Hujan di Bulan September
Kicauan burung terdengar sayup-sayup. Mewarnai suasana pagi hari. Matahari belum keluar dari peraduannya. Langit masih cukup gelap. Hari sudah fajar, tetapi Dera masih memeluk gulingnya dengan nyaman. Tok…Tok…Tok… Terdengar suara ketukan pintu. Dera masih belum juga membuka matanya. Mungkin ulah anak kecil tetangga yang terkadang suka jahil, pikirnya. Tok…Tok…Tok…
Kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Dera pun terpaksa membuka matanya dan melangkah dengan gontai untuk membukakan pintu. Dengan rambut berantakan dan acak-acakan, Dera membuka pintu perlahan, dengan mata kantuk setengah tertutup. Mendapati sosok laki-laki di balik pintu, Dera langsung membuka matanya lebar-lebar.
“Arif? Ngapain lo di kontrakan gue sepagi ini? Matahari bahkan belum nongol. ”
Arif berdecak heran melihat wajah bangun tidur Dera, berantakan,“Lo nggak mau nata rambut lo dulu?”
Dera melirik rambutnya, memang acak-acakan, dibiarkannya begitu saja. Dia bukan tipe perempuan yang terlalu peduli dengan penampilan,“Nggak usah, nSinta aja. Gue tanya, lo ngapain di sini? Hari Sabtu nggak ada kuliah, kan?”
“Hari ini sampai besok, ada camp pelatihan untuk anggota baru.”jawab Arif, to the point. Dilihat dari caranya bicara, dia memang bukan orang yang suka bertele-tele.
“Diksar? Astaga. Baru juga kemarin gue daftar. Kalau gue nggak usah ikut aja gimana? Gue udah pernah ikut begituan.”rengek Dera, masih dengan muka kantuknya.
“Oke. Berarti lo akan dianggap mengundurkan diri dari Menwa.”
“Iya.Iya. Gue siap-siap dulu. Lo tunggu di sini, di depan pintu, jangan beranjak sedikitpun!”
Dera langsung masuk ke dalam rumah, menyiapkan segala keperluan. Dan yang terpenting, mandi. Satu jam telah berlalu sejak Dera masuk ke dalam dan Arif masih berdiri dengan kokohnya di depan pintu. Orang ini memang cocok menjadi tentara, atau mungkin bodyguard.
“Kenapa lo nggak duduk aja? Gue tadi nggak serius nyuruh lo berdiri di sini. Lagian kenapa lo sendiri yang jemput gue?”
“Gue udah janji kalau gue sendiri yang akan jadi pendamping lo selama lo jadi anggota Menwa.”
“Oh. Karena lo kalah adu tembak kemarin. Makannya jangan pamer kemampuan, kena sendiri akibatnya, kan?”ejek Dera sembari memberikan tas ranselnya ke Arif.
Arif memasukkan tas Dera ke bagasi mobilnya. Di dalam bagasi, sudah berjajar kantong plastik hitam berisi camilan. Seperti yang dikatakan Levi, dia memang hobi membawa makanan dan camilan. Arif membukakan pintu untuk Dera, memperlakukan Dera seperti tuan putri. Mobil melaju, meninggalkan halaman rumah kontrakan Dera, menuju ke sebuah perjalanan singkat yang penuh makna dan menjadi awal kisah mereka.
***
“Heh, bangun! Udah nyampe.”bentak Arif.
Dera membuka matanya, ia perhatikan pemandangan di luar mobil. Mereka telah sampai di camp pelatihan. Sebuah tempat di daerah pegunungan, sejuk, bernuansa alam, udaranya segar. Ada lapangan yang dikelilingi pohon rindang. Area-area latihan yang dilengkapi dengan ban, tali, kayu, dan kawat. Dera turun dari mobil, melakukan stretching sejenak untuk menghilangkan rasa pegalnya. Arif memberikan tas ransel pada pemiliknya.
“Dasar tukang tidur. Lo hobi banget tidur di kendaraan, ya?”sindir Arif.
Dera membela diri,“Heh, jangan sembarangan! Siapa yang hobi tidur? Emang lo sering lihat gue tidur di kendaraan? Emang sebelum hari ini, lo pernah lihat gue tidur dikendaraan? Baru juga lihat sekali.”
“Pernah.”jawab Arif santai sambil menurunkan barang bawaannya.
