GPS
Dera mengalihkan pandangannya. Dari satu sisi ke sisi lain. Tidak juga ia temukan. Hanya ada mahasiswa di sana-sini, di setiap sudut. Ia melihat seorang laki-laki bertubuh tegap. Dia itu memakai pakaian hijau olive green dengan sepatu PDH berwarna hitam legam. Pakaiannya seperti seragam tentara, hanya saja pakaian itu polos dan warnanya saja yang sama.
“Mungkin satpam di sini berseragam hijau ala tentara. Atau gara-gara ada pertemuan penting, makanya baju satpamnya kayak gitu. Tau ah.”batin Dera.
Dera memberanikan dirinya, menghampiri laki-laki itu untuk bertanya. Ia bingung dengan sapaan yang harus ia gunakan. Mungkinkah orang itu berusia tiga puluh tahun? Ataukah masih dua puluh tahun? Sulit menebak usia seseorang hanya dengan melihat punggungnya.
“Permisi, Pak. Saya mau tanya.”pada akhirnya begitulah Dera menyapa orang itu.
Orang itu berbalik. Wajah Dera jadi merah padam, karena malu sudah salah sangka. Ternyata laki-laki itu bukan satpam, melainkan mahasiswa, mahasiswa tampan dan keren. Wajahnya putih dan cerah. Rambutnya tertata rapi di dalam topi baret militer berwarna ungu. Alisnya tebal, bola matanya coklat. Wajahnya lonjong, berhiaskan mata yang bulat. Bibirnya agak tebal, tetapi merah muda seakan memakai lipstick, padahal dia tidak mengenakannya.
Dera jadi salah tingkah dan tidak bisa berkata-kata. Pada akhirnya ia tutupi rasa malunya dengan menanyakan hal yang memang akan ia tanyakan sejak awal,“Mmm. Kamar mandinya di sebelah mana ya? Saya udah cari tapi nggak ketemu.”
Ekspresi di wajah laki-laki itu masih sama, datar. Dengan singkatnya ia menjawab,“Cari aja di GPS.” Dia pun melangkah pergi, meninggalkan Dera yang masih melongo mendengar jawaban aneh itu.
Merasa diabaikan, kontan Dera langsung meledak-ledak. Ia mengeluarkan omelan secara beruntun,“Dasar cowok tengil, nyebelin, belagu, nggak normal, nggak punya sopan santun.”
Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Dera langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menyiapkan nyali untuk ribut dengan orang itu, kalau dia berbalik. Namun, dia melanjutkan langkah kakinya. Ia hanya berhenti sejenak.
Dera menjadi semakin bingung, ia takut kalau orang itu mendengar omelannya. Dia menenangkan dirinya, menarik nafas lalu mengeluarkannya. Mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi, Dera melanjutkan aktivitasnya, mencari kamar mandi. Kali ini ia mencari orang yang tepat dan normal untuk ditanya.
***
Derap kaki sudah mulai terdengar dari lantai satu. Suara langkah-langkah kaki mulai terdengar juga di lantai dua. Mahasiswa mulai berdatangan, memulai aktivitasnya di kampus. Hari masih pagi, tetapi mereka harus datang pagi-pagi sekali, apalagi kalau bukan untuk kuliah pagi. Begitu juga dengan Dera. Hari ini pertama kalinya ia masuk kelas sejak dia pindah dari Jakarta. Ia mempercepat langkahnya karena dia sudah terlambat.
Suara gaduh sudah terdengar dari dalam ruang kelas, kelihatannya kelas sudah dimulai. Ia membuka pintu kelas. Semua mata tertuju padanya. Dera melihat ke arah dosen yang berdiri di samping layar proyektor, menunggu kode dari dosen itu. Hanya ada dua kemungkinan. Ia boleh masuk kalau dosennya ramah. Kalau dosennya killer, itu berarti ia harus keluar karena terlambat setengah jam. Dosen itu tersenyum ramah pada Dera dan menyuruhnya masuk. Akhirnya Dera bisa bernapas lega.
“Kita kedatangan mahasiswa pindahan dari Jakarta. Namanya Dera. Saya harap kalian bisa membantunya beradaptasi di sini.”
Dera mengedarkan matanya ke seluruh penjuru kelas. Ia menemukan sosok yang sudah tidak asing lagi. “Gawat, cowok yang kemarin.”batin Dera. Dera merasa hari ini dia sungguh sial. Bangun terlambat, jalan macet, bingung mencari ruang kelasnya. Yang terburuk adalah bertemu dengan mahasiswa yang menyebalkan itu, lagi.
“Silakan duduk!”perintah dosen di sebelahnya.
Dera berjalan ke belakang kelas sambil mencari-cari tempat duduk. Hanya tersisa tiga kursi kosong, ketiganya ada di sebelah laki-laki yang kemarin ditemuinya. Tidak ada pilihan lain. Ia harus duduk tepat di sebelah manusia bermuka cuek itu. Kalau dia menjaga jarak, mahasiswa lain akan berfikir macam-macam. Dengan begini, lengkap sudah daftar ketidak beruntungan Dera hari ini.
