Jantungku kembali berpacu lebih cepat dari biasanya. Napasku mulai tersengal-sengal. Kejadian itu sekarang terputar ulang seperti sebuah kaset yang baru dinyalakan. Aku bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya. Aku ingin sekali membuka mataku, tapi aku tak bisa. Lelaki itu terus mendekatiku bersama dengan laki-laki yang lain menyudutkanku disebuah ruangan. Aku berteriak ketakutan sambil memegang boneka beruangku.
“Jangan mendekat! Papa Mama tolong Hassya!” Aku berteriak-teriak tak terkontrol. “Papa Mama! Hassya takut.” Lelaki yang aku prediksikan dia sebagai pemimpinnya mendekatiku. Membelai daguku.
“Jangan menangis, anak manis. Kamu aman disini.”
“Aku mau pulang!”
“HASSYA!” Bentakan itu membuatku tersadar dari kepingan masa lalu itu. Tubuhku dipeluk hangat oleh seseorang. “Hassya, tenanglah. Ini aku Abhi.” Aku merasakan dia mencium keningku lembut. Aku berusaha membuka mataku dan menangis dipundaknya. “Kalau kamu belum siap bercerita dan belum siap untuk melaksanakan kewajibanmu, aku akan tunggu. Namun, aku juga punya batas kesabaran.” Aku mengatur napasku menenangkan jiwaku. Mengenyahkan potongan memori yang menyakitkan itu. Aku melepaskan pelukannya dan berjalan mengambil tas tanganku dan mengambil sebuah obat didalam sebuah tabung obat tanpa nama.
“Maaf.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku. Dia mengambil jaketnya yang tersampir di kursi meja rias.
“Aku pergi dulu. Aku rasa kita butuh waktu sendiri-sendiri untuk menenangkan pikiran kita masing-masing.” Abhi pergi begitu saja setelah mengambil kunci motornya yang ada diatas nakas. Aku tahu dia sangat kecewa denganku. Aku menggenggam tabung obat itu. Obat yang sudah ku konsumsi beberapa tahun belakangan ini sejak aku sering digoda oleh lelaki-lelaki di pinggiran jalan kota New York yang membuat keadaanku semakin parah.
Aku mengambil tas tanganku dan memasukkan kembali obat itu. Aku mengambil ponselku, lalu memesan ojek online untuk mengantarku ke rumah sakit. Aku tidak mungkin membiarkan keadaan ini begitu saja setelah aku menikah dan aku akan berhadapan dengan seseorang lelaki yang benar-benar asing.
***
Aku telah membuat janji dengan seorang psikolog yang sama sekali aku tidak mengenalnya di pinggiran kota Jakarta karena aku tidak ingin banyak orang yang tahu tentang permasalahanku ini. Aku mengetuk pintu kayu itu sebanyak tiga kali. Hingga suara seseorang dari dalam yang menyuruhku untuk masuk. Aku duduk berhadapan dengan psikolog yang bernama Anastasia itu.
“Pagi, Ibu. Dengan ibu siapa?” sapanya ramah.
“Gantari. Panggil saya Tari saja.”
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Jadi begini, Bu. Sebenarnya saya sudah mengalami ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Terutama ketika saya sudah beranjak dewasa dan sering berkontak mata dengan lelaki dengan dekat. Saya sering terkena serangan panik yang cukup parah ketika lelaki tersebut sangat dekat dengan saya dan saya hanya mengakalinya dengan obat penenang dosis rendah yang saya dapatkan dengan menulis resep sendiri. Semua itu karena semasa kecil saya pernah mengalami keadaan yang tidak mengenakkan. Saya tahu psikis saya sakit, Bu dan saya ini baru menikah kemarin dan saya tidak mungkin membiarkan semua ini terjadi terus menerus. Saya ingin sembuh.”
“Apa ada anggota keluarga yang tahu?” Aku menggeleng. Memang tidak ada yang tahu soal kejadian ini. Aku menutupnya rapat-rapat dan memendamnya sendiri.
“Saya tidak ingin membebani mereka,” lirihku.
“Saya rasa, anda perlu menceritakan pada salah satu anggota keluarga Ibu. Ibu juga butuh dukungan dari orang yang berada di sekitar ibu. Itu langkah awal dari penyembuhan ini. Untuk saat ini, saya bisa melakukan proses hipnoterapi awal, tapi konsekuensinya ibu harus mengingat pengalaman itu? Bagaimana?” Aku menarik napasku dalam dalam sambil mengucapkan basmallah.
“Saya sanggup. Tapi bisakah kita bercakap aku kamu saja?”
“Selagi kamu nyaman, tidak masalah. Sekarang Tari bisa membaringkan tubuhnya di kursi santai itu.” Aku mengikuti apa perintah Anastasia. “Sekarang bisa tutup kedua kelopak matanya, tarik napas dalam lewat perut dan keluarkan lewat mulut. Bayangkan Tari sedang kembali pada masa-masa itu.” Otakku tiba-tiba seperti mesin waktu yang membawaku kedalam masa lalu.