Dera menyambut jawaban Arif dengan wajah penasaran,“Hah? Sebelum hari ini? Kapan? Dimana?”
“Rahasia.”Arif berlalu pergi, membawa barang-barangnya.
Dera memanyunkan bibirnya. Ia mengikuti langkah Arif. Anggota Menwa tengah sibuk mendirikan tenda. Ada dua tenda besar yang jaraknya berjauhan. Nampaknya, satu tenda untuk anggota Menwa laki-laki dan satu lagi untuk anggota perempuan. Saat Dera dan Arif datang, semua mata tertuju pada mereka. Dera bertanya-tanya, yang menjadi pusat perhatian, dirinya atau Arif. Arif berhenti di titik tengah antara dua tenda. Dia meletakkan barang bawaannya di rumput.
“Perhatian semuanya! Siap grak!”Arif memberikan komando.
Seluruh anggota langsung patuh. Mereka menghentikan aktivitas seketika. Mengambil posisi siap di tempat masing-masing. Ternyata Arif memang sosok pemimpin yang disegani dan dipatuhi.
“Saya ada sebuah pengumuman. Penerimaan anggota baru Resimen Mahasiswa Kutara Manawa jalur reguler sudah ditutup sejak satu minggu yang lalu. Namun, saya sendiri yang menerima langsung anggota baru di samping saya ini. Menurut peraturan, komandan boleh mengizinkan penerimaan anggota baru melalui jalur khusus. Maka dari itu, saya menggunakan wewenang saya untuk menambah satu anggota baru. Karena saya mempertimbangkan kemampuannya. Bahkan, dia lebih hebat dalam menembak daripada saya. Diantara kalian, bagi yang keberatan dengan keputusan saya, silakan angkat tangan dan maju ke depan!”kata Arif dengan suara berat, penuh wibawa.
Tak ada seorang pun yang maju. Semuanya setuju dengan keputusan Arif. Arif melanjutkan, “Meskipun dia masuk melalui jalur khusus, dia tetap sama dengan yang lain. Perlakukan dia sama seperti anggota lain. Itu saja. Sekian, bubar!”
Semua orang melanjutkan kembali aktivitasnya. Arif mengambil barangnya lagi lalu pergi, seperti biasa. Kini dia kembali menjadi Arif yang menyebalkan. Padahal Dera sempat mengagumi kewibawaan laki-laki itu, untuk sesaat. Dia jadi teringat pada Dipta. Meskipun Dipta juga seorang pemimpin, tetapi entah mengapa Dera lebih kagum pada Arif. Bagi Dera, Arif jauh lebih keren daripada Dipta. Pandangannya terhadap Arif kini mulai sedikit berubah.
“Kok malah bengong di sini? Ayo ke tenda!”ajak Levi, membuyarkan lamunan Dera.
“Dera, lo harus sadar! Arif itu nggak keren, dia cowok nyebelin. Jangan kagum sama cowok kayak gitu.”gumam Dera pada dirinya sendiri. Dera mencubit pipinya untuk menyadarkan diri sendiri agar tidak terlalu larut dalam rasa kagumnya terhadap Arif.
“Hai. Gue Rinda. Gue dari batam.”seseorang mengajak Dera kenalan.
Dera menyambut uluran tangan Rinda, “Gue Dera. Dari Jakarta.”
“Wah. Lo hebat ya? Bisa ngalahin komandan Arif yang tersohor kemampuannya. Kata pepatah, di atas langit masih ada langit.”puji Rinda.
Dera tersenyum tipis,“Gue cuma lagi beruntung aja.”
“Di kampus lo yang dulu, lo ikut Menwa juga?”
“Nggak juga sih. Gue cuma ikut pelatihan sederhana, sederhana banget.”jawab Dera santai.
“Kayaknya lo juga akrab sama wakil komandan. Lo orang yang gampang bergaul, ya?”
Dera mengerutkan kening,“Wakil komandan? Siapa?”
“Levi. Dia itu wakil komandan. Kata senior, Levi itu lebih hebat dari Arif. Tapi dia nggak mau jadi komandan dan lebih memilih jadi wakil.”
Dera mengangguk paham,“Jelas. Levi orangnya rendah hati. Gue malah nggak tahu kalau dia wakil komandan. Gue pernah tanya soal jabatannya di Menwa, dia cuma senyum.”
