Loading...
Logo TinLit
Read Story - Iskanje
MENU
About Us  

At 4 PM

 

Dera menguap lagi. Rasa kantuk terpancar jelas dari matanya. Tidak tidur selama empat hari empat malam membuat Dera tertidur seharian ini. Tidak, bahkan ia di tempat tidur sejak malam hari. Ia sampai membolos kuliah karena ketiduran. Tubuhnya yang lelah sudah tidak bisa diajak berunding lagi. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana Arif berangkat ke kampus pagi ini, mengingat mobil Arif dibawa Dera sejak diksar Menwa. Terbayang sudah wajah marah Arif. Sudah pasti tukang marah itu telah menelfonnya belasan kali. Lebih buruknya lagi, PONSEL Dera mati sejak semalam. Bahkan ia lupa untuk membawa PONSEL-nya. Meski omelan Arif menantinya, ia sedang tidak ingin memikirkan masalah itu. Ada masalah lain yang lebih penting dan harus ia katakan pada orang yang akan ia temui sore ini.

 

Dera melihat jam dinding di kafe. Masih pukul setengah empat. Pikirannya terlalu kacau sampai-sampai membuatnya salah melihat jam. Seharusnya ia ke kafe pukul empat sore. Namun, ia malah pergi ke kafe satu jam lebih awal. Alhasil, ia harus menunggu dengan bosan. Ia juga tidak berminat pulang ke rumah.

 

Segelas jus alpukat sudah menemaninya menunggu selama setengah jam. Ia pun memesan segelas jus wortel untuk menemaninya setengah jam ke depan. Seorang pelayan kafe dengan sigap langsung membawakannya jus wortel. Setelah pelayan kafe itu pergi, seorang laki-laki menghampiri meja Dera. Orang itu mengenakan sepatu abu-abu bertali. Dera menaikkan pandangannya. Laki-laki itu memakai celana jeans dan kaos biru tua. Dera pun mendongakkan kepalanya untuk melihat wajah orang itu. Betapa terkejutnya Dera saat mendapati wajah yang dilihatnya bukan wajah yang ia harapkan. Laki-laki itu duduk di depan Dera tanpa memperdulikah wajah bingung Dera. Mata Dera masih terpaku melihat laki-laki di hadapannya. Ia sungguh tidak mengerti dengan situasi yang dialaminya sekarang.

 

Gawat. Ini orang ngapain di sini? Wah, bisa jadi bencana nih.”batin Dera.

 

Laki-laki itu menempelkan telapak tangannya di dahi Dera, “Ra, lo sakit?”

 

Dera mencoba meraih kesadarannya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepuk-nepuk pipinya.

 

“Arif?”

 

***

 

Malam sebelum bencana...

 

Dera melempar sepatunya di sembarang tempat. Jaketnya yang berbaur dengan keringat kini sudah tergeletak di lantai. Ia banting tubuh mungilnya ke kasur. Sebelum tidur, ia menuliskan sebuah pesan pendek untuk seseorang. “Besok jam 4 sore, gue tunggu di kafe.”begitulah bunyi pesan itu. Sepasang mata Dera telah beradu. Tanpa hitungan menit, ia sudah berada di alam bawah sadar.

 

Drrt...Drrt...Drrt...kukuruyuk...kukuruyuk...kukuruyuk...

 

Awalnya hanya getaran, kemudian terdengar suara ayam. Tidak salah lagi. Suara ayam itu milik ponsel Dera. Dera yang baru saja terlelap menggerakkan tangannya perlahan. Diambilnya benda berbentuk persegi panjang yang terletak di dekat kepalanya. Ia letakkan PONSEL itu di dekat telinganya.

 

“Hallo. Dengan Dera di sini. Ada yang bisa dibantu?”Dera memulai pembicaraan dengan mata masih terpejam.

 

“Ra, besok...”seseorang berbicara di seberang sana, namun Dera tidak mendengarkan. Ia kembali tertidur. Padahal PONSEL-nya masih menempel di telinganya.