“Hai. Gue Dera.”sapa Dera setelah ia duduk, nada bicaranya terdengar canggung.
Laki-laki di sebelahnya menoleh ke arah Dera yang membuatnya terkejut bukan main, “Mampus, dia noleh.”
Firasat buruk mulai menyeruak.
Laki-laki itu tiba-tiba tersenyum sinis,“Kenapa lo mau ngomong sama cowok tengil, nyebelin, belagu, nggak normal, dan nggak punya sopan santun kayak gue? Lo sehat, kan?”
“Soal kemarin, gue min…”
Dera belum menyelesaikan ucapannya, tetapi lelaki itu mengabaikannya dan kembali fokus pada ponselnya. Dera hanya bisa memendam rasa jengkelnya dalam hati. Ia datang ke tempat ini bukan untuk mencari musuh. Dia harus fokus pada tujuannya.
***
Saatnya bagi Dera untuk melaksanakan tugasnya. Ia mendapat wewenang untuk memeriksa setiap sudut kampus. Bahkan Pak Rektor memberinya lusinan kunci yang bisa digunakan untuk mengakses semua pintu di kampus, termasuk kunci pintu gerbang. Namun, sejauh ini ia tidak menemukan barang yang dicari. Tidak ada pula hal yang mencurigakan maupun janggal. Hanya satu titik yang belum ia periksa, sudut selatan kampus.
Dera memerhatikan bangunan di dekat lapangan itu. Terlihat seperti sebuah markas militer. Bangunan itu terdiri dari dua lantai. “Markas Resimen Mahasiswa Kutara Manawa.” Dera mengeja tulisan plakat yang ada di bagian depan gedung.
Dera melangkah masuk dengan hati-hati. Memeriksa kondisi di dalam gedung. Sudah dipastikan, tidak ada orang di dalamnya. Ia pun masuk dan dengan segera menggeledah semua sudut di dalam ruangan itu. Di ruang gSinta perempuan, Dera menemukan botol kecil seukuran jari kelingking yang terbuat dari kaca. Botol itu padahal sudah disimpan dengan rapi dan tersembunyi oleh pemiliknya. Namun, penciuman Dera tetap bisa mengendus benda itu. Ia pun membuka tutup botol itu tanpa ragu. Ia dekatkan lubang botol itu ke hidung mungilnya. “Nggak salah lagi. Ini yang gue cari dari tadi.”gumamnya.
“Apanya yang lo cari?”sebuah suara terdengar tiba-tiba.
Dengan sigap dan samar, Dera menyembunyikan botol yang tadi ditemukannya. Ia sembunyikan di dalam genggaman tangannya. Ia pun segera berbalik. Betapa terkejutnya ia saat melihat sosok yang baru saja bertanya padanya. Orang itu adalah mahasiswa yang tadi pagi duduk di samping Dera, juga laki-laki yang kemarin ditemuinya di dekat aula, yang ia kira satpam.
“Mmm. Itu, gue cari orang.”jawab Dera ragu dan terputus-putus.
Laki-laki itu menyelidik,“Emang lo mau ngapain? Kenapa masuk tanpa permisi?”
“Tadi di depan nggak ada orang, jadi gue cari di dalam. Gue mau daftar jadi anggota.”jawab Dera sekenanya.
“Udah tutup.”jawab orang itu, masih dengan wajah datar.
Dera hanya bisa menahan diri. Ingin rasanya dia menghajar laki-laki menyebalkan itu, tetapi masih ditahan, menguji batas kesabarannya sendiri. Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke ruangan itu. Dari penampilannya, dia terlihat seperti seorang mahasiswi. Ya, dia memang mahasiswi.
“Arif, nggak boleh gitu. Masih ada jalur khusus, kan?”katanya dengan suara lembut.
“Oh. Jadi, nama cowok nyebelin ini Arif. Arif kan artinya bijak, nggak pantes sama kelakuannya.”batin Dera, sambil senyum-senyum sendiri.
“Dia nggak tahu apa-apa soal Menwa. Mahasiswa pindahan dari Jakarta, masih baru di sini. Tiba-tiba mau ikut Menwa, aneh.”kata Arif dengan nada datar.
Dera memotong perkataan Arif,“Tapi Pak Dosen bilang, gue boleh coba organisasi apa aja buat cari pengalaman di sini.”
“Di sini bukan tempat coba-coba.”tegas Arif.
“Emang bukan, gue kan mau cari pengalaman. Gue pernah ikut pendidikan dasar semi militer.”Dera masih tak mau kalah.
Begitu juga dengan Arif,“Coba buktiin!”
“Oke. Cariin pistol dulu. Gue pernah latihan nembak.”
“Udah. Udah. Kamu mau daftar Menwa, ya? Sekarang ikut aku ke lantai satu, buat ngurus administrasi.”kata perempuan itu dengan ramah.
Dera pun mengikuti perempuan itu. Arif masih diam di tempatnya berdiri. Dera menyambut hal itu dengan bahagia, “Akhirnya dia diem juga. Dasar keras kepala.”