“Meskipun aku nggak jawab, pada akhirnya kamu tahu dengan sendirinya.”kata Levi, dengan senyum ramahnya.
Levi tiba-tiba muncul entah dari mana. Tadi dia juga tiba-tiba menghilang dengan cepat. Dia bisa membuat orang lain tidak menyadari kehadirannya dengan menyembunyikan langkah kakinya. Dera mulai menaruh kecurigaan terhadap Levi. Bukan hanya Levi, dia harus mewaspadai semua anggota Menwa. Sejauh ini, semuanya berjalan sesuai rencananya. Saatnya menjalankan rencana berikutnya.
***
Pelatihan ala militer dimulai. Berbagai macam halang rintang harus dilalui semua anggota, baik baru maupun lama. Semuanya kecuali Arif dan Levi, karena mereka adalah komandan dan wakil komandan. Keluhan terdengar di sana-sini. Nyeri, pegal, encok, dan lelah. Itulah keluhan yang sering terdengar. Kebanyakan keluhan datang dari anggota baru yang masih belum terbiasa dengan pelatihan fisik. Dera yang puluhan kali mengikuti pelatihan fisik dengan santainya berjalan melihat-lihat, pelatihan fisik yang baru saja ia ikuti seolah hanya seperti pemanasan baginya.
Setelah siang yang melelahkan, semua anggota beristirahat di sore hari. Saat malam tiba, saatnya uji nyali. Semua anggota baru harus melakukan perjalanan sendirian melewati beberapa pos. Salah satunya ada di tepi hutan pinus. Setiap anggota diberangkatkan melalui rute yang berbeda-beda. Setelah semua persiapan selesai, tepat pukul 8 malam petualangan dimulai.
Dera melangkah dengan hati-hati. Kini dia sedang menuju pos di tepi hutan pinus, bisa dibilang sudah memasuki kawasan hutan. Tiga pos dilaluinya dengan mudah. Mulai dari tantangan mudah seperti menyanyi sambil menari sampai tantangan yang membutuhkan pemikiran ekstra, memecahkan sandi.
Sorotan cahaya dari senter terpancar dari semak-semak. Diarahkan tepat ke arahnya. Dera turun ke bawah untuk mencari tahu. Ia turun dengan perlahan serta hati-hati, menuruni medan yang terjal dan berbatu. Ada bayangan hitam di semak-semak. Bentukannya seperti tubuh manusia. Dia duduk bersandar di sebuah pohon. Berbagai macam pikiran aneh mulai berkelibat di pikiran Dera. Sosok di bawah pohon itu, apakah hantu, mayat, ataukah manusia? Dera mengarahkan senternya ke arah bayangan itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat ujung cahaya senternya.
Dera tertawa terbahak-bahak sejenak,“Arif? Ngapain lo di sini?”
Arif menutup matanya dengan tangan,“Singkirin dulu senternya! Bikin silau mata!”
Dera mengalihkan cahaya senternya ke tanah. Dia menghampiri Arif. “Lo nyasar, Rif?”ejeknya.
Arif berusaha menjaga image-nya,“Mana mungkin. Gue kurang hati-hati tadi.”
“Bilang aja lo kepleset. Udah jatuh, masih aja sok keren lagi.”cibir Dera.
“Menurut lo, gue nggak keren?”Arif menyempatkan mengklarifikasi hal yang tidak penting, di saat dia terluka.
Dera yang terbawa suasana dengan santainya ia menjawab,“Nggak juga sih. Lo keren kok.”
“Iya. Gue tahu.”sudah pasti Arif akan berkata demikian.
“Ya. Ya. Ya. Lo itu emang PD-nya selangit.”
Dera menurunkan tas ranselnya. Dia duduk di depan Arif. “Ada yang luka nggak? Atau mungkin patah?”tanya Dera dengan nada serius.
“Kalau gue baik-baik aja, gue udah naik sendiri dari tadi.”jawab Arif ketus.
“Lo udah nyebelin dari lahir ya? Ditanya baik-baik, jawabnya gitu.”
“Iya. Iya. Sorry. Tangan gue kayaknya retak, atau mungkin patah. Kaki gue kesleo.”kata Arif dengan nada suara lembut. Malah terdengar aneh, seperti bukan Arif yang Dera kenal.
