Sudah satu minggu pernikahan kami dan sudah seminggu pula kami berdua tidak bertegur sapa. Dia yang selalu pulang larut malam setelah aku tertidur dan pergi sebelum aku terbangun. Kenapa aku bisa tahu? Aku yang menanyakannya pada satpam rumah ini. Setidaknya dia masih ingat untuk pulang ke rumah.
Hari ini aku mulai kembali bekerja menjadi dokter kembali di sebuah rumah sakit besar di Jakarta berkat track recordku menjadi dokter spesialis penyakit dalam di New York. Aku memakai snelliku, mengambil kunci mobil dan berangkat menuju rumah sakit.
Pagi ini aku diperkenalkan sebagai dokter baru di rumah sakit ini. Mengitari rumah sakit bersama sang pimpinan rumah sakit, dr. Atmaja.
“How about Jakarta?”
“Semakin panas, dok. Nggak kayak dulu waktu saya masih SMA dan sekarang udah banyak banget gedung-gedung pencakar langit yang nambah panas aja. Mending New York ada 4 musim jadi seenggaknya ada fase dinginnya sedangkan disini cuma dua musim. Musim hujan saja tetap panas,” kekehku. dr. Atmaja ikut terkekeh menunjukkan lesung pipinya yang membuatnya semakin manis saja.
“Selamat atas pernikahannya. Semoga berbahagia dan langgeng pernikahannya.” Aku tersenyum.
“Terima kasih, dok.”
“If you are not married, maybe I will be love you at the first sight.” Aku bisa mendengar ucapannya yang terlalu pelan itu. Oh ya perlu kalian tahu, dokter Atmaja ini masih muda. Mungkin sebelas dua belas dengan Abhi umurnya.
“Maaf?” Dia menggelengkan kepala.
“Oh nggak. Saya baru ingat. Saya harus kembali ke ruangan. Selamat bekerja.” Aku mengangguk. Perlahan dia menjauh dari pandanganku dan aku memasuki ruang praktik.
Aku mencuci tanganku di dalam ruang praktik, lalu mengeringkannya dengan handuk yang tergantung. Pintu ruanganku terketuk sebanyak tiga kali ketika aku menyandarkan punggungku di kursi.
“Masuk.”
“Maaf, dok. Sudah bisa dimulai? Pasien sudah banyak yang menunggu di depan.” Aku mengangguk.
***
Aku meregangkan otot-ototku yang mulai pegal. Menutup buku catatan rekam medis pasienku dan meneguk air mineral dari tumblr yang selalu aku bawa. Aku melirik ke arah jam dinding yang tergantung tepat dihadapanku. Sudah pukul empat berarti jam praktekku sudah berakhir. Aku bergegas untuk merapikan semua barang-barangku. Aku teringat, tadi pagi aku sempat janjian dengan psikologku untuk terapi lagi minggu ini. Tangan kiriku menenteng tas yang ku bawa sedangkan tangan kananku mengunci pintu.
“Saya pulang dulu, Ners. Nanti kalau misal ada apa-apa sama pasien saya, langsung telepon saya saja.”
“Baik, Dok.”
Aku melajukan mobilku menuju rumah sakit pinggiran kota Jakarta yang jaraknya lumayan jauh dari rumah sakit aku bekerja. Sungguh sial nasib ku karena aku terjebak macet kota Jakarta ini. Setelah satu jam terjebak macet, akhirnya aku bisa memarkirkan mobilku di parkiran rumah sakit ini. Aku melepas snelli ku dan kelusr dari mobil menuju ruang praktek psikolog.
“Maaf saya baru bisa datang. Baru selesai praktek dan terjebak macet.”
“Oh, ngga apa-apa. Jadi sebelum terapi ada yang ingin ditanyakan?”
“Saya belum berhasil untuk menceritakannya pada suami saya. Dia menjauhi saya sehingga saya nggak punya waktu buat bicara. Dia berangkat pagi setelah saya tidur dan pergi sebelum saya bangun.”
“Sudah pernah mencoba ke kantornya?” Aku menggeleng. “Berilah dia perhatian. Seperti membawakan makan siang mungkin ke kantornya. Setelah dia mendapatkan perhatian, barulah mulai bicara.”
“Tapi kadang saya nggak punya nyali untuk mengungkapkan semuanya. Selalu saja berhenti di tengah jalan,” lirihku. Memang aku tidak pernah punya nyali untuk menceritakan hingga selesai.
“Yakin sama diri kamu sendiri. Yakin kalau kamu bisa menceritakannya semuanya. Yakin kalau itu semua sudah menjadi bagian dari masa lalu kamu bukan masa sekarang ataupun masa depan. Ada lagi yang ingin diceritakan?” Aku menggeleng. Mungkin itu memang solusi yang tepat. Tidak baik juga terlalu lama diam-diaman seperti ini.
Sudah tiga puluh menit aku menjalani sesi ini dan aku harus kembali lagi minggu depan. Aku memandangi langit Jakarta yang sudah mulai menggelap. Tadi aku sempat singgah sebentar di masjid untuk menunaikan ibadah sholat maghrib. Niatnya akan singgah sebentar di rumah sakit di mana Papa dirawat karena katanya besok sudah diperbolehkan untuk pulang, tapi karena Jakarta semakin macet saja di malam hari, aku memutuskan untuk pulang saja.
Mobilku memasuki pelataran rumah. Mataku menangkap mobil Abhi sudah terparkir di halaman rumah. Aku mematikan mesin mobil dan masuk ke dalam rumah. Sepi. Ya seperti itulah suasana rumah ini.
“Bi, Mas Abhi sudah pulang?” tanyaku pada Bi Asri yang sedang menata piring di meja makan.