 

“Hallo! Dera! Lo masih hidup, kan?”terdengar suara berat seorang laki-laki dari speaker PONSEL Dera.

 

“Iya, gue masih di sini.”jawab Dera setengah sadar.

 

“Gimana? Mau nggak?”

 

“Besok aja ngomongnya. Gue capek banget. Gue tunggu di NC Cafe jam 4 sore.”

 

Dera menutup telfonnya, tanpa menunggu jawaban dari lawan bicara. Ia melanjutkan perjalanannya ke alam mimpi. Kini ia sudah tertidur dengan lelapnya, tanpa menyadari bencana yang menantinya esok hari.

 

***

 

Hari H Bencana...

 

“Arif? Ngapain lo di sini?”tanya Dera dengan wajah bingungnya.

 

Arif mengerutkan keningnya,“Bukannya lo yang nyuruh gue ke sini?”

 

“Hah? Gue? Kapan?”

 

“Tadi malam di telfon. Kenapa lo kaget waktu lihat gue? Jangan-jangan lo mengharapkan orang lain?”

 

Dera segera memutar otak untuk mencari alasan yang tepat. Bukan Dera namanya jika tidak bisa berdalih,“Mmm... Bukan gitu. Gue cuma lupa kapan gue jawab telfon lo.”

 

Dera mulai memahami situasi, “Jadi, yang telfon itu lo?”

 

“Berarti orang itu nggak akan nongol di sini. Kayanya gue nggak bilang dimana tempat ketemuannya. Aman. Aman.”batin Dera. Setidaknya dia bisa bernafas lega. Ia tidak bisa membayangkan kekacauan yang akan terjadi bila Arif bertemu dengan orang itu.

 

“Iya. Gue tanya lo bisa ngantar gue ke rumah sakit nggak, soalnya gue mau lepas perban. Rencananya gue mau bilang di kampus, tapi lo nggak berangkat. Gue telfon juga nggak diangkat.”

 

“Sorry. PONSEL gue mati. Ketinggal di kontrakan lagi.”

 

“Lo apa sih yang nggak lupa? Jangan-jangan sama pacar aja lo lupa.”ejek Arif.

 

Dera mencubit kedua pipi Arif dengan jarinya yang ia bentuk menyeruapai capit kepiting,“Jangan khawatir. Gue nggak akan lupa sama pacar gue yang galak ini.”

 

Arif yang kesakitan melepas tangan Dera dari pipinya.  Ia tertawa kecil. Kedua tangan mungil Dera kini ada di genggaman Arif. Mereka saling menatap satu sama lain. Arif tersenyum tipis, “Gue juga nggak akan lupa kalau gue punya cewek unik bin ajaib kaya lo.”

 

Dera melepas tangannya. Ia pasang wajah cemberut, “Gue kira lo mau romantis, ternyata malah bercanda.”

 

Arif tertawa kecil, “Gue serius. Lo emang unik kok. Lo tomboi, tapi serba bisa. Lo nggak kenal jaim...”

 

“Bentar. Oma bilang gue tomboi, lo juga bilang gitu. Emang gue kelihatan tomboi banget?”

 

Arif melihat pakaian yang Dera kenakan. Sepatu kets, celana training, kaos hitam polos, dan rambut diikat ke belakang. Seperti yang selalu ia kenakan setiap hari. “Lo lihat baju lo sekarang dan lo akan tahu jawabannya.”

 

Dera melihat bajunya. “Emang baju gue kenapa?”tanya Dera dengan wajah polos.

 

Arif menghela nafas, “Aduh, Dera. Masa lo nggak tahu. Lo tiap hari pakai celana training. Kalau nggak pakai training, pakai celana lapangan. Bahkan di kampus aja lo selalu pakai celana training atau celana lapangan. Ra, kita itu calon akuntan, bukan calon atlet. Lo juga nggak pernah pakai rok. Lo nggak pernah pakai make up.”

 

“Emang kriteria cewek tomboi itu dilihat dari rok atau celana?”

 

“Maksud gue, paling nggak lo pakai celana jeans kalau ke kampus. Biar nggak kelihatan tomboi banget.”