“Lo nggak bisa pakai bidai sendiri? Lo tahu cara ngasih pertolongan pertama, kan?”
Arif menjawab dengan lirih dan perlahan,“Gue tahu, tapi nggak bisa. Gue tadi udah bilang, tangan gue retak. Kalau gue banyak gerak, yang ada malah makin parah.”
“Oh, gitu. Iya juga sih. Jadi karena itu lo menunggu dengan pasrah di sini?”ejek Dera, lagi.
“Daripada lo ngejek gue terus, mending lo bantu gue sekarang.”pinta Arif.
Dera beranjak berdiri. Dia mencari dua dahan kayu yang berukuran kecil. Beberapa macam kain keluar dari tas ransel Dera. Slayer, sapu tangan, dan masker. Dia sejajarkan dua dahan kayu dengan tangan Arif. Lalu ia tali dengan slayer di bagian bawah, sapu tangan di bangian atas, dan masker di bagian tengah. Selesai sudah, bidai sederhana dan seadanya.
Dera melanjutkan pemeriksaannya,dia memeriksa pergelangan kaki Arif. Ada pembengkakan di sana. Arif menyeringai saat Dera menggerakan kaki Arif perlahan. “Kaki lo cuma kesleo, tapi lumayan parah. Buat gerak sedikit aja, pasti sakit. Lo bawa obat nyeri nggak? Atau salep buat lebam?”
Arif menggeleng. Dera menghela napas panjang,“Gue juga nggak bawa. Sekarang gimana?”
“Gendong.”jawab Arif singkat.
Dera berbalik lalu jongkok,“Oke. Ayo naik.”
Arif tertawa kecil,“Gue cuma bercanda.”
Dera berbalik menghadap Arif lagi,“Gue serius. Gue lumayan strong kok.”
“Nggak usah. Lo ke pos selanjutnya aja, cari bantuan.”
“Nggak mau.”Dera langsung menolak dengan tegas. “Gue nggak mau ninggal orang sakit di sini.”
“Terus lo mau gimana?”
Dera tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. Kotak itu berisi tiga buah kembang api dan korek api kayu. Dia mengambil satu buah kembang api dari dalam kotak.
Arif ternganga kagum,“Kok lo kepikiran bawa begituan?”
“Lo nggak tahu? Ini barang paling penting yang harus lo bawa saat mencari jejak, perjalanan, maupun berpetualang. Apalagi di hutan. Kalau lo terpisah dari rombongan, terluka, atau dalam bahaya, lo bisa ngasih tanda dengan ini. Pengetahuan dasar kayak gini masa lo nggak tahu.”
“Gue baru tahu sekarang. Ternyata lo itu serba bisa.”akhirnya Arif memuji Dera.
“Oh, jelas. Siapa dulu? Dera.”
“Udah. Udah. Cepet nyalain!”
“Dasar nggak sabaran.”
Dera menyalakan kembang apinya. Ia luncurkan ke langit. Muncul percikan merah berkerlap-kerlip di langit. Berkilau di antara kilauan ribuan bintang. Menghias langit malam itu.
Dera menunjukkan senyum manisnya,“Tinggal tunggu bantuan.”
Dera pindah posisi, dia duduk di samping Arif. Mereka saling diam. Bingung memilih topik pembicaraan yang tepat. Suasana canggung memang menyebalkan. Apalagi diwarnai dengan debaran tidak biasa yang ia rasakan saat diam seperti sekarang. Dera bingung dengan dirinya sendiri, dia bukan tipikal orang yang mudah kehabisan kata-kata, bisa dibilang tipe perempuan cerewet. Dia melirik ke arah Arif, begitu juga Arif. Saat mata mereka bertemu, mereka sama-sama memalingkan wajah.
“Makasih atas bantuannya.”Arif memulai pembicaraan.
“No problem. Gue seneng bisa bantu dan berguna untuk orang lain.”
Suasana kembali hening. Mereka saling diam, lagi. Di dalam heningnya suasana, Dera tiba-tiba merasakan perasaan aneh dalam hatinya. Jantungnya tidak pernah berdegup sekencang ini saat berada di dekat laki-laki. Mungkinkah rasa kagum Dera pada sosok Arif kini mulai berubah menjadi rasa yang lain. Ia menampik kemungkinan itu. Arif juga bagian dari Menwa. Mungkin dia pemilik botol kecil yang Dera temukan di markas Menwa. Dera menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba membuang perasaannya. Ia perintahkan pada hatinya sendiri untuk tidak terbawa suasana dan tetap tenang.
