Di kapsul aku hanya duduk diam. Melihat orang-orang yang asyik dengan Hologramphone. Sebuah teknologi jenis baru yang layarnya bukan kaca yang bisa disentuh. Tetapi layar yang transparan dan bisa disentuh. Itu sangat mahal sekali. Aku hanya memiliki tablet tipis yang lama. Keluaran tahun 2025. Dan ini sudah tahun 2029. Ah, aku kuno sekali.
Aku mendengar lagu Kereta Malam yang dulu sedang booming. Aku lupa tahun berapa tapi lagu ini enak sekali. Alunan dangdut yang enak dan dipadu dengan naik kapsul serasa aku main film. Oh, nikmatnya.
Namaku Mita Lesmana. Seorang gadis asal Subang Jawa Barat. Seorang anak tunggal dengan orang tua yang kaya alhamdullilah. Anehnya anaknya merantau ke ibukota untuk sekolah. Dan sebenarnya aku merantau pun ingin mencari sebuah inspirasi dalam proyek membuat novel. Bagus sekali bukan?
Menurut estimasi di boarding pass, aku sampai pada pukul sepuluh. Tetapi, karena ada perbaikan rel kapsul, aku sampai pada pukul dua belas.
Lama duduk dengan perasaan cemas, dan jam memutar sangat cepat hingga ke pukul dua sebelas. Aku mencoba untuk minum air dengan tenang. Tapi, tanganku gemetar dan botol minumku tumpah ruah ke segala arah. Seorang lelaki yang duduk disebelahku terkena imbasnya. Bajunya sedikit basah. Dan aku, lebih parah.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya aku kepada lelaki itu.
“Oh, tidak apa-apa. Hanya basah sedikit kok,” setelah itu, ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya, “ambil saja. Aku belum pake kok.”
“Terima kasih,” seraya tersenyum malu.
Aku mengelap bajuku dengan sapu tangan itu kemudian mengembalikannya, “Ini, sapu tangannya.”
“Oh, iya.” seraya mengambil sapu tangannya.
Aku memandanginya. Ia sangat tampan sekali. Hidungnya mancung, kulitnya putih, tipikal dambaan perempuan-perempuan SMA. Dan ia pun membaca sebuah novel. Lihatlah! Itu novel Murder On The Orient Express. Sebuah novel kriminal yang ditulis oleh Agatha Christie pada tahun 1930-an.
Lalu dengan ragu-ragu aku bertanya, “Baca Agatha Christie nih?”
“Oh, iya. Novel ini seru banget. Setiap plot-nya membuat penasaran. Gila nih orang.”
Aku hanya terdiam. Terpesona melihat perkataannya.
“Eh, ngomong-ngomong namamu siapa?” tanya lelaki itu.
“Oh, aku Mita. Mita Lesmana,” jawab dengan gugup.
“Aku Arya. Arya Pradipta.”
Aku hanya mengangguk. Lalu aku dengan Arya saling berbicara. Ini itu, perkembangan di ibukota, dan ternyata ia satu sekolah denganku. Waduh! Apa jadinya jika aku satu sekolah dengannya?
“Boleh minta nomor telepon?” ia bertanya di sela-sela perbincangannya.
“Oh, boleh. Silakan.”
Aku memberinya nomor telepon. Kemudian kapsul kereta telah sampai di stasiun ibukota. Selamat dating ibukota!
***
Aku turun dari kapsul dan menuju depan stasiun. Aku sedang menelpon Denayla, temanku di ibukota.
“Den, kamu dimana?” tanya aku di dalam telepon.
“Di sana jauh banget,” jawabnya terdengar terkekeh.
“Dimana?”
“Dor!” suara itu dikombinasikan dengan menepuk bahuku. Dan, itu Denayla.
“Huh, kamu mengejutkanku,” aku menghela napas.
“Hehehe,” ia tertawa.
“Terus sekarang kemana?”
“Ya pulang lah,” jawabnya sambil memainkan hologramphone.
Aku berjalan dengan Denayla menuju gerbang bandara.
“Eh, tahu nggak. Aku di kereta bertemu seorang lelaki yang tampan banget.” sahut aku ketika sampai di gerbang bandara.
“Kayaknya kamu kelelahan deh. Saking lelahnya kamu ngalor-ngidul hingga tingkat basement.” jawabnya ketus ditambah satu tarikan napas.
What the…?
***
Aku sampai dirumah Denayla. Rumahnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Standar. Di rumahnya, tidak ada orang tuanya. Orang tuanya sedang ke luar negeri selama tiga tahun. Jadi, aku bebas di rumah ini.
Aku memasuki kamar yang sudah disiapkan Denayla, dan merebahkan diri di kasur tersebut. Ku ingat-ingat lagi pada peristiwa tadi di stasiun. Laki-laki itu tampan sekali. Aku tidak pernah merasa sesenang ini. Aku senyum-senyum sendiri dan mungkin aku tidak waras. Ok, aku akan tidur siang sejenak.
Oh, iya. Denayla itu adalah temanku dulu di Subang, Jawa Barat. Ayahnya juga berteman dengan ayahku. Dan kata ayahku, Denayla seperti kakakku semenjak kecil. Selalu bertengkar, susah, dan senang bersama.
Perawakan Denayla seperti remaja perempuan pada umumya. Putih, berkerudung, Memakai kacamata, tinggi seratus senam puluh sembilan, kutu buku, narsis tingkat dewa, dan segala hal yang dimiliki perempuan remaja lainnya.
Dan aku, beruntung memiliki teman tersebut.