Ternyata Dera salah sangka. Arif masih belum mau kalah. Ia naik ke lantai dua lalu turun dengan membawa dua buah pistol. Padahal Dera masih belum menyelesaikan urusan administrasinya. Arif menunjukkan sebuah brivet, semacam lencana, bergambar pistol dan sayap kepada Dera. Tidak salah lagi, itu brivet penembak atau shooter patch. Setelah ditunjukkan ke Dera, Arif meletakkan brivetnya di meja.
Dengan tenangnya dia berkata,“Ini pistol yang lo minta.”
“Rif, tolong jangan berlebihan.”pinta perempuan yang sedari tadi bersama Dera.
“Levi, kali ini tolong jangan ikut campur. Kalau dia emang punya kemampuan, gue sendiri yang akan nulis namanya di daftar anggota. Dan gue sendiri yang akan jadi pendampingnya selama dia jadi anggota Menwa.”kata Arif tegas, ia menunjukkan bahwa dirinya tidak mau dibantah.
Arif berjalan menuju lapangan di samping markas. Ada tempat khusus untuk berlatih menembak di tepi lapangan. Dera dan Levi mengekor di belakang Arif. Arif mengulurkan kedua pistol yang dipegangnya, menyuruh Dera memilih sendiri pistolnya. Dera hanya bisa mengikuti kemauan Arif yang sungguh kekanakan. Dia harus masuk Menwa untuk menjalankan rencananya. Diambilnya satu pistol, “Ini isinya berapa peluru?”
“Setiap pistol ada tiga peluru. Yang bisa nembak tepat di tiga titik merah, dia yang menang. Gue mulai duluan. Levi, lo jadi jurinya.”
Levi mengangguk setuju. Arif mengambil posisi, bersiap membidik sasaran. Beberapa saat kemudian, dia menembakkan peluru pertama. Setelah jeda sesaat, dia menembakkan peluru kedua. begitu juga dengan peluru ketiga, dia membutuhkan jeda untuk menembak. Ketiga peluru tepat sasaran, namun ia membutuhkan waktu yang agak lama untuk membidik.
Sekarang giliran Dera. Dia mengambil posisi dengan cepat. Lalu menembakkan tiga peluru sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketiganya tepat di titik merah. Levi ternganga kagum melihat kecepatan Dera dalam menembak. Dera pun tersenyum puas. Dia menghampiri Arif.
“Jadi, siapa pemenangnya?”
“Oke. Gue ngaku kalah. Tapi, lo yakin lo ikut pendidikan dasar, bukan pelatihan khusus?”
Dera diam tak bergeming. Dia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Arif masih menunggu jawaban Dera dan menatap perempuan bergigi kelinci itu dengan tatapan dalam. Levi yang mengerti situasi tegang ini segera memecah suasana. “Itu nggak penting. Yang penting, mulai hari ini, Dera resmi jadi anggota Menwa. Sesuai perjanjian, Arif harus nulis sendiri nama Dera di buku anggota.”
Arif berlalu pergi tanpa sepatah kata pun. Dera dan Levi kemudian menyusul. Dera memasang wajah kesalnya, “Dasar cowok nyebelin, nggak punya sopan santun, sadis.”
“Kamu salah. Dia kaya gitu bukan karena dia orang sadis. Justru dia itu orangnya baik banget. Dia tipe orang yang lebih mementingkan tindakan daripada omongan. Sekarang dia pasti lagi nulis nama kamu di buku anggota. Dia juga orang yang selalu menepati janji. Dia kalau ngasih perintah cuma sekali. Semisal kita disuruh duduk, tapi kita masih berdiri atau masih sibuk ngapain gitu, dia akan langsung bikin kita duduk dengan kedua tangannya sendiri daripada pakai kata-kata.”
Dera menghentikan langkah kakinya,“Tunggu, Vi. Maksud lo perintah?”
Levi juga menghentikan langkah kakinya,“Kamu nggak tahu? Arif itu komandan Menwa.”
“Hah? Cowok yang seenaknya kayak gitu? Nggak asik orangnya, kaku, muka cuek. Orang kayak gitu jadi komandan?”
“Kamu cuma belum kenal dia aja. Dia itu pemimpin yang bijak, peduli, punya kemampuan, dan kompeten. Dia sering bawa makanan ke markas, terus kita makan bareng rame-rame. Tapi, dia emang kurang bisa akrab sama perempuan.”
“Kok kayaknya dia baik ke semua orang, kecuali gue. Menurut gue, yang orang baik itu lo. Sorry ya gue nggak biasa pake bahasa formal aku-kamu gitu.” Dera kembali berjalan, begitu juga Levi.
“Santai aja kali. Nggak masalah kok. Tapi, aku nggak sebaik yang kamu kira, lo.”
“Vi, lo itu ya, udah baik, ramah, rendah hati lagi.”puji Dera.
Levi hanya tersenyum tipis. Dera mulai merasa cocok dengan Levi. Dia orang yang baik, ramah, tipikal pendengar yang baik, sekaligus pemberi solusi dan saran. Dia orang yang bijaksana. Sosok seorang teman ideal, mungkin juga pacar ideal bagi kaum adam.
***