“Kenapa kepala lo? Sakit?”tanya Arif keheranan melihat tingkah aneh Dera.
Dera tertawa kecil,“Nggak. Gue cuma lagi mengalami konflik batin aja. Gue bingung, harus percaya atau curiga.”
Arif menjadi semakin heran,“Konflik apa? Percaya sama siapa? Curiga sama siapa?”
Dera hanya tersenyum tipis,“Bukan apa-apa, lupain aja.”
Arif mengangguk faham. Mereka kembali saling diam. Dera bermain-main dengan rSintang kecil di dekatnya. Dia menggambar bintang di rumput. Arif hanya memandang ke bawah dengan tatapan kosong. Dera melirik ke arah Arif. Apa yang Arif pikirkan, apa yang dia rasakan, Dera tidak bisa menebaknya. Arif termasuk tipe orang yang sulit ditebak.
Dera mencoba memulai percakapan lagi,“Ngomong-ngomong, tadi lo bilang pernah lihat gue tidur di kendaraan sebelumnya. Gue jadi penasaran. Kapan? Di mana?”
“Waktu di kereta, lo duduk di sebelah gue.”
“Kereta? Oh, waktu gue pindahan.”kata Dera dengan nada datar.
“Tunggu, lo dari Jakarta? Terus, lo ngapain jauh-jauh kuliah di sini? Lo kan punya mobil, ngapain naik kereta? Waktu kita satu kereta, gue tidur ya? Kok lo diam aja? Jawab dong!”
“Dera, tolong kalau tanya satu per satu. Gimana gue mau jawab coba?”
“Iya. Kenapa lo kuliah di sini? kenapa nggak di Jakarta?”Dera mengulang pertanyaannya.
“Permintaan nenek gue. Dia kesepian tinggal sendiri, makanya dia pengen ditemani cucunya.”
“Bukannya lo bisa nolak?”
“Gue nggak punya mimpi atau tujuan. Gue cuma menjalani hidup kayak air mengalir.”
“Oh gitu. Balik ke masalah kereta. Lo punya mobil, kenapa naik kereta?”
“Kalau gue pakai mobil, yang ada gue nambah kemacetan Jakarta. Kalau pakai kereta, nggak macet, lebih murah lagi. Masih ada pertanyaan?”
“Mmm. Ada satu pertanyaan terakhir. Waktu gue tidur di kereta, gue tidur kayak apa? Mangap? Mingkem? Ngigau? Atau malah ngiler?”tanya Dera tanpa rasa malu sedikitpun. Dera sudah mulai bisa mengendalikan hatinya. Dia tidak lagi gugup dan mati kata. Kembalilah sifat Dera yang terang-terangan. Arif malah menanggapi pertanyaan Dera dengan senyum lebar di wajahnya. Senyum yang belum pernah Dera lihat. Dan senyum itu berhasil membuat hati Dera kembali goyah.
Arif meraih kepala Dera, menyandarkan kepala Dera ke bahunya, “Kayak gini. Lo tidur kayak gini.”
Kini Dera bersandar di bahu Arif. Dia ingin mengangkat kepalanya, tetapi tak bisa, sudah terlanjur nyaman. Arif mengangkat tangan kirinya, membelai rambut halus Dera. Dia tertawa kecil.
“Sebelum lo tidur dan saat lo tidur, lo kelihatan beda. Waktu lo belum tidur, lo selalu gerak, nggak bisa diem, tipikal orang yang hiperaktive. Bahkan lo sempat ngedumel sendiri. Tapi waktu lo tidur, lo langsung diem, tanpa suara, wajah lo kelihatan damai. Lo tidur terus selama perjalanan.”
Dera tersenyum, mengatupkan kedua kelopak matanya yang mulai terasa berat, menikmati bahu Arif yang nyaman untuk bersandar,“Gue emang sering tidur di kendaraan. Bukan cuma sering, selalu. Karena waktu tidur gue cuma di kendaraan.”
“Kenapa gitu?”
“Soalnya banyak yang harus gue kerjain di malam hari. Biasanya gue cuma tidur dua jam, atau tiga jam, paling lama empat jam.”
