Aku mendengar celotehan ibuku dengan ibu Meta dengan seksama. Mereka menceritakan jika dulu aku dan Meta sering bermain bersama. Tapi saat usia kami 5 tahun, ibu Meta memutuskan untuk pindah kerumah mertuanya karena rumah yang lama akan dijual untuk pengobatan nenek Meta. Jadilah kami berdua berpisah dan sekarang tidak saling mengenal.
“Jadi sekarang kalian sudah ingat kalau kalian teman lama?” Tanya ibu Meta.
Aku melirik kebelakan melalui kaca spion. Meta juga melakukan hal yang sama denganku. Dapat ku lihat ia tersenyum kecil dan mengangguk.
“Sebenarnya masih nggak inget sih, Ma. Cuman karena kita berdua satu sekolah, jadi saling kenal.”
“Iya, Tante. Meta kan juga osis di sekolah, jadi nggak mungkin Devan nggak kenal sama dia.”
"Meta memang suka aktif di organisasi kayak gitu, Van. Dari SMP hanya itu yang dia kerjakan di sekolah."
“Tuh kan Devan, mama sempat suruh kamu buat gabung di osis waktu kelas 10 malah nolak. Kan kamu bisa jadi kayak Meta.” Sela ibuku.
Aku hanya mendengus nafas malas. Kenapa ibuku harus membandingkan diriku dengan Meta, jelas saja kami berbeda. “Kan sudah aku jelasin, Ma. Aku mau fokus belajar aja. Aku males gabung ke organisasi yang bisa ganggu konsentrasi aku di akademik.”
Dapat ku lihat ibuku ingin menyahutiku, namun Meta segera mendahuluinya. “Iya tante, bener kok kata Devan. Osis memang sibuk banget, setiap ada event apapun di sekolah pasti yang terlibat osis. Lagian Devan juga udah buktiin kok kata-katanya mau fokus belajar, karena dia sudah jadi juara umum disekolah.” ujar Meta.
Aku menatap Meta kembali melalui kaca spion, Meta pun balik menatapku. Aku mengerjitkan keningku. Padahal kami tidak pernah komunikasi bahkan sekelas pun tidak. Tapi entah kenapa dia sangat tahu tentang diriku bahkan membelaku di depan ibuku. Sudahlah, aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Lebih baik aku kembali fokus ke jalanan agar kami semua selamat sampai tujuan.
“Ma, bukannya ini jalan ke rumah Paman Teno ya?” tanyaku sembari melihat sekeliling jalan yang kami lewati.
“Iya, Ini memang jalan ke rumah pamanmu dulu.” jawab ibuku dengan suara yang dipelankan. Aku merasa bersalah sudah menanyakan hal sensitif kepada ibuku, aku yakin memori tentang Paman Teno pasti terngiang kembali dibenak beliau.
Paman Teno adalah adik dari ibuku. Beliau orang yang baik dan sangat menyayangiku. Ibuku pernah menceritakan jika aku memang sering tinggal di rumah paman karena hingga usia pernikahan paman yang ke tiga tahun, Paman Teno belum juga mempunyai keturunan. Berhubung ayah dan ibu seringkali keluar kota, jadilah aku dititipkan di rumah paman yang sudah kuanggap sebagai rumah keduaku. Sayangnya, saat usiaku menginjak 12 tahun peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang aku lihat sendiri dengan kedua mataku, Paman Teno dan juga Bibi Rina meninggal karena kecelakaan mobil dimana aku dan gadis itu juga berada didalamnya. Karena kejadian ini pula yang membuatku trauma dengan benda bernama mobil.
Biar ku beri tahu, semenjak tinggal di rumah paman aku mulai mengenal gadis itu. Gadis imut yang bisa ku bilang dialah cinta monyet dan cinta pertamaku. Entah berapa lama aku tidak bisa melupakannya semenjak kejadian tragis yang menimpa kami, tapi yang pasti dialah satu-satunya alasanku tidak bisa menerima kehadiran gadis lainnya di hidupku. Dan perlu ku ingakan, jangan pernah mengasihaniku lagi karena kalian mendengarkan kisahku yang sebenarnya sedikit memalukan ini.
“Yang sabar ya, Tini. Doakan saja adikmu bisa mendapatkan tempat yang layak disisi-Nya.” Hibur Ibu Meta yang seperti tahu peristiwa itu. Kulihat ibu hanya tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya kembali ke jalanan.
“Devan, nanti di kiri jalan itu ada gang kamu masuk kesana ya.” ucap ibuku setelah kembali lagi seperti semula. Aku mengangguk menyetujui dan segera membelokkan stir ke arah gang yang diperintahkan ibuku.