 

“Lo salah. Gue nggak tomboi, gue cuma fleksibel aja. Lagian gue pakai celana biar lebih gampang geraknya. Rok itu menghambat pergerakan.” Dera membela diri.

 

 “Mau pakai apa aja, Dera selalu cantik.”

 

Arif baru mau menjawab, tetapi orang lain mendahuluinya. Seorang laki-laki duduk di kursi yang ada di sebelah Dera. Laki-laki itu berwajah oval, bermata coklat gelap, dan berhidung mancung. Tubuhnya tegap dan tinggi. Ia tersenyum hangat kepada Dera. Bukannya membalas senyuman itu, Dera malah diam terpaku.

 

“Dipta?”

 

Arif melayangkan pandangan tidak suka ke arah Dipta. Arif mengamati lelaki bertubuh tegap yang duduk tepat di depannya. Inilah laki-laki yang pernah dibicarakan Dera. Orang yang selalu mendengarkan keluh kesah Dera dan memberikan saran yang bijak. Memang wibawa terpancar jelas dari wajah Dipta. Kini ada dua laki-laki berperawakan tentara yang duduk di sebelah kanan dan kiri Dera. Dera masih bungkam menatap Dipta.

 

Dipta bisa memahami kebingungan Dera. Ia meletakan sekaleng kopi instan di atas meja, “Sesuai janji gue, 12 hari.”

 

Dera mengambil kaleng kopi itu lalu ditenggaknya hingga tak bersisa. Ia hentakan kaleng kosong itu ke atas meja. Ia menghela nafas beberapa kali. Diliriknya wajah Dipta yang berseri-seri. Melihat wajah itu justru membuat Dera semakin tertekan. Karena ia tahu wajah laki-laki di sisi lain meja tidak mungkin berseri-seri. Ia beranikan dirinya melirik wajah Arif. Dengan takutnya ia geser bola matanya.

 

Benar-benar waktu yang tepat. Dera bisa melihat wajahnya di bola mata Arif. Mereka saling memandang. Kemarahan terpancar jelas dari sorot mata Arif. Tak mau memelihara kemarahan Arif lebih lama lagi, Dera pun mencari solusi untuk keluar dari situasi mencekam itu.

 

“Dip, gue to the point aja. Kenapa lo bisa ada di sini?”

 

“Bukannya lo yang ngajak ketemuan jam 4 sore.”

 

“Iya. Gue emang ngasih tahu jamnya, tapi gue nggak bilang tempatnya.”

 

“Dera. Dera. Gue itu selalu tahu lo ada di mana.”

 

“Jadi, lo tahu situasinya, tapi lo tetep muncul di sini? Wah, lo ngajak ribut.”

 

Dipta mengangguk lalu mengedipkan sebelah matanya, “Anggap aja ini hukuman, karena lo udah buang-buang waktu sama pacar lo.”

 

“Siapa yang...”

 

“Ra, lo nggak mau ngenalin dia ke gue?”Arif menyela pembicaraan Dera dan Dipta.

 

“Oh. Nggak usah, Rif. Dia ini nggak penting kok.”jawab Dera dengan terbata-bata.

 

“Tapi, kelihatannya kalian cukup dekat.”

 

Kata itu akhirnya terlontar dari mulut Arif. Menghujam tepat di hati Dera. Membuat hatinya menjadi semakin bimbang. Di satu sisi, ia tidak bisa jujur pada Arif dan mengatakan kebenarannya. Namun di sisi lain, ia tidak ingin membohongi Arif lebih banyak lagi. Situasi menyebalkan ini telah membuatnya frustasi.

 

“Dipta, ini Arif pacar gue. Arif, ini Dipta...”

 

Dera tidak melanjutkan kalimatnya, ia baru menyadari sesuatu sekarang. “Dip, lo siapa gue?”tanya Dera kepada Dipta, dengan polosnya.

 

Dipta terkekeh, “Kenapa lo malah tanya gue. Bukannya lo mau ngenalin gue ke pacar lo?”

 

“Dipta! Gue serius! Hubungan kita apa?”

