Super Girl
Matahari mulai mendaki langit. Udara segar menyelimuti camp diksar Menwa. Orang-orang mulai berkemas, menata barang bawaan mereka. Di tenda laki-laki, para mahasiswa telah selesai bersiap. Mereka tinggal menggSinta pakaian lapangan mereka dengan seragam Menwa. Upacara penutupan akan segera dimulai.
Arif mencoba melepas kaos polo yang ia kenakan, namun perban di tangannya menyulitkannya. Akhirnya ia bisa melepas kaosnya, meski butuh waktu lama.
“Butuh bantuan nggak?”kata Dera menawarkan bantuan.
Kehadiran Dera langsung membuat semua laki-laki di dalam tenda langsung kalang kabut bersembunyi.
Arif melotot ke arah Dera, “Lo tahu ini tenda cowok, ngapain lo masuk ke sini?”
“Gue cuma mau bantuin lo kemas-kemas.”jawab Dera dengan wajah polos.
“Bukan karena mau ngintip gue?”goda Arif.
Dera tidak mau kalah. Dia mengalihkan pandangannya ke perut sixpack Arif. “Mmm…Lumayan.”goda Dera. “Tapi, gue pernah lihat yang lebih sixpack.”lanjutnya.
“Oh…Jadi, lo udah sering ngintip?”goda Arif lagi.
Dera membela diri, “Gue nggak ngintip. Gue cuma nggak sengaja lihat waktu mereka lari pagi.”
“Di mana? Di mana lo lihat tentara lari pagi?”Arif langsung mengerti maksud perkataan Dera.
“Oh, itu. Mmm… Gue tinggal di deket camp pelatihan tentara.”jawab Dera dengan nada ragu. “Lupain aja! Nggak penting juga. Mana kunci mobil lo?” Dera menngalihkan pembicaraan.
“Kok lo jadi gugup gitu?”tanya Arif curiga.
“Ehem…Ehem… Mentang-mentang baru jadian, dunia serasa milik berdua. Bisa kalian lovey dovy-nya nSinta? Kita mau gSinta baju nih.”seseorang menegur mereka.
“Maaf, Kak Niko. Aku cuma mau minta kunci mobil ke Arif kok.”
“Kunci mobil buat apa? Lo mau maling mobil gue?”
“Tenang aja, cuma mau dipanasi mobilnya.”
Arif pun memberikan kunci mobilnya. Dera melangkah ke luar tenda. Orang-orang mulai keluar dari persembunyian mereka. Banyak yang membicarakan sifat Dera yang hyperactive. Arif hanya tersenyum saat mendengarnya. Dera memang begitu periang. Berbanding terbalik dengan sifat Arif yang kaku. Namun, meski sifat mereka berbeda, mereka bisa melengkapi satu sama lain.
***
Arif memberikan komando, “Besok kumpul di markas jam 4 sore. Kita akan membagi jadwal jaga markas. Kalau ada yang telat, satu pasukan saya gulung.”
“Emang telur, digulung.”cibir Dera.
“Termasuk kamu, mengerti?”tegas Arif.
Dera langsung mengambil posisi sikap siap sempurna,“Siap!Mengerti!”
Upacara penutupan diksar pun selesai. Pasukan dibubarkan. Para anggota Menwa pulang dengan kendaraan masing-masing. Hanya tersisa segelintir orang. Dera membantu Arif memasukkan barang-barang ke bagasi mobil Arif. Setelah selesai, mereka meninggalkan camp. Tangan Arif yang terluka membuat Dera terpaksa menyetir, meski dengan kondisi fisik yang lelah. Dera mengantar Arif ke rumahnya. Tibalah mereka di rumah neneknya Arif. Asisten rumah tangga sudah tanggap dengan kedatangan Arif. Ia membantu menurunkan barang bawaan Arif. Seorang wanita paruh baya muncul dari dapur.
Dera menyapa wanita itu dan memperkenalkan diri,“Halo, Oma. Nama saya Dera, saya pacarnya Arif.”
Wanita itu terlihat bingung. Kemudian dia tertawa. Dera mengerutkan keningnya, tidak memahami situasi yang terjadi. Ia pun bertanya pada wanita itu, “Kok oma ketawa? Apa yang lucu?”
“Mmm…Dera, dia bukan oma gue. Dia asisten rumah tangga di sini.”jelas Arif sembari menurunkan kopernya.