“Iya nyonya. Dari tadi siang, tapi Tuan dari tadi siang juga belum keluar dari kamarnya.”
“Ya sudah Bi saya ke kamar dulu sekalian ngajak Mas Abhi makan malam.”
Aku berjalan menuju kamarku dengan Abhi. Ya, walaupun kita menikah tanpa cinta, kami tetap memutuskan untuk tidur di kamar yang sama. Pemandangan yang pertama aku lihat di kamar ini adalah sebuah muntahan di karpet bulu kamar kami. Tidak ada abhi di sana, tapi aku mendengar sayup-sayup suara mual-mual di kamar mandi. Aku meletakkan tas kerjaku di meja rias dan berjalan menuju kamar mandi. Abhi terduduk di depan toilet berusaha untuk mengeluarkan isi perutnya. Aku memijat tengkuknya. Dia terlihat sudah sangat lemas dan pucat. Dia berusaha untuk mengeluarkan isi perutnya, tapi karena perutnya memang kosong jadi yang hanya keluar hanya air ludahnya saja. Aku membantunya untuk berdiri dan berjalan menuju ranjang. Aku membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
“Mas boleh aku buka baju mas?” Abhi hanya mengangguk saja. Dirinya sepertinya sudah terlalu lemas. Aku menggantikan bajunya yang sudah lumayan basah karena keringat. Aku berjalan menuju dapur. Mengambil air hangat dan kuisi di dalam baskom. Tak lupa juga aku mengambil handuk kecil. Aku membasuh tubuh Abhi dengan air hangat itu, lalu melumuri minyak kayu putih di leher, dada, perut, dan punggungnya. Dia terlihat lemas sekali dan pucat.
“Sudah berapa kali muntah, Mas?” Aku memulai pengkajianku.
“Mungkin ada 15 kali aku bolak balik sejak tadi siang.”
“Ada keluhan lain selain muntah, Mas?” Abhi mengangguk. “Apa?”
“Diare aku sudah BAB 5 kali sejak tadi pagi dan kepalaku sangat pusing. Hal itu membuatku tidak bisa menelan apapun sejak tadi siang karena setelah aku masukkan pasti akan keluar” Aku sudah bisa memastikan kalau Abhi sudah mengalami dehidrasi sedang. Aku mengambil stetoskopku di dalam tas kerjaku dan mulai memeriksanya. Lalu, aku mengeluarkan spygnomanometer untuk mengecek tekanan darahnya. Pantas saja dia lemas sekali selain dehidrasi, tekanan darahnya juga sangat rendah. Aku memasukkan kembali alat-alatku ke dalam tas. Aku keluar dari kamar dan berniat untuk membuat bubur cair untuk Abhi.
Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk memasak itu. Aku kembali dengan membawa secangkir air mineral dan semangkuk bubur cair. Aku melihat Abhi yang sedang memejamkan matanya.
“Mas, makam dulu. Kamu dehidrasi. Tubuh kamu butuh asupan makanan dan cairan.”
“Buat apa aku makan kalau ujung-ujungnya akan langsung keluar juga?”
“Kalau mas ngga makan, aku ngga bisa ngasih Mas obat. Seenggaknya ada satu sendok yang bisa masuk ke perut mas.” Akhirnya Abhi mengalah untuk memasukkan makanan yang aku suapkan ke dalam mulutnya. Namun, 3 detik kemudian makanan itu langsung keluar kembali. Abhi langsung muntah lagi dan sekarang muntahnya di baju kerjaku.
“I'm sorry,” ucapnya dengan nada yang menyesal.
“No problem, Mas.” Aku membersihkan mulutnya. Kalau seperti ini berarti harus di infus. Aku mengambil infus set, torniquet, kasa steril, plaster, IV catheter, alkohol swab, sarung tangan dan plabot infus. Tak lupa juga aku mengambil beberapa obat untuk nya. “Mas minum obat dulu. Aku mau infus Mas.” Aku memberikan obat itu pada Abhi. “Tahan mas mualnya.” Aku mencari pembuluh vena yang lurus dan tidak bercabang di tangan Abhi. Setelah ketemu, aku memasangkan torniquet, Menyambungkan infus set dengan plabot, memasang sarung tangan, mengoleskan alkohol swab di bagian tangan yang akan dimasukkan IV catheter dan memasukkan IV catheter di tangan Abhi sambil perlahan melepas jarum yang ada di kateter itu lalu menyambungkannya dengan konektor di infus set. Memplester bagian yang dimasukkan kateter dengan kasa steril dan plaster. Menekuk selang di sekitar tangannya supaya mudah bergerak dan aku menggantung infus itu di paku bekas meletakkan pigura di dinding supaya darahnya tidak masuk ke selang infus. Aku mengatur tetesannya. Setelab selesai, aku membereskan semua peralatanku.
“Hassya, please sleep here.” Aku mengangguk. Setelah semuanya beres dan aku mengganti pakaianku, aku membaringkan tubuhku disamping Abhi.
“Mas mungkin ini bukan waktu yang tepat. Tapi aku rasa kapan lagi kita bisa berdua seperti ini setelah seminggu yang lalu kamu sama sekali menghindariku. Sehingga aku nggak punya waktu untuk bicara.” Aku menghela napasku. Aku melihat Abhi yang masih diam. Aku yakin dia mendengarkan perkataanku. “I'm not virgin. Sorry if it disappoints you because you want my virginity at this marriage.” Dia memalingkan wajahnya. Aku tahu dia pasti kecewa lagi. “I'm sorry, but you have to listen my story. It's not a problem I let go of my virginity because of my boyfriend. It is not that. This is more complex than that.” Dia lagi-lagi hanya terdiam.
@ShiYiCha terima kasih kritik sarannya
Comment on chapter Independent Woman