 

“Maksud lo hubungan apa, Ra? Lo mengklarifikasi hubungan lo sama dia di depan pacar lo? Nice girl.”Arif mengeluarkan sindiran khasnya.

 

“Bukannya gitu. Gue cuma perlu memastikan sesuatu. Rif, percaya sama gue. Di hati gue cuma ada lo.”Dera mencoba menenangkan Arif.

 

Gagal. Arif masih diam dengan wajah dinginnya.

 

“Coba tebak! Hubungan kita apa. Teman? Saudara? Sepupu? Tetangga? Kakak? Adik? Atau mungkin...”Dipta menahan kata terakhirnya, mencoba memanasi suasana. “Pacar yang lain?”goda Dipta.

 

Kontan Arif langsung melayangkan tatapan mautnya. Ia melirik ke arah Dera, kode meminta konfirmasi.

 

“Yang mana? Lo pilih yang mana?”tanya Dipta.

 

“Gue yang pilih?”

 

“Iya. Lo boleh milih.”

 

Dera berpikir sejanak, “Mmm... Kakak?”

 

“Salah.”

 

Dipta mengeluarkan amplop coklat dari dalam ranselnya. Ia berikan amplop itu pada Dera.

 

“Ini kartu keluarga lo sama dokumen-dokumen lain. Mungkin lo butuh. Nama gue nggak ada di kartu keluarga lo. Gue juga bukan sepupu lo. Yah, untuk saat ini anggap aja kita ini cuma tetangga biasa.”

 

“Terus kenapa tadi gue disuruh milih?”

 

Dipta tersenyum, “Gue bilang lo boleh milih. Tapi, kalau udah diputuskan mau gimana lagi?”

 

Dera melihat amplop di tangannya. Ia akhirnya menemukan sebuah ide untuk kabur dari situasi aneh ini. Sebelum ia dipecat dari posisi Pacar Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera berdiri dari tempat duduknya.

 

“Dip, lo mau nganter amplop aja muter-muter. Gue duluan.”Dera membuat alasan. Padahal ia tahu betul bahwa tujuan pertemuannya dengan Dipta lebih dari sekadar serah terima amplop. Meski ada hal penting yang perlu ia sampaikan pada Dipta, namun ia harus menundanya saat ini. Ia menarik Arif dari kursinya untuk berdiri.

 

“Arif, ayo ke rumah sakit! Nanti keburu tutup.”ajak Dera. Ia menarik Arif keluar dari kafe lalu memasukkannya ke dalam mobil. Dilesatkannya mobil itu dengan kecepatan penuh. Akhirnya ia bisa bernafas lega, walau sebentar. Dera tahu betul, kemarahan Arif kini ada di depan matanya. Bagaimana dia tidak tahu, Arif masih terdiam. Sejak dari kafe, bahkan setelah keluar dari rumah sakit. Dera hanya bisa berharap pada kepercayaan Arif kepadanya.

 

***

 

 “Rif, lo marah ya?”Dera bertanya dengan suara lirih.

 

Arif masih terdiam. Bahkan ia tidak menatap Dera sama sekali. Ia lebih peduli pada camilannya.

 

“Atau jangan-jangan lo cemburu, ya?” Dera mencoba menggoda Arif.

 

Berhasil. Arif akhirnya berhenti makan. Ia menatap mata Dera dalam-dalam.

 

“Menurut lo, gue marah atau cemburu?”tanya Arif dengan nada sinis.

 

Ternyata gagal.

 

“Marah.”jawab Dera singkat.

 

Arif kembali melanjutkan aktivitasnya. Dera pun beranjak berdiri. Ia berjalan menuju pintu. Diputarnya gagang pintu, tidak berhasil. Ia coba lagi berulang kali, namun pintu di depannya tetap tidak mau terbuka. Ia kembali ke tempat Arif duduk.

 

“Rif, pinjam kunci. Pintunya nggak bisa dibuka.”

 

“Nggak ada.”jawab Arif ketus.

 

“Arif, ini ruang komandan. Yang di sana itu pintu ruang komandan. Dan gue mau ambil minum di dapur. Masa lo nggak punya kunci ruangan lo sendiri?”