Saat memasuki gang ini, sudah berapa kali aku melihat anak kecil lalu-lalang dengan sepeda mereka. Di sepanjang tembok yang kami lalui pun banyak terdapat tulisan ‘AWAS BANYAK ANAK-ANAK’.
“Devan, kamu parkir mobilnya disini aja ya. Nanti kita kedalemnya jalan kaki aja.” Perintah ibuku lagi. Aku hanya menuruti perintahnya dan segera memarkirkan mobil dengan benar tepat dibelakang mobil Jazz berwarna hitam.
Kami semua segera turun dari mobil dan berjalan masuk kedalam rumah yang hanya ada satu didalam gang ini. Tanpa diberitahu pun aku sudah tau tempat apa yang kami tuju ini. Aku mengkerutkan keningku. “Ma, ngapain kita ke panti asuhan?” tanyaku penasaran.
“Udah kamu ngikut aja, nanti mama kasih tau.” Jawab ibuku dan langsung masuk kedalam bersama ibu Meta dan meninggalkan kami bertiga dibelakang sendirian.
“Yeay, kita sampai....” teriak Tania.
Untuk saat ini aku tidak akan merespon walaupun adikku teriak-teriak tidak jelas seperti itu. Aku lebih penasaran dengan tempat ini. Aku memperhatikan sekelilingku. Dapat kulihat semua anak-anak yang bermain di halaman depan panti asuhan menghentikan permainan mereka dan mengerubungi kami-lebih tepatnya adikku-.
“Halo kakak-kakak selamat datang di Panti Asuhan Dharma Wijaya.” Semua anak-anak itu serentak mengucapkan kalimat selamat datang kepada kami.
‘Panti Asuhan Dharma Wijaya?’
Tunggu, aku tidak salah dengar kan? Aku segera menoleh kearah plang yang tertutupi oleh rindangnya pohon mangga.
‘PANTI ASUHAN DHARMA WIJAYA’
‘Kesya?’
“Hai kakak.” sapa seorang gadis kecil kearah kami. Aku langsung tersadar dari lamunanku dan tersenyum kearah nya.
“Hai, nama kamu siapa?” tanya Tania.
Gadis itu menjawab tanpa ragu. “Nama aku Nana, kak. Kakak baru pertama kali kesini ya?” tanyanya.
“Iya. Aku baru pertama kalinya kesini. Oh,ya kamu kelas berapa sekarang?” tanya Tania lagi. Teman-teman Nana yang lain langsung mendekat dan mengelilingi kami.
“Aku baru kelas 2 Sd kok kak. Kalau kakak sendiri?”
“Aku kelas 4 Sd. Salam kenal ya buat kalian semua.” Tania langsung menyalami semua anak-anak yang ada disekitarnya. Tania memang anak yang mudah bergaul, siapa saja yang dekat dengannya pasti akan bahagia karena keramahannya dan dengan menyesal aku harus mengakui itu. Tapi memang hanya kepadaku sikapnya akan berubah 180 derajat.
“Lo nggak mau masuk aja? Gue rasa adik lo udah nyaman sama anak-anak disini.” Ucap seseorang disebelahku.
Astaga, aku sampai lupa jika Meta masih ada bersamaku. “Lo bener juga, yaudah yuk kita masuk aja.” Ajakku kemudian.
Aku dan Meta berjalan dalam diam. Aku tidak terlalu mempedulikannya karena kulihat dia juga sedang sibuk dengan handphonenya. Aku memperhatikan setiap lorong tempat ini. Bangunan ini sudah tampak tua, namun masih terlihat rapi dan bersih. Barang-barangnya pun tertata rapi baik foto di dinding dan hiasan-hiasan yang ada diatas meja..
Untuk sesaat aku sangat mengagumi tempat ini dan ini adalah kali pertamaku mengunjungi tempat bernama panti asuhan. Karena sebelumnya ibuku tidak pernah mengajakku ketempat selain tempat arisan dan acara pertemuan ayah dengan rekan kerjanya.
“Kak Rei!”
Aku segera menghentikan langkahku. Samar-samar dapat kudengar teriakan seseorang yang sepertinya sedikit familiar ditelingaku.
“Apaan sih kak Reihan!”
Karena penasaran, aku pun mengikuti arah teriakan itu. Sampai akhirnya aku sampai di depan pintu tua yang bertuliskan 'KITCHEN’ diatasnya. Aku mendongakkan kepalaku kedalam dan menemukan dua orang didalamnya.