Arif memandangi Dera. Gadis itu menutup matanya, tetapi dia masih sadar,“Kenapa lo harus begadang? Lo nggak capek atau lelah?”
“Soalnya gue harus menjalani apa yang udah gue pilih, biarpun gue capek, lelah, kurang tidur. Tapi gue harus tetap memperjuangkan sesuatu yang berharga buat gue. Kalau gue nggak merasa lelah, berarti gue nggak bekerja keras. Lagipula, gue menikmati rasa lelah gue. Lama-lama, gue nggak merasa lelah lagi, soalnya gue jadi terbiasa. Dan gue bahagia menjalani hidup gue yang sekarang, meskipun penuh dengan resiko.”
Arif mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud perkataan Dera. Namun sayang, dia gagal paham,“Lo ngomong apa sih? Gue sama sekali nggak paham.”
Dera melempar senyumnya lagi. Rasa lelah terlihat jelas di wajahnya, namun ia tetap berusaha untuk tersenyum tulus,“Lo nggak harus paham, lo nggak harus mengerti. Lo cuma perlu jadi pendengar yang baik. Dan yang paling penting, jangan kebanyakan tanya!”
“Nggak bisa. Gue malah jadi penasaran sekarang. Apa yang udah lo pilih?”
Dera langsung bangun dari posisinya, dia memandang Arif dengan tatapan jengkel,“Ah, lo. Ngerusak suasana aja. Lo emang bukan pendengar yang baik. Mending gue curhat ke Dipta. Dia bakal dengerin, tanpa bertanya, bahkan ngasih saran yang bijak.”
“Gimana gue mau ngasih saran kalau gue nggak tahu permasalahannya. Dipta siapa lagi? Pacar lo?”
“Mau tau aja. Dasar kepo!”
Dera kembali ke posisi sebelumnya. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Arif. Dengan wajah kesal, Arif membungkukan badannya. Alih-alih mendapat sandaran, Dera malah hampir jatuh.
“Lo kenapa sih? Tadi lo sendiri yang nawarin sandaran, sekarang malah bikin gue hamper jatuh.”
Arif meninggikan suaranya. Dengan nada kesal, dia memarahi Dera,“Lo kan punya Dipta. Tidur aja di bahunya sana!”
“Kenapa lo jadi marah? Oke, gue pergi sekarang. Lo mau gue pergi, kan?”kata Dera dengan nada kesal juga.
Dera bersiap untuk berdiri, dia sudah berjongkok. Arif menarik tangan Dera, membuatnya duduk kembali.
“Lo mau ninggalin pasien di sini?”kata Arif dengan nada bicara yang selalu ia gunakan, tenang dan pelan.
“Gue tadi nggak serius. Lo sekarang lagi sama gue, jangan bahas Dipta lagi!”lanjutnya.
“Oke.”jawab Dera santai, dia kembali menyandarkan kepalanya di bahu Arif. Langsung menutup mata lelahnya.
“Dera, lo tahu nggak?”
“Apa?”kata Dera setengah sadar.
“Lo itu perempuan yang menarik. Sejak pertama kali gue ketemu lo, gue nggak bisa melepas pandangan gue dari lo. Lo ingat nggak waktu lo tanya kamar mandi ke gue. Lo mondar-mandir waktu itu, gue nggak bermaksud jawab gitu. Gara-gara gugup, gue jadi salah tingkah. Dan pada akhirnya gue asal jawab. Lo pasti kesel sama gue waktu itu. Gue minta maaf ya?”
Tidak ada respon. Kelihatannya Dera sudah di alam mimpi.
“Lo udah tidur ya? Lo hobi banget tidur ya?”
“Kamu belum tahu kehidupan seperti apa yang dia jalani.”suara lembut Levi tiba-tiba terdengar dari semak-semak. Beberapa saat kemudian, wajahnya mulai tampak.
Arif tersenyum tipis, “Lo selalu aja muncul tiba-tiba. Lo emang ahlinya mengendap-endap.”
“Nggak juga. Aku nggak mengendap-endap kok. Aku cuma nggak mau mengganggu kesenangan kalian. Kayaknya kalian lagi asik berduaan di bawah cahaya bulan.”goda Levi.
“Kesenangan apanya? Heh, Dera, bangun!”Arif menampik pendapat Levi dengan membangunkan Dera, mencoba menunjukkan bahwa ia dan Dera masih seperti anjing dan kucing yang selalu bertengkar.