 

“Nggak ada.”

 

“Rif, gue serius.”

 

“Gue juga serius. Nggak ada.”

 

“Rif, jangan bercanda!”

 

Arif membanting camilannya, “Dibilang nggak ada, ya nggak ada.”

 

“Terus kunci lo kemana?”

 

“Dibawa Levi.”

 

“Perfect!”Dera mengumpat. Kini ia terkunci di ruang komandan beserta komandannya yang sedang marah. Sempurna sudah kesialannya hari ini.

 

“Rif, lo nggak bisa apa nyuruh Levi ke sini?”

 

“Dia udah tidur.”

 

“Terus, gimana cara kita keluar?”

 

“Nunggu Levi ke sini.”

 

“Dia mau ke sini?”

 

“Hm.”

 

“Kapan?”antusiasme Dera mulai kembali.

 

“Besok.”jawab Arif singkat, menghancurkan kesenangan Dera. “Lo bisa tidur di manapun.”lanjutnya.

 

Dera menyambut perkataan Arif dengan wajah cemberutnya. Ia mendekati Arif. Ia ambil camilan dari tangan Arif kemudian diletakkannya benda itu di  sembarang tempat. Dera tidur di pangkuan Arif. Tindakan Dera ini tentu mendapat protes dari pacarnya.

 

“Siapa bilang lo boleh tidur di sini?”protes Arif.

 

“Nggak usah protes. Tadi lo bilang gue boleh tidur di manapun.”

 

Kini Dera sudah tidak peduli lagi dengan kemarahan Arif. Ia membuat dirinya sendiri nyaman. Arif membelai rambut Dera. Saat Dera menempel padanya, ia menjadi lupa segalanya. Bahkan kemarahannya.

 

“Arif, gue minta maaf.”

 

“Maaf soal apa?”

 

“Kejadian tadi.”

 

“Ya udahlah. Kita lupain aja. Asal lo nggak usah bahas dia lagi. Oke?”

 

Tidak ada sahutan. Arif melihat wajah pacarnya. Ia tahu hal ini akan terjadi. Dera sudah tertidur lelap di pangkuannya. Ia tidak tahu apa saja yang dilakukan perempuan itu hingga ia begitu kelelahan dan selalu tertidur di manapun. Meski terkadang terlintas rasa ingin tahu yang begitu dalam, namun ia menyadari batasannya. Meski ia tidak tahu latar belakang Dera dengan jelas, ia tetap percaya pada pacarnya. Karena begitulah kata hatinya.

 

Drrt...Drrt...Drrt...kukuruyuk...kukuruyuk...kukuruyuk...

 

Arif mencari-cari sumber suara. Ia pegang ponsel Dera. Sesaat ia pikir ada ayam di markas. Arif geleng-geleng kepala. Sungguh betapa konyolnya perempuan ini.

 

“Ra, ada telfon.”

 

Dera mengangkat panggilan di ponselnya dengan enggan. Matanya masih tertutup rapat.

 

“Iya, Vi. Kenapa?”

 

Suara perempuan terdengar dari pengeras suara ponsel Dera.

 

“Sekarang gue nggak bisa, Vi. Besok aja. Oke. Dah.”

 

“Siapa, Ra? Levi?”

 

“Bukan. Teman gue, Devi.”

 

“Oh. Kirain Levi.”

 

“Justru bagus kalau Levi ke sini. Biar dia bisa buka pintunya.”

 

“Kalau dia ke sini, gue akan suruh pulang.”

 

“Kenapa?”

 

“Biar kita bisa berduaan.”

 

“Emang cuma kita berdua yang bertugas jaga markas?”

 

“Nggak. Ada satu orang lagi. Anggota baru, gue nggak hafal namanya. Tapi, dia tadi izin. Katanya lagi sakit.”

 

“Oh.”suara Dera semakin lirih. Ia sudah hampir menuju dunia lain.

 

“Ra, gue boleh tanya sesuatu.”

 

“Huh? Apa?”suara perempuan di pangkuan Arif kini semakin meredup.

