bang Ray? Kak Aye?" Praktis, baik Ayesha maupun Rayyan spontan menoleh ke arah sumber suara.
"Kalian ngapain di sini? Ih, Abang... Juwi tuh nge-Line Abang dari zaman orde baru belum dibales. Juwi kira sibuk, ternyata kalian berduaan di sini? Dan parahnya gue nggak diajak?" Juwita sudah merepet panjang segerbong kereta sampai membuat telinga Ayesha berdenging.
"Lah? Lo sendiri ngapain? Sama siapa?" Rayyan balik bertanya. Adik sepupunya satu ini kan memang agak-agak. Nggak jarang hal tersebut membuat Ray sebal sendiri.
"Ya gue tadi ke sini sama Yunda, sih. Tapi gara-gara lihat kalian di sini, Yunda gue suruh pulang duluan."
Ayesha dan Rayyan saling melempar pandangan. Benar-benar deh si Juwita, kadang-kadang suka korslet. Mereka nggak kurang stok sabarlah kalau menghadapi bocah satu ini.
"Iih... pada diem, sih? Baaaang... beliin gue Caramel Machiato dong. Please... gue capek, Bang, habis muter-muter nemenin Yunda cari ini itu," rengek Juwita sambil menarik-narik jaket varsity milik Rayyan.
Rayyan mulai jengkel, sedikit menghindar seakan Juwi sebuah virus mematikan, "apasih lo, Wi? Nggak usah manja, beli sendiri sana!"
Juwita jelas saja mengerucutkan bibirnya, sementara Ayesha hanya geleng-geleng nggak habis pikir.
"Iih... Abang! Tega baget sih?! Abang kan janji hari ini mau belajarin Juwi. Line nggak dibalas malah ngendon enak-enak di sini. Pasti lo duluan ya, Kak, yang ngajak Abang?" tuding Juwi kepada Ayesha yang hanya dibalas dengan kedikkan bahu.
Ayesha suka malas kalau meladeni Juwi, karena ujung-ujungnya pasti merembet ke mana-mana, dan Ayesha nggak suka hal itu.
"Bang, ayolah... ajarin gue Anatomi, Bang.... Gue nggak berani pulang ini. Udah pasti Dokter Niko ngadu ke Bunda. Nggak selamet gue, Bang sampai rumah. Please, ayo ajarin gue." Ayesha masih saja merengek pantang mundur merayu Rayyan.
Kakak sepupunya itu gigih banget kalau mengerjainya. Tega membiarkan ia dalam dilema parah menenteng hasil praktikum Anatomi dengan nilai yang dijamin bikin sakit mata seketika.
"Emang kenapa nilai Anatomi lo, Wi?" Ayesha ikut bertanya.
Keingintahuannya tiba-tiba saja mencuat. Begini-begini, Juwita adalah adik perempuan satu-satunya. Yaa... meskipun semua adiknya sama-sama sengklek, sih.
"Iiiih... apaan sih lo kak ikut nyamber segala? Nilai Anatomi gue dapet D. Puas lo?" Juwita semakin gregetan mendengar Ayesha yang ikutan kepo.
Sudah pasti setelah ini ia jadi bahan bully-an para sepupunya itu. Ini baru Rayyan dan Ayesha, belum saja si Izzy Tukul yang kalau ikutan nyolot seperti petasan banting melebih dirinya.
"Ya elo? Bisa gitu sampai nilai D? Kagak belajar atau emang kagak niat kuliah? Malu, Wi!!! Lo tuh hidup di lingkungan dokter, ya kali anaknya dokter spesialis anestesi terbaik bentukannya macam lo gini? Iih... Ngidam apa juga Bunda dulu hamil lo!" Ayesha nggak tanggung-tanggung kalau menggoda Juwita. Ia lihai dalam hal beginian. Bahkan ia mempraktekan sikap risihnya di depan Juwita sendiri.
Duh, Juwita sih tinggal meweknya doang ini, mah! Kasih umpanan sedikit lagi, terjun deh tuh air mata buaya. Hahah, dasar si Juwi, paling bisa menarik perhatian semuanya. Paling manja di antara mereka. Tentu saja, menjadi kesayangan banyak orang.
"Kuliah di FK tuh nggak segampang ngejeplak, Kak. Nggak kayak kuliah lo yang lancar-lancar aja."
Ayesha nggak terima, nggak tahu saja perjuangan anak teknik kalau ingat ngesot-ngesot ngerjakan proyekan sampai tengah malam.
"Heh! Pindah sana ke teknik! Cobain sendiri sebelum nyinyir!" kesal Ayesha, lalu menandaskan green tea latte di depannya yang tinggal separuh.
Juwita membalas, ikut menenggak ice blended yang diraupnya sembarangan. Oh, ternyata itu Frapuchino milik Rayyan. Astaga!
"Kalian tuh apa-apan, sih? Malah berantem macam anak kecil saja," marah Ray dengan suaranya yang entah bagaimana bisa menghipnotis dua perempuan ini menjadi bungkam seketika.
"Udah, pulang, pulang!" Ray sudah gondok, meninggalkan mereka yang masih bersitegang nggak jelas.
"Ikut, Bang...," teriak Juwita sambil menyusul langkah Rayyan.
Ayesha mah santai saja, Rayyan nggak bakal ninggalin dirinya. Kalau sampai hal itu terjadi? Tinggal mengadu ke Papi tercinta dan tityd Rayyan keesokan harinya bakal tinggal nama. Hahaha. Ancaman yang cukup mengerikan.
Ayesha mengikuti mereka dari belakang. Ia hanya bisa geleng-geleng melihat Juwita yang manjanya kebangetan kalau sama Rayyan. Namun, baru saja ia keluar lift dan masuk area basement, bayangan seseorang yang sama kembali ia tangkap. Lelaki itu... Ya, kali ini ia nggak bakal salah lagi. Lelaki itu baru saja memasuki mobil bersama seorang perempuan yang dirangkul mesra.
"Kak, ngapain? Ayo keburu malam ini!" panggil Rayyan mengembalikan alam sadarnya.
Stop, Ayesha, sudah bukan menjadi kapasitas lo lagi!
________Nantikan Kelanjutannya______
? You, AyeshaA, AyundaPrescha, FrayoggiP, and 27439 likes
Jujuwwitjantik udah berupaya keras tapi nggak diwaro? Asyikin aja! Mungkin dia kurang asupan vitamin C. Sini, ....Cium.... Dulu ????????????
View 17 all comments
AyundaPrescha nggak usah alay! Gue bilang juga apa?
IzzyAlf utayang tayang kaleng rombeng kagak diwaro ya? Atit ya? ????
Jujuwwitjantik hiks ???????????? @AyundaPrescha
Jujuwwitjantik heh tukul, bangciaaat lu, sini gue sambelin dulu biar kagak nyinyir ???????????? @IzzyAlf
FrayoggiP tutorial woey!
Jujuwwitjantik maaf siapa ya? @FrayoggiP
Mantap & kreatif, smpai masukin gambar. Jadi bisa kebayamg deh karakternya.
Comment on chapter Sembilu Dusta