“Kok lo nggak bilang dari tadi sih?”Dera memanyunkan bibirnya.
“Siapa suruh masuk duluan?”Arif menyalahkan Dera.
“Lo sih. Ngobrol sama tetangga lama banget.”Dera berbalik menyalahkan Arif.
“Oh…Kamu pacarnya Arif? CSintak, lucu, lugu, polos. Arif memang pintar milih pacar.”seorang wanita umur tujuh puluhan muncul dari halaman.
Arif meraih tangan wanita itu lalu mengecupnya dengan hormat,“Oma, Arif pulang.”
Dera langsung tanggap, “Halo, oma. Saya Dera, pacarnya Arif.”
“Tadi saya sudah dengar kok. Nama saya Sinta. Kamu bisa panggil Oma Sinta. Atau oma aja juga nggak papa. Pacar Arif cucu oma juga.”
“Iya, Oma.”
Oma Sinta mengkode Arif, “Kok udah gSinta, Rif? Yang kemarin mana?”
Kontan Dera langsung meluncurkan tatapan mautnya. Arif yang cuek hanya mengabaikannya dan berlalu pergi. Oma Sinta memahami situasi canggung di antara mereka. Ia pun menyuruh Dera duduk di sofa.
“Cucu oma yang satu itu emang cueknya minta ampun. Tapi, dia sebenarnya sangat peduli pada orang lain. Dia juga laki-laki yang baik. Kamu tahu sendiri, dia bukan orang yang suka basa-basi. Kalau dia bilang sesuatu yang nggak enak di hati, tolong jangan disimpan di hati.”oma menasehati Dera.
Dera mengangguk paham. “Tenang aja oma. Oma nggak perlu khawatir. Saya tahu Arif orang yang baik.”
“Ehem… Ra, kalau lo udah selesai ngomongin gue, mending lo ke dapur, masak.”Arif menyela pembicaraan Oma Sinta dan Dera.
“Baru juga dipuji. Udah nyebelin lagi sekarang.”ejek Dera.
Arif menarik nafas. Bersiap memulai perdebatan dengan Dera,“Bibi lagi sibuk ngerjain hal lain. Gue udah janji sama Bibi kalau hari ini gue yang masak. Tapi, lo lihat sendiri. Tangan gue diperban. Apa perlu gue jelasin lebih rinci lagi? Atau lo nggak mau masak karena nggak bisa?”
“Nggak perlu dijelasin lagi, gue udah paham. Ini gue baru mau ke dapur. kadang-kadang lo bawel juga ya?”jawab Dera sembari beranjak dari sofa.
Ia pun berjalan menuju dapur. Arif pun mengekor di belakang Dera. Dera mulai memasak. Ia berencana membuat steak dan jus alpukat. Arif, yang merupakan cucu pemilik rumah, membantunya dengan mengambilkan bahan dan alat yang ia perlukan. Di sela-sela memasak, Dera menyempatkan diri untuk menyelidik,“Rif, lo punya berapa mantan?”
“Lupa.”jawab Arif singkat.
Dera sudah menduganya. Dengan sifat Arif yang cuek, tidak akan mudah menggali informasi pribadinya. Namun, Dera masih belum menyerah. Ia kembali bertanya,“Tadi nenek lo nanyain cewek yang kemarin, itu maksudnya siapa?”
“Levi.”jawab Arif dengan entengnya.
Dera sedikit kaget, ia berhenti memotong sayur. Komandan dan wakil komandan, bukan hal yang aneh kalau mereka memiliki hubungan dan rasa saling suka. Pantas Levi mengalah pada Arif meskipun ia lebih hebat. Jadi, karena mereka pernah punya hubungan. Berbagai terkaan mulai memenuhi pikiran Dera. Daripada menerka-nerka, Dera pun memberanikan diri untuk bertanya,“Jadi, Levi itu mantan lo?”
“Bukan.”jawab Arif singkat. Ia tidak memperhatikan Dera sama sekali. Ia masih sibuk memanggang daging.
“Kalau bukan pacar, kenapa dia sering main ke sini?’
Arif mematikan kompor lalu menurunkan daging dari panggangan. Kemudian, ia letakkan sepatula yang ia pegang, lebih tepatnya agak dibSintang.
“Dia cuma main ke rumah gue. Kadang kita latihan silat bareng. Apa lagi yang mau lo tahu? Kenapa dari tadi lo bahas mantan terus? Lo pacar gue, dan gue pacar lo. Nggak usah bawa-bawa mantan!”