“Apa yang kamu lihat?”
“Tiga orang bertubuh besar memakai pakaian serba hitam. Ada satu pria yang dominan. Mereka semakin mendekat. Dia membelai dagu, pipi, leherku.”
“Kamu bisa lihat seperti apa wajahnya?” Aku mencoba untuk menajamkan pengelihatanku, tapi lelaki itu tiba-tiba menyerangku.
“JANGAN!” Aku berteriak dan bangun dari pembaringanku. Napasku tersengal-sengal. Anastasia memberikanku secangkir air putih. Aku meneguknya untuk menetralisir perasaanku.
“Kamu ingat seperti apa wajahnya?” tanya Anastasia lagi. Aku ingat seperti apa wajahnya dan aku teringat sesuatu.
“Kontur wajahnya seperti.....” Aku member jeda sejenak karena aku sama sekali tidak percaya. “Seperti suamiku sekarang.”
“Kamu yakin?” Aku mengangguk. “Lebih tua atau lebih muda?” Aku menggeleng aku tak yakin karena lelaki dalam bayanganku tadi itu langsung melanjutkan aksinya.
“Baiklah, sesi untuk hari ini kita sudahi dulu. Jangan langsung menjudge kalau lelaki yang kamu lihat di masa lalu mu itu adalah suamimu sekarang. Semuanya belum jelas. Lebih baik sekarang kamu istirahat dulu. Kita lanjutkan terapinya minggu depan.”
***
Aku kembali pulang ke rumah. Aku harap aku pulang sebelum Abhi pulang. Karena itu semua akan semakin memperburuk keadaan saat ini. Ketika aku membuka pagar tinggi yang menjulang di depan rumah, aku tidak menemukan motor Abhi terparkir di garasi. Aku menghembuskan napas lega.
“Pak, Mas Abhi belum pulang?” tanyaku memastikan.
“Belum, Nyonya.” Aku mengangguk dan melenggang masuk ke dalam rumah.
Aku masuk ke dalam kamar Abhi yang sekarang juga menjadi kamarku. Sepertinya aku perlu mandi untuk menyegarkan pikiranku. Tak butuh waktu lebih dari lima belas menit, aku sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Aku melirik ke arah jam dinding sudah hampir maghrib. Aku mengambil air wudhu untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah.
Aku keluar dari kamar dan melihat ke arah garasi. Abhi sampai sekarang masih belum juga pulang. Sebegitu kecewanya dia sampai seharian dia sama sekali tidak pulang. Aku berpikir aku harus segera menceritakan masa laluku dengan Abhi. Mungkin dengan begitu dia dapat mengerti.
“Maaf nyonya, makan malamnya sudah siap.”
“Bibi makan saja dulu. Saya masih menunggu Mas Abhi untuk makan malam bersama. Nanti kalau sudah selesai, biar saya saja yang membersihkan meja makan, Bi. Bibi istirahat saja.” Aku merogoh ponselku dan mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Abhi.
To : Abhi
Mas, aku minta maaf. Aku janji setelah kamu pulang aku akan menceritakan semuanya. Aku rasa aku sudah siap untuk menceritakan semuanya. Mas dimana? Mas pulanglah. Aku tahu kalau kita butuh waktu sendiri-sendiri, tapi apakah seharian ini tidak cukup? Aku nggak mau orang lain berbicara yang tidak-tidak tentang keluarga kita.
Sebenarnya aku sudah berkali-kali mengirimkannya pesan singkat dan berulang kali aku telepon, tapi hasilnya sama saja tidak di balas dan tidak di angkat. Jarum jam terus saja bergerak. Lama kelamaan mataku mulai memberat. Kepalaku tergeletak begitu saja diatas meja makan dan jatuh tertidur. Belum lama aku tertidur, bunyi pintu terbuka membangunkanku dari tidurku. Aku mengerjap-erjapkan mataku untuk memperjelas pandanganku.
“Mas Abhi baru pulang?Ayo makan malam mas. Aku menghangatkan makanannya dulu.”
“Iya memang kenapa? Kalaupun aku di rumah, aku tidak punya seorang istri yang bisa menjalankan kewaiibannya. Kamu tahu aku cuma butuh keperawananmu dan keturunan dari kamu. Aku sudah makan diluar. Aku mau mandi.” Hatiku seperti tertusuk ribuan jarum.
“Mas bilang kan mau menunggu hingga aku siap. Aku bisa jelasin, Mas.” Tampaknya Abhi menghiraukanku. Dia tetap berjalan menuju kamar. Aku membereskan meja makan dan air mataku tak mau berhenti untuk luruh. Seperti inikah hari pertama pernikahanku?
@ShiYiCha terima kasih kritik sarannya
Comment on chapter Independent Woman