 

“Kenapa teman-teman lo berinisial D semua? Dion, Devan, Dika, Dini. Terus yang telfon lo tadi namanya Devi. Ah, Si Dipta. Cowok nyebelin itu juga namanya diawali huruf D. Nama lo sendiri pakai awalan huruf D.”

 

“Ada banyak kebetulan di dunia ini. Mungkin yang barusan lo sebutin itu salah satunya.”

 

“Oh.”

 

“Arif?”

 

“Huh?”

 

“Bisa nggak lo biarin gue tidur. Sebentar aja.”

 

“Iya. Iya. Selamat tidur.”

 

Arif membelai rambut Dera lagi. Meski rasa kesemutan telah menyelimuti kakinya, namun ia tahan rasa sakit itu. Ia tak mau mengusik kenyamanan Dera. Sejujurnya, ia merasa kasihan pada pacarnya yang mungil itu. Rasa lelah tergambar jelas di wajah Dera. Muka kantuknya, tubuh lemasnya, bahkan perkataannya. Ia hanya bisa membantu dengan membiarkan gadis itu tidur lelap.

 

***

 

Dera mengeluarkan kunci pintu rumahnya. Matahari mulai menghangatkan tubuhnya. Jalan di depan rumahnya masih lengang. Ia masukkan kepala kunci ke lubangnya. Diputarnya benda itu. Pintu pun terbuka. Baru satu langkah ia memasuki rumah, seseorang memanggil namanya. Dera keluar lagi dari rumahnya. Ia melihat sosok laki-laki yang berlari menyeberangi jalan raya di depan rumahnya.

 

“Aduh, Dipta! Ngapain lo di sini? Lo nggak bisa apa biarin gue istirahat.”

 

“Tenang aja, gue cuma lagi cari udara segar kok.”

 

Dera melirik,“Jangan bilang...”

 

“Yup. Exactly. Kenalin, gue Dipta. Gue tinggal di seberang jalan.”

 

“Jadi, kemarin lo bilang tetangga itu dalam arti yang sesungguhnya ya? Gue kira cuma bercanda.”

 

“Baju lo masih sama kaya kemarin. Wah, lo ngapain sama pacar lo?”

 

“Ngapain lagi? Tidur di markas. Badan gue jadi sakit semua.”

 

Dipta masuk ke dalam rumah Dera tanpa bertanya pada penyewanya, “Yah, itu masalah lo. Ngomong-ngomong, kita punya pembicaraan yang perlu dilanjutkan.”

 

Dera mengekor di belakang Dipta. Ia menutup pintu rapat-rapat lalu menguncinya.

 

“Ra, apa kerjaan lo kurang banyak? Kenapa lo repot-repot masuk Menwa?”

 

“Coba tebak.”Dera membalas Dipta dengan kata yang sama yang laki-laki itu katakan di kafe.

 

“Karena lo kurang kerjaan? Atau karena lo ingin bersenang-senang dan menikmati kehidupan perkuliahan kedua lo? Atau mungkin karena lo mau deketin komandannya?”

 

Dera melayangkan senyum sinisnya, “Kayaknya intuisi lo mulai nggak jalan.”

 

“Gue belum selesai. Tebakan terakhir. Karena ada sesuatu yang mencurigakan di situ?”

 

“Ternyata intuisi lo masih jalan. Tunggu di sini!”

 

Dera pergi ke kamarnya. Beberapa saat kemudian, dia kembali ke ruang tamu. Ia meletakkan botol kaca kecil yang ia temukan di markas Menwa. Dipta membuka botol itu. Ia tahu betul cairan apa yang ada di dalam botol.

 

“Jadi, siapa pemiliknya?”

 

“Gue belum tahu.”

 

Dera menata beberapa lembar foto di meja. Dera menyebutkan identitas dan latar belakang dari setiap wajah yang ada di foto. Dera mendorong foto Levi ke depan.