Dera meletakkan pisaunya di atas talenan. Ia menghadap ke arah Arif. Mereka saling berhadapan. Dera bisa melihat kemarahan di mata Arif. Ia mencoba mendinginkan suasana, “Sorry, gue emang kepo orangnya. Kalo lo nggak mau jawab ya udah, nggak papa. Nggak usah marah-marah. Kok lo jadi bad mood gini?”
“Sekarang gue tanya sama lo. Berapa mantan lo? Apa Dipta salah satunya?”Arif memulai introgasi.
“Kok lo jadi bahas Dipta?”
“Gue tahu lo nunggu gue tidur di mobil tadi. Setelah gue tidur, lo sama Dipta ngobrol di telpon, kan? Kenapa lo hubungi dia sembunyi-sembunyi?”
Itulah penyebab kemarahan Arif. Dera mencoba untuk berkelit, “Jadi, lo tadi pura-pura tidur?”
“Jangan ngalihin pembicaraan!”
Gagal. Usaha Dera untuk mengalihkan pembicaraan langsung dipatahkan Arif.
“Jadi, Dipta itu…”
“Bau.”seseorang menyela pembicaraan mereka.
“Iya. Dipta itu bau. Eh, nggak. Dia nggak bau. Loh, kok gue jadi ngomongin bau?”
Dera menengok ke sumber suara. Dilihatnya Oma Sinta yang tengah mencicipi saus steak buatan Dera.
“Wah, baunya enak.”kata Oma Sinta sembari menikmati bau sedap dari saus steak yang masih mengepul. “Pacar kamu memang perempuan super, Rif. Oma kira perempuan tomboi nggak bisa masak. Ternyata oma salah. Buktinya kamu bisa masak masakan ala restoran. Ternyata kamu serba bisa. Benar-benar perempuan super.”puji Oma Sinta.
“Ah, oma bisa aja. Emang saya wonderwoman?” Dera mencoba bersikap rendah hati.
“Iya, Oma. Dia ini emang cewek super. Bukan cuma serba bisa. Tapi, dia juga super hyperactive, super cerewet, dan super kepo.”
Dera melirik tajam ke arah Arif. Lelaki menyebalkan yang satu ini memang suka berkata semaunya. Dan yang membuat Dera heran adalah mengapa dia bisa menyukai komandan yang ‘sok cool’ ini. Yah, itu sebuah misteri yang tidak terlalu penting dan tidak perlu repot-repot dipecahkan. Yang pasti, dirinya tidak bisa menolak datangnya cinta. Namun, cinta tidak akan pernah membutakannya.
“Tapi super cantik juga, kan?”goda oma.
Arif tersenyum tipis, “Lumayan.”
Dera pun ikut tersenyum. Meski kata itu bukan kata pujian, namun kata itu bisa membuat hati Dera melayang. Apalagi kata itu dilontarkan oleh orang bergengsi tinggi seperti Arif.
“Kalian saling puji atau saling ejeknya bisa dilanjutkan nSinta. Yang penting sekarang kalian bawa makanannya ke meja makan. Oma udah laper, nih.”kata Oma Sinta memberikan pengarahan.
Arif pun mulai meletakkan daging yang sudah dipanggang di piring. Dera menyiram saus ke daging yang sudah dipanggang Arif, lalu ia meletakkan beberapa potong kentang dan wortel di atasnya. Dera harus berterima kasih pada Oma Sinta. Karena berkat dia, Arif jadi melupakan persoalan Dipta. Untuk saat ini.
***
Tidak terasa hari sudah menjelang petang. Ternyata sudah cukup lama Dera menonton TV bersama Arif, lebih tepatnya sudah cukup lama dia tidur di karpet yang terletak di depan TV. Oma Sinta -yang ternyata memiliki sifat jahil- sengaja pergi dari rumah, dengan dalih ada arisan di rumah temannya. Tujuannya sudah pasti untuk memberi kesempatan pada Dera dan Arif agar menjadi lebih dekat. Namun, Dera sudah merusak rencana itu dengan sukses. Saat Arif mengajak Dera menonton TV, perempuan berpipi chubby itu langsung menutup matanya setelah 5 menit duduk di karpet. Ia meringkuk di karpet, tanpa rasa malu tidur terlelap di depan pacarnya.
“Gimana, Rif? Kamu ngapain aja sama Dera?”tanya Oma Sinta begitu ia sampai di rumah.