‘Kesya?’
“Kak Rei, itu kotor banget. Please jangan mainin gituan ah!” bentak Kesya kesal. Ia yang awalnya tengah tertawa kini berubah menjadi jutek karena wajahnya penuh dengan polesan hitam. Kesya memalingkan wajahnya laki-laki yang ku ketahui bernama Reihan itu.
“Kenapa sih Kesy? Kan kamu jadi makin cantik kalau kayak gitu, sini kakak tambahin lagi di wajahmu biar makin jelas cantiknya!” laki-laki itu kembali berusaha mengolesi wajah Kesya dengan arang namun Kesya terus menghindarinya.
“Ish, kak Rei! Aku bilang jangan main begituan, aku nggak suka. Hiks...” Kesya langsung terisak. Aku langsung terkesiap saat melihat Kesya meneteskan air matanya.
‘Kesya nangis? Sumpah gue nggak ngerti lagi sama apa yang gue liat sekarang!’
Reihan langsung menghentikan kejahilannya dan berjalan mendekati Kesya. Ia meletakkan arang hitam yang tadi ia bawa dan langsung memeluk Kesya dengan sayang. Ia mengelus puncak kepala Kesya dengan lembut “Kesy, kok malah nangis sih?” tanyanya lembut.
“Udah dibilangin juga jangan main begituan! Kan aku nggak suka.” Jawab Kesya.
Dengan sigap Reihan mengeratkan pelukannya. Nafasku langsung tercekat seketika. Apa aku tidak salah lihat? Itu benar Kesya kan? Cewek ‘dingin’ di SMA Harapan Nasional. Jatungku makin berpacu lebih cepat. Tidak, aku tidak mungkin salah lihat. Itu memang Kesya!
‘Oke, lo harus positif thinking. Mungkin aja Reihan itu kakaknya’
“Maafin kakak ya, janji deh nggak bakal ngulangin lagi. Kesy nggak marah lagi kan?” tanya Reihan.
“Nggak kok kak, aku sama sekali nggak marah.” Kesya segera melepas pelukannya dan menjulurkan lidah kearah laki-laki itu. Ia mengambil tepung yang ada didalam mangkuk di sampingnya kemudian melemparkannya kearah Reihan. Reihan yang terkena lemparan tepung yang cukup banyak segera membersihkan tepung yang mengenai matanya dan mulai menatap Kesya dengan senyuman nakalnya.
“Oh, jadi kamu mau main-main ya sama kakak, Kesy? Oke, tunggu aja pembalasannya.” ujar Reihan. Ia langsung mengejar Kesya yang terus menghindari tangkapannya. Mereka saling melempar tepung satu sama lain sehingga dapur yang awalnya rapi kini penuh dengan tepung yang berserakan.
Kali ini aku benar-benar dibuat bingung oleh keakraban Kesya dan juga Reihan. Jika mereka memang bersaudara, kenapa tingkah mereka justru menunjukan bahwa mereka sedang kasmaran? Dan tunggu, kenapa dadaku tiba-tiba sesak ya? Apa iya aku cemburu? Tidak, itu adalah kalimat yang tidak pernah aku sandang sebelumnya. Oke, untuk saat ini aku tidak mau memikirkannya. Tapi jika memang benar mereka ada hubungan, aku harus mencari tahunya segera.
“Devan?” tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dan membuatku terlonjak kaget. Aku segera membalikkan tubuhku dan mendapati Meta berada dibelakangku sembari tersenyum manis.
“Meta, kenapa?” tanyaku berusaha menghilangkan ketegangan yang sempat merasuki tubuhku.
“Enggak, tadi pas gue jalan terus noleh elonya udah nggak ada disebelah gue. Yaudah, daripada jalan sendiri kayak jomblo mending gue cari lo aja. Eh, taunya lo lagi ngintipin orang pacaran toh disini.” Jawab Meta yang membuat pipiku langsung memerah seperti maling yang tertangkap basah sehabis mencuri barang.
“Ngintip apaan sih, Met! Gue cuman nggak sengaja aja nyoba-nyoba jalan tapi malah nyasar sampe kesini. Yaudah yuk kita cari mama, pasti udah ditungguin.” Ajakku sekenanya. Aku berharap Meta tidak akan mengatakan apa-apa lagi yang nantinya bisa membuatku mati kutu.
“Oke deh, yuk.” Aku dan meta langsung berjalan menjauhi dapur untuk mencari ibu kami. Dalam hati aku sangat bersyukur karena Meta tidak bertanya apa-apa lagi.
‘Huh, untung saja’
***********