“Jangan dibangunin!”perintah Levi dengan tegas. Saat butuh bicara tegas, dia bisa juga membentak.
“Kenapa?”tanya Arif singkat.
Levi kembali menunjukkan senyum ramahnya, “Biar dia istirahat. Semalam dia pasti nggak tidur.”
“Lo ngomong gitu seolah-olah lo tahu banget soal hidupnya. Lo tadi juga bilang soal kehidupan yang dia jalani. Apa lo tahu masa lalu Dera?”
Levi mendekat ke arah Dera dan Arif, ia duduk di samping Dera kemudian memindahkan kepala Dera ke bahunya. Ia tersenyum sembari memandang wajah Dera, “Aku nggak tahu masa lalunya. Yang aku tahu, dia menjalani hidup yang keras dan nggak mudah.”
Arif menyelidik, “Maksud lo?”
Levi belum sempat menjawab pertanyaan Arif, rekan-rekan mereka sudah berlarian menghampiri mereka, jelas mereka khawatir karena ada yang terluka. Mereka pasti tidak menyangka kalau yang terluka ternyata komandan mereka. Arif pun dibawa ke klinik untuk diobati.
***
Hujan mulai turun di bumi perkemahan. Hujan deras yang mulai reda saat hari menjelang tengah malam. Arif keluar dari tenda, menghirup udara yang baru saja dibersihkan hujan.
“Seger banget ya?”
Suara itu sudah tidak asing lagi. Ternyata bukan hanya Arif yang keluar malam-malam untuk menikmati udara segar. Dera menghampiri Arif yang duduk di titik kumpul. Ia duduk di sebelah Arif. Dilihatnya tangan kanan Arif yang diperban.
“Kok cuma diperban? Nggak digips? Kok lo udah boleh pulang? Nggak perlu opname?”tanya Dera memulai pembicaraan.
“Nggak. Ternyata cuma kesleo.”
“Tadi katanya mungkin retak atau malah patah. Jangan-jangan tadi lo bohongin gue ya?”
“Iya.”jawab Arif dengan wajah tenang.
“Eh, beneran? Padahal gue cuma asal ngomong.”
“Gue nggak bermaksud bohong. Gue cuma pengen ditolong sama lo.”kata Arif malu-malu.
“Kenapa?”
Arif terlihat bingung. Keraguan merasuki hatinya. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Kalau gue bilang ‘gue suka sama lo’, kira-kira lo bakal percaya nggak?”akhirnya ia mengutarakan perasaannya pada Dera.
Arif menunggu jawaban Dera dengan cemas. Baru beberapa kali mereka bertemu, tetapi Arif sudah menyatakan cinta. Hal ini mungkin terlalu tiba-tiba untuk Dera. Arif sudah menyiapkan hatinya kalau dia ditolak.
“Gue percaya kok.”jawab Dera dengan wajah serius.
Arif tersenyum lebar. Hatinya serasa disiram hujan di Bulan September. Hujan yang pertama kali turun setelah musim kemarau. Hatinya yang kering kini telah sejuk. Ia masih tersenyum bahagia, sampai Dera melanjutkan ucapannya.
“Percaya kalau lo bercanda.”kata Dera dengan nada serius lalu tertawa.
Arif menghela nafas,“Ternyata emang butuh waktu biar lo percaya.”
Dera berhenti tertawa,“Gue percaya kok.” Kali ini dia benar-benar serius. “Jadi mulai malam ini, lo resmi jadi pacar gue.”lanjutnya.
Arif tertawa kecil,“Lo barusan bikin gue mental breakdown, sekarang lo bikin gue melayang.”
Dera tersenyum bahagia. Ia menggenggam tangan Arif. Ia menerawang ke depan. Mencoba menebak apa yang akan terjadi di masa depan, sekaligus menyusun rencana selanjutnya. Pacaran dengan Arif di luar rencananya. Ia harus siap menanggung resiko dari keputusannya ini. Ia memang tidak bisa percaya pada Arif sepenuhnya, namun ia juga tidak bisa membohongi perasaanya. Langkah pertama yang akan ia ambil setelah ini adalah menyelidiki latar belakang Arif dan memastikan bahwa Arif bisa dipercaya.
***