“Emang mau ngapain, Oma? Kita cuma nonton TV.”jawab Arif singkat, ada nada kesal di ucapannya. Ia melihat Dera kembali dari kamar mandi lalu melayangkan lirikan tajam. “Lebih tepatnya, aku nonton TV sendiri.”lanjutnya.
“Loh, emang Dera kemana?”tanya Oma Sinta keheranan.
“Tidur.”jawab Arif singkat. Ia mengganti channel TV dengan remot lalu membantingnya ke sofa.
Dera memanyunkan bibir. “Rif, kapan lo ngomong nggak usah ngajak debat?”cibir Dera.
“Kapan lo nggak tidur kalau lagi sama gue? Emang muka gue kaya obat tidur apa? Lagian siapa juga yang ngajak lo debat? Gue tadi ngajak lo nonton TV, bukan debat.”balas Arif.
Sebelum perdebatan mereka semakin panjang, Oma Sinta berusaha melerai, “Arif, nggak boleh gitu. Dera juga butuh istirahat, apalagi tadi habis diksar.”
“Aku juga habis diksar, tapi nggak capek.”Arif masih berdalih.
Dera menghela nafas, dia sudah menyerah berdebat dengan Arif. “Sorry, gue yang salah. Gue emang tukang tidur.” Bendera putih telah dikibarkan, kemenangan untuk Arif. “Oma, aku pamit dulu, mau pulang.”lanjutnya.
“Loh kok pulang? Udah sore, kamu nginep di sini aja.”bujuk Oma Sinta.
“Makasih, Oma. Tapi, aku ada kerjaan di rumah.”
“Ya udah kalau memang kamu mau pulang, hati-hati di jalan.”
“Iya, Oma.”jawab Dera sembari mencium tangan Oma Sinta.
“Arif, kok kamu masih duduk di situ? Antar Dera ke kontrakannya sana!”perintah Oma Sinta pada Arif yang masih leyeh-leyeh di sofa.
Arif berdiri dari sofa, menghampiri neneknya dan Dera yang berdiri di ambang pintu ruang tengah. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan perban di tangannya, “Tadi aja Arif diantar Dera, gimana Arif mau ngantar Dera?”
“Oh, iya. Oma lupa kalau tangan Arif lagi sakit. Terus kamu gimana pulangnya, Dera?”
“Gampang, Oma. Angkot banyak, ojek banyak.”jawab Dera santai.
Oma Sinta memberikan saran, “Gini aja, kamu bawa mobilnya Arif, besok kamu jemput dia sebelum ke kampus. Lagipula, kalian satu kampus, kan?”
“Nggak mau!” belum sempat Dera menjawab, Arif sudah menolak mentah-mentah saran dari neneknya.
“Aduh, Arif. Kenapa lagi sekarang?”tanya Oma Sinta mulai sedikit kesal dengan sikap cucunya yang keras kepala itu.
“Oma, aku masih punya harga diri sebagai cowok. Dimana-mana yang antar jemput itu cowok bukan cewek.”
Dera menarik nafas, lalu membuangnya dengan cepat. Saatnya berdebat dengan Arif. “Sekarang udah zamannya emansipasi. Mau gue atau lo yang antar jemput, sama aja. Yang penting kita sampai di tujuan dengan selamat. Itu yang paling penting. Gitu aja diributin.”
“Oma setuju sama Dera. Kalau kamu nggak mau dijemput Dera, kamu ke kampus gimana?”
“Gampang, Oma. Angkot banyak, ojek banyak.”jawab Arif dengan nada bicaranya yang datar, menirukan perkataan Dera sebelumnya.
“Gini aja, kamu pilih dijemput Dera atau Oma antar ke kampus?”Oma Sinta mengeluarkan ultimatumnya.
Dengan sifat Arif yang tidak suka merepotkan orang lain, dia pun memilih pilihan pertama, “Ya udah, aku pilih dijemput Dera aja. Aku nggak mau ngrepotin Oma.”
Akhirnya manusia keras kepala itu menyerah berdebat. Kemenangan di tangan Dera dan Oma Sinta. Jelas, dua lawan satu.
Arif memberikan kunci mobilnya pada Dera, “Besok kuliah pagi. Jangan sampai bangun kesiangan!”
“Siap, Komandan!”jawab Dera dengan senyum lebar di bibir mungilnya, senyum tanda kemenangan.
***