 

“Ini Wakil Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Namanya Levi. Kemampuan bela dirinya bagus, gerakannya cepat, orangnya gesit. Seluruh kemampuannya jauh lebih unggul dari komandannya. Tapi, gue nggak tahu kenapa dia menolak menjadi komandan. Orangnya baik, ramah, periang, peduli, pokoknya sifat yang bagus-bagus ada di orang ini.”

 

“Jadi, lo percaya sama dia?”

 

“Nggak terlalu. Dia agak mencurigakan.”

 

“Apa yang bikin lo curiga sama dia?”

 

“Terkadang, gue nggak menyadari keberadaannya. Dia sering muncul tiba-tiba. Dia juga sering tiba-tiba nggak ada. Ada kemungkinan dia pemilik botol ini.”

 

Dipta mengambil foto Arif, “Kalau yang ini? Lo percaya sama dia?”

 

“Arif, Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Bela diri lumayan, kemampuan menembak lumayan, intuisi bagus. Orangnya pemarah, tapi baik. Sok cuek, tapi peduli. To the point, suka berbagi, dan...”

 

“Sok keren!”Dipta memotong perkataan Dera.

 

“Bukannya sok keren. Dia itu emang keren beneran.”

 

“Wah. Wah. Wah. Lihat Dera kita yang unyu dan gemesin ini. Udah sejauh mana perasaan lo buat dia? Lo tahu betul bahwa dunia lo sama dunia dia itu beda. Saat dia tahu identitas lo yang sebenarnya, lo pikir dia akan bilang ‘Nggak masalah, it’s fine’. Lebih baik, lo jangan terlalu suka sama cowok itu. Lo bisa dikhianati kapanpun.”

 

“Jangan khawatir! Gue percaya sama Arif. Yang seharusnya lo khawatirin itu Levi, bukan Arif.”

 

Dipta mengembangkan senyum di bibirnya,“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Selama kita punya petarung terbaik, nggak akan ada masalah.”

 

“Gue udah bilang berulang kali. Gue nggak suka sebutan itu. Petarung? Emang gue ayam apa? Ayam petarung?”

 

“Oke. Oke. White Tiger?”

 

Dera tersenyum lebar, “Nah. Itu baru bagus.”

 

Dera memasukkan kembali foto-foto yang berserakan di atas Meja. Ia juga mengamankan botol kaca kecil di tempat yang aman. Sudah saatnya Dera dan kawan-kawan untuk bergerak lebih cepat. Agar tujuan kedatangan mereka ke kota ini bisa segera tercapai. Dan tentunya harus tanpa pertumpahan darah.

 

***

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Oscar
2263      1090     1     
Short Story
Oscar. Si kucing orange, yang diduga sebagai kucing jadi-jadian, akan membuat seorang pasien meninggal dunia saat didekatinya. Apakah benar Oscar sedang mencari tumbal selanjutnya?
Triangle of feeling
488      350     0     
Short Story
Triangle of feeling sebuah cerpen yang berisi tentangperjuangan Rheac untuk mrwujudkan mimpinya.
My Daily Activities
916      469     1     
Short Story
Aku yakin bahwa setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan asal ia berdo\'a dan berusaha.
Black Envelope
367      253     1     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
The Red Eyes
23510      3663     4     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
617      437     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.
DarkLove 2
1299      619     5     
Romance
DarkLove 2 adalah lanjutan dari kisah cinta yang belum usai antara Clara Pamela, Rain Wijaya, dan Jaenn Wijaya. Kisah cinta yang semakin rumit, membuat para pembaca DarkLove 1 tidak sabar untuk menunggu kedatangan Novel DarkLove 2. Jika dalam DarkLove 1 Clara menjadi milik Rain, apakah pada DarkLove 2 akan tetap sama? atau akan berubah? Simak kelanjutannya disini!!!
Memorabillia: Setsu Naku Naru
7171      1893     5     
Romance
Seorang laki-laki yang kehilangan dirinya sendiri dan seorang perempuan yang tengah berjuang melawan depresi, mereka menapaki kembali kenangan di masa lalu yang penuh penyesalan untuk menyembuhkan diri masing-masing.
Kesempatan
20130      3210     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Untuk Reina
25543      3902     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?